Bukti bukti tertua tentang masuknya Islam di Indonesia adalah ditemukannya sebuah batu nisan Fatimah binti Maimun di manakah makam tersebut?

INDONESIA adalah negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia. Keberadaan agama Islam di Indonesia ini memiliki sejarahnya sendiri.

Menurut catatan sejarah, terdapat beberapa teori tentang masuknya Islam ke Indonesia. Berikut ini penjelasan tentang teori-teori tersebut:

Teori Mekah/Arab

Menurut teori ini, Islam dibawa oleh pedagang yang berasal dari Mekah di abad 7 masehi. Ada tiga hal yang menjadi bukti kebenaran teori ini.

  • Adanya perkampungan Islam di Barus, Sumatera di tahun 674 masehi. Sesuai namanya, penghasilan utama dari kampung ini adalah kapur barus. Benda ini menjadi kesukaan dari Timur Tengah. Sehingga mengundang pedagang dari sana untuk datang ke Indonesia.
  • Ditemukannya makam Islam tertua Indonesia, tepatnya di Gresik, Jawa Tengah. Makam bernama Fatimah binti Maimun tersebut ditulis menggunakan ukiran kaligrafi arab bergaya kufi.
  • Adanya pemakaman Islam di wilayah Majapahit di Trowulan. Diyakini bahwa pada era kerajaan Majapahit sudah banyak orang yang memeluk agama Islam.

Pendukung teori Mekah diantaranya H. Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka), Ahmaad Mansyur Suryanegara, A.H. Jons, dan T.W. Arnold.

Adapun bukti teori Mekah menurut Hamka diantaranya.

Catatan Ibnu Batutah yang menjelaskan bahwa Raja Samudera Pasai menganut mazhab Syafi’i. Mazhab Syafi’i merupakan mazhab terbesar di Mesir dan Arab. Jika Islam yang berkembang di Indonesia berasal dari Persia, tentu sebagian besar penduduk Indonesia akan menganut aliran Syiah. Dan juga jika berasal dari Gujarat India maka mazhab penduduk Indonesia seharusnya bermazhab Hanafi seperi yang dianut masyarakat muslim India.

Selain itu, raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al-Malik yang biasa digunakan oleh raja-raja yang ada di Mesir.

Diungkapkan oleh A.H. Jhons. islamisasi di Indonesia dilakukan oleh para musafir. Kaum sufi Arab biasanya mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk mendirikan perguruan tarekat. Pendapat ini didasarkan pada penggunaan mazhab Syafi’i oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Mazhab Syafi’i merupakan mazhab terbesar yang dianut penduduk muslim Arab.

Adapun T.W. Arnold dalam bukunya The Preacing of Islam menjelaskan bahwa pada abad ke-7 Masehi di pesisir pantai barat Sumatra terdapat komunitas masyarakat muslim yang terdiri atas pedagang Arab. Komunitas ini terbentuk sebagai akibat dari pedagang Arab melakukan pernikahan dengan wanita lokal. Penyebaran Islam ini dibuktikan dengan adanya penemuan batu nisan makam Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, Jawa timur.

Ahmad Mansyur Suryanegara menyatakan pendapat bahwa ketika Nabi Muhammad masih hidup telah terjalin hubungan perdagangan antara pedagang Arab dengan pedagang Indonesia. Islam sudah memulai ekspedisi perdagangan pada masa pemerintahan Khalifah Abu Bakar. Bukti kedatangan dan penyebaran Islam di Indonesia dapat dilihat dari catatan India, Cina, dan Arab.

Teori Gujarat/India

Menurut teori ini, Islam dibawa ke Indonesia oleh pedagang yang berasal dari Gujarat pada abad ke 13 Masehi.

Teori ini pertama kali dicetuskan oleh J. Pijnapel. Teori ini kemudian mendapat dukungan dari beberapa tokoh diantaranya Snouck Hurgronje, W.F. Sutterheim, dan Sucipto Wirjosuparto.

Menurut J. Pijnapel, orang-orang Islam bermazhab Syafi’i telah bermukim di Gujarat dan Malabar sejak abad ke-7 masehi. Menurutnya penyebaran Islam di Indonesia tidak langsung dilakukan oleh para pedagang Arab, akan tetapi oleh pedagang Gujarat yang telah memeluk Islam, kemudian berdagang di Indonesia.

Snouck Hugronje menjelaskan bahawa Islam masuk di Indonesia dari kota-kota di anak Benua India seperti Gujarat, Bengali, dan Malabar karena Islam lebih dahulu berkembang di kota-kota tersebut. Dalam bukunya berjudul L’arabie et Les Indes Neerlandaises, Snouck Hurgronje menjelaskan bahwa teori Gujarat didasarkan pada peranan orang-orang Gujarat yang telah membuka hubungan dagagang dengan masyarakat Indonesia sebelum pedagang Arab.

Menurut Sucipto Wiryosuparto, teori Gujarat didasarkan atas bukti berikut:

  • Corak batu nisan makam Sultan Malik as-Saleh dan Maulana Malik Ibrahim mempunyai kemiripan dengan corak nisan yang ada di Gujarat.
  • Hubungan dagang antara penduduk Indonesia dan India telah lama terjalin, melalui jalur perdagangan Indonesia-Cambay-Timur Tengah-Eropa.

Teori Persia

Menurut teori Persia, Islam di Indonesia berasal dari Persia. Menurut teori ini, Islam dibawa oleh pedagang yang asalnya dari Iran pada abad 11. Adapun pencetus dari teori ini yaitu Hoesein Djajadiningrat dan Oemar Husein.

Bukti-bukti teori menurut Hoesein Djajadiningrat Persia diantaranya sebagai berikut:

  • Kemiripan budaya dan tradisi yang berkembang antara masyarakat Persia dan Indonesia. Tradisi tersebut antara lain tradisi perayaan 10 Muharram atau Asyuro sebagai hari suci kaum Syiah atas wafatnya Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad dan tradisi Tabot yang berkembang di Bengkulu.
  • Ajaran sufi Widhatul Wujud Syekh Siti Jenar dari Jawa Tengah yang mempunyai kesamaan dengan ajaran sufi Al-Hallaj dari Persia.
  • Kesamaan seni kaligrafi yang terpahat di nisan makam Islam di Indonesia dengan makam di Persia.
    Penggunaan gelar syah pada raja-raja Islam di Indonesia.

Bukti-bukti yang disampaikan oleh Hoesein Djajadiningrat didukung oleh Oemar Amir Husein dengan mengemukakan bukti tambahan sebagai berikut.

Di Persia terdapat suku bernama Leran. Kemungkinan besar suku Leran tersebut berasal dari Jawa. Hal ini didukung dengan adanya kampung bernama Leran yang terletak di Jawa Timur. Sementara di Persia terdapat suku Jawi. Suku Jawi diduga mengajarkan huruf Arab di Jawa. Huruf Arab itu disebut dengan huruf Arab Pegon yang sering digunakan dalam naskah kuno masa kerajan Islam.

Teori Cina

Menurut teori ini, proses kedatangan Islam di Indonesia berasal dari para perantau Cina. Orang Cina telah berhubungan dengan masyarakat Indonesia jauh sebelum Islam dikenal di Indonesia. Pada masa Hindu-Buddha orang Cina telah berbaur dengan penduduk Indonesia, terutama melalui kontak dagang. Bahkan, ajaran Islam telah sampai di Cina pada abad Vll Masehi saat Islam sedang berkembang.

Sumanto Al-Qurtuby dalam bukunya Arus Cina Islam-Jawa menyatakan bahwa pada abad Vll Masehi, di daerah Kanton, Zhang-Zhao, Quanzhou, dan pesisir Cina bagian selatan telah terdapat sejumlah permukiman Islam.

Menurut sejumlah sumber lokal (kronik) diketahui bahwa raja Islam pertama di Demak, yaitu Raden Patah merupakan keturunan Cina. Kenyataan Ini dikarenakan ibu Raden Patah berasal dari Campa, Cina bagian selatan.

Berdasarkan Sajarah Banten dan” Hikayat Hasanuddin nama dan gelar raja-raja Demak beserta leluhurnya ditulis dengan menggunakan istilah Cina seperti Cek Ko Po, Jin Bun, Cek Ban Cun, Cun Geh, dan Cu-cu. Nama-nama seperti Munggul dan Moechoel ditafsirkan merupakan kata lain dari Mongol, sebuah wilayah di utara berbatasan dengan Rusia. []

SUMBER: SYNAOO | PAHAMIFY

Nisan Leran bertakik yang dijadikan bukti oleh Ludvik Kalus dan Claude Guillot bahwa lima nisan Leran adalah jangkar dan pemberat kapal. Foto: dok. Ludvik Kalus dan Claude Guillot, 1985.

BATU nisan Fatimah binti Maimun di Leran, Gresik, Jawa Timur dianggap sebagai bukti tertua kehadiran Islam di Pulau Jawa. Meskipun demikian, hal itu belum berarti adanya islamisasi yang meluas di daerah Jawa Timur.

Masyarakat setempat menciptakan legenda bahwa nisan itu adalah kuburan seorang putri raja bernama Putri Dewi Suwari, yang berperan dalam islamisasi Pulau Jawa. Tidak jauh dari Leran, terdapat nisan Maulana Malik Ibrahim, mubalig pertama yang datang dari India untuk menyebarkan Islam, yang meninggal pada 822 Hijriyah (1419 M). Karena itu, legenda lokal menghubungan Dewi Suwari dengan Maulana Malik Ibrahim sebagai murid atau istri sehingga Dewi Suwari menjadi pribumi pertama yang memeluk Islam. Sajarah Banten yang ditulis tahun 1662 atau 1663, sebagai sumber tertulis tertua yang menyebut situs Leran, menyebutkan masa islamisasi Tanah Jawa di mana tokoh Leran, Putri Dewi Suwari ditunangkan dengan raja terakhir Majapahit.

Menurut arkeolog Prancis, Ludvik Kalus dan Claude Guillot, “Nisan Leran (Jawa) Berangka Tahun 475 H/1082 M dan Nisan-nisan Terkait,” termuat dalam Inskripsi Islam Tertua di Indonesia, nisan Leran sudah lama dikenal oleh masyarakat setempat, tetapi tidak terdapat –dalam teks tertulis, legenda, ataupun peninggalan purbakala– unsur apa pun yang mengaitkannya dengan konteks sejarahnya yang benar di abad ke-11. Segala data cenderung menempatkannya dalam satu periode yang kira-kira sama dengan abad ke-15, yaitu masa islamisasi awal Pulau Jawa.

Advertising

Advertising

Nisan Leran baru diteliti secara ilmiah pada 1920-an oleh peneliti Belanda J.P Moquette dan peneliti Prancis, Paul Ravaisse. Dari hasil inskripsi oleh Moquette dan kemudian Ravaisse menyajikan beberapa perbaikan, terbaca bahwa nisan itu bukan milik Putri Dewi Suwari, tetapi “ini makam orang perempuan yang tidak berdosa, tidak menyimpang, bint Maymun bin Hibat Allah. Dia meninggal hari Jumat delapan Rajab, tahun empat ratus tujuh puluh lima.”

Ravaisse membaca tahun meninggalnya 475 H (1082 M) yang lebih banyak diterima, sedangkan Moquette membacanya tahun 495 Hijriyah (1102 M). Jelas, tahun kematian Fatimah jauh sekali dengan Maulana Malik Ibrahim.

Siapakah Fatimah binti Maimun? Ada peneliti, seperti N.A. Baloch dari Pakistan, yang beranggapan bahwa Fatimah adalah putri dari Dinasti Hibatullah di Leran yang dibangun pada abad ke-10. Anggapannya didasari oleh keindahan tulisan kaligrafi kufi pada nisannya.

“Saya tidak sependapat dengan Baloch karena tidak ditemukan kata sultanat sebelum namanya,” tulis arkeolog Uka Tjandrasasmita dalam Arkeologi Islam Nusantara. “Oleh karena itu, menurut saya, itu hanyalah nisan kubur masyarakat biasa dan dianggap sebagai salah satu data arkeologis yang berkenaan dengan fakta komunitas Muslim pertama yang ditemukan di kawasan pantai utara Jawa Timur.”

Sependapat dengan Uka, Kalus dan Guillot menyatakan bahwa “bint Maymun bin Hibat Allah rupanya berasal dari golongan sosial sederhana (dia tidak memiliki gelar apa pun!).”

Selain nisan Fatimah sebagai nisan utama yang disimpan di Museum Trowulan, ternyata ada empat nisan lain. “Karena bentuk dan jenis batunya, nisan-nisan itu ternyata berkaitan erat dengan nisan utama. Tetapi inskripsinya jauh lebih rusak dan karena itu dikesampingkan selama ini,” tulis Kalus dan Guillot, yang meneliti nisan-nisan itu pada tahun 1999 dan 2000. Dengan demikian, kelima nisan itu harus dibahas satu kesatuan dan disebut “nisan-nisan Leran.”

Berangkat dari sinilah, Kalus dan Guillot, mengemukakan pendapat yang mencengangkan. Menurut mereka, andaikata nisan-nisan itu dibuat di tempat, maka harus dianggap adanya sebuah bengkel di Leran. Namun, tidak mungkin tokoh sederhana itu (Fatimah, red) menyebabkan adanya sebuah bengkel di daerah yang begitu terpencil.

Tidak hanya itu, satu nisan memiliki takik (torehan yang agak dalam). Kalus dan Guillot membandingkan nisan bertakik itu dengan sebuah nisan berinskripsi dari periode yang sama (abad ke-11) dari daerah sekeliling Laut Kaspia, yang diubah menjadi jangkar oleh tukang batu.

“Kelima nisan Leran itu rupanya diambil dari pekuburan aslinya untuk dipakai sebagai tolak bara (pemberat, red) pada sebuah kapal, sementara salah satunya digunakan sebagai jangkar. Menurut kami, itulah caranya batu-batu itu sampai ke Jawa,” tulis Kalus dan Guillot. Batu-batu itu sampai di Jawa kemungkinan besar antara abad ke-12 dan ke-14 karena pelabuhan Leran berhenti berfungsi pada abad ke-14. Dan di Nusantara, produksi lokal nisan baru muncul pada abad ke-14 di Trowulan, tempat yang tidak jauh dari Leran.

Kalau demikian, apakah daerah asal batu-batu itu dapat dikenali? Kalus dan Guillot mengakui cukup sulit: “tulisannya bersifat unik meskipun beberapa unsurnya mengarah ke lingkungan Iran; teks inskripsinya mengingatkan pada Mesir namun bukan negeri itu saja; bingkai bersulur gelung menghasilkan kesimpulan yang sama; akhirnya jenis batunya sama sekali tidak mengarah kepada suatu sumber saja.”

Kalus dan Guillot pun menyimpulkan “kehadiran Islam di Pulau Jawa tidak dibuktikan oleh nisan-nisan Leran; nisan tersebut terbawa ke sana secara kebetulan saja setelah diangkat dari tempat asalnya dan dipergunakan sebagai jangkar dan tolak bara (pemberat kapal) dalam sebuah kapal asing.”

Memang, Kalus dan Guillot menegaskan “meninjau (baru atau ulang) prasasti kuno yang ada dapat mengguncang berbagai gagasan yang telah diterima sebagai kenyataan. Maka sejarah sebagaimana telah ditulis perlu dipertanyakan.”