Contoh kecerdasan spiritual di sekolah


By: Fransiska Anggraini

PENDAHULUAN

Meskipun sebagian besar orang-orang menggambarkan diri mereka sebagai orang yang spiritual, mereka mendefinisi istilah spiritual dengan definisi yang berbeda (Zinnbauer, 1997).
Hill dalam Snyder dan Lopez, 2002 menjelaskan bahwa spiritualitas merupakan perasaan, pikiran dan tingkah laku yang didapatkan dari puncak yang sakral (sacred). Seperti halnya perilaku yang beragam meyakini dengan berdoa seseorang dapat menemukan sesiatu yang suci (sacred). Paragment dan Mahoney menyebutkan bahwa spiritual adalah proses untuk menemukan dan menekuni sacred. Hal tersebut ditelusuri dengan berbagai cara hingga tak terbatas untuk menemukan dan melestarikan sistem kepercayaan seperti halnya tradisi agama (Protestan, Roman, katolik, Yahudi, Hindu, Buda dan Muslim).
Secara tradisional psikolog agama tidak membedakan antara agama dan spiritual (Wulff, 1998), namun baru-baru ini mulai ada perbedaan antara agama dan spiritualitas. Agama adalah kelembagaan, dogmatis, dan terbatas. Sedangkan spiritualitas itu bersifat pribadi, subjektif dan meningkatkan kualitas hidup (Snyder & Lopez, 2002).
Menurut Subandi, 2001 dalam artikelnya menyebutkan bahwa sebenarnya masalah spiritualitas manusia sudah disadari oleh para ahli Psikologi sejak lama. Ketika Psikologi masih merupakan ilmu yang masih muda di barat, banyak tokoh-tokoh yang telah mengkaji masalah ini. Antara lain William James dengan bukunya yang monumental,the Varieties of Religious Experiences, yang mendokumentasikan berbagai macam pengalaman spiritual/ mistis. Carl Gustav Jung secara tegas menyebutkan adanya bagian dalam diri manusia yang bersifat spiritual.
Aktualisasi adalah tahap pencapaian akhir menurut psikologi Amerika yang disegani, Abraham Maslow, dari sekian tahap pencapaian dalam hirarki kebutuhannya, Abraham Maslow menemukan bahwa, tidak peduli dari suku bangsa mana seseorang berasal atau diamanapun ia berada. Abraham Maslow mendifinisikan aktualisasi diri sebagai tahapan spiritual (Feist, 2011) yakni ketika seseorang dapat mencurahkan kreatifitasnya dengan santai, senang, toleran, dan merasa terpanggil untuk membantu orang lain mencapai tingkat kebijaksanaan dan kepuasan seperti yang dialaminya. Dan beberapa tokoh lainnya. Namun kajian ini kemudian tersingkirkan oleh berbagai tren dalam psikologi. Mulai dengan Psikoanalisis Freud dan tradisi behavioristik.
Tetapi dengan munculnya pendekatan humanistik, persoalan spiritualitas mulai dipertimbangkan. Dan psikologi transpersonal yang muncul pada tahun 70-an, merupakan trend psikologi yang dengan tegas mengkaji dimensi spiritualitas manusia. Dengan munculnya konsep SQ baru-baru ini, akan semakin memperkuat dukungan masalah spiritualitas ini dalam psikologi.

A. Pengertian Kecerdasan Spiritual
1. Pengertian kecerdasan
Banyak pertanyaan yang berkecamuk tentang makna kecerdasan, dan apa sebenarnya yang menjadi tolok ukur dari kecerdasan? Kamus Webster mendefinisikan kecerdasan (intelligence) sebagai:
a. Kemampuan untuk mempelajari atau mengerti dari pengalaman; kemampuan untuk mendapatkan dan mempertahankan pengetahuan; kemampuan mental.
b. Kemampuan untuk memberikan respon secara cepat dan berhasil pada situasi baru; krmampuan untuk menggunakan nalar dalam memecahkan masalah (Achmad Mubarok, 2005)
Setiap suku bangsa di dunia ini mempunyai kriteria tertentu untuk menentukan definisi kecerdasan. kriteria ini akan berbeda antara satu suku bangsa dengan suku bangsi lainnya. Bangsa yunani kuno sangat menghargai orang cerdas yang mempunyai fisik kuat, pemikiran yang rasionnal, dan menunjukkan perilaku yang baik dan bermoral. Bangsa romawi pada sisi lain sangat menghargai keberanian, bangsa Cina, dibawah pengaruh filsuf confusius, sangat menghargai orang yang mahir dibidang puisi, musik, kaligrafi, ilmu perang dan melukis, sedangkan pada orang-orang keras, dari suku Indian pueblo sangat menghargai orang yang peduli dengan bangsa lain. Dari contoh diatas sebenarnya sulit untuk mengatakan siapa yanag lebih cerdas. Ini semua bergantung pada situasi, kondisi, tradisi dan kebudayaan setempat. Sedangkan menurut pakar psikologi pada tahun 1921, empat belas orang ahli ilmu jiwa ditanyai oleh editor journal of educational psychology mengenaai arti kecerdasan. Walaupun jawaban mereka bervariasi, namun ada dua pokok yang sama dalam jawaban mereka. Menurut mereka keceradasn adalah kapasitas untuk belajar dari pengalaman dan kemampuan untuk beradaptasi (Achmad Mubarok, 2005)
Dua definisi diatas merupakan hal yang sangat penting. Kapasitas untuk belajar dari pengalaman berarti orang yang cerdas juga dapat membuat kesalahan. Malah orang yang cerdas sesungguhnya bukanlah orang yang tidak pernah membuat kesalahan.
Enam puluh tahun kemudian atau pada tahun 1986, dua puluh empat pakar yang berbeda dimintanya pandangan mengenai arti kecerdasan. Sekali lagi, walaupun mempunyai jawaban yang bervariasi, mereka setuju bahwa cerdas berarti dapat belajar dari pengalaman dan mampu melakukan adaptasi atau penyesuaian terhadap lingkungan, dengan penekanan pada aspek metakognisikemampuan berfikir tentang proses berfikir itu sendiri. Apa yang dianggap cerdas dalam suatu kebudayaan atau masyarakat belum tentu bias dikatakan cerdas dalam kebudayaan atau lingkungan masyarakat lainnya.
Kecerdasan Inteligence (IQ)
Dalam istilah psikologi, IQ adalah kemampuan seseorang untuk mengenal dan merespon alam semesta, yang tercermin dalam matematika, fisika, kimia, biologi, dan bidang eksakta serta teknik, tetapi belum merupakan pengetahuan untuk mengenal dan memahami diri sendiri dan sesamanya. IQ lebih mengarahkan pada objek-objek diluar manusia, IQ dapat diibaratkan sebagai kuda. Yang perlu kita perhatikan adalah bahwa IQ merupakan kadar kemampuan seseorang atau anak dalam memahami pada hal-hal yang sifatnya fenomenal, faktual data dan hitungan. IQ adalah cermin kemampuan seseorang dalam memahami dunia luar (Suharsono, 2005)
Kecerdasan emosi (EQ)
Emosi lahir dari peristiwa-pristiwa yang dialami manusia dan dapat merespon jiwa. bentuk emosi tersebut menyenangkan kalau peristiwanya menyenangkan, dan memurungkan kalau peristiwanya memurungkan (Sayyid Muhammad Az-Zabalawi, 2007)
Tahun 1995 Daniel Golemen mempopulerkan kecerdasan emosional, yang lebih dikenal dengan istilah EQ. EQ merupakan persyaratan dasar untuk menggunakan potensi IQ secara efektif, dalam bukunya Working With Emotional Intelligence, ia menyebutkan bahwa EQ terdiri atas kecakapan pribadi dan kecakapan sosial. Emotional Quotient (EQ). Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain.
Kecerdasan emosional sangat dipengaruhi oleh lingkungan, tidak bersifat menetap, dapat berubah-ubah setiap saat. Untuk itu peranan lingkungan terutama orang tua pada masa kanak-kanak sangat mempengaruhi dalam pembentukan kecerdasan emosional.
Keterampilan EQ bukanlah lawan keterampilan IQ atau keterampilan kognitif, namun keduanya berinteraksi secara dinamis, baik pada tingkatan konseptual maupun di dunia nyata. Selain itu, EQ tidak begitu dipengaruhi oleh faktor keturunan. Utamanya EQ lah yang memberi kesadaran, yakni kesadaran diri yang merupakan kemampuan emosi paling penting untuk melatih swakontrol. EQ menjadikan seseorang mampu mengenali, berempati, mencinta, termotivasi, berasosiasi, dan dapat menyambut kesedihan dan kegembiraan secara tepat.
Samuel Mc Garious memberikan indikator kematangan emosional adalah sejauh individu mampu menerima kenyataan yang berkaitan dengan kemampuan dan potensi kepribadiannya, sejauh individu mampu menikmati hubungan-hubungan sosialnya baik didalam maupun diluar keluarga, mampu bersikap positif terhadap kehidupan, sanggup menghadapi situasi yang tidak diperkirakan, berani dan mampu mengemban tanggung jawab, teguh dan konsisten, mampu mewujudkan keseimbangan dan keharmonisan diantara berbagai tuntutan kebutuhan dan motivasi kehidupan, memiliki perhatian seimbang terhadap berbagai macam kegiatan intelektual, kerja, hiburan dan sosial, memiliki pandangan yang kuat dan integral (M Utsman Najati, 2006). Orang yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, di tunjukkan dengan kemampuannya mengendalikan emosi negative, dan upayanya untuk selalu memunculkan emosi positif.
Kecerdasan emosi ditandai dengan kemampuan pengendalian emosi ketika menghadapi kenyataan yang menggairahkan (menyenangkan, menyedihkan, menakutkan, menjengkelkan dan lain sebagainya). Kemampuan pengendalian emosi itulah yang disebut sabar, atau sabar merupakan kunci kecerdasan emosional (Achmad Mubarok, 2001)
Pada akhir abad ke dua puluh, serangkaian data ilmiah terbaru menunjukkan adanya jenis Q baru, yang tidak hanya membuat manusia memperoleh kesuksesan, tetapi juga memperoleh kebahagiaan. Jenis Q baru ini disebut dengan spiritual quotient atau kecerdasan spiritual.
Konsep SQ yang diperkenalkan oleh Zohar dan Marshal, sekaligus mencoba mengembangkan ke arah wawasan yang lebih luas. Dalam tulisan ini saya tetap akan menggunakan SQ (Spiritual Quotient), meskipun sebenarnya hal ini salah kaprah. Kata Quotient artinya adalah angka dari hasil pembagian. Kata ini digunakan dalam perhitungan angka IQ, yang merupakan hasil bagi dari umur mental dengan umur kalender. Maka sebenarnya istilah IQ, EQ maupun SQ harus digunakan ketika orang mengadakan perhitungan angka. Kalau tidak, istilah kecerdasan mental, kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual adalah yang paling tepat. Tetapi karena IQ, EQ dan SQ lebih populer dan lebih keren, maka makalah ini juga menggunakan istilah SQ (Subandi, 2007), Kecerdasan Spiritual tidak bisa dihitung karena pertanyaan yang diberikan semata-mata merupakan latihan perenungan (Zohar dan Marshall, 2007).

2. Pengertian Spiritual
Menurut kamus webster (1963) kata spirit berasal dari kata benda bahasa latin spiritus yang berarti napas dan kata kerja spairare yang berarti untuk bernafas, dan memiliki nafas berarti memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti memiliki sifat lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritualitas merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai tujuan dan makna hidup (Hasan, 2006). Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa kata "spiritual" itu diambil dari bahasa Latin, Spiritus, yang berarti sesuatu yang memberikan kehidupan atau vitalitas. Dengan vitalitas itu maka hidup kita menjadi lebih "hidup". Spiritus ini bukan merupakan label atau identitas seseorang yang diterima dari atau diberikan oleh pihak luar, seperti agama, melainkan lebih merupakan kapasitas bawaan dalam otak manusia Artinya, semua manusia yang lahir ke dunia ini sudah dibekali kapasitas tertentu di dalam otaknya untuk mengakses sesuatu yang paling fundamental dalam hidupnya. Jika kapasitas itu digunakan atau diaktifkan, maka yang bersangkutan akan memiliki vitalitas hidup yang lebih bagus. Kapasitas dalam otak yang berfungsi untuk mengakses sesuatu yang paling fundamental itulah yang kemudian mendapatkan sebutan ilmiyah, seperti misalnya: Kecerdasan Spiritual (SQ), Kecerdasan Hati (Heart Intelligence), Kecerdasan Transendental, dan lain-lain. Spiritualitas dalam makna yang luas, merupakan hal yang berhubungan dengan spirit. Sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia.

3. Pengertian Kecerdasan Spiritual
Berikut ini adalah beberapa pendapat tentang kecerdasan spiritual menurut para ahli dalam Zohar dan Marshall (2001) dan Agustian (2001):
a. Sinetar (2000)
Sinetar (2000) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai pikiran yang mendapat inspirasi, dorongan, efektivitas yang terinspirasi, dan penghayatan ketuhanan yang semua manusia menjadi bagian di dalamnya.
b. Khalil A. Khavari (2000)
Khavari (2000) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai fakultas dimensi non-material atau jiwa manusia. Lebih lanjut dijelaskan oleh Khavari (2000), kecerdasan spiritual sebagai intan yang belum terasah dan dimiliki oleh setiap insan. Manusia harus mengenali seperti adanya lalu menggosoknya sehingga mengkilap dengan tekad yang besar, menggunakannya menuju kearifan, dan untuk mencapai kebahagiaan yang abadi.
c. Zohar dan Marshall (2001)
Zohar dan Marshall (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta sendiri, yang memungkinkan otak untuk menemukan dan menggunakan makna dalam memecahkan persoalan.
kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai, yatu kemampuan untuk menempatkan perilaku dan hidup manusia dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan dan jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
d. Ary Ginanjar Agustian (2001)
Agustian (2001) mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kemampuan untuk meberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran integralistik, serta berprinsip hanya karena Allah.
e. Hill (Snyder dan Lopez, 2002)
Spiritualitas adalah perasaan, pikiran dan tingkah laku yang didapatkan dari puncak sacred.
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa definisi kecerdasan spiritual adalah kemampuan potensial setiap manusia yang menjadikan seseorang dapat menyadari dan menentukan makna, nilai, moral, serta cinta terhadap kekuatan yang lebih besar dan sesama makhluk hidup karena merasa sebagai bagian dari keseluruhan, sehingga membuat manusia dapat menempatkan diri dan hidup lebih positif dengan penuh kebijaksanaan, kedamaian, dan kebahagiaan yang hakiki (Utama, 2010).
Menurut Zohar dan Marshall, kita hidup dalam budaya yang bodoh secara spiritual. Maksudnya, kita telah kehilangan pemahaman terhadap nilai-nilai mendasar.Kehidupan yang bodoh secara spiritual ini ditandai dengan materialisme, egoisme, kehilangan makna dan komitmen. Bahkan dikatakan, kekeringan spiritual terjadi sebagai produk dari IQ manusia yang tinggi.Oleh karena itu, penting sekali kita meningkatkan SQ.
Kecerdasan spiritual dapat menjadikan manusia lebih kreatif mengubah atura dan situasi. SQ memberikan manusia kemampuan untuk membedakan, memberi rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku diikuti dengan pemahaman dan cinta sampai pada batasnya. Manusia menggunakn SQ untuk bergulat dengan hal yang baik dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud dan memberikan kemampuan untuk bangkit dari keterpurukan.
Dengan demikian SQ berkaitan dengan unsur pusat dari bagian diri manusia yang paling dalam menjadi pemersatu seluruh bagian diri manusia lain.
Kecerdasan spiritual bukanlah doktrin agama yang mengajak manusia untuk cerdas dalam memilih atau memeluk salah satu agama yang dianggap benar. Kecerdasan spiritual lebih merupakan sebuah konsep yang berhubungan dengan bagaimana seorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya.
Kecerdasan spiritual lebih merupakan konsep yang berhubungan dengan bagaimana seseorang cerdas dalam mengelola dan mendayagunakan makna-makna, nilai-nilai, dan kualitas-kualitas kehidupan spiritualnya. Kehidupan-kehidupan spiritual ini meliputi hasrat untuk hidup bermakna (The Will To Meaning), yang memotivasi kehidupan manusia untuk senantiasa mencari makna hidup (The Meaning Of Life), dan mendambakan hidup bermkna (The Meaningfull Life) (Abdul mujib, 2002)
Kecerdasan spiritual sebagai bagian dari psikologi memandang bahwa seseorang yang taat beragama belum tentu memiliki kecerdasan spiritual, acapkali mereka memiliki sikap fanatisme, eksklusivisme, dan intoleran terhadap pemeluk agama lain, sehingga mengakibatkan permusuhan dan peperangan. Namun sebaliknya, bisa juga seseorang yang humanis non agamis memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi. Sehingga hidupnya inklusif, setuju dalam perbedaan, dan penuh toleran, hal ini menunjukkan bahwa makna spiritual di sini tidak selalu bertarti agama atau bertuhan.
Kecerdasan spiritual mendorong kita untuk selalu mencari inovasi untuk menghasilkan sesuatu yang lebih dari pada apa yang dicapai saat ini, keceradasan spiritual akan mendorong kita untuk berfikir dan memandang hidup dari berbagai sisi. Bukan hanya berfikir dari satu sisi saja.
Tingkat ketaatan ibadah seseorang dalam praktek kehidupannya tidak bisa menjadi ukuran bahwa dia memiliki SQ yang tinggi. Namun, dengan memiliki kecerdasan spiritual, seseorang akan menjadi seorang pemeluk agama yang baik.
Secara garis besar menurut Danah dan Ian bahwa manusia harus meningkatkan Kecerdasan Spiritual untuk mengatasi krisis spiritual yang melanda dunia.
Namun, bagaimana hubungan antara SQ dan Agama ? Karena sebagai orang beragama kita selalu berpegang pada Firman Tuhan. Danah dan Ian berpendapat bahwa SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Banyak orang Humanis dan Ateis yang memiliki SQ sangat tinggi. Agama formal hanya seperangkat aturan dan kepercayaan yang dibebankan secara eksternal. Sedangkan SQ adalah kemampuan internal bawaan otak dan jiwa manusia, yang sumber terdalamnya adalah inti alam semesta sendiri. Dikatakan pula, SQ tidak bergantung pada budaya maupun nilai, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri. SQ membuat agama menjadi mungkin ( bahkan mungkin perlu ), tetapi SQ tidak bergantung pada agama. Muncul pertanyaan bagi saya, kalau SQ sebagai kecerdasan jiwa tidak bergantung pada agama, di mana agama diletakkan ? Karena bagi orang Kristen, agama sebagai iman kepada Allah merupakan basis dari semua kehidupan.
SQ memang dapat membantu orang untuk menguatkan kehidupan keagamaannya, tapi tanpa dilandasi agama maka orang tersebut menjadi humanis. Di sinilah letak perbedaan antara SQ dan ajaran agama. SQ memandang manusia sebagai manusia psikologis sedangkan ajaran agama menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan (Zohar dan Marshall, 2007).
Setiap orang memiliki potensi untuk mengembangkan potensi SQ-nya. Setiap orang dapat mnggunakan SQ untuk menjadi lebih kreatif, berhadapan dengan masalah eksistensial seperti saat kita secara pribadi merasa terpuruk, terjebak oleh kekhawatiran dan kesedihan yang dapat menyebabkan kita rapuh. Dengan SQ menjadikan kita menyadari bahwa kita sedang mengalami eksistensial, tetapi membuat kita mampu untuk mengatasi masalah tersebut.
4. Fungsi Kecerdasan Spiritual
Kecerdasan spiritual adalah inti kecerdasan kita, kecerdasan ini membuat kita mampu menyadari siapa kita sesungguhnya. SQ berfungsi mengembangkan diri kita secara utuh karena kita memiliki potensi. SQ dapat dijadikan pedoman saat kita berada diujung masalah eksistensial yang paling menantang dalam hidup berada diluar yang diharapkan dan dikenal, di luar aturan-aturan yang telah diberikan, melampaui pengalaman masa lalu, dan melampaui sesuatu yang kita hadapi. SQ memungkinkan kita untuk menyatukan hal-hal yang bersifat intrapersonal dan interpersonal serta menjembatani kesenjangan antara diri sendiri dan orang lain. Dan kita menggunakan kecerdasan spiritual saat:
1) Kita behadapan dengan masalah eksistensial seperti saat kita merasa terpuruk, khawatir, dan masalah masa lalu akibat penyakit dan kesedihan. SQ menjadikan kita sadar bahwa kita mempunyai masalah eksistensial yang membuat kita mampu mengatasinya, atau setidak-tidaknya kita dapat berdamai dengan masalah tersebut, SQ memberikan kita rasa yang dalam menyangkut perjuangan hidup.
2) Kita menggunakannya untuk menjadi kreatif, kita menghadirkannya ketika ingin menjadi luwes, berwawasan luas, atau spontan secara kreatif.
3) Kita dapat menggunakan SQ untuk menjadi cerdas secara spiritual dalam beragama, SQ membawa kita kejantung segala sesuatu, kekesatuan di balik perbedaan, ke potensi di balik ekspresi nyata.
4) Kita menggunakan SQ untuk mencapai perkembangan diri yang lebih utuh karena kita memiliki potensi untuk itu.
5) Kecerdasan spiritual memberi kita suatu rasa yang dapat menyangkut perjuangan hidup (Zohar Marshall, 2007).

B. Kecerdasan Spiritual Dalam Perspektif Sekolah
Sistem pendidikan selama ini lebih menekankan pada pentingnya nilai akademik (Intelligence Quotient atau sering disebut IQ), mulai dari bangku sekolah dasar hingga bangku kuliah. Semakin tinggi IQ seseorang maka semakin tinggi pula kecerdasan orang tersebut. Keadaan ini semakin diperparah dengan tuntutan dari orang tua agar anaknya mempunyai tingkat kecerdasan yang tinggi dengan mengikutkan anaknya pada berbadai les tambahan, agar anaknya mendapat rangking di sekolah. kata rangking di sekolah memang lebih mewakili kepentingan orang tua ketimbang anak. Rangking juga simbol bahwa kecerdasan intelektual (IQ) masih didewakan sebagai satu-satunya ukuran kecerdasan. Kemampuan anak didik hanya diukur dari nilai akademis. Jika nilai rapor mencapai 8-10 ia akan dianggap anak yang pandai, cerdas dan pintar.
Pemahaman seperti ini diyakini semua pihak bahwa siapa saja yang ber IQ tinggi kelak bakal sukses hidupnya ketimbang orang yang ber IQ rata-rata. Padahal kecerdasan orang tidak hanay diukur oleh IQ semata.
Saat ini tidak cukup hanya dengan berbekal kecerdasan intelektual saja. Intelligence Quotient memang penting untuk diasah, terutama melihat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu berkembang pesat. Namun, untuk menghadapi tantangan kehidupan yang begitu kompeks, dengan hanya berbekal IQ tinggi tidak lah cukup. Terbentuk anggapan bahwa dengan IQ yang tinggi seseorang akan berhasil untuk mencapai kesuksesan dalam hidupnya. Padahal IQ tinggi bukanlah jaminan untuk memperoleh kesuksesan dan keberhasilan, karena IQ hanya mengukur salah satu bentuk kemampuan intelektual saja dan masih banyak kemampuan lain yang belum tersentuh oleh IQ.
Sejalan dengan keterbatasan IQ, muncullah konsep baru yaitu kecerdasan Emosi yang biasa disebut Emotional Quotient (EQ). Daniel Goleman, Segal dan Gottman menyatakan bahwa kemampuan IQ yang tinggi kelak tidak menjamin kesuksesan seseorang. Dari hasil penelitiannya terungkap bahwa perbedaan orang yang sukses justru terletak pada kecerdasan emosional yang mencakup pengendalian diri, semangat dan ketekunan serta kemampuan untuk memotivasi diri. Bahkan dalam buku Emotional Intelligence, Goleman menyatakan bahwa kecerdasan emosi adalah inti dari daya hidup (Goleman: 2007). Hasil penelitian Daniel Goleman (1995 dan 1998) menyebutkan bahwa IQ hanya memberi konstribusi 20% saja dari kesuksesan hidup seseorang. Selebihnya bergantung pada kecerdasan Emosi (EQ) dan sosial.
Banyak contoh disekitar kita yang membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak, memiliki gelar tinggi belum tentu sukses dalam dunia pekerjaannya. Seringkali justru orang yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata lebih sukses. Hal ini terjadi karena terkadang orang yang memiliki IQ yang tinggi, tetapi tidak diikuti dengan EQ yang tinggi pula.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul konsep Multiple Intelligence (kecerdasan Majemuk) yang diperkenalkan Howard Garner. Menurutnya ada tujuh macam kecerdasan yang dimiliki dan dapat dikembangkan manusia, yaitu: kecerdasan linguistik, logis tematis, visual spasial, musical, kinestetik, interpersonal sosial, dan kecerdasan intrapersonal (Gardner, 1996).
Kecerdasan merupakan salah satu faktor utama yang menentukan sukses gagalnya peserta didik belajar di sekolah. Peserta didik yang mempunyai taraf kecerdasan rendah atau di bawah normal sukar diharapkan berprestasi tinggi. Tetapi tidak ada jaminan bahwa dengan taraf kecerdasan tinggi seseorang secara otomatis akan sukses belajar di sekolah.
Pada dasarnya pendidikan nasional sudah memperhatikan ketiga konsep kecerdasan tersebut. Hal ini dapat dilihat dari penjelasan atas Peraturan Pemerintah RI no:19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 3 yaitu Pendidikan nasional yang bermutu diarahkan untuk mengembangkan potensi siswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab
Untuk menumbuhkan kecerdasan siswa bisa dilakukan dengan menajamkan kualitas kecerdasan spiritual siswa melalui nilai-nilai yang ditanamkan sejak dini.Seperti kejujuran, keadilan, kebajikan, kebersamaan, kesetiakawanan sosial dan lainnya. Sedangkan guru harus berusaha menjadi teladan bagi siwa, sehingga siswa tidak hanya mendapatkan pendidikan SQ melalui kegiatan yang diikuti, tapi juga bisa meneladani sosok guru mereka.Spiritualisasi pendidikan tidak sekedar mengajarkan siswa lebih empati dan simpati kepada sesama siswa, guru, orang tua dan masyarakat luas. Tetapi lebih dari itu, menumbuhkan kecerdasan spiritual kepada siswa dalam pendidikan dan kehidupan (Zohar dan Marshall, 2007).

C. Ciri-Ciri Kecerdasan Spiritual
Zohar dan Marshall memberikan Enam Jalan Menuju Kecerdasan Spiritual yang Lebih Tinggi dan Tujuh Langkah Praktis Mendapatkan SQ Lebih Baik. Enam Jalan tersebut yaitu jalan tugas, jalan pengasuhan, jalan pengetahuan, jalan perubahan pribadi, jalan persaudaraan, jalan kepemimpinan yang penuh pengabdian. Sedangkan Tujuh Langkah Menuju Kecerdasan Spiritual Lebih Tinggiadalah :
1.menyadari di mana saya sekarang,
2.merasakan dengan kuat bahwa saya ingin berubah,
3.merenungkan apakah pusat saya sendiri dan apakah motivasi saya yang paling dalam,
4.menemukan dan mengatasi rintangan,
5.menggali banyak kemungkinan untuk melangkah maju,
6.menetapkan hati saya pada sebuah jalan,
7.tetap menyadari bahwa ada banyak jalan.
Menurut Subandi, 2001 dalam artikelnya mengemukakan bahwa ciri-ciri diatas menurutnya masih terlihat sangat psikologis, padahal dimensi spiritual jauh melebihi hal itu, dia menambahkan beberapa kriteria yang lain yaitu:
1. Kemampuan menghayati keberadaan Tuhan.
2.Memahami diri secara utuh dalam dimensi ruang dan waktu
3.Memahami hakekat di balik realitas
4.Menemukan hakikat diri
5.Tidak terkungkung egosentrisme.
6.Memiliki rasa cinta
7.Memiliki kepekaan batin
8.Mencapai pengalaman spiritual: kesatuan segala wujud, mengalami realitas non-material (dunia gaib)
Zohar dan Marshall dalam bukunya: Bila SQ seseorang telah berkembang dengan baik, maka tanda-tanda yang akan terlihat pada diri seseorang adalah:
1.kemampuan bersikap fleksibel, yaitu mampu menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, memiliki pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan), dan efisien tentang realitas.
2.tingkat kesadaran diri tinggi, yaitu adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari berbagai situasi yang datang dan menanggapinya.
3.kemampuan untuk menghadapi dan memanfaatkan penderitaan,
4.kemampuan untuk menghadapi dan melampaui rasa sakit,
5.kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai, yaitu memiliki pemahaman tentang tujuan hidup dan memiliki kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
6.keengganan untuk menyebabkan kerugian yang tidak perlu,
7.kecenderungan untuk melihat keterkaitan antara berbagai hal (berpandangan holistik), yaitu melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan, melampaui kesengsaraan dan rasa sehat, serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya
8.kecenderungan nyata untuk bertanya Mengapa? atau Bagaimana jika? untuk mencari jawaban yang mendasar,
9.melakukan perubahan, yaitu terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo dan juga menjadi orang yang bebas merdeka.
Kita pun dapat mengenali anak-anak yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi, dengan tujuh ciri utama.
1) Adanya kesadaran diri yang mendalam, intuisi, dan kekuatan ''keakuan'', atau otoritas bawaan.
2) Adanya pandangan luas terhadap dunia: melihat diri sendiri dan orang-orang lain saling terkait; menyadari tanpa diajari bahwa bagaimanapun kosmos ini hidup dan bersinar; memiliki sesuatu yang disebut ''cahaya subjektif''.
3) Bermoral tinggi, pendapat yang kukuh, kecenderungan untuk merasa gembira, ''pengalaman puncak'', dan atau bakat-bakat estetis.
4) Memiliki pemahaman tentang tujuan hidupnya: dapat merasakan arah nasibnya; melihat berbagai kemungkinan, seperti cita-cita suci atau sempurna, dari hal-hal yang biasa.
5) Adanya ''rasa haus yang tidak dapat dipuaskan'' akan hal-hal selektif yang diminati, seringkali membuat mereka menyendiri atau memburu tujuan tanpa berpikir lain. Pada umumnya ia mementingkan kepentingan orang lain (altruistis) atau keinginan berkontribusi kepada orang lain.
6) Memiliki gagasan-gagasan yang segar dan 'aneh'; rasa humor yang dewasa. Kepada mereka, kita sering terdorong untuk bertanya 'dari mana kamu dapatkan gagasan-gagasan itu?' bahkan kita bisa ragu, jangan-jangan mereka adalah penjelmaan jiwa-jiwa tua yang tinggal dalam tubuh yang masih muda.
7) Adanya pandangan pragmatis dan efisien tentang realitas, yang sering (tetapi tidak selalu) menghasilkan pilihan-pilihan yang sehat dan hasil-hasil praktis. Orang tidak memiliki kecerdasan spiritual , maka ditandai dengan ketergesaan, egiosme diri yang sempit, kehilangan makna dan komitmen. Namun sebagai individu kita dapat meningkatkan SQ kita, secara umum kita dapat meningkatlan SQ dengan kecenderungan kita untuk bertanya mengapa, untuk mencari keterkaitan antara segala sesuatu, menjadi lebih suka merenung, bertanggung jawab, lebih sadar diri, lebih jujur terhadap diri sendiri, dan lebih pemberani (Danah Zohar & Ian Marshal, 2007).

Kecerdasan spiritual sangat berguna bagi setiap manusia. Menurut penulis buku laris dan ahli spiritualitas Erbe Sentanu, Kecerdasan spiritual sangat berguna untuk mendukung kesuksesan seseorang.Dalam penelitian Fillia Rachmi mahasiswa akuntansi Universitas Diponegoro yang tesisnya berjudul Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, Dan Perilaku Belajar Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi yang dalam hasil penelitiannya bahwa kecerdasan spiritual berpengaruh terhadap pemahaman materi akuntansi.
Dari melihat penjelasan di atas menurut penulis selain kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional siswa juga memiliki pengaruh terhadap prestasi belajar. Kecerdasan emosional ini mampu melatih kemampuan untuk mengelola perasaannya, kemampuan untuk memotivasi dirinya, kesanggupan untuk tegar dalam menghadapi frustasi, kesanggupan mengendalikan dorongan dan menunda kepuasan sesaat, mengatur suasana hati yang reaktif, serta mampu berempati dan bekerja sama dengan orang lain. Kecerdasan ini mendukung seorang siswa dalam mencapai tujuan dan cita-citanya.
Begitu juga dengan pembelajaran yang hanya berpusat pada kecerdasan intelektual tanpa menyeimbangkan sisi spiritual akan menghasilkan generasi yang mudah putus asa, depresi, suka tawuran bahkan menggunakan obat-obat terlarang, sehingga banyak siswa yang kurang menyadari tugasnya sebagai seorang siswa yaitu tugas belajar. Kurangnya kecerdasan spiritual dalam diri seorang siswa akan mengakibatkan siswa kurang termotivasi untuk belajar dan sulit untuk berkonsentrasi, sehingga siswa akan sulit untuk memahami suatu mata pelajaran. Sementara itu, mereka yang hanya mengejar prestasi berupa nilai atau angka dan mengabaikan nilai spiritual, akan menghalalkan segala cara untuk mendapakan nilai yang bagus, mereka cenderung untuk bersikap tidak jujur seperti mencontek pada saat ujian. Oleh karena itu, kecerdasan spiritual mampu mendorong mahasiswa mencapai keberhasilan dalam belajarnya karena kecerdasan spritual merupakan dasar untuk mendorong berfungsinya secara efektif kecerdasan intelektual (IQ) dan kecerdasan emosional (EQ).
Hal ini selaras hasil penelitian dalam journal Mark D. Holder dkk. Hasil penelitiannya adalah Anak-anak yang lebih spiritual ternyata lebih bahagia. Dari hasil diatas jelas bahwa anak-anak yang mempunyai spiritualitas akan bahagia karena dia akan mampu memaknai hidup & peranannya sebagai siswa sehingga ketika dia gagal dia tidak akan cepat putus asa tetapi mengoreksi dan instropeksi mengapa bisa gagal.
DAFTAR PUSTAKA

Gardner, H., Kornhaber, M.L., & Wake, W.K. 1996. Intelligence. Multiple perspective. Belmont: Thomson Wadsworth
Goleman, Daniel. 2007. Emotional Intelligence; Kecerdasan Emosi mengapa EI lebih penting dari pada IQ, cet. XVII; Jakarta; Gramedia
Snyder, C.R, and Lopez, S.J. 2002. Hanbook Of Positive Psychology. Oxford University Press, New York.
Snyder, C, R. 2007. Positive Psychology the Science of Practical Exploration of Human Strenghts. Sage Publication. California.
Zohar, Danah dan Ian Marshall. 2007. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual Dalam Berfikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung. Mizan.
Filia Rachmi. 2010. Pengaruh Kecerdasan Emosional, Kecerdasan Spiritual, dan Perilaku Belajar Terhadap Tingkat Pemahaman Akuntansi (Studi Empiris pada Mahasiswa Akuntansi Universitas Diponegoro Semarang dan Universitas Gajah Mada Yogyakarta), 2010
Subandi, MA., Drs. 2001. Seminar Setengah Hari: Menyoal Kecerdasan Spiritual, Yogyakarta, 6 Juni 2001
Mubarok, Achmad. 2001. Psikologi Qurani. Jakarta: Pustaka Firdaus.
Muhammad Az Zabalawi, Sayyid. 2007. Pendidikan Remaja Antara Islam dan
Ilmu Jiwa.
Mujib, Abdul. Yusuf Mudzakkir. 2002. Nuansa Nuansa Psikologi Islami. Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Purwakania, Hasan Aliah B. 2007. Psikologi Perkembangan Islami. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.
Suharsono. 2005. Melejitkan IQ, EQ, SQ. Depok: Inisiasi Press.
Najati, M . Utsman. 1985. Al-quran Dan Ilmu Jiwa. Bandung: Pustaka.

Mark D. Holder. Ben Colemen and Judi M. Wallace. 2012. Spirituality, Religiousness and Happiness in Children Aged 8-12 Years. Journal of Happiness Study.