Berikut ini adalah hewan ternak yang dipelihara oleh masyarakat Arab sebelum Islam kecuali

Makkah - Pasar hewan di Kota Suci Makkah sangat ramai di musim haji dan menjelang Idul Adha. Hewan-hewan ternak sembelihan didatangkan ke pasar-pasar hewan ini. Pasar-pasar hewan ini selalui 'dikuasai' oleh orang-orang Arab Badui yang berpakaian warna merah.Ada tiga pasar (suuq al mawaasi) hewan di Makkah yang selalu ramai dikunjungi oleh para pembeli. Yaitu, Pasar Hewan Kaikiyah yang terletak di kawasan Misyfalah, Pasar Hewan Suraya di kawasan Jabal Nur, dan Pasar Hewan Jabal Qurban di kawasan Mina.Di musim haji seperti ini, pasar-pasar hewan ini dipadati para jamaah haji yang membayar dam (denda) berupa pemotongan hewan. Di setiap pasar hewan, disediakan fasilitas pemotongan hewan. Karena itu, jamaah haji yang membeli hewan ternak bisa langsung menyaksikan pemotongan hewan di kompleks pasar itu. Di tempat pemotongan, disediakan dokter hewan yang akan menyeleksi hewan ternak mana yang layak disembelih untuk dam atau kurban.Ada empat jenis hewan ternak yang dijajakan di pasar-pasar hewan di Makkah. Ada unta, kambing, domba, dan sapi. Namun jumlah sapi tampak sedikit. Yang paling banyak tersedia adalah kambing dan domba. Stok unta masih lebih banyak dibanding sapi. Harga domba dan kambing berkisar antara 250 hingga 600 Riyal, dilihat dari besar-kecilnya. Sedangkan harga unta sekitar 1.200 Riyal hingga 2.800 Riyal.Ada dua pasar hewan yang sudah dikunjungi reporter detikcom Arifin Asydhad, Selasa (3/1/2006), yaitu pasar hewan Kaikiyah dan Suraya. Dari dua pasar itu, yang menarik perhatian adalah ketika pembeli datang ke pasar ini, para warga Arab dari suku badui ini langsung mengejar-ngejar.Pria badui ini mengenakan pakaian warna merah dengan sebilah atau dua bilah pisau disarangkan di pinggangnya. Di sana, mereka dikenal dengan sebutan 'jazar' (pemotong/jagal). Merekalah yang bertugas memotong hewan-hewan ternak untuk dam. Jumlah orang Arab Badui ini sangat banyak. Ciri mereka, berkulit hitam dan berambut keriting.Mereka menawarkan jasa pemotongan kepada para jamaah haji. Untuk pemotongan dan pengulitan hewan ini, setiap pembeli hewan ternak akan dikenakan biaya khusus. Khusus untuk ternak domba, si pembeli akan dikenakan tarif sekitar 10-20 Riyal.Orang-orang Arab Badui yang bertugas memotong hewan ternak ini tidak sembarangan. Mereka harus sudah memiliki sertifikat khusus yang dikeluarkan pemerintah Arab Saudi. Di baju mereka, biasanya tertempel sebuah kartu yang mencirikan bahwa mereka sudah berhak menyembelih hewan kurban.Mereka sangat terampil dalam menyembelih. Untuk menyembelih 20 kambing, mereka hanya perlu waktu 5 menit. Ada sekitar 4 orang yang membantu sang jagal dalam menyembelih hewan. "Bismillahi Allahu Akbar," demikianlah yang diucapkan sang jagal saat menyembelih hewan ternak.Informasi yang didapatkan detikcom dari Ahmad, salah seorang WNI yang bermukim lama di Makkah, orang-orang Arab Badui yang menjadi jagal di Pasar Hewan Suraya ini sebagian besar tinggal di balik bukit di kawasan pasar. Mereka hidup di gunung-gunung dengan rumah-rumah yang terdiri dari tenda-tenda yang tidak permanen.Sebagian mereka termasuk warga miskin. Karena itu, banyak juga warga Arab Badui yang berdatangan ke Pasar Hewan untuk meminta daging hewan ternak sembelihan. Biasanya, mereka membawa karung-karung untuk menyimpan daging-daging.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT

(nrl/)

Perniagaan yang telah mendarah daging bagi warga Arab

saharamet.org

Ilustrasi kafilah dagang di gurun pasir

Rep: Dea Alvi Soraya Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Sebelum cahaya Islam menerangi jazirah Arab, warga Arab terbagi menjadi dua wilayah, yaitu Arab Badui (kampung) dan Arab Hadhari (perkotaan). Untuk bertahan hidup, warga Arab Badui menggantungkan sumber kehidupannya dengan beternak. Mereka hidup secara nomaden atau berpindah-pindah sambil menggiring ternak mereka menuju daerah dengan curah hujan tinggi atau ke padang rumput.

Mereka mengonsumsi daging dan susu hasil ternak, membuat pakaian, kemah, dan perabot dari wol (bulu domba)serta menjualnya jika keperluan pribadi dan keluarganya sudah terpenuhi. Untuk mengukur taraf kekayaan seorang warga Arab Badui maka hitunglah jumlah hewan ternak yang mereka miliki. Karena semakin banyak hewan ternak maka semakin tinggi pula derajat sosial mereka.

Adapun warga Arab perkotaan memiliki dua bagian, yaitu penduduk yang tinggal di wilayah subur, seperti Yaman, Thaif, Madinah, Najd, Khaibar, dan Makkah. Warga di wilayah tersebut ter- biasa menggantungkan sumber kehidupannya melalui pertanian. Meski begitu, ada pula warga yang bekerja di bidang perniagaan, terutama mereka yang tinggal di Makkah. Kala itu, Makkah merupakan pusat perniagaan.

Selain memiliki profesi yang berbeda, warga Makkah juga dipandang lebih istimewa oleh orang-orang Arab lain karena kedudukan mereka sebagai warga Kota Suci (Makkah). Keistimewaan ini ternyata tertulis dalam firman Allah SWT.

Dan apakah mereka tidak memperhatikan bahwa sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang bathil dan ingkar kepada nikmat Allah? (QS al-Ankabut:67).

Aktivitas perdagangan ini juga dilakukan oleh kalangan bangsawan, seperti Hasyim, Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas, Abu Sufyan bin Harb, Abu Bakar, Zubair bin Awwam, bahkan Rasulullah SAW.Allah SWT juga mengabadikan perjalanan dagang yang dilakukan orang- orang Quraisy sebagai perjalanan dagang yang sangat terkenal, yaitu perjalanan musim dingin menuju Yaman dan sebaliknya, perjalanan dagang musim panas ke Syam.

Allah berfirman, Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Rabb pemilik rumah ini (Ka'bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.(QS Quraisy: 1-4).

Perniagaan yang telah mendarah daging bagi warga Arab membuat makin menjamurnya pusat-pusat perdagangan di berbagai wilayah di Arab, terutama Makkah dan sekitarnya. Pusat perda gangan ini bukan hanya sebagai tempat transaksi perdagangan, tetapi juga pusat pertemuan para pakar sastra, penyair, dan orator. Pusat perbelanjaan pun menjelma menjadi pusat peradaban, kekayaan bahasa, dan transaksi-transaksi global.

Selain penduduk Makkah, penduduk Yaman juga terkenal dengan perniagaan.Mereka menjadikan perniagaan sebagai mata pencaharian terbaik dalam mencari rezeki. Kegiatan bisnis mereka tidak sebatas di darat, tetapi juga merambah melintasi laut. Warga Yaman terbiasa berangkat ke daerah pesisir Afrika, seperti Habasyah, Sudan, Somalia, bahkan ke Hindia dan Pulau Jawa, Sumatra, serta negeri Asia lainnya untuk berdagang.

Setelah cahaya Islam menyinari Arab, pedagang yang melakukan perjalanan panjang ke berbagai negara tersebut bukan hanya menjajakan dagangan mereka, tapi juga menyiarkan agama yang dibawa Rasulullah SAW. Para pedagang ini pula yang memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di penjuru dunia.

  • peradaban islam
  • suku arab

Berikut ini adalah hewan ternak yang dipelihara oleh masyarakat Arab sebelum Islam kecuali

Silakan akses epaper Republika di sini Epaper Republika ...

Suku-suku di Semenanjung Arabia pra-Islam banyak menggantungkan mata pencaharian mereka kepada binatang ternak. Para pakar bahasa berpendapat bahwa kata al-an’am (binatang ternak) merupakan bentuk jamak, sedangkan bentuk tunggalnya ialah an-na’am, yakni harta piaraan. Apa harta piaraan yang paling populer di Semenanjung Arab?

Jawabnya adalah unta, bukan kuda, bukan keledai, bukan pula domba, sapi atau kerbau.

Al-Farra’ berpendapat bahwa nama itu (al-ibil) adalah bentuk mudzakkar (laki-laki) yang tidak dapat dibuat bentuk mu’annats (perempuan). Para pakar bahasa menyatakan: ini adalah seekor unta (hadza an-na’amu); bentuk pluralnya adalah na’man, sebagaimana kata hamal yang memiliki bentuk plural hamalan.

Kata al-an’am bisa dijadikan mudzakkar (lelaki) dan bisa juga dibuat mu’annats (perempuan). Allah Swt berfirman, “Min ma fi buthunihi” dan “min ma fi buthuniha.”

Bentuk pluralnya adalah ana’im. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa kata an-na’am (binatang ternak) ini meliputi unta, sapi, dan kambing.

Suku-suku Arab memelihara binatang-binatang ternak dan memberikan perhatian ekstra dalam perawatan-perawatannya, sebab ternak itu menyuplai mereka dengan, apa yang kita sebut dalam bahasa ekonomi modern sebagai barang konsumsi dan barang produksi, atau investasi. Hasil ternak yang termasuk kategori barang jenis pertama adalah daging dan susu yang mampu memenuhi kebutuhan mereka akan makanan dengan cara langsung.

Kategori jenis kedua adalah kulit, bulu domba (wol), dan bulu. Semua ini mereka gunakan untuk produksi barang atau pernik-pernik yang dibutuhkan sebagai busana. Beberapa jenis hewan juga digunakan sebagai kendaraan sekaligus angkutan, sehingga lebih memudahkan mereka dalam melakukan transaksi bisnis dengan pelbagai komunitas liyan.

Syair jahili yang merupakan potret hidup bangsa Arab marak dengan penyebutan kosakata “unta”. Hal ihwal ini jelas mengindikasikan urgensitas fungsi yang dimiliki unta dalam kehidupan suku-suku Arab pra-kerasulan Nabi Muhammad saw.

Begitu Islam datang, ia juga memberikan perhatian khusus pada binatang-binatang ternak. Bahkan di dalam Alquran, terdapat satu surah penuh yang diberi nama al-An’am (yang berarti binatang ternak).

Banyak pula ayat-ayat yang menyebutkan kata an’am (binatang ternak) dengan beragam fungsi dan kegunaannya, di antaranya:

Dan Dia menciptakan binatang ternak untuk kamu; padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan pelbagai manfaat, dan sebagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan. Dan ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri (QS. An-Nahl [16]: 5-7).

Dan Allah menjadikan bagimu rumah-rumahmu sebagai tempat tinggal dan Dia menjadikan bagi kamu rumah-rumah (kemah-kemah) dari kulit binatang ternak yang kamu merasa ringan (membawa)nya di waktu kamu berjalan dan juga di waktu kamu bermukim serta(dijadikannya pula) dari bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing, alat-alat rumah tangga dan perhiasan (yang kamu pakai) sampai waktu (tertentu) (QS. An-Nahl [16]: 80).

Dan sesungguhnya pada binatang-binatang ternak, benar-benar terdapat pelajaran yang penting bagi kamu, Kami memberi minum kamu dari air susu yang ada dalam perutnya, dan (juga) pada binatang-binatang ternak itu terdapat faedah yang banyak untuk kamu, dan sebagian darinya kamu makan (QS. Al-Mu’minun [23]: 21).

Baca juga:  Sabilus Salikin (7): Tarekat, Cara Mengamalkan Syariah

Pada ayat-ayat di atas disebutkan secara global akan manfaat-manfaat binatang ternak, baik yang berupa fungsi materiil maupun spiritual, yang tidak perlu lagi didedahkan panjang lebar.

Kata binatang ternak disebutkan dalam Alquran dengan beragam formulasi bentuk kata: al-an’am, an’aman, an’amakum, dan an’amahum, sebanyak 32 kali, dan ini membuktikan tingkat perhatian Islam yang tinggi pada binatang ternak.

Bahkan, menurut Khalil Abdul Karim (2003), unta dalam banyak kasus diperlakukan sebagai alat tukar (mata uang), mengingat ketidaklaziman interaksi komunitas tribalisme dengan mata uang, kecuali Mekkah yang memang merupakan pusat perdagangan. Oleh karena itu, sudah merupakan tradisi, mahar dan diyat dibayar dengan sejumlah unta sesuai situasi dan kondisinya.

Dan, Abdul Muthalib-lah orang pertama yang menetapkan pembayaran denda bagi pembunuh dengan 100 ekor unta. Selanjutnya tradisi ini diadopsi oleh Islam.

Tatkala Islam datang, unta tetap menempati posisi pentingnya sebagai alat tukar dalam proses barter dan dalam segala aspek transaksi, terutama yang menyangkut masalah moneter (keuangan).

Dalam kewajiban zakat misalnya, unta memiliki peran signifikan, baik dalam penentuan jumlah nishab yang mewajibkan pengeluaran zakat atas kepemilikannya, maupun dalam penentuan persentase zakat yang harus dikeluarkan. Bahkan, proses ini tidak terbatas pada penentuan jumlah unta saja, tetapi juga melibatkan proses identifikasinya secara sempurna, meliputi jenis-jenis unta itu sendiri dari segi jenis kelamin (jantan atau betina), juga dari segi umur dan gigi.

Baca juga:  Sejarah Singkat Sandal

Perihal yang paling mengagetkan tentang elitisme posisi uta di kalangan bangsa Arab prakerasulan Muhammad adalah pernyataan Ahmad Fathi Bahnesi (1972: 158) yang memandang bahwa ketika seorang hakim ingin memberatkan vonis hukuman atas seorang penjahat berdasarkan kejahatan yang dilakukannya, maka pemberatan itu harus mengacu pada unta, sebab syara’ telah mengatur ketentuan ini, dan muqaddarat (ketentuan-ketentuan baku) tidak bisa diketahui kecuali lewat proses sima’i (taken for granted, bukan lewat proses reasoning).

Jadi, tidak ada penalaran logis dalam menentukan pemberatan hukuman ini, sampai-sampai jika seorang hakim memutuskan hukuman tanpa ketentuan yang baku, dan malah berpatokan pada selain unta, maka keputusannya tidak berlaku.

Hal ini bisa jadi kita tilik, misalnya, penegasan Bahnesi, bahwa pemberatan vonis hukuman tidak boleh dilakukan selain dengan parameter unta, sehingga jika seorang hakim memutuskan hukuman tanpa mengacu pada perihal itu maka keputusannya tidak berlaku lantaran tak memperhatikan ketentuan yang ada.

Ketika sesuatu berlaku pada ordinat, maka secara otomatis ia berlaku juga pada subordinatnya, sebab subordinat sendiri berasal dari ordinat. Artinya, hukuman pokok harus mengacu pada unta, sebab tidak ada artinya jika hukuman pokok mengacu pada selain unta, sementara pemberatan hukuman (yang berarti hukuman tambahan), harus mengacu kepada unta.

Arkian, kaidah fikih ini merupakan pengaruh dari efektivitas pembelakuan ritus-ritus sosial dan ritus-ritus lain Oleh sebab itu, sangat memungkinkan jika elitisme (unta) ini masuk dalam wilayah ritus-ritus pidana pra-Islam dan kemudian Islam merumuskannya menurut formula yang ada.