Bunyi yang memiliki getaran antara 20-20000 hz disebut

Ilustrasi Mendengar foto:Unsplash

Bunyi yang kerap didengar oleh manusia merupakan suatu getaran yang merambat melalui perantara gas, cairan atau benda padat. Gelombang bunyi memiliki beberapa sifat, yakni dapat dipantulkan, dibiaskan, dilenturkan, dan sejajar dengan arah rambatan.

Kecepatan bunyi dipengaruhi oleh medium perantara hingga kondisi sekitarnya. Jika letak medium rapat, bunyi akan semakin cepat untuk merambat. Namun jika medium renggang, perambatan bunyi akan semakin lambat.

Bunyi dapat dibedakan menjadi beberapa jenis berdasarkan frekuensi atau jumlah getaran yang dihasilkan setiap satu detik. Di antaranya adalah bunyi infrasonik, audiosonik, dan ultrasonik.

Bunyi infrasonik memiliki frekuensi yang sangat rendah untuk manusia, yaitu kurang dari 20 Hz hingga 0,0001 Hz. Bunyi ini bisa didengarkan oleh hewan seperti gajah, anjing dan jangkrik. Namun, tidak bisa didengarkan oleh telinga manusia.

Ilustrasi Mendengar foto:Unsplash

Sebaliknya, bunyi ultrasonik memuat frekuensi yang terlalu tinggi untuk manusia, yaitu di atas 20.000 Hz atau 20kHz. Jenis frekuensi ini hanya mampu didengarkan oleh hewan tertentu yakni kelelawar dan lumba-lumba. Dalam dunia medis, bunyi ultrasonik juga dimanfaatkan untuk teknologi Ultrasonografi (USG).

Selanjutnya, bunyi audiosonik adalah satu-satunya bunyi yang mampu didengar oleh telinga manusia. Bunyi ini memiliki frekuensi antara 20Hz hingga 20.000 Hz.

Meski begitu, tidak semua manusia dapat mendengar bunyi 20Hz hingga 20kHz dengan volume maksimal. Semua manusia memiliki kapasitas pendengaran yang berbeda-beda. Biasanya, orang yang berumur memiliki kapasitas pendengaran yang lebih rendah dibanding orang muda.

Jika dipaksakan mendengar frekuensi bunyi tinggi, pendengaran manusia dapat terganggu bahkan rusak. Gendang telinga dapat mengalami hilang pendengaran sementara hingga tuli permanen.

Awalnya saya sedikit bingung memikirkan judul yang eye-catching untuk catatan hari ini. Entah wangsit apa yang terlintas yang pada akhirnya membawa saya ke 20 dan 20.000 Hz ini.

Tapi tenang saja, saya jamin sejamin-jaminnya catatan kali ini sama sekali tidak membahas tentang sesuatu yang membuat anda bingung. Paling banter kelimpungan! Saya yakin kelimpungan itu pula yang sebagian dari kita terima ketika pertama kali diajar IPA toh. punten, saya masih gunakan istilah IPA untuk Ilmu Pengetahuan Alam yang terkesan berasal dari jaman si unyil masih beredar di TVRI.

Begini awalnya, ijinkan saya mengingatkan sedikit bahwa gelombang itu masih famili dekat dengan frekuensi. Jika kebetulan gelombang tersebut memiliki frekuensi pada kisaran 20 - 20.000 Hz (baca: Hertz) maka hampir dapat dipastikan makhluk hidup bisa mendengarnya. Karena konon frekuensi suara itu berada pada kisaran 20 - 20.000Hz.

Gampangnya begini saja, anda ambil kaset lalu putar dan dengarkan lantunan lagunya. Jika anda bisa mendengar, maka itulah yang disebut 20 - 20.000 Hz. Jika tidak, kemungkinan ada yang salah dengan pemutar musik anda atau ada yang salah dengan telinga anda. Pilihannya hanya 2; pergi ke service radio-tape atau ke dokter THT saja. Hehe...

Saya ingin ajak anda untuk sedikit berkelakar tentang frekuensi 20 - 20.000 Hz ini. Dari penjelasan diatas -yang mungkin saja tidak menjelaskan atau lebih tepatnya membingungkan- jelas bahwa gelombang itu bisa didengar jika frekuensinya ada pada kisaran 20 - 20.000 Hz, yang selanjutnya kita sebut sebagai bunyi. Alat dengarnya? Ya sudah tentu sama dengan alat yang kita gunakan untuk menikmati lantunan Jason Mraz. Telinga.

Frekeunsi Suara Hati

Semalam, sempat terbersit di benak saya ketika menyaksikan begitu banyak demonstrasi yang penuh teriakan, begitu banyak anak-anak yang bunuh diri dan berbuat kriminal, begitu banyak pasangan suami-istri yang berseteru, orang yang antri sembako gratis sampai para wakil rakyat terhormat yang kerap ditengarai bagi-bagi kue kekuasaan. Semua ini kejadian beruntun yang luar biasa dan seolah tanpa ujung.

Jika diintip dari sudut 20 - 20.000 Hz, sempat terpikir apakah mungkin ada yang salah dengan suaranya atau mungkin alat dengarnya yang tak lagi tokcer. Maksudnya begini, semua teriakan demonstran, anak-anak kecil, para ibu rumah tangga bisa jadi tidak ada pada kisaran 20 dan 20.000 Hz. Atau, bisa jadi telinga pemerintah, orang tuanya atau suami/istrinya yang tidak bisa (lagi) bekerja pada frekuensi 20 dan 20.000 Hz. Weleh! kok malah ngalor ngidul.

Sambil mencuil ujung pisang goreng ditangan, saya berkesimpulan -supaya tidak kalah dengan Pansus Century yang sudah mulai membuat kesimpulan- bahwa suara-suara hati seperti itu tidak akan pernah bisa didengar dengan telinga. Semua keluhan demonstran ke pemerintah, anak-anak korban keluarga, istri yang diperlakukan tidak adil oleh suami, wanita yang direndahkan pria, suaranya tidak akan bisa disampaikan dengan teriakan. Karena suara hati tidak akan berada pada frekuensi 20 - 20.000 Hz!

Itu sebabnya, bagi para ibu yang memiliki anak; bagi para suami yang memiliki istri; bagi para pemimpin yang memiliki bawahan. Pastikan anda memiliki "telinga" yang tak hanya mampu mendengar bunyi 20 - 20.000 Hz. Frekuensi suara hati tidak ada di kisaran ini. Maka gunakan indera lain selain telinga untuk mendengarkan suara ini. To see the unseen! Empati.

Apa yang terucap hanya 20 - 20.000Hz, tapi apa yang tersirat dari 20 - 20.000 Hz itu bisa jadi maha dahsyat yang hanya bisa kita pahami dengan hati yang bersih. Kalau sudah begini, saya selalu saja teringat dengan ucapan Gde Prama. Hati yang kotor ibarat bumi yang diselumuti awan tebal, cahaya matahari pun tak mampu lagi menembusnya. Untuk itu, mari kita dengarkan suara hati dengan hati, bukan dengan telinga.


Bunyi yang memiliki getaran antara 20-20000 hz disebut

Lihat Filsafat Selengkapnya


Page 2

Awalnya saya sedikit bingung memikirkan judul yang eye-catching untuk catatan hari ini. Entah wangsit apa yang terlintas yang pada akhirnya membawa saya ke 20 dan 20.000 Hz ini.

Tapi tenang saja, saya jamin sejamin-jaminnya catatan kali ini sama sekali tidak membahas tentang sesuatu yang membuat anda bingung. Paling banter kelimpungan! Saya yakin kelimpungan itu pula yang sebagian dari kita terima ketika pertama kali diajar IPA toh. punten, saya masih gunakan istilah IPA untuk Ilmu Pengetahuan Alam yang terkesan berasal dari jaman si unyil masih beredar di TVRI.

Begini awalnya, ijinkan saya mengingatkan sedikit bahwa gelombang itu masih famili dekat dengan frekuensi. Jika kebetulan gelombang tersebut memiliki frekuensi pada kisaran 20 - 20.000 Hz (baca: Hertz) maka hampir dapat dipastikan makhluk hidup bisa mendengarnya. Karena konon frekuensi suara itu berada pada kisaran 20 - 20.000Hz.

Gampangnya begini saja, anda ambil kaset lalu putar dan dengarkan lantunan lagunya. Jika anda bisa mendengar, maka itulah yang disebut 20 - 20.000 Hz. Jika tidak, kemungkinan ada yang salah dengan pemutar musik anda atau ada yang salah dengan telinga anda. Pilihannya hanya 2; pergi ke service radio-tape atau ke dokter THT saja. Hehe...

Saya ingin ajak anda untuk sedikit berkelakar tentang frekuensi 20 - 20.000 Hz ini. Dari penjelasan diatas -yang mungkin saja tidak menjelaskan atau lebih tepatnya membingungkan- jelas bahwa gelombang itu bisa didengar jika frekuensinya ada pada kisaran 20 - 20.000 Hz, yang selanjutnya kita sebut sebagai bunyi. Alat dengarnya? Ya sudah tentu sama dengan alat yang kita gunakan untuk menikmati lantunan Jason Mraz. Telinga.

Frekeunsi Suara Hati

Semalam, sempat terbersit di benak saya ketika menyaksikan begitu banyak demonstrasi yang penuh teriakan, begitu banyak anak-anak yang bunuh diri dan berbuat kriminal, begitu banyak pasangan suami-istri yang berseteru, orang yang antri sembako gratis sampai para wakil rakyat terhormat yang kerap ditengarai bagi-bagi kue kekuasaan. Semua ini kejadian beruntun yang luar biasa dan seolah tanpa ujung.

Jika diintip dari sudut 20 - 20.000 Hz, sempat terpikir apakah mungkin ada yang salah dengan suaranya atau mungkin alat dengarnya yang tak lagi tokcer. Maksudnya begini, semua teriakan demonstran, anak-anak kecil, para ibu rumah tangga bisa jadi tidak ada pada kisaran 20 dan 20.000 Hz. Atau, bisa jadi telinga pemerintah, orang tuanya atau suami/istrinya yang tidak bisa (lagi) bekerja pada frekuensi 20 dan 20.000 Hz. Weleh! kok malah ngalor ngidul.

Sambil mencuil ujung pisang goreng ditangan, saya berkesimpulan -supaya tidak kalah dengan Pansus Century yang sudah mulai membuat kesimpulan- bahwa suara-suara hati seperti itu tidak akan pernah bisa didengar dengan telinga. Semua keluhan demonstran ke pemerintah, anak-anak korban keluarga, istri yang diperlakukan tidak adil oleh suami, wanita yang direndahkan pria, suaranya tidak akan bisa disampaikan dengan teriakan. Karena suara hati tidak akan berada pada frekuensi 20 - 20.000 Hz!

Itu sebabnya, bagi para ibu yang memiliki anak; bagi para suami yang memiliki istri; bagi para pemimpin yang memiliki bawahan. Pastikan anda memiliki "telinga" yang tak hanya mampu mendengar bunyi 20 - 20.000 Hz. Frekuensi suara hati tidak ada di kisaran ini. Maka gunakan indera lain selain telinga untuk mendengarkan suara ini. To see the unseen! Empati.

Apa yang terucap hanya 20 - 20.000Hz, tapi apa yang tersirat dari 20 - 20.000 Hz itu bisa jadi maha dahsyat yang hanya bisa kita pahami dengan hati yang bersih. Kalau sudah begini, saya selalu saja teringat dengan ucapan Gde Prama. Hati yang kotor ibarat bumi yang diselumuti awan tebal, cahaya matahari pun tak mampu lagi menembusnya. Untuk itu, mari kita dengarkan suara hati dengan hati, bukan dengan telinga.


Bunyi yang memiliki getaran antara 20-20000 hz disebut

Lihat Filsafat Selengkapnya


Page 3

Awalnya saya sedikit bingung memikirkan judul yang eye-catching untuk catatan hari ini. Entah wangsit apa yang terlintas yang pada akhirnya membawa saya ke 20 dan 20.000 Hz ini.

Tapi tenang saja, saya jamin sejamin-jaminnya catatan kali ini sama sekali tidak membahas tentang sesuatu yang membuat anda bingung. Paling banter kelimpungan! Saya yakin kelimpungan itu pula yang sebagian dari kita terima ketika pertama kali diajar IPA toh. punten, saya masih gunakan istilah IPA untuk Ilmu Pengetahuan Alam yang terkesan berasal dari jaman si unyil masih beredar di TVRI.

Begini awalnya, ijinkan saya mengingatkan sedikit bahwa gelombang itu masih famili dekat dengan frekuensi. Jika kebetulan gelombang tersebut memiliki frekuensi pada kisaran 20 - 20.000 Hz (baca: Hertz) maka hampir dapat dipastikan makhluk hidup bisa mendengarnya. Karena konon frekuensi suara itu berada pada kisaran 20 - 20.000Hz.

Gampangnya begini saja, anda ambil kaset lalu putar dan dengarkan lantunan lagunya. Jika anda bisa mendengar, maka itulah yang disebut 20 - 20.000 Hz. Jika tidak, kemungkinan ada yang salah dengan pemutar musik anda atau ada yang salah dengan telinga anda. Pilihannya hanya 2; pergi ke service radio-tape atau ke dokter THT saja. Hehe...

Saya ingin ajak anda untuk sedikit berkelakar tentang frekuensi 20 - 20.000 Hz ini. Dari penjelasan diatas -yang mungkin saja tidak menjelaskan atau lebih tepatnya membingungkan- jelas bahwa gelombang itu bisa didengar jika frekuensinya ada pada kisaran 20 - 20.000 Hz, yang selanjutnya kita sebut sebagai bunyi. Alat dengarnya? Ya sudah tentu sama dengan alat yang kita gunakan untuk menikmati lantunan Jason Mraz. Telinga.

Frekeunsi Suara Hati

Semalam, sempat terbersit di benak saya ketika menyaksikan begitu banyak demonstrasi yang penuh teriakan, begitu banyak anak-anak yang bunuh diri dan berbuat kriminal, begitu banyak pasangan suami-istri yang berseteru, orang yang antri sembako gratis sampai para wakil rakyat terhormat yang kerap ditengarai bagi-bagi kue kekuasaan. Semua ini kejadian beruntun yang luar biasa dan seolah tanpa ujung.

Jika diintip dari sudut 20 - 20.000 Hz, sempat terpikir apakah mungkin ada yang salah dengan suaranya atau mungkin alat dengarnya yang tak lagi tokcer. Maksudnya begini, semua teriakan demonstran, anak-anak kecil, para ibu rumah tangga bisa jadi tidak ada pada kisaran 20 dan 20.000 Hz. Atau, bisa jadi telinga pemerintah, orang tuanya atau suami/istrinya yang tidak bisa (lagi) bekerja pada frekuensi 20 dan 20.000 Hz. Weleh! kok malah ngalor ngidul.

Sambil mencuil ujung pisang goreng ditangan, saya berkesimpulan -supaya tidak kalah dengan Pansus Century yang sudah mulai membuat kesimpulan- bahwa suara-suara hati seperti itu tidak akan pernah bisa didengar dengan telinga. Semua keluhan demonstran ke pemerintah, anak-anak korban keluarga, istri yang diperlakukan tidak adil oleh suami, wanita yang direndahkan pria, suaranya tidak akan bisa disampaikan dengan teriakan. Karena suara hati tidak akan berada pada frekuensi 20 - 20.000 Hz!

Itu sebabnya, bagi para ibu yang memiliki anak; bagi para suami yang memiliki istri; bagi para pemimpin yang memiliki bawahan. Pastikan anda memiliki "telinga" yang tak hanya mampu mendengar bunyi 20 - 20.000 Hz. Frekuensi suara hati tidak ada di kisaran ini. Maka gunakan indera lain selain telinga untuk mendengarkan suara ini. To see the unseen! Empati.

Apa yang terucap hanya 20 - 20.000Hz, tapi apa yang tersirat dari 20 - 20.000 Hz itu bisa jadi maha dahsyat yang hanya bisa kita pahami dengan hati yang bersih. Kalau sudah begini, saya selalu saja teringat dengan ucapan Gde Prama. Hati yang kotor ibarat bumi yang diselumuti awan tebal, cahaya matahari pun tak mampu lagi menembusnya. Untuk itu, mari kita dengarkan suara hati dengan hati, bukan dengan telinga.


Bunyi yang memiliki getaran antara 20-20000 hz disebut

Lihat Filsafat Selengkapnya