Berapa lama ruu pks dirancang untuk menghapus kekerasan seksual

Salah satu bentuk perlindungan terhadap warga negara adalah perlindungan atas hak bebas dari ancaman dan kekerasan. Walaupun UUD 1945 telah menekankan hak ini sebagai salah satu hak konstitusional, disinyalir tidak setiap warga negara telah bebas dari kekerasan yang terjadi. Seperti halnya kekerasan fisik, psikis dan seksual. Saat ini, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) pun menjadi isu yang banyak diperbincangkan dan memunculkan polemik.

Bermula dari isu tersebut, Pusat Studi Gender Universitas Islam Indonesia (PSG UII) mengadakan Focus Group Discussion mengenai RUU PKS, pada Selasa (19/3), di Auditorium Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Kampus Terpadu UII. Hadir dalam acara ini Sri Nurherawati, SH., dari Komisi Nasional Perlindungan Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Ai Maaryati Solihah, M. Si., dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).

Rektor UII yaitu Fathul Wahid, S.T., M.Sc., Ph.D. dalam sambutannya menuturkan ketika membaca RUU PKS, korban kekerasan seksual yang terbayang adalah perempuan (termasuk anak). Menurutnya kekerasan yang terjadi dalam bentuk apapun harus dimusnahkan dari muka bumi.

Kesadaran ini yang seharusnya juga mendasari perumusan RUU PKS. “Saya juga yakin Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta beragam lembaga yang peduli terhadap perlindungan perempuan mempunyai data yang lebih dari cukup untuk meyakinkan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah sebuah fakta sosial,” tutur Fathul Wahid.

Namun demikian, menurut Fathul Wahid kemunculan RUU PKS ini, di tengah-tengah suhu politik yang semakin panas, telah menimbulkan beragam interpretasi, dan bahkan hoaks.

“Sebagian kalangan mendukung pengesahan RUU PKS ini dengan segera. Sebagian yang lain, mencurigai adanya muatan kepentingan tertentu, pesan-pesan tersembunyi, dalam pasal-pasal yang termaktub di sana,” paparnya.

Fathul Wahid menegaskan, dalam rentang waktu 2001 sampai 2011, kasus kekerasan seksual rata-rata mencapai seperempat dari kasus kekerasan terhadap perempuan. Dimana kasus kekerasan seksual yang dilaporkan mengalami peningkatan setiap tahunnya bahkan pada tahun 2012 meningkat hingga 181% dari tahun sebelumnya.

Sementara disampaikan Sri Nurherawati, konstruksi sosial budaya masyarakat yang patriarkhis menyebabkan warga negara yang paling menjadi korban kekerasan seksual bukan saja perempuan dewasa, tetapi juga perempuan dalam usia dini.

“Hak bebas dari ancaman, diskriminasi dan kekerasan merupakan hak yang sangat penting untuk diejawantahkan. Hukum acara pidana yang hanya menegaskan perlindungan terhadap hak-hak tersangka telah meminggirkan perlilndungan dan rasa keadilan bagi korban,” ungkapnya

Senada dengan Sri Nurherawati, disampaikan oleh Ai Maryati bahwa hukum yang ada di Indonesia saat ini progresif dalam melindungi korban kekerasan seksual. Namun pelaku kejahatan ini sering kali lolos dari jerat hukum. Sehingga tidak ada efek jera bagi pelaku kekerasan seksual.

“Banyak sekali pelaku yang masih bebas dan tidak ada efek jera dan menyesal. Tidak hanya perempuan yang menjadi korban bahkan ada juga korban dari anak-anak,” ujarnya.

Ai Maryati menambahkan dalam usulan RUU PKS terdapat enam elemen kunci yang harus ada yakni pencegahan, hukum acara, tindak pidana, pemidanaan, pemulihan dan pemantauan. Keenam elemen ini harapannya dapat menjamin rasa adil dan aman baik bagi korban maupun pelaku. (ENI/RS)

Berapa lama ruu pks dirancang untuk menghapus kekerasan seksual
©Arjun/Bal

Pada 2014, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Forum Pengada Layanan berinisiatif merumuskan Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Perumusan RUU PKS ini dilatarbelakangi oleh semakin marak terjadinya kekerasan seksual. Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2018, jumlah kasus kekerasan seksual yang dilaporkan pada 2017 meningkat sebesar 74% dari tahun 2016. Layaknya fenomena gunung es, angka dan persentase yang tercatat dalam laporan ini pun belum menampilkan jumlah keseluruhan kasus yang ada. Dengan adanya RUU PKS, korban kekerasan seksual dapat memperoleh perlindungan dari negara, termasuk pemulihan dari kekerasan yang dialaminya. Hal tersebut merupakan pemenuhan kewajiban negara dan sebagai jaminan agar masyarakat terbebas dari segala bentuk kekerasan seksual.

Perumusan Naskah Akademik RUU PKS melibatkan beberapa akademisi, aktivis, dan ahli hukum pidana. Salah satunya adalah Sri Wiyanti Eddyono S.H., LL.M.(HR), Ph.D. yang merupakan Dosen Fakultas Hukum (FH) UGM. Pada 26 November 2018 bertempat di Ruangan Dosen FH UGM, BALAIRUNG berkesempatan berbincang dengan dosen Departemen Hukum Pidana ini. Iyik, begitu ia akrab disapa, memberikan penjelasan terkait urgensi dari perumusan RUU PKS. Selain itu, ia juga memberikan pandangannya terhadap penegakan hukum yang masih tidak berpihak pada korban dalam penyelesaian kasus kekerasan seksual.

Apa yang dimaksud dengan RUU PKS?

Sesuai namanya, RUU PKS adalah Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual. RUU ini dirancang oleh sekelompok masyarakat sipil yang berinisiatif dengan Forum Pengada Layanan. Forum itu terdiri dari 128 organisasi yang selama ini menangani kasus-kasus pelecehan seksual. Organisasi-organisasi tersebut seperti Rifka Annisa, beberapa lembaga bantuan hukum aktif di Jakarta, dan lain sebagainya yang bekerja sama dengan Komnas Perempuan.

RUU ini dirancang karena marak terjadinya kasus kekerasan seksual. Banyak kasus yang dilaporkan ke lembaga pelayanan, tapi tidak diproses secara hukum karena beberapa faktor. Salah satu faktornya adalah keterbatasan kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dalam mengatur apa yang disebut sebagai kekerasan seksual. Memang, di dalamnya mengatur perkosaan, pencabulan, pemaksaan aborsi, dan perdagangan anak. Namun, definisi dari setiap aturan sangatlah terbatas.

Mengapa RUU PKS penting?

Pertama, RUU PKS berbicara soal pencegahan terhadap kasus kekerasan seksual. Kasus kekerasan seksual terus menerus sulit ditangani dan penanganannya sangat membuang-buang waktu serta tenaga. Maka, seharusnya yang terpenting adalah menghentikan kekerasan tersebut. Pencegahan itu meliputi berbagai sektor dan pendidikan menjadi yang utama.

Kedua, RUU PKS memberikan perspektif untuk perlindungan korban karena selama ini hukum pidana tidak berperspektif korban. Selalu, yang dipersoalkan dalam hukum pidana adalah hak tersangka, bukan hak korban. Nah, dalam RUU PKS, perspektif penanganan dan pemulihan korban menjadi yang utama. Ketiga, soal pemulihan yang tidak terbatas pada waktu dibawanya kasus kekerasan seksual ke pengadilan dan diputuskan. Pemulihan seharusnya sudah dilakukan sejak adanya kasus.

Keempat, berkaitan dengan hukuman yang manusiawi. Setiap pelaku kekerasan seksual tak selalu harus mendapatkan hukuman penjara karena itu hukuman yang sangat klasik dan lebih mengarah kepada balas dendam. Hukuman yang diberikan seharusnya bersifat edukatif, manusiawi, dan bisa membuat pelaku kekerasan seksual sadar, misalnya rehabilitasi dan kerja sosial. Hukuman seperti itu sangat mungkin diterapkan dengan RUU ini. Nah, yang terakhir, RUU PKS menekankan bahwa upaya penanggulangan kekerasan seksual adalah tanggung jawab bersama, terutama negara.

Bagaimana proses perancangan RUU PKS?

RUU PKS berawal dari DPD RI kemudian diajukan ke DPR. Kemudian, pihak DPR melihat RUU itu sebagai upaya inisiatif. Draf RUU kemudian diselaraskan oleh Badan Legislatif DPR lalu diserahkan ke Komisi VIII DPR. Nah, pada tahap inilah RUU itu mulai bermasalah karena komisi ini mengatur persoalan norma sehingga hal itu turut memengaruhi penanganan kasus kekerasan seksual.

Bersamaan dengan itu, pemerintah membuat sandingan berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah yang justru menghapus pasal-pasal penting seperti pencegahan dan pemulihan kekerasan seksual. Padahal, menurut saya, harusnya unsur pencegahan diperkuat karena kasus kekerasannya juga kuat. Saat ini, yang ada malah sebatas menangani kasus-kasus yang terus-menerus terjadi. Bentuk-bentuk tersebut tidak mengubah cara pandang, pola pikir, dan membuat sistem pada masyarakat.

Awalnya, ada tujuh bidang yang kita anggap penting untuk diatur di dalam RUU PKS, yakni pendidikan, infrastruktur, pelayanan publik dan tata ruang, pemerintahan dan tata kelola kelembagaan, ekonomi, sosial, dan budaya. Nah, itu semua dibuang pemerintah. Dari situ, DPR melakukan hearing yang kemudian mengarahkan isu tersebut ke isu moralitas. Mungkin karena Komisi VIII itu ruang lingkupnya di agama dan sosial, ya. Padahal, sejak awal, isinya itu adalah melihat kekerasan seksual sebagai isu kejahatan. Namun, akibat diarahkan ke isu moral, muncul dugaan bahwa RUU PKS juga bermaksud untuk melegalkan LGBT dan zina. Padahal kan tidak. Silakan baca naskah akademiknya. Naskah itu bisa diakses semua orang.

Menurut Anda, apa penyebab dari lambatnya pemerintah menanggapi RUU PKS?

Pemerintah tidak melihat bahwa RUU PKS ini penting. Kacamata politik transaksional dalam proses perumusan kebijakan masih sangat kuat. Proses perumusan undang-undang terkait isu gender memang tidak pernah lepas dari proses politik. Selalu ada counter-actor atau pihak-pihak yang tidak setuju dengan ide itu. Hal itu sangat mungkin terjadi dan bahkan selalu terjadi di setiap pembuatan kebijakan. Di Indonesia, pemerintah baru akan bergerak apabila ada desakan massa. Walaupun begitu, desakan yang kuat sering kali berbenturan dengan kepentingan pemerintah. Oleh karena itu, gerakan yang mengusung kebijakan harus kuat, terorganisir, dan senantiasa mendesak.

Selain itu, mengapa banyak orang menolak RUU PKS ini?

RUU PKS, bagi saya, mungkin mengancam status quo dan posisi pihak-pihak tertentu. Pada faktanya, kekerasan seksual memang banyak dilakukan oleh laki-laki dan tak jarang mereka berada di posisi-posisi tinggi. Mereka tidak mau membongkar kasus kekerasan seksual karena bisa saja temannya merupakan pelaku kekerasan tersebut. Selain itu, masih ada juga yang menganggap bahwa kekerasan seksual adalah wilayah privat sehingga tidak perlu dilaporkan. Terdapat ketakutan-ketakutan yang mengancam diri sendiri dan para anggota DPR bisa jadi punya pemikiran seperti itu. Jadi, penyebab penolakan itu mungkin sangat personal. Namun, posisi mereka sebagai anggota DPR membuat mereka memiliki pengaruh dalam perumusan RUU PKS.

Jadi, belum tentu banyak yang setuju dengan RUU PKS karena mereka sendiri tidak mengetahui maksud dan tujuan sebenarnya dari undang-undang ini. Mereka masih penuh curiga. Ketidaktahuan dan kecurigaan terhadap RUU PKS inilah yang harusnya dijembatani dengan memperbanyak dialog.

Salah satu hal yang diatur dalam RUU PKS adalah term pemerkosaan karena sebelumnya pemaknaan terhadap pemerkosaan hanya terbatas pada persanggamaan. Menurut Anda, pemerkosaan harusnya dimaknai seperti apa?

Dalam RUU PKS sebenarnya sudah ada definisi dari perkosaan. Saya juga mengacu ke sana. Menurut saya, definisi paling ideal dari perkosaan itu jauh lebih luas, tidak hanya sebatas sexual intercourse (bersanggama). Definisinya juga meliputi memasukkan barang ke vagina, juga lubang-lubang yang lain. Selain itu, pemerkosaan juga tak terbatas pada laki-laki ke perempuan saja. Bisa perempuan ke perempuan, laki-laki ke laki-laki, atau ke siapapun yang mengandung paksaan.

Anda sempat mengisi rubrik Opini di Harian Kompas (21-11) tentang kekerasan seksual di kampus. Di dalamnya, Anda menyebutkan term penyerangan seksual sebagai penyerangan terhadap kehormatan kesusilaan dan penyerangan terhadap integritas tubuh. Bisa dijelaskan perbedaannya?

Kalau penyerangan terhadap integritas tubuh, hal yang dinilai adalah perbuatan pelakunya. Sedangkan pada kesusilaan, orang bisa terjebak pada anggapan susila atau asusila antara dua orang yang selalu dikonstruksikan suka sama suka. Kesusilaan juga didasarkan pada pantas dan tidak pantas. Pertanyaannya, pantas menurut siapa? Itu kan berdasarkan norma dan nilai. Sementara itu, norma dan nilai bersifat relatif. Terlebih lagi, dalam masyarakat yang patriarkis, norma dan nilai menjadi sangat subjektif. Pantas dan tidak pantas dilihat tidak hanya pada letak perbuatannya, melainkan juga orang yang dikenai perbuatan.

Apa implikasi dari pemaknaan pemerkosaan yang bergantung pada kesusilaan?

Implikasinya, kasus kekerasan seksual tidak menjadi isu hukum ataupun kejahatan, melainkan isu moral. Dengan begitu, pertanyaan yang akan muncul adalah terkait bagaimana pakaiannya, bagaimana perilaku kedua belah pihak, mengapa perempuan keluar di malam hari, dan lain sebagainya.

Lantas, seperti apa mekanisme pengadilan korban kekerasan seksual yang selama ini dilakukan di Indonesia?

Dalam konteks kekerasan seksual, proses acaranya bermula dari KUHP ke KUHAP. Ketika di KUHAP, acuannya adalah hukum pidana di pengadilan. Artinya adalah lewat pelaporan kasus, kepolisian, serta penyidik. Kalau di Indonesia, jika bukan delik aduan dan hanya berupa kejahatan ringan yang hukumannya di bawah setahun, maka kejahatan tersebut bisa diselesaikan dengan mediasi. Jika tidak, maka prosesnya hanya satu, yakni lewat polisi. Masalahnya, polisi kita stereotip gendernya masih sangat tinggi sehingga penanganan kasus kekerasan seksual masih sangat kuat nuansa moralnya. Pasti si korban akan ditanya, “Bagaimana kok bisa terjadi?” “Menikmati atau tidak?”

Apakah itu berarti pengadilan kasus kekerasan seksual di Indonesia belum Anda anggap patut?

Semua mekanisme, bagi saya, memang tidak ada yang memihak korban. Sejak awal sudah sangat bias. Mulai dari pembuktian, penanganan, hingga pengintrogasian kasus. Apalagi ketika kasus tersebut ditangani polisi lalu korban dan pelaku dipertemukan. Itu kacau. Memang, sekarang telah dibentuk Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) serta Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di kepolisian. Akan tetapi, menurut saya, itu hanyalah suatu mekanisme yang sedikit membantu korban mempersiapkan diri saat masuk ke “sarang macan”. Artinya, korban dipersiapkan justru untuk menghadapi pengadilan yang kaku dan tak dapat diprediksi.

Kalau korban mendapat pengadilan yang bagus, dia beruntung sekali. Setiap pengadilan sangat tergantung pada siapa yang diadili sehingga sangat subjektif. Dengan situasi seperti itu, proses hukum menjadi lebih berisiko bagi korban. Jadi seperti simalakama. Di satu sisi, kita mendorong korban untuk melaporkan kasusnya (speak up). Namun, di sisi lain, ketika korban speak up, sistem hukum yang tersedia malah tidak mendukung korban. Akhirnya korban malah direviktimisasi (mengalami kekerasan kembali).

Dalam opini anda di Harian Kompas, Anda juga menyebut penegak hukum di Indonesia cenderung bias gender dan sangat patriarkis. Apa maksudnya?

Kontrol pelaksana hukum di Indonesia itu didominasi pengalaman, cara berpikir, dan tentu saja fantasi seksual laki-laki. Termasuk pembuat hukum yang masuk ke Komisi VIII itu juga terpengaruh oleh fantasi seksual laki-laki sehingga dapat dibilang sangat seksis. Munculnya pernyataan seperti “kucing dan gereh” itu adalah contoh dari refleksi alam berpikir yang sudah sangat tua dan mengakar pada diri kita.

Kepentingan aparat hukum juga bermacam-macam seperti kepentingan institusinya, orang-orangnya, dan lain sebagainya. Misalkan, kasus-kasus kejahatan yang dalam penanganannya merugikan secara ekonomi akan mendapat respon yang lambat. Itulah kepentingan institusi hukum. Kapasitas aparatnya juga berpengaruh. Misalnya, mereka hanya tahu beberapa undang-undang lalu itu selalu dijadikan rujukan.

Namun, untuk kasus kekerasan seksual, budaya patriarki yang sangat dominanlah yang paling berpengaruh hingga ke dalam institusi sehingga budaya institusinya menjadi sangat maskulin. Juga, kultur para hakim itu sangat militeristik. Apa yang ketua katakan pasti bakal dituruti oleh bawahan. Celakanya, budaya itulah yang sampai ke pengadilan.

Selain bias gender dan nilai patriarki, apakah ada faktor lain yang mempengaruhi aparat penegak hukum dalam proses pengadilan yang justru memberatkan korban?

Aparat penegak hukum selalu berasumsi bahwa alasan terjadinya kejahatan seksual dikarenakan adanya rangsangan dari pihak perempuan. Perempuan dianggap jadi pemicu dalam peristiwa sehingga selalu diarahkan ke argumen “suka sama suka”. Banyak aparat yang juga sangat seksis. Padahal, seksis itu bias gender pada tingkat yang lebih dalam. Perempuan dianggap menggoda, menimbulkan gairah seksual, dan seharusnya pasif. Jika dia aktif, seperti keluar pada malam hari, pasti langsung dianggap tidak baik. Seringkali juga ada pasal-pasal syariah yang mengontrol perilaku perempuan. Misalnya di Banten pernah ada larangan keluar di atas jam 9 malam bagi perempuan.

Selain itu, perempuan juga dianggap lemah dan emosional sehingga omongannya tak dapat dipercaya. Pandangan dan pengalaman perempuan tidak dipercaya karena di masyarakat patriarkis, perempuan dianggap bukan sebagai objek penutur cerita. Jadi kembali lagi, kekerasan seksual yang dialami perempuan hanya dilihat dari perilakunya, bukan dari apa yang dialaminya.

Ada persepsi umum yang kuat di masyarakat kita kalau perempuan diam itu setuju. Padahal, tafsir setuju itu tafsir maskulin karena yang menafsirkan setuju atau tidaknya itu laki-laki. Kalau di Indonesia, perempuan diam bisa ditafsirkan sebagai kondisi ketakutan, kebingungan, pasif, lalu kemudian dianggap setuju.

“Mengapa diam saja?” Mengapa tidak teriak?” “Mengapa tidak melawan?” Pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul dari alam berpikir laki-laki. Kontrol atas tafsir inilah yang menjadi persoalan. Ketika ini ditafsirkan oleh aparat penegak hukum, maka ia secara langsung akan menyudutkan perempuan dan itu tersistematisasi sebagai sistem hukum, misalnya KUHP.

Apakah ini yang membuat banyak korban enggan membawa kasusnya ke pengadilan?

Betul, mereka tidak mau membawa kasusnya ke ranah hukum karena masih ada stereotip. Istilahnya, korban itu jadi pesakitan. Mereka terkena intimidasi sistemik dan mendalam.

Dalam ilmu hukum sendiri, ada ilmu yang mempelajari tentang korban yakni viktimologi. Bagaimana viktimologi berperan dalam peradilan kasus kekerasan seksual?

Awalnya, viktimologi adalah ilmu yang ingin melihat apakah ada hubungan antara tindak pidana pelaku dengan korban. Ia berupaya melihat konteks pada apakah terdapat kontribusi korban dalam perilaku pelaku. Viktimologi sebenarnya ada delapan varian, tapi mengacu pada Lorraine Wolhuter dkk., saya sederhanakan jadi tiga saja, yakni viktimologi positivis, radikal, dan kritis.

Viktimologi positivis melihat adanya kontribusi korban yang memberi peluang dalam kejahatan. Selanjutnya, dalam perkembangan itu, hadir viktimologi radikal dan viktimologi kritis. Viktimologi radikal mulai membongkar apabila korban dilihat lewat kontribusinya, itu malah akan menjadi reviktimisasi. Korban bukan lagi dilihat dari kontribusinya, melainkan dari dampak yang ia terima. Kemudian, viktimologi kritis menindaklanjuti penanganan kasus kekerasan seksual yang tidak hanya terbatas pada pelayanan korban, melainkan juga hak-hak korban. Hak-hak korban dalam sistem peradilan di Indonesia bisa dilihat dalam UU Nomor 31 Tahun 2014.

Dalam opini Anda di Harian Kompas, sebagian besar penegak hukum di Indonesia masih menggunakan viktimologi positivis. Mengapa?

Mungkin karena mereka tidak tahu dan tidak sadar bahwa mereka sedang memakai viktimologi positivis. Ini dapat diketahui dari buku-buku rujukan yang dipakai karena hampir semua penulis buku viktimologi masih lebih dekat kepada pendekatan positivis. Orang-orang hukum pidana saja belum tentu tahu. Selain itu, viktimologi tergolong ilmu yang relatif baru dikembangkan. Bahkan, di Indonesia, viktimologi baru didiskusikan pada tahun 1990-an. Kini, orang-orang sudah mulai menyadari bahwa pincanglah hukum pidana jika tidak bicara tentang kepentingan korban. Cuma, saya kira, masalahnya itu terletak pada malasnya orang-orang mencari referensi baru.

Lalu, viktimologi seperti apa yang diperlukan dalam basis hukum indonesia?

Jika kita mengacu kepada hak-hak korban, viktimologi yang sesuai adalah viktimologi kritis dan viktimologi radikal. Sudah tidak relevan lagi diskusi tentang kontribusi korban dalam tindak kekerasan seksual. Apapun yang terjadi, korban kekerasan seksual harus tetap dilindungi. Sayangnya, viktimologi kritis dan radikal tidak populer di Indonesia karena memang dari sistem hukum pidananya sendiri masih terdapat doktrin kausalitas yang mengakar begitu kuat.

Nah, menurut Anda, bagaimana kondisi hukum di UGM terkait kekerasan seksual?

Masih gagap. Tak ada prosedur, tak ada mekanisme. Apa-apa tak jelas.

Jika RUU ini kemudian disahkan, seperti apa bentuk implementasinya di kampus?

Kampus tidak boleh menunggu! Kampus harus punya inisiatif duluan dan harus mampu membuat kebijakan tanpa toleransi terhadap kekerasan seksual. Kampus harus mengatur mekanisme agar kekerasan tidak terjadi. Kalau menunggu RUU PKS disahkan, masih lama. Dua tahun lagi pun belum tentu RUU itu selesai karena perdebatannya masih sangat panjang. Pun jika disahkan, versi mana yang akan dipakai? Versi pemerintah atau versi DPR?

Jadi, aturan terkait penanganan kekerasan seksual di kampus, UGM khususnya, jangan dihubungkan dengan ada atau tidaknya RUU. UGM harus berbenah. Harus ada kebijakan institusi tentang pencegahan, penanganan, dan pemulihan kasus kekerasan seksual. Buat aturan yang jelas, kemudian sosialisasikan. Harus ada tiga pihak yang dipertimbangkan yakni korban, pelaku, dan publik karena hak-hak mereka tetap harus terpenuhi.

Penulis: Harits Arrazie

Penyunting: Oktaria Asmarani