Berikut merupakan strategi bangsa Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas kecuali

Siapkah Indonesia Menghadapi Liberalisasi Perdagangan?

16/07/2014 14:11:37

Oleh Benny Gunawan Ardiansyah, Pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan*

Indonesia merupakan salah satu negara yang sejak awal terlibat dan mendukung liberalisasi perdagangan, bahkan sejak awal Orde Baru Indonesia sudah berorientasi kebijakan ekonomi yang bersifat liberal dan pro pasar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi ekonomi berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia, misalnya dilihat dari peningkatan kinerja perdagangan. Sejak tahun 2003, liberalisasi perdagangan di ASEAN mampu meningkatkan volume perdagangan Indonesia, yang ditunjukkan dengan peningkatan yang lebih dari dua kali lipat pada volume ekspor dan impor selama periode 2003 s.d 2010. Tetapi, harus diingat bahwa liberalisasi perdagangan menjadi tidak seindah yang dibayangkan karena sebagian (besar) negara justru mengalami kerusakan ekonomi secara sistematis. Hal ini dikarenakan tidak semua negara mempunyai comparative advantage atau jika memiliki hal tersebut belum tentu menjadi kebutuhan negara lainnya. Joseph Stiglitz menyatakan bahwa perkembangan globalisasi dalam beberapa tahun terakhir malah menciptakan ketimpangan antar negara. Salah satu contoh adalah keikutsertaan Irlandia dalam Uni Eropa sejak tahun 1980-an yang tidak banyak memberikan manfaat bagi negara tersebut.

Agenda utama liberalisasi perdagangan adalah mereduksi hambatan perdagangan (trade barriers) baik untuk barang, jasa, hak milik intelektual maupun investasi. Dalam perjalanannya, konsep globalisasi tersebut mengalami perubahan dengan terbentuknya kelompok perdagangan berdasarkan kedekatan wilayah (integrasi regional) atau berdasarkan skala ekonomi. Implementasi adanya fenomena tersebut adalah terbentuknya berbagai Free Trade Area (FTA). FTA sebagaimana diuraikan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) adalah sekelompok negara yang sepakat dengan penghapusan sebagian besar hambatan perdagangan dalam bentuk tariff (Bea masuk) dan non-tariff. Tujuan utama pembentukan FTA adalah menciptakan kemudahan akses pasar yang dapat menjadi peluang sekaligus ancaman bagi suatu negara. Indonesia telah melakukan berbagai FTA, baik berupa FTA regional seperti ASEAN FTA (AFTA), ASEAN-China FTA (ACFTA), ASEAN-Korea FTA (AKFTA), ASEAN-India FTA (AIFTA), ASEAN-Australia-New Zealand FTA (AANZFTA) dan ASEAN-Japan Comprehensive Economic Partnership (AJCEP) maupun FTA bilateral seperti Indonesia-Japan Economic Partnership.

Sebagian besar teori menyatakan bahwa globalisasi dalam bentuk integrasi regional akan menghasilkan manfaat yang setara. Keunggulan komparatif yang dimiliki anggota blok perdagangan bukan bertujuan menggusur pangsa pasar negara tertentu, tetapi lebih pada pemenuhan permintaan secara bersama-sama. Liberalisasi perdagangan di Asia terbukti dapat meningkatkan perdagangan, terutama jika mengikuti keanggotaan Regional Trading Arrangement (RTA). Bahkan. jika terdapat FTA yang dirancang dengan baik dapat memberikan manfaat yang maksimal bagi anggotanya. Hasil survei menunjukkan bahwa 32% perusahaan-perusahaan di China, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Filipina, Singapura dan Thailand telah memanfaatkan keberadaan FTA dengan baik. Namun demikian, terdapat juga beberapa pendapat yang bersifat kontra, misalnya FTA kurang membawa dampak terhadap peningkatan kinerja sektor manufaktur. Hasil penelitian terhadap negara-negara Afrika menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan meningkatkan pendapatan masyarakat dan berujung terhadap peningkatan permintaan produk untuk kebutuhan domestik. Saat industri domestik belum siap, maka menghasilkan peningkatan impor yang signifikan dan yang terjadi bukanlah perbaikan ekonomi, melainkan memburuknya neraca perdagangan (balance of trade).

Dampak negatif sebagaimana tersebut di atas juga terjadi di Indonesia. Harus diingat bahwa Indonesia bukan termasuk negara yang berbasis ekspor karena perekonomiannya lebih mengandalkan tingkat konsumsi domestik. Sedangkan kontribusi net ekspor terhadap PDB relatif kecil serta komoditas yang diandalkan masih bertumpu kepada ekspor migas. Terdapat tuduhan bahwa memburuknya neraca perdagangan Indonesia diakibatkan adanya liberalisasi perdagangan. Tetapi, faktor utama penyebabnya adalah melajunya konsumsi domestik yang dipicu oleh besarnya jumlah penduduk dan tingginya tingkat pertumbuhan kelas menengah. Jika tidak disertai peningkatan kapasitas produksi nasional, maka akan terjadi peningkatan impor yang sangat besar. Lonjakan impor Indonesia sejak krisis global tahun 2007/2008 disertai dengan pelemahan laju ekspor mengakibatkan neraca transaksi berjalan menjadi defisit dan berujung terhadap stabilitas makro ekonomi Indonesia. Tetapi, jika Indonesia tidak mengikuti skema liberalisasi perdagangan tersebut maka hanya akan mengalami opportunity cost. Kerugian terjadi jika Indonesia tidak bergabung dalam perjanjian perdagangan dengan China, Jepang, Korea, India, Australia dan Selandia Baru, sementara negara-negara anggota ASEAN lainnya dapat bebas bertransaksi tanpa hambatan tarif. Perkembangan terakhir terhadap liberalisasi perdagangan yang dihadapi Indonesia dalam waktu dekat adalah :

Menjelang Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC)

Masyarakat Ekonomi ASEAN mensyaratkan bahwa sebelum tahun 2015 Asia Tenggara akan menjadi satu pasar tunggal dan basis produksi. Artinya semua rintangan perdagangan akan diliberalisasi dan arus perdagangan harus dibebaskan dari bea masuk sebagai bentuk hambatan perdagangan dan proteksionisme. Dengan demikian, akan terbentuk integrasi ekonomi ASEAN yang bertujuan meningkatkan daya saing kawasan, mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan standar hidup penduduk negara ASEAN.

Hasil penelitian oleh Pusat Kebijakan Kerjasama Regional Badan Kebijakan Fiskal menyimpulkan bahwa penerapan liberalisasi penuh di kawasan ASEAN dapat memberikan dampak positif terhadap Indonesia dalam bentuk peningkatan volume perdagangan, baik ekspor maupun impor; peningkatan PDB dan investasi serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Tetapi, walaupun dampaknya positif, besaran perubahan tersebut lebih kecil dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya.

Perluasan Perjanjian Kerjasama Dalam Bentuk RCEP

Keberadaan AFTA terbukti dapat meningkatkan kerjasama ekonomi di tingkat regional, sehingga terdapat keinginan untuk memperluas kerjasama antara ASEAN dengan beberapa mitra dagang seperti China, Jepang, Korea, India, Australia dan Selandia Baru. Perluasan FTA tersebut dilakukan dengan pembentukan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP), yaitu pembentukan sebuah kawasan perdagangan bebas baru yang melibatkan 15 negara dengan konsep pengikatan yang lebih mendalam. Diharapkan ide ini akan membentuk FTA dengan ukuran super besar dan menjadi sebuah perjanjian kemitraan ekonomi yang menguntungkan. Melalui RCEP diharapkan akan tercipta sebuah pasar terintegrasi yang mencakup lebih dari 3,3 milyar populasi dengan pendapatan domestik bruto (PDB) gabungan sebesar lebih dari US$ 19,7 trilyun. Dengan demikian, dapat menguasai hampir 50 persen perdagangan global.

Pemerintah Indonesia berkomitmen mendorong RCEP untuk segera dilaksanakan, bahkan meyakini bahwa kehadiran RCEP dapat mendatangkan kentungan karena akan membuat neraca perdagangan meningkat positif. Keberadaan FTA yang ada saat ini telah berdampak positif terhadap peningkatan ekspor Indonesia, meskipun masih didominasi barang-barang yang berbasis pada sumber daya alam. Market share produk-produk dari sektor energi dan sumber daya mineral cenderung meningkat dari 30,32% (tahun 2007) menjadi 37,56% (tahun 2011). Ketergantungan terhadap ekspor komoditas yang berasal dari sumber daya alam tidak akan menguntungkan perekonomian Indonesia karena sangat bergantung pada harga yang sangat fluktuatif dan pertumbuhannya akan terus melemah dalam jangka panjang.

Sementara itu, sebagai konsekuensi penurunan bea masuk maka terjadi peningkatan impor. Total impor Indonesia dalam periode 2007-2011 mencapai USD613,545 juta dan impor dari 15 negara mitra FTA mencapai 66,5% atau senilai USD408,021 juta. Tingginya pertumbuhan impor produk manufaktur termasuk bahan baku dan barang modal di Indonesia dalam periode 2007-2011 merupakan masalah yang sudah lama dan dapat menghambat penciptaan nilai tambah dan pertumbuhan industri karena rentan terhadap risiko ekonomi seperti fluktuasi nilai tukar.

Daya Saing Produk Indonesia

Faktor utama memburuknya kinerja ekspor bukan disebabkan faktor permintaan (demand side) melainkan sisi penawaran (supply side) atau dapat dikatakan bahwa terdapat persoalan kinerja ekonomi domestik yang berdampak pada rendahnya produktivitas produk ekspor Indonesia. Menurut World Economic Forum, beberapa faktor yang diduga menjadi penyebab rendahnya daya saing industri di tingkat mikro diantaranya (1) buruknya infrastruktur, (2) buruknya institusi dan kelembagaan pemerintah dan swasta terkait dengan pelayanan publik, (3) inefisiensi pasar barang industri, (4) pendidikan dan keahlian tenaga kerja yang belum memadai, (5) efisiensi pasar tenaga kerja yang rendah, (6) rendahnya kemampuan perusahaan untuk mengadopsi teknologi baru, (7) perkembangan pasar keuangan yang belum mendorong perkembangan industri, dan (8) rendahnya inovasi dan penerapan teknologi tinggi yang efisien.

Berdasarkan Industrial Development Report tahun 2011, industri manufaktur Indonesia mengalami penurunan peringkat daya saing dari 40 pada tahun 2005 menjadi peringkat ke-43 pada tahun 2009. Daya saing Indonesia yang diukur dengan indeks daya saing kinerja industri (Competitiveness Industrial Performance) masih di bawah negara-negara ASEAN, seperti Singapura, Thailand, Malaysia, dan Filipina. Gambaran daya saing komoditas ekspor diantara negara anggota dalam kerjasama RCEP menuntut Indonesia untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas produksi sehingga dapat bersaing dengan produk-produk serupa, menciptakan iklim usaha yang kondusif dalam rangka meningkatkan daya saing, memperluas akses pasar dan meningkatkan kemampuan dalam penguasaan teknologi informasi dan komunikasi termasuk promosi pemasaran dan lobby. Apabila tidak mempersiapkan diri dengan baik, maka Indonesia akan menjadi pasar bagi komoditas negara-negara lainnya.

Menolak bergabung dalam suatu perjanjian perdagangan bukan merupakan suatu pilihan bagi Indonesia. Indonesia dapat kehilangan kesempatan bertransakasi dengan tarif rendah dengan negara-negara tersebut dan negara-negara anggota ASEAN lainnya dapat memanfaatkan kekosongan tersebut. Indonesia perlu selektif dalam melakukan liberalisasi tarif perdagangan internasionalnya yaitu dengan membuka liberalisasi seluas-luasnya untuk komoditas unggulan dan tetap protektif terhadap komoditas yang kurang unggul, atau komoditas yang sangat dibutuhkan dalam pasar domestik tetapi memiliki daya saing yang relatif rendah. Oleh karena itu, pemerintah membutuhkan kebijakan fiskal yang mendukung kesinambungan perbaikan kinerja industri nasional, termasuk industri yang bersifat inward looking maupun dengan diversifikasi dan peningkatan kualitas produk ekspor.

*) Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi dimana penulis bekerja.

  • Siapkah Indonesia Menghadapi Liberalisasi Perdagangan Unduh