Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik antara buruh dengan pengusaha

Mulai penyelesaian tingkat bipartit, mediasi, di PHI, hingga permohonan kasasi di MA.

Bacaan 3 Menit

Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik antara buruh dengan pengusaha

Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Juanda Pangaribuan (kiri) dalam diskusi virtual seputar penyelesaian hubungan industrial yang diselenggarakan Hukumonline, Selasa (31/8/2021). Foto: RFQ

Konflik atau perselisihan hubungan industrial antara pekerja dengan pengusaha seringkali terjadi dalam sebuah perusahaan di berbagai sektor usaha. Persoalan mulai pemutusan hubungan pekerjaan (PHK), besaran pesangon, hingga perselisihan hak lain kerap menjadi persoalan pokok yang berujung perselisihan dalam perusahaan. Untuk itu, perlu dipahami tahapan dan cara untuk mencari jalan keluar dalam menyelesaikan konflik hubungan industrial ini.  

Praktisi Hukum Ketenagakerjaan Juanda Pangaribuan mengatakan pedoman menyelesaikan konflik hubungan industrial masih mengacu UU No.2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial tanpa terkena imbas dari UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Baginya, menyelesaikan perselisihan atau konflik hubungan industrial harus memahami tahapan-tahapannya. Pertama, menyelesaikan perselisihan di tahap bipartit.

Inisiatif perundingan bipartit bisa datang dari pengusaha atau pekerja yang menginginkan kepentingan yang sama untuk menyelesaikan masalah. Tapi, inisiatif bipartit kerap muncul dari pihak yang menginginkan penyelesaian sesegera mungkin. Caranya, pengusaha mengundang pekerja/serikat pekerja secara lisan atau tertulis untuk merundingkan masalah yang dipersoalkan.  

“Dokumentasikan berkas secara tertulis dan rekaman agar semua aktivitas dalam perundingan tercatat yang nantinya dapat dijadikan bukti. Arsipkan semua dokumen yang berkaitan dengan perselisihan. Lalu, buatkan risalah bipartit, masing-masing membubuhkan tanda tangan,” ujar Juanda Pangaribuan dalam diskusi virtual seputar penyelesaian hubungan industrial yang diselenggarakan Hukumonline, Selasa (31/8/2021). (Baca Juga: Mengenali 4 Jenis PHK dalam Hubungan Industrial)

Kedua, bila tak menemukan titik temu di tahap bipartit, menuju ke tahap mediasi di Dinas Ketenagakerjaan setempat. Strategi yang dapat digunakan pengadu yakni pekerja menjelaskan masalah kepada mediator secara gamblang, lugas dan tegas. Sementara pengusaha mendengar dan mencatat untuk selanjutnya mempersiapkan bantahan dan bukti. Pekerja bisa mengusulkan ke pihak mediator agar dilakukan pertemuan setengah kamar. Demikian pula sebaliknya ketika pengusaha dalam posisi sebagai pengadu.

Juanda mengingatkan agar pihak pengadu menghormati dan menghargai mediator sebagai aparatur negara. Menurutnya, sikap baik pengadu dan hormat akan memudahkan mediator memberikan jalan keluar atas perselisihan kedua belah pihak. Tak kalah penting, terus membuka komunikasi dengan pihak-pihak berselisih untuk membantu mediator dalam membaca dan memahami masalah.

Mantan Hakim Ad Hoc PHI pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat periode 2006-2016 ini melanjutkan kendalanya, salah satu mitra mediasi enggan berdamai dan salah satu pihak hanya menginginkan anjuran/putusan. Sementara dari sisi mediator, kurang berupaya memaksimalkan jalan perdamaian bagi para pihak berselisih paham. Padahal, mediasi menjadi jalan atau cara bagi para pihak bernegoisasi.


Page 2

Mulai penyelesaian tingkat bipartit, mediasi, di PHI, hingga permohonan kasasi di MA.

Bacaan 3 Menit

Ketiga, di tingkat pengadilan hubungan industrial (PHI). Ketiga mediasi gagal, perselisihan berlanjut ke PHI. Tahap pengadilan menjadi ajang “pertempuran” para pihak beradu argumen dengan menyodorkan bukti-bukti masing-masing untuk meyakinkan hakim PHI. Baginya, tingkat pengadilan bakal jauh lebih rumit ketimbang tahap bipatrit ataupun mediasi.

Misalnya, penggugat, misalnya pekerja harus melampirkan anjuran atau risalah mediasi yang diterbitkan mediator di Dinas Ketenagakerjaan setempat sebagai syarat menggugat ke PHI. Hakim bakal mengkorelasikan surat gugatan dengan anjuran yang diterbitkan mediator. “Untuk memastikan apakah penggugat dan tergugat disebut sebagai pihak berselisih dalam anjuran mediator atau tidak?”

Lazimnya menyusun surat gugatan dilakukan oleh seorang lawyer. Namun pekerja dapat berlatih membuat surat gugatan. Seperti menuliskan identitas, alamat dan jabatan, uraian gugatan secara jelas dan sistematis (posita), serta uraian petitum atau tuntutan. Sementara pihak tergugat membuat jawaban dalam bentuk eksepsi. Dalam eksepsi, tergugat dapat mempersoalkan kewenangan relatif dan absolut pengadilan agar hakim tak memeriksa pokok perkara.

Tahapan selanjutnya tahap pembuktian. Masing-masing pihak bakal beradu bukti seperti surat dan dokumen. Seperti surat peringatan, surat PHK, surat panggilan, slip gaji dan lainnya. Selain itu menyodorkan saksi fakta yang melihat, mendengar dan mengetahui peristiwa. Hingga seorang ahli seperti dosen, peneliti, hingga praktisi yang didengarkan keilmuannya seputar permasalahan yang relevan.

Setelah ada putusan PHI, terdapat pihak kalah dan menang. Bagi pihak yang kalah berhak mengajukan kasasi dan berharap dikabulkan majelis hakim kasasi di Mahkamah Agung (MA). Permohonan kasasi tak hanya keberatan atas substansi putusan pengadilan tingkat pertama, tapi bisa juga karena adanya kesalahan hakim dalam menerapkan hukum.

“Pemohonan kasasi perlu memperlihatkan dimana letak kesalahan hakim dalam menerapkan hukum. Kalau salah dalam pertimbangan alinea kelima, kutip poin kesalahannya dikaitkan dengan hukum yang seharusnya,” lanjutnya.

Juanda menegaskan permohonaan kasasi menjadi upaya hukum terakhir dalam perkara hubungan industrial. Selain UU No.2 Tahun 2004, hal ini ditegaskan dakam SEMA No.3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar MA Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Kemudian dikuatkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.46/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK No. 34/PUU-XVII/2019. Kata lain, PHI tidak mengenal upaya hukum peninjauan kembali.

“Maka pertarungan terakhir ada pada tingkat kasasi. Sehingga baik pemohon maupun termohon harus memaksimalkan pada fase terakhir ini agar bisa memenangkan perkara.”

Jumat, 9 Nopember 2012

Jakarta, Jurnal Nasional - PARA buruh dan pengusaha diingatkan untuk tidak saling menebar ancaman terkait perselisihan pendapat mengenai hubungan industrial. Para buruh diimbau tidak bertindak anarkis saat melakukan aksi menuntut kesejahteraan. Sementara para pengusaha tidak boleh menerapkan keputusan sepihak dengan cara menghentikan produksi lantaran merasa terbebani oleh tuntutan buruh. Langkah penyelesaian perselisihan antara buruh dan pengusaha harus segera dilakukan agar tidak mengganggu iklim investasi di Indonesia yang sudah kondusif. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Muhaimin Iskandar menyatakan, perselisihan pendapat antara buruh dengan pengusaha harus diselesaikan melalui dialog terbuka lewat forum Lembaga Kerja Sama (LKS) bipartit. Kedua belah pihak diharap tidak melakukan tindakan yang melanggar hukum dan mengganggu keamanan dan ketertiban umum. "Pemerintah minta pengusaha dan pekerja agar menjaga hubungan industrial yang harmonis dan kondusif. Semua pihak harus bekerja sama mencari solusi atas permasalahan ketenagakerjaan yang terjadi saat ini dan menghindari hal-hal yang merugikan semua pihak," kata Muhaimin di Kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Jakarta, Kamis (8/11). Menurut Muhaimin, pemerintah sedang menata sistem hubungan industrial yang adil, manusiawi, produktif, dan saling menguntungkan. Untuk merealisasikan harapan tersebut, dibutuhkan peran dan kerja sama yang baik antara buruh dan pengusaha. Kepada para buruh, Muhaimin mengharap agar menghentikan aksi-aksi sweeping di sejumlah pabrik karena dapat mengganggu proses produksi, merugikan para buruh sendiri, bahkan dapat mengakibatkan tutupnya perusahaan. Sementara kepada pihak pengusaha, Muhaimin mengingatkan, tidak melakukan aksi lock-out (penghentian operasi) yang dapat merugikan semua pihak. Para pengusaha pun diminta melakukan berbagai upaya meningkatkan kesejahteraan para buruh. "Pengusaha dengan buruh harus memanfaatkan lembaga bipartit melalui komunikasi yang intens dan santun sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan sedini mungkin dan melahirkan ketenangan bekerja dan berusaha," harap Muhaimin. Menurut Menakertrans, akhir-akhir ini hubungan industrial antara buruh dan pengusaha sangat dinamis. Namum, perdebatan soal pengaturan outsourcing, penetapan upah dan jaminan sosial, jangan mengganggu kondisi hubungan kerja yang sudah harmonis. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Sofjan Wanandi meminta pemerintah bersikap tegas dengan menegakan hukum. Menurut dia, ketidakpastian hukum akan mengganggu keberlangsungan usaha dan mengganggu iklim usaha. "Sebenarnya sudah ada aturannya tapi belum dijalankan," kata Sofyan kepada Jurnal Nasional, Kamis (8/11) malam, menanggapi demo para buruh yang menuntut peningkatan kesejahteraan dan penghapusan sistem kerja kontrak (outsourcing). Sofyan menilai, pemerintah tidak konsisten menjalankan UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dalam UU tersebut, diperbolehkan perusahaan menerapkan sistem kerja outsourcing. "Tinggal sekarang pemerintah menegakan aturan yang ada, mana outsourcing yang boleh dan mana yang tidak boleh. Itu saja sebenarnya," kata Sofyan. Dia menyesalkan adanya penafsiran pemerintah terhadap UU Ketenagakerjaan khusus ketentuan mengenai outsourcing. "UU bilang boleh, kenapa pemerintah menafsirkan. Kelihatannya pemerintah takut dengan para buruh," katanya seraya mengingatkan agar aksi buruh tidak menggangu proses produksi yang merugikan semuanya. Wakil Sekretaris Jenderal Apindo, Franky Sibarani juga menekankan pentingnya penegakan hukum dan jaminan keamanan dari aparat keamanan untuk keberlangsungan kegiatan perusahaan. "Sangat terasa sekali terjadi ketidakmampuan pihak keamanan bagi industri untuk melakukan aktivitas industrinya," kritik Franky Sibarani, Kamis (8/11). Menanggapi aspirasi para buruh yang menuntut peningkatan kesejahteraannya, Franky menilai, proses pengupahan dibahas oleh dewan pengupahan. Namun, dia menyesalkan, adanya intervensi melalui demonstrasi yang bernuansa politisasi. Selama ini, menurut Franky, pemerintah pusat melakukan intervensi pusat dengan menetapkan upah minimum sebesar Rp2 juta. "Bagi kami itu intervensi. Karena di dalam dewan pengupahan, besarnya upah dibicarakan secara tripartit baik pengusaha, buruh maupun pemerintah," ujar Franky yang juga Koordinator Forum Komunikasi Asosiasi Nasional ini. Menyangkut outsourcing, Franky menyatakan, tetap mengacu pada UU ketenagakerjaan. Dia berharap pemerintah konsisten menjalankan ketentuan yang dalam UU Ketenagakerjaan tersebut. Franky juga tidak setuju dengan pembatasan outsourcing pada lima bidang saja yaitu security, driver, cleaning service, catering, dan jasa pertambangan. "Outsourcing jelas secara UU itu bisa, kelihatannya Kemenakertrans hanya mendorong outsourcing hanya lima. Itu juga bagian dari intervensi," kata Franky. Sementara Menteri Perindustrian MS Hidayat mengimbau Apindo tidak mengeluarkan pernyataan tentang ancaman penghentian produksi sejumlah perusahaan karena berdampak negatif bagi industri dan iklim investasi di dalam negeri. Dia juga mengatakan upah minimum regional (UMR) untuk buruh tidak boleh di bawah gaji terendah pegawai negeri sipil (PNS). "Gaji PNS saja minimum Rp2 juta per bulan," kata Hidayat usai menghadiri dialog bisnis Indonesia-Uni Eropa (UE) di Nusa Dua, Bali, kemarin. Ia mengimbau pengusaha mpmiliki niat untuk menaikkan upah minimum buruh. Kenaikan UMR menjadi sekitar Rp2 juta perbulan tidak akan mengurangi daya saing Indonesia dalam menarik investasi. "Daya saing tidak sampai jatuh," katanya. Anggota Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Oesman Sapta mengharap ada langkah nyata dari Kadin dalam menyelesaikan permasalahan antara para pengusaha dan buruh sehingga tidak merusak iklim usaha di Indonesia. "Kadin lenggang kangkung aja. Kadin jangan jadi alat polittk, siapapun pemimpinnya," tutur Oesman di sela-sela acara jamuan santap siang dengan Parlemen Azerbaijan, di Jakarta, Kamis (8/11). Pemilik OSO Group itu menyesalkan jika Kadin tidak berbuat banyak atas kisruh buruh dan pengusaha yang terjadi beberapa hari ini. Ia menilai, demo yang berakhir ricuh yang terjadi hingga saat ini bukan mutlak kesalahan buruh. "Di mana peran Kadin dalam menyesaikan persoalan buruh? Perusahaan hengkang (demo buruh ricuh), Apa buruhnya salah? Buruh tidak salah, justru sistem perburuhannya yang salah," ujarnya. Oesman menilai, aksi buruh tidak bermaksud mengganggu proses produksi dan iklim usaha. Namun, karena tuntutan keadilan dan kesejahteraan. "Padahal mereka sudah memberikan banyak bagi perusahaan. Di sinilah peran Kadin karena mereka satu-satu organisasi yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor Tahun 1987 tentang Kadin," katanya. Oesman juga tidak sepakat bila Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) berniat membalas aksi buruh dengan mogok produksi. "Itu saya kira terlalu lebay, bukan solusi. Seharusnya sebagai sebuah organisasi mereka bisa lebih bijak, bukan dengan cara saling ancam," ujarnya. Sementara Wakil Ketua Umum Kadin bidang Distribusi, Perdagangan, dan Logistik Natsir Mansyur meminta agar persoalan ancaman industri yang ingin hengkang dari Indonesia akibat aksi-aksi buruh belakangan terakhir ini tidak perlu dibesar-besarkan. Natsir mengingatkan Indonesia akan menghadapi ASEAN Economic Community (AEC) dalam waktu dekat sehingga kekisruhan antara buruh dan pengusaha dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi kepentingan industri nasional. "Saya kira, kalau mau hengkang ya secara alamiah saja dan Apindo sendiri tidak perlu terlalu membesar-besarkan. Kalau industri dodol atau kacang, mungkin gampang, tapi bagaimana dengan industri Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) atau Penanaman Modal Asing (PMA) yang investasinya sangat besar, tentu tidak segampang itu," kata Natsir, di Jakarta, Kamis, (8/11).

Menurut dia, rata-rata industri nasional sebanyak 60 persennya masih membutuhkan bahan baku impor. Jika perusahaan banyak hengkang, maka membahayakan kepentingan industri sendiri. Industri itu sangat rawan tutup atau pindah ke negara ASEAN lainnya yang lebih kompetitif dan efisien di mana biaya produksi dan biaya logistik lebih rendah. "Makanya, mari kita bersama-sama memperbaiki iklim investasi di dalam negeri," ujarnya. Natsir juga meminta seluruh pemangku kepentingan duduk bersama dan menghitung biaya produksi yang mesti dikeluarkan pengusaha saat ini.

sumber : Jurnal Nasional

Share:
Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik antara buruh dengan pengusaha
Bagaimana upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi konflik antara buruh dengan pengusaha