ballighu anni walau ayah artinya

Judul diatas merupakan penggalan hadits terkenal sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh Al-Imam Ahmad bin Hambal, Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam At-Tirmidzi rahimahumullah dari sahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, yang berarti: “Sampaikanlah dariku meskipun hanya satu ayat saja (yang kamu tahu)”. Artinya bahwa, meskipun kita hanya tahu satu ayat Al-Qur’an atau satu hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau satu hukum Islam saja misalnya, maka wajib bagi kita untuk menyampaikan apa yang kita ketahui itu kepada orang lain. Apalagi jika kita mengetahui lebih dari satu.

SEMUA WAJIB BERDAKWAH

Hadits diatas memuat dorongan yang sangat kuat bagi setiap orang Islam tanpa kecuali untuk turut berperan aktif mengambil bagian dalam aktivitas dakwah ke jalan Allah, masing-masing dalam batas kemampuannya. Dan hal itu tanpa membedakan antara ulama dan orang awam, antara kyai dan santrinya, antara ustadz dan jamaahnya, dan seterusnya. Semuanya wajib berdakwah dalam rangka menyampaikan ajaran Islam yang merupakan warisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena ummat ini memang telah ditetapkan sebagai ummat dakwah. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan hendaklah kalian menjadi satu ummat (yang bersatu), yang berdakwah mengajak kepada kebaikan,ber-amr bil-ma’ruf dan ber-nahy ‘anil-munkar. Dan hanya merekalah orang-orang yang selamat dan beruntung” (QS. Ali ‘Imran 3: 104).

Disamping itu gelar kehormatan sebagai “khairu ummah” (ummat terbaik) juga hanya berhak disandang oleh ummat ini jika memenuhi syaratnya yang tidak lain adalah: berdakwah, ber-amr bilma’ruf dan ber-nahi ‘anil-munkar tersebut. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya): “Kalian (ummat Islam) adalah sebaik-baik ummat yang ditampilkan di hadapan seluruh manusia, (karena) kamu ber-amr bil-ma’ruf, ber-nahi ‘anil-munkar dan beriman kepada Allah” (QS. Ali ‘Imran 3: 110). Dan karena kebanyakan kita sekarang telah meninggalkan kewajiban dan tugas mulia itu maka tidak heran jika gelar “khairu ummah” itu seakan-akan telah tanggal dan lepas dari ummat ini, meskipun bukan berarti berpindah ke tangan ummat lain karena hal itu memang tidak mungkin disebabkan kekufuran mereka. Faktanya bahwa diantara ummat ini, hanya tinggal sedikit saja yang tetap berkomitmen dan konsisten dalam mengemban amanah dakwah, yang tentu saja tidak akan bisa menutupi kebutuhan dan tuntutan dakwah yang sangat besar dengan problematika-problematika dan tantangan-tantangannya yang begitu banyak,  beragam dan kompleks.

 Dan salah satu faktor penyebab yang melatarbelakangi keengganan banyak kalangan untuk ikut aktif dalam berdakwah ialah adanya persepsi yang salah bahwa, dakwah dan penyebaran Islam hanya menjadi kewajiban dan kewenangan ulama, kyai dan ustadz saja. Juga pemahaman yang salah pula bahwa, untuk berdakwah seseorang disyaratkan harus hafal banyak dalil, baik ayat maupun hadits, dan juga harus menguasai banyak hukum Islam. Dan itu semua hanya dimiliki oleh para ulama. Maka hanya merekalah yang berhak dan berkewajiban untuk berdakwah. Itu masih ditambah lagi dengan kesalahpahaman lain yang membatasi makna dan cakupan aktivitas dakwah hanya pada ceramah dan khotbah saja, sedangkan tidak semua orang mampu berceramah dan berkhotbah. Itu semua merupakan kesalahpahaman yang terbantahkan secara sangat tegas oleh penggalan hadits diatas, yang bahkan mengharuskan bagi seseorang yang hanya tahu satu ayat sekalipun agar menyampaikan dan mendakwahkan yang diketahuinya itu. Dan juga oleh dua ayat yang telah disebutkan tadi.

Tentu saja masih banyak dalil lain lagi yang mewajibkan berdakwah bagi setiap orang Islam, masing-masing dalam batas kemampuannya. Bahkan saat ini seorang muslim yang awam dan buta huruf sekalipun tetap bisa ikut berdakwah, tentu saja dakwah dengan arti yang luas yang mencakup setiap bentuk ajakan kepada kebenaran dan kebaikan dalam ajaran Islam. Apalagi jika kita ingat bahwa, banyak sekali aspek dan materi dakwah saat ini yang memang tidak butuh banyak dalil atau bahkan tidak perlu dalil sama sekali, disebabkan karena begitu jelas dan gamblangnya masalah yang dihadapi! Misalnya, jika seseorang ingin mendakwahi dan mengajak orang Islam yang tidak shalat untuk shalat, yang tidak puasa Ramadhan agar mau berpuasa, yang tidak mengenal masjid agar mau ke masjid, yang masih suka minum minuman keras, berjudi, mencuri, melacur dan semacamnya agar mau meninggalkan semua kejahatan dan kemaksiatan itu. Materi-materi dakwah seperti itu di kalangan mayoritas ummat Islam tidak butuh banyak dalil lagi, karena kebanyakan mereka seawam apapun, termasuk para pelanggarnya sendiri, telah mengetahui dan meyakini wajibnya yang wajib dan haramnya yang haram diantara prinsip-prinsip ajaran Islam itu semua.

DAKWAH KEBABLASAN

Namun dalam konteks makna hadits diatas, masih ada kesalahpahaman lain yang perlu diluruskan. Yakni adanya pihak-pihak yang terdorong dan tersemangati – oleh hadits tersebut dan dalil-dalil lain yang semakna – untuk terjun di bidang dakwah sebagai penceramah, mubaligh dan ustadz, mekipun dengan ilmu dan pemahaman tentang Islam yang sangat terbatas dan pas-pasan. Tentu masalah mereka ini bukan terletak pada terbatasnya ilmu dan pas-pasannya pemahaman mereka tentang Islam, karena sebagaimana yang telah kita tegaskan diatas, untuk ikut aktif berdakwah seseorang tidak disyaratkan harus menjadi ulama terlebih dahulu, atau ia harus memiliki kadar ilmu tertentu yang sangat banyak. Meski, tentu saja semakin tinggi tingkat keilmuan dan kapasitas pemahaman seorang dai, mubaligh dan ustadz, akan lebih baik dan lebih afdhal dalam dakwahnya dan bagi ummatnya. Sehingga tetaplah wajib  bagi para dai dan mubaligh untuk senantiasa meningkatkan kualitas dan kuantitas ilmu mereka. Sekali lagi, permasalahan mereka ini bukan pada terbatasnya ilmu dan pas-pasannya pemahaman mereka.

Tapi yang jadi masalah adalah bahwa, dalam praktek di lapangan, ternyata mereka – yang bekal ilmunya sangat terbatas itu – tidak mau menyadari keterbatasannya dan mencukupkan diri pada batas kemampuan mereka saja. Banyak diantara mereka yang dalam dakwahnya telah kebablasan! Sehingga ada diantara mereka yang hanya tahu satu atau dua atau tiga ayat saja misalnya, tapi yang mereka sampaikan sepuluh ayat! Atau ada yang baru membaca hadits Al-Arba’in An-Nawawiyah dan mempelajari beberapa hadits saja, tapi saat berbicara tentang hadits seolah-olah ia adalah Imam Al-Bukhari atau Imam Muslim. Atau ketika berbicara tentang hukum-hukum syariah dan fiqih, tidak jarang bahkan ia menyalah-nyalahkan madzhab-madzhab fiqih para ulama besar, semisal Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad dan imam-imam mujtahid yang lainnya rahimahumullah. Maka dalam berdakwah merekapun berbicara tentang apa saja dari ajaran Islam, seperti layaknya ulama besar yang menguasai semua bidang ilmu agama: tafsir, hadits, fiqih, aqidah, siyasah syar’iyah dan lain-lain. Semua pertanyaan tentang apa saja selalu mereka jawab. Dan fatwa-fatwa pun dengan mudahnya mereka keluarkan, yang sebagiannya bahkan tidak pernah dikenal dalam khazanah fiqih madzhab-madzhab para imam.

Tentu saja bukan kondisi dan praktek seperti itu yang kita maksudkan dengan mengatakan bahwa, setiap orang Islam wajib ikut aktif berdakwah berdasarkan hadits “Ballighuu ‘annii walau aayah” tersebut. Tapi yang kita maksudkan adalah bahwa, masing-masing wajib berdakwah sesuai dengan kadar kemampuannya dan dalam batas ilmu serta pemahaman yang dimilikinya saja, dan tidak melampauinya. Bagi orang awam yang tidak tahu dalil, maka aktivitas dakwah yang harus dilakukannya  hanyalah dalam bidang-bidang dakwah yang memang tidak butuh dalil, misalnya dalam masalah-masalah yang termasuk kategori ma’lum minad-din bidh-dharurah (masalah agama yang pasti diketahui setiap orang Islam tanpa dalil). Dan bagi yang hanya tahu satu ayat atau satu hadits atau satu hukum Islam, maka iapun harus membatasi diri dengan hanya menyampaikan yang diketahuinya itu saja, dan tidak menyampaikan yang lainnya yang tidak atau belum ia kuasai. Bahkan tentang satu ayat atau satu hadits itupun, sebelum disampaikan harus terlebih dulu dipastikan bahwa, pemahamannya tentang ayat atau hadits tersebut telah benar. Perhatikanlah kata “annii” (dariku) dalam hadits diatas, yang berarti bahwa satu ayat tersebut harus disampaikan dengan penafsiran, pemahaman dan praktek yang benar berdasarkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Karena betapa banyak kalangan yang menyampaikan ayat atau hadits dengan penafsiran yang salah dan pemahaman yang keliru.

Adapun masalah-masalah keislaman dan keilmuan yang pelik dan rumit, maka haruslah diserahkan dan dikembalikan kepada ahlinya, para ulama yang kompeten di bidangnya. Allah Ta’ala berfiman (yang artinya): “Maka bertanyalah kepada para ahli ilmu, jika kamu tidak mengetahui” (QS. An-Nahl 16: 43 dan Al-Anbiyaa’ 21: 7). Wallahu a’lam wa Huwal- Muwaffiq ilaa sawaa-issabiil.

ballighu anni walau ayah artinya

Dari Abdullah bin Amr radhiyallahu ta’ala ‘anhu, bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً

“Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat” (HR. Bukhari)

Seputar perawi hadits

Hadits ini diriwayatkan oleh shahabat Abdullah bin ‘Amr bin Al Ash bin Wa’il bin Hasyim bin Su’aid bin Sa’ad bin Sahm As Sahmiy.

Nama kunyah beliau Abu Muhammad, atau Abu Abdirrahman menurut pendapat lain. Beliau adalah salah satu diantara Al ‘Abaadilah (para shahabat yang bernama Abdullah, seperti ‘Abdullah Ibn Umar, ‘Abdullah ibn Abbas, dan sebagainya –pent) yang pertama kali memeluk Islam, dan seorang di antara fuqaha’ dari kalangan shahabat.

Beliau meninggal pada bulan Dzulhijjah pada peperangan Al Harrah, atau menurut pendapat yang lebih kuat, beliau meninggal di Tha’if.

Poin kandungan hadits

Pertama:

Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk menyampaikan perkara agama dari beliau, karena Allah subhanahu wa ta’ala telah menjadikan agama ini sebagai satu-satunya agama bagi manusia dan jin (yang artinya), “Pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu dan telah kusempurnakan bagimu nikmat-Ku dan telah aku ridhai Islam sebagai agama bagimu” (QS. Al Maidah : 3).

Tentang sabda beliau, “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”, Al Ma’afi An Nahrawani mengatakan, “Hal ini agar setiap orang yang mendengar suatu perkara dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersegera untuk menyampaikannya, meskipun hanya sedikit. Tujuannya agar nukilan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dapat segera tersambung dan tersampaikan seluruhnya.”

Hal ini sebagaimana sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Hendaklah yang hadir menyampaikan pada yang tidak hadir”. Bentuk perintah dalam hadits ini menunjukkan hukum fardhu kifayah.

Kedua:

Tabligh, atau menyampaikan ilmu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbagi dalam dua bentuk :

  1. Menyampaikan dalil dari Al Qur’an atau sebagiannya dan dari As Sunnah, baik sunnah yang berupa perkataan (qauliyah), perbuatan (amaliyah), maupun persetujuan (taqririyah), dan segala hal yang terkait dengan sifat dan akhlak mulia Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
    Cara penyampaian seperti ini membutuhkan hafalan yang bagus dan mantap. Juga cara dakwah seperti ini haruslah disampaikan dari orang yang jelas Islamnya, baligh (dewasa) dan memiliki sikap ‘adalah (sholeh, tidak sering melakukan dosa besar, menjauhi dosa kecil dan menjauhi hal-hal yang mengurangi harga diri/ muru’ah, ed).
  2. Menyampaikan secara makna dan pemahaman terhadap nash-nash yang ada. Orang yang menyampaikan ilmu seperti ini butuh capabilitas dan legalitas tersendiri yang diperoleh dari banyak menggali ilmu dan bisa pula dengan mendapatkan persaksian atau izin dari para ulama.
    Hal ini dikarenakan memahami nash-nash membutuhkan ilmu-ilmu lainnya, di antaranya bahasa, ilmu nahwu (tata bahasa Arab), ilmu-ilmu ushul, musthalah, dan membutuhkan penelaahan terhadap perkataan-perkataan ahli ilmu, mengetahui ikhtilaf (perbedaan) maupun kesepakatan yang terjadi di kalangan mereka, hingga ia mengetahui mana pendapat yang paling mendekati dalil dalam suatu masalah khilafiyah.
    Dengan bekal-bekal ilmu tersebut akhirnya ia tidak terjerumus menganut pendapat yang ‘nyleneh’.

Ketiga:

Sebagian orang yang mengaku sebagai da’i, pemberi wejangan, dan pengisi ta’lim, padahal nyatanya ia tidak memiliki pemahaman (ilmu mumpuni) dalam agama, berdalil dengan hadits “Sampaikan dariku walau hanya satu ayat”.

Mereka beranggapan bahwasanya tidak dibutuhkan ilmu yang banyak untuk berdakwah (asalkan hafal ayat atau hadits, boleh menyampaikan semau pemahamannya, ed). Bahkan mereka berkata bahwasanya barangsiapa yang memiliki satu ayat maka ia telah disebut sebagai pendakwah, dengan dalil hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tersebut.

Menurut mereka, tentu yang memiliki hafalan lebih banyak dari satu ayat atau satu hadits lebih layak jadi pendakwah.

Pernyataan di atas jelas keliru dan termasuk pengelabuan yang tidak samar bagi orang yang dianugerahi ilmu oleh Allah.

Hadits di atas tidaklah menunjukkan apa yang mereka maksudkan, melainkan di dalamnya justru terdapat perintah untuk menyampaikan ilmu dengan pemahaman yang baik, meskipun ia hanya mendapatkan satu hadits saja.

Apabila seorang pendakwah hanya memiliki hafalan ilmu yang mantap, maka ia hanya boleh menyampaikan sekadar hafalan yang ia dengar. Adapun apabila ia termasuk ahlul hifzh wal fahm (punya hafalan ilmu dan pemahaman yang bagus), ia dapat menyampaikan dalil yang ia hafal dan pemahaman ilmu yang ia miliki.

Demikianlah sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, “Terkadang orang yang disampaikan ilmu itu lebih paham dari yang mendengar secara langsung. Dan kadang pula orang yang membawa ilmu bukanlah orang yang faqih (bagus dalam pemahaman)”.

Bagaimana seseorang bisa mengira bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan orang yang tidak paham agama untuk mengajarkan berdasarkan pemahaman yang ia buat asal-asalan (padahal ia hanya sekedar hafal dan tidak paham, ed)?!

Semoga Allah melindungi kita dari kerusakan semacam ini.

Simak Penjelasan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullahu Ta’ala terkait hadits ini.

  • Pemahaman yang benar terkait hadits “sampaikanlah dariku walau satu ayat”

***

Diterjemahkan dari : “Ta’liqat ‘ala Arba’ina Haditsan fi Manhajis Salaf” Syaikh Ali bin Yahya Al Haddadi

Penerjemah: Yhouga Ariesta

Editor: M. A.  Tuasikal

Artikel muslim.or.id