Berikut ini merupakan negara maju yang terkenal di industri pesawat terbangnya adalah

I. PENGANTAR

Berikut ini merupakan negara maju yang terkenal di industri pesawat terbangnya adalah

Pesawat adalah alat transportasi yang memiliki makna yang sangat penting untuk pengembangan ekonomi dan pertahanan, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan dengan kondisi geografis yang sulit ditembus tanpa alat transportasi yang memadai. Dari kondisi yang disebutkan di atas, muncul pemikiran bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia berada dalam posisi untuk memiliki industri maritim dan penerbangan. Hal ini menyebabkan lahirnya industri pesawat terbang di Indonesia.

II. UPAYA NASIONAL PEMBANGUNAN PESAWAT UDARA

   A. SEBELUM KEMERDEKAAN INDONESIA

Sejak mithologi boneka Indonesia, berkembang dalam kehidupan budaya orang Indonesia dan sosok Gatotkaca menjadi tokoh legendaris sebagai 'pahlawan terbang', keinginan orang Indonesia untuk memiliki kemampuan terbang sejak saat itu sangatlah tinggi.

Pada era pemerintah kolonial Belanda, tidak ada program desain pesawat terbang, melainkan mereka melakukan serangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pembuatan lisensi, evaluasi teknis dan keselamatan untuk semua pesawat yang beroperasi di seluruh Indonesia. Pada tahun 1914, Bagian Uji Terbang (Bagian Uji Terbang) didirikan di Surabaya dengan tugas untuk mempelajari kinerja penerbangan pesawat di wilayah tropis.

Kemudian pada tahun 1930, diikuti oleh pembentukan Bagian Produksi Pesawat (Bagian Pembuatan Pesawat Udara) yang menghasilkan pesawat AVRO-AL Kanada, dimana badan pesawat yang dimodifikasi terbuat dari kayu lokal. Fasilitas manufaktur ini kemudian dipindahkan ke Lapangan Udara Andir atau Lapangan Terbang Andir (sekarang Bandara Husein Sastranegara).

Pada periode inilah minat untuk membuat pesawat dikembangkan di bengkel milik pribadi.

Pada tahun 1937, delapan tahun sebelum kemerdekaan Indonesia, dari permintaan pengusaha lokal dan beberapa pemuda Indonesia, yang dipimpin oleh Tossin membangun pesawat terbang di sebuah bengkel yang berlokasi di Jl. Pasirkaliki, Bandung. Mereka menamakannya pesawat PK. KKH. Pesawat ini pernah mengejutkan dunia penerbangan saat itu karena kemampuannya yang dapat terbang ke Belanda, Tiongkok dan sebaliknya. Sebelum ini, sekitar tahun 1922, Indonesia bahkan telah terlibat dalam modifikasi pesawat di rumah pribadi di Jl. Cikapundung, Bandung.

Pada tahun 1938, atas permintaan LW. Walraven dan MV. Patist - desainer PK. KKH - pesawat kecil dibangun di bengkel di Jl. Kebon Kawung, Bandung.

  B.  ERA KEMERDEKAAN

Segera setelah Kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, kesempatan orang Indonesia untuk mewujudkan impian mereka dalam membangun pesawat dengan kebutuhan mereka sendiri sudah terbuka lebar. Sejak saat itu, masyarakat mulai menyadari secara mendalam bahwa sebagai negara kepulauan, Indonesia akan selalu membutuhkan sarana transportasi udara demi kelancaran negaranya sendiri, dalam hal pembangunan ekonomi dan pertahanan nasional.

Pada tahun 1946, Biro Perencanaan & Konstruksi didirikan di TRI-Udara atau Angkatan Udara Indonesia (sekarang disebut TNI-AU). Disponsori oleh Wiweko Supono, Nurtanio Pringgoadisurjo, dan Sumarsono, sebuah lokakarya yang khusus didirikan di Magetan, dekat Madiun, Jawa Timur. Dari bahan sederhana sejumlah Zogling, pesawat ringan NWG-1 pun dibuat.

Pembuatan pesawat ini juga melibatkan Tossin, didukung oleh Ahmad, cs. Jumlahnya enam, pesawat itu digunakan untuk mengembangkan minat penerbangan bagi masyarakat Indonesia dan pada saat yang sama juga digunakan untuk memperkenalkan dunia penerbangan kepada para calon pilot yang siap mengikuti pelatihan penerbangan di India.

Kemudian pada tahun 1948 mereka berhasil membuat mesin pesawat pertama, ditenagai oleh mesin Harley Davidson, yang disebut WEL-X. Dirancang oleh Wiweko Supono, pesawat itu kemudian dikenal sebagai RI-X.

Era ini ditandai dengan munculnya sejumlah klub aeromodelling yang menyebabkan lahirnya pelopor teknologi penerbangan, bernama Nurtanio Pringgoadisuryo. Tetapi mereka harus menghentikan kegiatan ini karena Pemberontakan Madiun komunis dan agresi Belanda.

Pada periode ini kegiatan penerbangan dilakukan sebagai bagian dari revolusi fisik untuk kebebasan nasional. Pesawat yang tersedia disini dimodifikasi untuk misi tempur. Agustinus Adisutjipto adalah sosok yang paling luar biasa dalam periode ini, yang merancang dan menguji terbang sebuah pesawat serta menerbangkannya dalam pertempuran udara. Dia memodifikasi pesawat Cureng menjadi versi serangan darat.

Setelah era pendudukan Belanda berakhir, kegiatan yang disebutkan di atas dilanjutkan di Bandung di lapangan terbang Andir - yang kemudian dikenal sebagai Bandara Husein Sastranegara. Pada tahun 1953 kegiatan ini dilembagakan menjadi Seksi Percobaan (Bagian Percobaan). Dikelola oleh 15 anggota, yang berada di bawah pengawasan Komando Depot Perawatan Teknik Udara, dipimpin oleh Mayor Udara Nurtanio Pringgoadisurjo.

Berdasarkan desain Nurtanio, pada 1 Agustus 1954, bagian tersebut berhasil menerbangkan prototipe 'Si Kumbang', sebuah pesawat yang terbuat dari full logam dengan satu tempat duduk dan dibuat sebanyak tiga unit.

Pada tanggal 24 April 1957, berdasarkan Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara Indonesia No. 68, Seksi Percobaan dikembangkan menjadi organisasi yang lebih besar, bernama Sub Depot Penyelidikan, Percobaan & Pembuatan.

Pada tahun berikutnya, 1958, purwa-rupa pelatih dasar "Belalang 89" berhasil diterbangkan. Sebagai produksi berseri, pesawat setelahnya disebut Belalang 90 dan dibuat dalam 5 unit, dan mereka mengambil beberapa calon pilot terbaik di Akademi Angkatan Udara & Pusat Penerbangan Angkatan Darat (Akademi Angkatan Udara & Pusat Penerbangan Angkatan Darat). Pada tahun yang sama, pesawat sport "Kunang 25" diterbangkan. Filosofi dari pesawat ini adalah untuk memotivasi generasi muda Indonesia yang tertarik pada bidang pembuatan pesawat.

Untuk meningkatkan latar belakang aeronautika mereka, selama periode 1960an – 1964, Nurtanio dan tiga kolega lainnya dikirim ke Far Eastern Air Transport Incorporated (FEATI) Filipina, salah satu universitas aeronautika pertama di Asia. Setelah menyelesaikan studi mereka, mereka kembali ke Bandung untuk bekerja di LAPIP.

Berikut ini merupakan negara maju yang terkenal di industri pesawat terbangnya adalah
Pesawat Belalang

Berikut ini merupakan negara maju yang terkenal di industri pesawat terbangnya adalah
Pesawat Kunang

Berikut ini merupakan negara maju yang terkenal di industri pesawat terbangnya adalah
Pesawat Sikumbang

III. UPAYA MEMBANGUN INDUSTRI PESAWAT

Sejalan dengan pencapaian yang telah diperoleh dan untuk memungkinkannya berkembang lebih cepat, berdasarkan Keputusan Kepala Staf Angkatan Udara Indonesia No. 488, Agustus 1960, Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP), Industri Penerbangan didirikan. Diresmikan pada 16 Desember 1961, badan tersebut memiliki fungsi mempersiapkan pendirian industri penerbangan dengan kemampuan untuk mendukung kegiatan penerbangan nasional di Indonesia.

Berkaitan dengan ini, pada tahun 1961 LAPIP menandatangani perjanjian kerja sama dengan CEKOP, industri pesawat Polandia, untuk membangun industri pesawat terbang di Indonesia. Kontrak tersebut mencakup pembangunan fasilitas pabrik pesawat terbang, pelatihan HR dan produksi, di bawah lisensi PZL-104 Wilga, yang kemudian dikenal sebagai Gelatik (burung beras). Pesawat yang diproduksi secara seri dalam 44 unit digunakan untuk mendukung kegiatan pertanian, transportasi ringan dan aero-klub.

Pada periode yang hampir sama, tahun 1965, melalui Keputusan Presiden, KOPELAPIP (Komando Pelaksana Industri Pesawat Terbang) atau Komando Eksekutif untuk Persiapan Industri Penerbangan dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari (Berdikari Aircraft Industry) didirikan.

Pada bulan Maret 1966, Nurtanio meninggal saat melakukan uji terbang pesawat, dan untuk memperingati kontribusinya yang berharga bagi negara dan bangsanya, KOPELAPIP dan PN. Industri Pesawat Terbang Berdikari kemudian bergabung ke LIPNUR / Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio atau Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio. Dalam pengembangan selanjutnya, LIPNUR memproduksi pesawat latih dasar bernama LT-200 dan membangun bengkel untuk layanan purna jual, pemeliharaan dan perbaikan & perbaikan.

Pada tahun 1962, berdasarkan Keputusan Presiden, Teknik Penerbangan ITB (Bagian Teknik Penerbangan ITB) didirikan sebagai bagian dari Departemen Mesin yang sebelumnya sudah ada. Oetarjo Diran dan Liem Keng Kie adalah pelopor penerbangan. Kedua tokoh tersebut ikut serta dalam Program Beasiswa Siswa Luar Negeri. Diprakarsai di tahun 1958, melalui program ini, sejumlah siswa Indonesia dikirim ke luar negeri (Eropa dan Amerika Serikat).

Sementara itu beberapa upaya lain dalam merintis pendirian industri pesawat terbang juga terus dilakukan oleh seorang pemuda Indonesia - B.J. Habibie - dari tahun 1964 hingga 1970an.

IV. PENDIRIAN INDUSTRI PENERBANGAN INDONESIA

  A.  PERIODE PELOPOR

Lima faktor utama yang mengarah pada pendirian IPTN adalah: Ada beberapa orang Indonesia yang sejak lama bermimpi untuk membangun pesawat terbang dan mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia; beberapa orang Indonesia yang memiliki penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk membangun pesawat terbang dan industri pesawat terbang; beberapa orang Indonesia selain menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan, mereka juga sangat berdedikasi untuk memanfaatkan keahlian mereka untuk pendirian industri pesawat terbang; beberapa orang Indonesia yang ahli dalam pemasaran dan penjualan pesawat terbang untuk lingkup nasional dan internasional; kemauan politik dari Pemerintah yang berkuasa.

Integrasi yang selaras dari faktor-faktor yang disebutkan di atas telah menjadikan IPTN sebagai industri pesawat terbang dengan fasilitas yang memadai.

Semuanya dimulai oleh Bacharuddin Jusuf Habibie, seorang pria yang lahir di Pare-pare, Sulawesi Selatan, pada 25 Juni 1936. Ia lulus dari Aachen Technical High Learning, Departemen Konstruksi Pesawat, dan kemudian bekerja di MBB (Masserschmitt Bolkow Blohm), sebuah industri pesawat terbang di Jerman sejak 1965.

Ketika ia akan mendapatkan gelar doktornya pada tahun 1964, ia memiliki keinginan kuat untuk kembali ke negaranya untuk berpartisipasi dalam program pembangunan Indonesia di bidang industri penerbangan. Namun manajemen KOPELAPIP menyarankannya untuk terus mencari pengalaman lebih banyak sambil menunggu kemungkinan membangun industri pesawat terbang. Pada tahun 1966, ketika Adam Malik, Menteri Luar Negeri Indonesia saat itu mengunjungi Jerman, ia meminta Habibie untuk menyumbangkan pemikirannya untuk realisasi Pembangunan Indonesia.

Menyadari bahwa upaya membangun industri pesawat terbang tidak akan mungkin dilakukan olehnya sendiri, Habibie memutuskan untuk mulai merintis untuk menyiapkan tenaga kerja terampil tinggi yang pada waktu yang ditentukan dapat kapan saja digunakan oleh industri pesawat terbang masa depan di Indonesia. Segera Habibie membentuk tim sukarela. Dan pada awal 1970 tim dikirim ke Jerman untuk mulai bekerja dan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang penerbangan di HFB / MBB, tempat Habibie bekerja, untuk melaksanakan perencanaan awal mereka.

Pada periode yang sama, kegiatan serupa juga dipelopori oleh Pertamina (Perusahaan Minyak Indonesia) dalam kapasitasnya sebagai agen pembangunan Indonesia. Dengan kapasitas seperti itu, Pertamina berhasil membangun Industri Baja Krakatau. Ibnu Sutowo, Presiden Pertamina saat itu, menyumbangkan pemikirannya bahwa proses alih teknologi dari negara maju harus dilakukan dengan konsep yang jelas dan berorientasi nasional.

Pada awal Desember 1973, Ibnu Sutowo bertemu dengan Habibie di Dusseldorf, Jerman, dimana ia memberikan penjelasan terperinci kepada Habibie tentang Pembangunan Indonesia, Pertamina dengan impian mendirikan industri pesawat terbang di Indonesia. Hasil pertemuan itu adalah pengangkatan Habibie sebagai Penasihat Presiden Pertamina dan ia diminta untuk segera kembali ke Indonesia.

Pada awal Januari 1974, langkah tegas menuju pendirian industri pesawat terbang telah diambil. Realisasi pertama adalah pembentukan divisi baru yang berspesialisasi dalam teknologi maju dan urusan teknologi penerbangan. Dua bulan setelah pertemuan Dusseldorf, pada 26 Januari 1974 Habibie dipanggil oleh Presiden Soeharto. Pada pertemuan itu Habibie diangkat sebagai Penasihat Presiden di bidang teknologi. Ini adalah hari pertama bagi Habibie untuk memulai misi resminya.

Pertemuan-pertemuan ini menghasilkan kelahiran Divisi ATTP (Teknologi Lanjutan & Teknologi Penerbangan Pertamina) yang menjadi tonggak bagi pendirian BPPT dan bagian dari IPTN.

Pada bulan September 1974, ATTP menandatangani perjanjian dasar untuk kerjasama lisensi dengan MBB, Jerman dan CASA, Spanyol untuk produksi helikopter BO-105 dan pesawat sayap tetap NC-212.

  B. SI PENEMU

Ketika upaya pembentukannya mulai terlihat bentuknya, ada masalah yang dihadapi oleh Pertamina yang kemudian memengaruhi keberadaan ATTP, proyek dan programnya, yaitu tentang industri pesawat terbang. Tetapi menyadari bahwa Divisi ATTP dan proyeknya adalah kendaraan untuk mempersiapkan orang Indonesia 'lepas landas' untuk Pelita VI, maka Pemerintah memutuskan untuk melanjutkan pendirian industri pesawat terbang dengan segala konsekuensinya.

Mengenai hal ini, berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 12, 5 April 1976, persiapan industri pesawat terbang dilakukan. Melalui peraturan ini semua aset, fasilitas, dan potensi yang tersedia diakumulasikan meliputi aset Pertamina, Divisi ATTP yang telah dipersiapkan untuk pendirian industri pesawat terbang dengan aset LIPNUR, Angkatan Udara Indonesia, sebagai modal dasar untuk industri pesawat terbang. Modal dasar ini diharapkan dapat mendukung pertumbuhan industri pesawat terbang yang mampu menjawab semua tantangan.

Pada tanggal 26 April 1976, berdasarkan Akta Notaris No. 15, di Jakarta, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio secara resmi didirikan dengan Dr. BJ. Habibie sebagai Direktur Utama. Ketika fasilitas fisik industri ini selesai, pada Agustus 1976 Presiden Soeharto meresmikan industri pesawat terbang ini.

Pada 11 Oktober 1985, PT. Industri Pesawat Terbang Nurtanio dipindahkan ke PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara atau IPTN.

Dari titik inilah cakrawala baru pertumbuhan industri pesawat terbang modern dan lengkap di Indonesia baru saja dimulai. Pada periode inilah semua aspek infrastruktur, fasilitas, sumber daya manusia, hukum dan peraturan, dan yang terkait dan mendukung keberadaan industri pesawat terbang diselenggarakan secara terpadu. Sebelumnya, pada 1960an dan 1970an ini tidak pernah dipikirkan secara serius. Selain itu, industri ini juga mengembangkan teknologi yang progresif dan konsep transformasi industri yang ternyata memberikan hasil optimal dalam upaya penguasaan teknologi penerbangan dalam waktu yang relatif singkat yaitu 20 tahun.

IPTN memiliki pandangan bahwa transfer teknologi harus diimplementasikan secara integral, lengkap dan mencakup perangkat keras, perangkat lunak, dan perangkat otak di mana manusia adalah sebagai inti. Itulah manusia yang memiliki kemauan keras, kemampuan dan sudut pandang dalam sains, teori dan keahlian untuk mengimplementasikannya dalam karya nyata. Berdasarkan hal ini, IPTN telah menerapkan filosofi transfer teknologi yang disebut "Mulai di Akhir dan Akhir di Awal". Ini adalah filosofi untuk menyerap teknologi maju secara progresif dan bertahap dalam proses yang tidak terpisahkan dan berdasarkan pada kebutuhan obyektif Indonesia. Melalui filosofi ini kemudian dikuasai secara menyeluruh, tidak hanya material tetapi juga kemampuan dan keahlian. Filosofi ini juga dapat disesuaikan dengan perkembangan dan kemajuan yang dicapai oleh negara lain.

Filosofi ini mengajarkan bahwa dalam membangun pesawat tidak selalu dimulai dari komponen, tetapi secara langsung mempelajari akhir dari proses (pesawat yang sudah dibangun), kemudian membalikkan melalui fase pembuatan komponen. Fase transfer teknologi dibagi menjadi:

  • Fase pemanfaatan teknologi / Program Lisensi yang ada
  • Fase Integrasi Teknologi
  • Pengembangan Teknologi Fase, dan
  • Fase Penelitian Dasar

Sasaran fase pertama adalah penguasaan kemampuan manufaktur, dan pada saat yang sama memilah dan menentukan jenis pesawat yang memenuhi kebutuhan domestik; hasil penjualan digunakan untuk mendukung kemampuan bisnis perusahaan. Ini dikenal sebagai metode pembuatan progresif.

Fase kedua ditujukan untuk menguasai desain serta kemampuan manufaktur. Fase ketiga ditujukan untuk meningkatkan kemampuan desain diri. Fase keempat ditujukan untuk menguasai ilmu-ilmu dasar dalam rangka mendukung pengembangan produk-produk baru yang unggul.

   C. PARADIGMA, NAMA BARU

Selama 24 tahun terakhir pendiriannya, IPTN telah berhasil mentransfer teknologi penerbangan yang canggih dan mutakhir, sebagian besar dari belahan bumi barat, ke Indonesia. IPTN telah menguasai desain pesawat, pengembangan, dan manufaktur komuter regional kecil hingga menengah.

Dalam menghadapi sistem pasar global baru, IPTN mendefinisikan kembali dirinya menjadi 'IPTN 2000' yang menekankan pada penerapan strategi baru, berorientasi bisnis, untuk memenuhi situasi saat ini dengan struktur yang baru.

Program restrukturisasi meliputi reorientasi bisnis, membenarkan dan menyusun sumber daya manusia dengan beban kerja yang tersedia, dan kapitalisasi yang kuat berdasarkan pasar yang lebih fokus dan misi bisnis yang lebih terkonsentrasi.

IPTN kini menjual kemampuan tingginya di bidang teknik – dengan menawarkan desain untuk menguji layanan aktivitas, manufaktur, komponen pesawat dan non-pesawat serta layanan purna jual.

Dalam hubungan inilah nama IPTN telah diubah menjadi PT DIRGANTARA INDONESIA (PERSERO) atau Indonesian Aerospace disingkat IAe yang secara resmi diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid, di Bandung pada 24 Agustus 2000.