Berikan contoh peran ulama Nusantara dalam memberantas kesyirikan

Oleh: Ilham Kadir

DI kepulauan Nusantara, termasuk Indonesia, sebelum bahkan setelah terjadi proses islamisasi secara massif dan massal pengaruh kepercayaan yang penuh dengan tahayul tetap ada. Walaupun telah berkurang seiring gencarnya dakwah islamiyah yang melarang kepercayaan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tersebut.

Di daerah-daerah tertentu di Indonesia, katakanlah daerah Bugis, umat Islam masih sangat susah untuk meninggalkan kepercayaan tahayul sehingga sampai detik ini, segala bentuk hajatan yang melibatkan orang ramai masih harus memilih hari baik.

Hari baik dimaksud adalah hari yang mendatangkan keberkahan dan bebas dari bala atau bencana. Maka, orang Bugis tidak sembarang menikahkan anaknya, dan saksikanlah, pada bulan-bulan tertentu, bulan Haji misalnya, perayaan pernikahan begitu bertumpuk-tumpuk hingga, kadang dalam sehari di satu RT terjadi tiga pesta pernikahan, dan pada bulan-bulan lain, khususnya Muharram hajatan mulia itu dipandang negatif oleh sebagian orang.

Tidak hanya itu, bentuk rumah sekalipun, dalam mitologi sebagian masyarakat Melayu dipercayai akan mendatangkan kesusahan jika arahnya berada pada posisi ‘tusuk sate” atau pintu rumah berhadapan lurus dengan arah jalan raya.

Pun, demikian ketika orang Bugis hendak menempati rumah barunya, tidak sembarang hari, karena menganggap, ada hari yang cocok untuk satu keluarga dan ada hari yang diyakini akan mendatangkan sial.

Kepercayaan nyeleneh di atas adalah bagian dari tahayul yang merupakan syirik bahkan telah menuduh Tuhan menciptakan waktu yang tidak baik bagi manusia. Padahal, semua waktu adalah baik, yang membedakan hanyalah manusia, apakah dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk beriman, beramal saleh, saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran menjalankan perintah Allah, ataukah waktunya dipakai untuk hal-hal yang tidak bermanfaat yang justru akan mendatangkan kerugian, (QS. Al-Ashr[103]).

Inilah di antara yang dinyatakan oleh Prof Syed Naquib Al-Attas bahwa salah satu taget dan tujuan islamisasi Nusantara adalah membebaskan manusia dari belenggu mitos, dan tak diragukan lagi jika tahayul adalah bagian dari mitos.

Demikian pula, berdirinya persyarikatan Muhammadiyah antara lain bertujuan untuk memberantas tahyul, selain bid’ah dan churafat atau yang dulu pernah disingkat TBC.

Tentang terlarangnya kepercayaan tahyul di atas dapat kita telaah hadis riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa Rasulullah bersabda, “Tidak ada ‘adwa, thiyarah, hamah, dan safar”. ‘Adwa penularan penyakit. Thiyarah yaitu merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lainnya. Hamah maksudnya burung hantu. Safar adalah bulan kedua dalam tahun Hijriyah, yaitu bulan sesudah Muharam.

Islam tidak mengenal adanya hari atau bulan nahas, celaka, sial, malang dan yang sejenis. Yang ada hanyalah bahwa setiap hari dan atau bulan itu baik, bahkan dikenal hari mulai (Jumat) dan bulan mulia (seperti bulan Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah).

Jelas, tahayul tidak ada tempat dalam Islam dan dalam hati kaum Muslimin. Tahayul merupakan bentuk syirik. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, Nabi menegaskan, “Tiyarah (tahayul) ialah sejenis syirik”, (HR. Tirmizi).

Selain tahayul, memberantas bid’ah adalah bagian yang tidak terpisahkan dalam dalam perjalanan dakwah dan perjuangan Muhammadiyah yang sayangnya semangat mereduksi kejahatan dalam beragama ini sudah mulai pudar, bid’ah adalah musibah dan kejahatan dalam agama yang tidak bisa ditolerir. Bid’ah lebih keji dari pezina, jika sang pezina masih sadar kalau perbuatannya itu adalah dosa, sementara pelaku bid’ah meyakini kalau amalannya adalah bagian dari ibadah, padahal sejatinya ia telah menista agama.

Pengertian bid’ah secara bahasa berarti sesuatu yang baru atau membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam tinjauan bahasa memang mobil itu bid’ah, microphone itu bid’ah, computer itu bid’ah, hanphone juga bid’ah. Akan tetapi bukan ini yang dimaksud oleh Nabi. Bid’ah yang dimaksud Nabi adalah bid’ah dalam tinjauan syar’i.

Adapun bid’ah dalam tinjaun syar’i, sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Asy-Syatibi dalam kitab “Al-I’tisham”, adalah suatu cara beragama yang mirip dengan syari’at yang dengan melakukannya seseorang bermaksud melakukan ibadah kepada  Allah.

Berkembang dan merebaknya bid’ah–bid’ah adalah musibah. Bahkan tak ada yang lebih menyesakkan dada para ulama melebihi kesedihan mereka ketika melihat munculnya bid’ah. Ibnul Mubarak berkata, “kita mengadu kepada Allah akan perkara besar yang menimpa umat ini, yakni wafatnya para ulama’ dan orang-orang yang berpegang kepada sunnah, serta bermunculannya bid’ah–bid’ah.”

Abu Idris Al-Khaulani berkata, “Sungguh melihat api yang tak biasa kupadamkan lebih baik bagiku daripada melihat bid’ah yang tak mampu aku padamkan.”

Bid’ah menjadikan pelakunya semakin jauh kepada Allah. Hasan Al-Bashri mengungkapkan, “Bagi para pelaku bid’ah, bertambahnya kesungguhan ibadah–yang dilandasi bid’ah–hanya akan menambah jauhnya kepada Allah.”

Imam Syafi’i berpendapat bawah bid’ah ada dua macam, terpuji dan tercela. Apa saja yang sesuai dengan sunnah, itulah yang terpuji. Dan, Apa saja yang menyelisihi sunnah itulah yang tercela. Sedangkan Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalani,  dalam “Fathul Bari“, mengatakan, Apa saja yang punya pondasi syara’ bukan bid’ah. Bid’ah dalam definisi syara’ tercela, beda dengan definisi bahasa, dalam definisi bahasa segala sesuatu yang dimulakan tanpa contoh sebelumnya dinamakan bid’ah, bisa jadi terpuji dan bisa juga tercela.

Misi dakwah selanjutnya, bagi Muhammadiyah adalah memerangi segala bentuk churafat (ejaan baru: khurafat) yang tidak kalah berbahayanya dibanding tahayul dan bid’ah. Prilaku churafat hingga kini pun makin canggih, bahkan terang-terangan buka iklan di media massa, baik cetak seperti koran, majalah, dll., atau lewat elektornik, seperti televisi, radio, internet, sosmed, dsj. Maka perlu kiranya pengetahuan tentang churafat ini.

Sumber churafat adalah dinamisme dan animisme. Dinamisme adalah kepercayaan adanya kekuatan dalam diri manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, benda-benda, dan kata-kata. Sedangkan Animisme adalah kepercayaan adanya jiwa dan ruh yang dapat mempengaruhi alam manusia

Churafat diartikan sebagai cerita-cerita yang mempesonakan yang dicampuradukkan dengan perkara dusta, atau semua cerita rekaan atau khayalan, ajaran-ajaran, pantangan, adat-istiadat, ramalan-ramalan, pemujaan atau kepercayaan yang menyimpang dari ajaran Islam

Churafat adalah bid’ah dalam bidang akidah, yakni kepercayaan atau keyakinan kepada sesuatu perkara yang menyalahi ajaran Islam. Misalnya, meyakini kuburan orang saleh dapat memberikan berkah (tabarruk), memuja atau memohon kepada makhluk halus (jin), meyakini sebuah benda –tongkat, keris, batu, dll.—memliki kekuatan ghaib yang bisa diandalkan, dan sebagainya. Lebih-lebih batu akik yang sekarang sedang marak-maraknya, bahkan harganya bisa miliaran karena diyakini menyimpan kekuatan supranatural, ini semua adalah churafat yang penuh kebatilan.

Churafat adalah budaya masyarakat Jahiliyah. Mereka percaya kepada arah burung yang berterbangan, memberi kesan kepada nasib mereka. Masyarakat Jahiliah juga percaya, jika burung hantu menghinggapi dan berbunyi di atas sesebuah rumah, maka artinya salah seorang dari penghuni rumah itu akan meninggal dunia. Kepercayaan sebegini mengakibatkan penghuni rumah akan berdukacita. Dan, masyarakat Jahiliah modern pun masih banyak percaya churafat semacam itu.

Dalam Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar yang berlangsung mulai tanggal 3-7 Agustus dengan mengusung tema “Gerakan Perubahan Menuju Indonesia Berkemajuan”, semestinya gerakan TBC kembali digelorakan. Mengingat kian maraknya penyimpangan agama, dan bahkan para penyesat sudah terang-terangan mengajak manusia pada kesyirikan tanpa merasa berdosa.

Lebih-lebih prilaku bid’ah akidah seperti; maraknya aliran sesat Syiah di mengharuskan Muhammadiyah mengambil sikap secara organisasi bahwa Syiah adalah aliran yang sesat lagi menyesatkan karena masuk dalam kubang nista bid’ah akidah.

Hanya dengan kembali pada ajaran agama yang murni sesuai dengan tuntunan Rasulullah beserta para sahabatnya umat Islam sebagai penduduk mayoritas bangsa Indonesia akan berkemajuan, namun jika prilaku tahayul, bid’ah, dan churafat (TBC) merajalela, bukan saja kemajuan kian sulit digapai melainkan hanya akan mengundang murka dan laknat Allah. Selamat bermuktamar!

Peserta Kaderisasi Seribu Ulama (KSU) BAZAS-DDII; Alumni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Bone 1997

Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar

Penguasa dan kadi di Banten abad 16. (The Sultanate of Banten).

PADA masa jaya kerajaan-kerajaan Islam, peran ulama menonjol sebagai bagian dari pejabat elite. Fungsinya memperkokoh kedudukan pemimpin yang duduk di singgasana. 

Di Asia Tenggara, apalagi Nusantara, hubungan erat raja dan ulama bukan hal yang aneh. Contohnya di Kerajaan Samudera Pasai. 

Ayang Utriza Yakin dalam Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX M menulis, di Samudera Pasai, pemerintah Islam menunjuk ulama yang punya kemampuan mumpuni sebagai mufti resmi. Itu berdasarkan keterangan Ibnu Batutah yang pernah tinggal selama 15 hari di Samudera Pasai pada 1345. Dalam catatannya, al-Rihlat, Batutah menyebut fungsi mufti sangat penting dalam kesultanan. Sang mufti biasanya duduk dalam ruang pertemuan bersama dengan sekretaris, para pemimpin tentara, komandan, dan pembesar kerajaan.

Advertising

Advertising

Sistem itu, kata Ayang, agaknya dibawa dari kebiasaan di Kesultanan Perlak (Peureulak). Kerajaan Islam di Aceh itu punya majelis fatwa yang dipimpin seorang mufti. Ia menangani persoalan hukum agama. Jabatannya itu di atas kementerian kehakiman.

“Sistem itu berlanjut hingga ke masa pembentukan Kesultanan Samudera Pasai,” kata dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta itu.

Gambaran jelas keberadaan ulama di tengah politik kerajaan muncul pada abad 16. Salah satunya Hamzah Fansuri, ulama Melayu Nusantara yang peninggalannya relatif lengkap mencakup biografi dan karya keislaman. Selain itu, ulama terkemuka yang meninggalkan karya monumental antara lain Shamsuddin al-Sumaterani (1693), Nuruddin ar-Raniri (1658), Abdul Rau’f al-Sinkili (1693), dan Yusuf al-Makassari. Pada abad 18 muncul Abd. Samad al-Falimbani dan Syekh Daud al-Fatani.

Dosen sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Jajat Burhanudin menjelaskan, kehadiran ulama Melayu Nusantara sebagai bagian dari elite kerajaan lebih memperlihatkan gejala kota. “Mereka menjadi satu kelompok sosial yang termasuk elite kota dengan sejumlah keistimewaan karena pengetahuannya di bidang ilmu keislaman,” kata Jajat.

Dalam bukunya, Islam dalam Arus Sejarah Indonesia, Jajat menulis, para ulama senantiasa di samping raja untuk memberi nasihat spiritual sekaligus memberi legitimasi politik di tengah rakyatnya yang beralih menjadi muslim.

Kadi

Dalam bidang hukum, ulama memegang peran sentral dalam membuat regulasi dan menentukan kehidupan keagamaan umat Islam. Mereka sebagai kadi atau penghulu di Jawa.

Lembaga Kadi makin mapan pada abad 17 di Kerajaan Aceh. Tak hanya memberi legitimasi dan nasihat kepada raja seperti di Kerajaan Malaka, para kadi juga menjalankan hukum Islam di kerajaan. Kadi di Aceh mulai berdiri pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636).

Kerajaan Aceh juga memiliki lembaga Syaikhul Islam yang berada langsung di bawah raja. Lembaga ini mempengaruhi kebijakan raja dalam masalah sosial dan politik.

“Orang-orang yang bertanggung jawab di lembaga ini adalah ulama Aceh terkemuka,” kata Jajat.

Informasi soal lembaga itu, salah satunya, didapatkan lewat catatan perjalanan perwakilan khusus Inggris ke Aceh pada 1602. Sir James Lancaster, menggambarkan Hamzah Fansuri, Syaikhul Islam waktu itu, sebagai uskup agung. Dia diangkat raja untuk memimpin perundingan damai dan persahabatan antara Aceh dan Inggris.

Jajat mencatat, Nuruddin ar-Raniri sempat pula mengepalai Syaikhul Islam. Dia pernah menengahi protes keras Belanda atas regulasi perdagangan kerajaan yang menguntungkan pedagang Gujarat. Dengan otoritasnya itu, dia berhasil meyakinkan raja, Safiyyatuddin (1641-1675), untuk menarik regulasi itu.

“Aceh merupakan satu-satunya kerajaan di Nusantara yang memiliki lembaga resmi ulama. Raja-rajanya memberi ulama kesempatan untuk terlibat dalam wilayah yang melampaui urusan keagamaan,” tulis Jajat.

Di Jawa, lembaga itu bisa ditemui di Kerajaan Demak. Dalam menjalankan pemerintahannya, sultan-sultan Demak dibantu para ulama. Mereka bertindak sebagai ahlulhalli walaqdi. Lembaga itu menjadi wadah permusyawaratan kerajaan yang punya hak ikut memutuskan masalah agama, kenegaraan, dan segala urusan kaum muslimin. 

Sunan Giri pernah menduduki ahlulhalli walaqdi. Diia berwenang mengesahkan dan memberi gelar sultan pada penguasa kerajaan Islam di Jawa. Dia juga menentukan garis besar politik pemerintahan dan bertanggung jawab di bidang keamanan muslim dan kerajaan Islam. Dia juga berhak mencabut kedudukan sultan bila menyimpang dari kebijakan para wali.

Legitimasi Kekuasaan

Tak hanya sebagai penasihat raja, para ulama juga menjadi penerjemah Islam ke dalam sistem budaya Indonesia. 

“Dalam tugas itu, ulama berkontribusi dalam memberi legitimasi pada budaya politik Melayu berorientasi kerajaan,” jelas Jajat. 

Karya intelektual para ulama menjadi sumber legitimasi bagi kerajaan. Salah satunya Ar-Raniri yang memiliki pandangan lebih rinci tentang hubungan ulama-raja. Lewat karyanya, Bustan us-Salatin yang ditulis sekira 1630-an dan didedikasikan kepada Iskandar Thani, dia menjabarkan cara seorang ulama neo-sufi berhadapan dengan isu politik kerajaan. 

Ar-Raniri menekankan untuk mematuhi raja sebagai sebuah kewajiban agama. Kepatuhan pada raja sama saja dengan mengikuti perintah Tuhan. 

“Dengan cara ini, para raja diberikan otoritas politik yang sah, yang harus diakui oleh umat Islam,” tulis Jajat. 

Karenanya, kata jajat, Islam telah memberi sumbangan bagi pembentukan kerajaan absolut di dunia Melayu-Indonesia prakolonial. Semakin mapan ulama dalam elite kerajaan, makin mantap Islam sebagai ideologi politik kerajaan. 

Pada periode itu, tercatat raja-raja absolut seperti Sultan Iskandar Muda dan Iskandar Thani di Aceh, Sultan Agung di Mataram, dan Sultan Hasanuddin di Makassar. 

“Bisa diasumsikan sejumlah ulama juga tampil mendukung politik kerajaan absolut,” tegas Jajat.