Bidang bidang yang masih menjadi wewenang pemerintah pusat adalah kecuali

Urusan Agama sebagai Urusan Pemerintahan Absolut
Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU 23/2014).
Pertama-tama, yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah kekuasaan pemerintahan yang menjadi kewenangan Presiden yang pelaksanaannya dilakukan oleh kementerian negara dan penyelenggara pemerintahan daerah untuk melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.[1] Urusan pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum.[2]
Menyambung pertanyaan Anda, urusan pemerintahan absolut diuraikan sebagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.[3] Lebih lanjut Pasal 10 ayat (1) UU 23/2014 mengatur bahwa:
Urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi:
  1. politik luar negeri;
  2. pertahanan;
  3. keamanan;
  4. yustisi;
  5. moneter dan fiskal nasional; dan
  6. agama.
Akan tetapi, perlu diperhatikan ketentuan pada Pasal 10 ayat (2) UU 23/2014, yang berbunyi:
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah Pusat:
  1. melaksanakan sendiri; atau
  2. melimpahkan wewenang kepada Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.
Perlu dipahami lebih dulu bahwa asas dekonsentrasi adalah pelimpahan sebagian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat, kepada instansi vertikal di wilayah tertentu, dan/atau kepada Gubernur dan Bupati/Wali Kota sebagai penanggung jawab urusan pemerintahan umum.[4]
Kemudian Penjelasan Pasal 10 ayat (1) huruf f UU 23/2014 menguraikan bahwa yang dimaksud dengan urusan pemerintahan absolut berupa urusan agama misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggara kehidupan keagamaan, dan sebagainya. Daerah dapat memberikan hibah untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan keagamaan sebagai upaya meningkatkan keikutsertaan daerah dalam menumbuhkembangkan kehidupan beragama, misalnya penyelenggaraan Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), pengembangan bidang pendidikan keagamaan, dan sebagainya.
Pembangunan Rumah Ibadat
Menjawab pertanyaan Anda terkait kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota untuk membangun rumah ibadat, kami akan berpedoman pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat (Peraturan Bersama Menteri).
Pada pokoknya, pemeliharaan kerukunan umat beragama menjadi tanggung jawab bersama umat beragama, pemerintahan daerah, dan pemerintah. Terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama di provinsi menjadi tugas dan kewajiban Gubernur yang dibantu oleh Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi. Sementara pada tingkat kabupaten/kota, menjadi tugas dan kewajiban Bupati/Walikota yang dibantu oleh Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota.[5]
Dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh pemerintah.[6] FKUB dibentuk di provinsi dan kabupaten/kota yang dilakukan oleh masyarakat dengan difasilitasi oleh Pemerintah Daerah.[7] Salah satu tugas FKUB adalah memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.[8]
Ketentuan mengenai pendirian rumah ibadat sendiri diatur dalam Pasal 13 sampai Pasal 17 Peraturan Bersama Menteri. Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan di wilayah kelurahan/desa. Pendirian rumah ibadat dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan.[9]
Baca juga: Persyaratan Pendirian Rumah Ibadat
Lebih lanjut, Pasal 26 ayat (2) Peraturan Bersama Menteri mengatur bahwa:
Belanja pelaksanaan kewajiban menjaga kerukunan nasional dan memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat di bidang pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan FKUB dan pengaturan pendirian rumah ibadat di kabupaten/kota didanai dari dan atas beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.
Dengan demikian, perbuatan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota yang membangun rumah ibadat dengan dana yang diperoleh dari Anggaran Pendapatan Belanda Daerah (APBD) kabupaten/kota pada dasarnya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di sisi lain, kami juga tidak menemukan ketentuan spesifik dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah yang melarang pembangunan aset daerah berbentuk rumah ibadat.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
  1. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah;
  2. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat;
  3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah.

[1] Pasal 1 angka 5 UU 23/2014
[2] Pasal 9 ayat (1) UU 23/2014
[3] Pasal 9 ayat (2) UU 23/2014
[4] Pasal 1 angka 9 UU 23/2014
[5] Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 Peraturan Bersama Menteri
[6] Pasal 1 angka 6 Peraturan Bersama Menteri
[7] Pasal 8 ayat (1) dan (2) Peraturan Bersama Menteri
[8] Pasal 9 ayat (2) huruf e Peraturan Bersama Menteri
[9] Pasal 13 ayat (1) dan (2) Peraturan Bersama Menteri