Bagaimana tingkat kematian akibat penyakit TBC di dunia

Sekitar 6-8 bulan menjadi penyebab orang dengan TBC menghentikan pengobatan di tengah jalan setelah merasa sehat padahal masa pengobatan belum selesai. Hal ini akan membuat bakteri tetap hidup dan terus menginfeksi tubuh serta orang terdekatnya.

2. Adanya peningkatan orang yang terinfeksi HIV/AIDS

Virus HIV dapat melemahkan kekebalan tubuh. Oleh karena itu, orang dengan HIV akan mudah terinfeksi penyakit lain termasuk TBC sehingga orang dengan HIV/AIDS atau ODHA dianjurkan untuk mengikuti tes TBC. Orang yang terinfeksi HIV/AIDS berisiko 20 sampai 30 kali lebih mungkin untuk terinfeksi TBC. Sekitar 400 ribu ODHA di dunia meninggal akibat TB pada tahun 2016, lapor WHO.

Selain ODHA, anak-anak, lansia, penderita kanker, diabetes, ginjal, dan penyakit autoimun lainnya berisiko lebih tinggi untuk terinfeksi TBC karena sistem imunnya tidak mampu melawan pertumbuhan bakteri TBC yang ganas.

3. Munculnya permasalahan resistansi/kebal obat antituberkulosis

Bakteri penyebab TBC bisa kebal terhadap beberapa jenis antibiotik sehingga menyulitkan proses penyembuhan. Salah satu penyebabnya adalah kelalaian mengikuti aturan pengobatan TBC. Kondisi ini dikenal juga dengan TBC resistan obat atau TB MDR. Jumlah kasus resistan obat tuberkulosis terus meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2018, terdapat lebih dari 8.000 kasus TB MDR.

Walaupun data dari situasi penyakit TBC di Indonesia selama 2018 bisa membuktikan bahwa penyakit ini bisa diobati, penyakit ini tetap memerlukan upaya pengendalian khusus dari pemerintah. Di Indonesia pencegahan penyakit TBC sedari dini bisa dilakukan melalui vaksin BCG. Pastikan pula Anda selalu menjaga kesehatan dan kebersihan diri.

Tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu penyakit yang berpotensi mematikan. Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan ada sekitar 1,7 juta orang yang meninggal akibat penyakit TBC.

Angka kematian yang tinggi tersebut menjadikan penyakit ini sebagai salah satu dari 10 penyebab utama kematian di seluruh dunia. Oleh sebab itu, anda perlu mengenali ciri-ciri TBC agar bisa segera terdeteksi dan tidak terlambat ditangani. Pasalnya, penyakit paru ini bisa disembuhkan.

Ciri-ciri TBC yang perlu diwaspadai

TBC disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis. Bakteri ini dapat hidup di dalam tubuh tanpa menimbulkan gejala. Bila tak bergejala, anda dianggap mengidap TB laten atau kuman TB ini ‘tidur’ di paru-paru Anda.

Namun begitu daya tahan tubuh Anda menurun, TB laten dapat berkembang menjadi TB aktif yang memicu keluhan sekaligus bisa menular pada orang lain. Umumnya ciri-ciri TBC aktif yang dialami oleh penderita bisa berupa :

  • Gangguan pada sistem pernapasan, seperti batuk berdahak dan batuk darah. Gejala batuk bisa berlangsung selama lebih dari tiga minggu.
  • Berkeringat pada malam hari.
  • Rasa lelah tanpa sebab yang jelas.
  • Demam.
  • Kehilangan nafsu makan.
  • Berat badan yang turun tanpa sebab.
  • Pembesaran kelenjar getah bening di leher.

Meski paling sering menyerang paru-paru, penyakit TBC juga dapat mempengaruhi organ lainnya seperti : ginjal, tulang belakang, dan otak. Ciri-ciri TBC akan bervariasi, tergantung pada organ yang terkena. Misalnya TBC ginjal dapat mengakibatkan kencing darah.

Penularan bakteri TBC tidak semudah flu

Setelah mengetahui ciri-ciri TBC, penting juga untuk memahami dan mewaspadai cara penularan TBC. Bakteri penyebabnya bisa menyebar melalui udara ketika penderita bersin, batuk, berbicara, atau bernyanyi.

Meski begitu, penularan TBC tidak semudah yang anda kira, anda lebih beresiko tertular penyakit ini dari orang yang sering anda temui, misalnya: anggota keluarga yang tinggal serumah, teman sekantor, atau teman sekelas.

Berbeda dengan anggapan banyak orang, TBC tidak bisa menular melalui aktivitas di bawah ini :

  • Berbagi makanan atau minuman.
  • Saling meminjamkan sikat gigi.
  • Bersalaman.
  • Menyentuh barang-barang pribadi penderita, misalnya sisir atau pakaian.
  • Berciuman.
  • Terpecik liur ketika penderita TBC batuk.

Meski begitu, ada pula kelompok orang yang lebih rentan tertular TBC, siapa sajakah mereka ?

  • Orang yang merokok.
  • Orang yang menyalahgunakan obat-obatan.
  • Orang yang mengonsumsi alkohol untuk waktu yg lama.
  • Orang dengan sistem imun yang lemah, seperti pengidap HIV/AIDS, pengidap kanker yang menjalani kemoterapi, orang yang menjalani transplantasi organ.

Sejak anda terpapar bakteri Mycobacterium tuberculosis, ciri-ciri TBC umumnya baru akan muncul setelah 1-12 minggu. Jeda waktu ini disebut masa inkubasi.

Pengobatan tuberkulosis

TBC dapat dideteksi melalui pemeriksaan dahak, beberapa tes lain yang dapat dilakukan untuk mendeteksi penyakit menular ini adalah: foto rontgen, tes darah, atau tes kulit (Mantoux).

TBC dapat disembuhkan jika penderitanya patuh mengonsumsi obat sesuai dengan resep dokter. Untuk mengatasi penyakit ini penderita perlu minum beberapa jenis obat untuk waktu yang cukup lama (minimal 6 bulan). Obat-obat itu berupa :

  • Isoniazid
  • Rifampicin
  • Pyrazinamide
  • Ethambutol

Pengobatan penyakit TBC membutuhkan waktu yang cukup lama dan biaya yang tidak sedikit, oleh karena itu harus memiliki asuransi kesehatan agar bisa menjadi pertimbangan, sehingga anda tidak perlu dipusingkan dengan tanggungan biaya saat berobat nanti.

* Penulis adalah Mahasiswa di Universitas De La Salle Manado

Data World Health Organization (WHO), kasus tuberkulosis (TB/TBC) pada 2015 mencapai 10,4 juta jiwa. Penderita TBC terbesar di India dengan 2,8 juta kasus, diikuti Indonesia dengan 1,02 juta kasus dan Tiongkok (918 ribu kasus). Angka kematian TBC pada tahun yang sama di Tanah Air mencapai 100 ribu jiwa/tahun termasuk 26 ribu penderita terindikasi HIV positif. Adapun prevalensi penyakit ini 395 per 100 ribu populasi dan angka kematian 40 per 100 ribu populasi. Kenapa TBC tidak bisa diberantas? Padahal anggaran yang dikucurkan ratusan miliar tiap tahun?. 

Penularan penyakit TBC di Tanah Air makin mengkhawatirkan. Sejak puluhan tahun lalu, peringkat penderita penyakit akibat kuman Mycobacterium tuberculosis itu naik turun. Pada 2007, Indonesia menduduki peringkat ketiga setelah India dan Tiongkok (China, Red). 

Tahun selanjutnya, peringkat Indonesia turun menjadi kelima di bawah Nigeria dengan tetap tiga besar dipegang India, Tiongkok, Afrika Selatan dan Nigeria (selengkapnya lihat grafis). Tapi posisi itu berubah pada 2016 lalu, Indonesia menjadi peringkat kedua setelah India dalam jumlah penderita TBC terbanyak di dunia.

Bahkan, pada 2016 lalu, TBC menjadi penyakit menular yang banyak membunuh dengan angka 274 kematian per hari. Saat ini, diperkirakan terdapat 1.020.000 penderita penyakit menular tersebut. Meski begitu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyebutkan yang baru terlaporkan sekitar 420 ribu kasus.

Menteri Kesehatan Prof Nila Djuwita F Moeloek sebelumnya mengatakan dengan peringkat kedua terbanyak di dunia, penderita TBC harus ditekan dengan berbagai upaya serius semua pihak untuk menurunkan peringkat tersebut.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kemenkes, Wiendra Waworuntu mengatakan Pemerintah sangat serius memberantas penyakit TBC. Misalnya, penanggulangan penyakit menular itu masuk target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Negara (RPJMN) dan Renstra Kemenkes 2015 hingga 2019.

Lalu, katanya juga, Kemenkes juga terus mendorong agar setiap daerah baik provinsi dan kota/kabupaten dapat mengalokasikan anggaran untuk penanggulangan TBC. Selain itu, Kemenkes juga dengan gencar menggandeng kemitraan agar cakupan penemuan dan pengobatan makin meningkat.

”Sebaran TBC paling banyak di Pulau Jawa,” terangnya kepada INDOPOS akhir pekan lalu. Dia memaparkan, Provinsi Jawa Barat menduduki peringkat teratas dengan jumlah insidensi TBC terbesar di Tanah Air. Kemudian disusul Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Banten juga menjadi daerah rawan penularan penyakit tersebut.

Sementara daerah lain di luar Pulau Jawa yang diwaspadai adalah Provinsi Sumatra Utara. ”Insidensi TBC di Indonesia saat ini 1.020.000 kasus. Selain lima daerah peringkat teratas yang memiliki jumlah TBC terbanyak, saat ini belum ada daerah yang benar benar-benar terbebas dari TBC,” terangnya juga.

Dia memaparkan, ada beberapa sebab yang menyebabkan Indonesia menjadi negara kedua terbesar penyebaran TBC. Salah satu faktornya, sejak 2015 lalu, Kemenkes menggunakan alat yang sangat sensitif untuk mendeteksi penyakit TBC.

Dengan alat itu, terdapat peningkatan 2,7 kali kasus TBC dari sebelumnya. Sementara, alat yang digunakan negara lain tidak sesensitif atau sama dengan Indonesia. Sehingga, katanya juga, secara teknis persebaran TBC di Indonesia tidak bisa dibandingkan dengan negara yang lain.

”Selain itu kita juga perlu meningkatkan penemuan kasus TBC resistan obat yaitu pasien TBC yang sudah kebal terhadap obat TBC lini satu yang memerlukan pengobatan lanjut dengan obat anti TBC lini dua,” ungkap juga pejabat yang akrab disapa Wiendra ini.

Guna mencegah meluasnya TBC, Wiendra juga mengimbau setiap keluarga untuk senantiasa mendukung pengobatan anggota keluarga yang menderita TBC. Salah satu caranya menjadi pengawas menelan obat (PMO) sampai dianggap telah sembuh sepenuhnya. Selain itu penting memberikan semangat serta dorongan psikososial agar anggota keluarga yang menderita TBC tidak menyerah dalam proses pengobatan.

Kemudian, pemeriksaan menyeluruh setiap anggota keluarga juga dianggap penting agar tidak tertular TBC. Anak di bawah umur harus menjadi fokus utama pemeriksaan tersebut. Karena, anggota keluarga menjadi investigasi kontak bagi pasien TBC dan wajib diperiksa oleh petugas kesehatan.

Hingga saat ini, terang Wiendra juga, masih banyak pasien TBC yang belum terlaporkan sehingga belum mendapat penanganan medis yang baik. Hal tersebut dianggap dapat menjadi sumber penularan di lingkungan masyarakat.

”Penyakit TBC penularannya sangat mudah dan melalui udara, apalagi di ruang yang jarang terkena matahari, maupun ruangan ber-AC. Mobilitas masyarakat saat ini juga tinggi dan perilaku hidup bersih dan sehat terbilang rendah,” katanya lagi.

Sedangkan Dr Anung Sugihantono, M.Kes, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes menjelaskan, mereka yang belum diperiksa dan diobati akan menjadi sumber penularan bagi orang di sekitarnya. Hal ini yang menyebabkan seakan-akan masalah TBC tak kunjung selesai.

Dunia ingin mencapai eliminasi TBC pada tahun 2030 dan Indonesia turut berkomitmen mencapainya. ”'Penemuan kasus terus ditingkatkan secara intensif baik yang dilakukan fasilitas milik pemerintah maupun swasta, serta melakukan pendekatan terpadu layanan TBC dengan layanan kesehatan lainnya serta dilakukan juga penemuan aktif melalui pendekatan keluarga. Upaya ini didukung dengan edukasi terus menerus melalui berbagai kegiatan dan media,” terangnya.

Besar dan luasnya permasalahan akibat TBC mengharuskan semua pihak untuk dapat berkomitmen dan bekerjasama dalam melakukan pencegahan dan pengendalian TBC. Kerugian yang diakibatkannya sangat besar, bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial maupun ekonomi.

Dengan demikian TBC merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh, karenanya perang terhadap TBC berarti pula perang terhadap kemiskinan, ketidakproduktifan, dan kelemahan akibat TBC.

Dr. Anung menjelaskan, penyakit yang bisa terjadi pada semua lapisan ini sebenarnya bisa dicegah sejak dini dengan melakukan imunisasi BCG (Baccile Calmette Guerin). ”Kita pun harus menjaga lingkungan tetap bersih dan sehat. Di dalam tumah harus tersedia ventilasi, air bersih, dan pastikan sinar matahari bisa masuk ke dalam rumah,” ungkapnya.

TBC Tidak Hanya Menyerang Paru

Dr Anung juga mengatakan, jika sudah terkena TBC tidak perlu khawatir, karena penyakit ini bisa sembuh total walau sudah terjadi resistensi karena penggunaan obat. Kunci hanya satu, teratur melakukan pengobatan agar penyakit tersebut hilang 100 persen dari tubuh. Bagi penderita TBC harus meminum obatnya setiap hari, hingga pasien dinyatakan sembuh.

Bila tidak selesai pengobatan, yang ditakutkan adalah bermutasinya kuman menjadi kebal obat. ”'Kalau sudah kebal obat, obat yang lama tidak mempan. Harus pakai yang baru. Obat barunya lebih keras, lebih banyak efek samping. Pengobatannya tidak hanya enam bulan tapi bisa sampai 20 bulan,” paparnya juga.

Dia juga berpesan, jangan lupa, untuk menjaga etika batuk, tidak buang ludah sembarangan, jika batuk ditutup atau gunakan masker, tisu, sapu tangan ketika ada di ruang publik. Dia juga memaparkan, dalam peringatan Hari Tuberkulosis Sedunia 2018, Kemenkes RI menggagas tema ’Peduli TBC, Indonesia Sehat’ untuk menanggulangi penyakit tuberkulosis di Indonesia.

Lewat tema ini, Kemenkes ingin mengajak semua pihak dan masyarakat turut berperan aktif dalam gerakan TOSS TBC (Temukan Obati Sampai Sembuh) sebagai upaya pencegahan dan pengendalian TBC. TOSS TBC adalah gerakan untuk menemukan pasien sebanyak mungkin dan mengobatinya sampai sembuh sehingga rantai penularan di masyarakat bisa dihentikan.

Banyak yang beranggapan TBC hanya menyerang paru-paru. Faktanya, penyakit yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis ini juga menyerang organ-organ tubuh lain. ”Contohnya meningitis TB, ada artis yang meninggal karena itu. Ada TB khusus, TB kulit, TB tulang, saluran kemih, mata, tenggorokan, alat reproduksi dan lain-lain,”' ujar dr. Erlina Burhan, Ketua Pokja Tuberkulosis Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI).

”Yang tidak bisa hanya di rambut, kuku, sama gigi. (Organ) Yang lainnya bisa semua,” tambah spesialis paru dari RSUP Persahabatan itu. Meskipun persentasenya lebih kecil dibandingkan yang menyerang jaringan paru, namun TB jenis ini juga sangat berbahaya, apalagi gejalanya seringkali tidak disadari.

Salah satu bagian tubuh yang bisa terserang kuman TB yaitu saluran tuba fallopi atau saluran yang menghubungkan ovarium dengan rahim. Tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan yang serius, kuman yang menyerang organ reproduksi tersebut juga bisa menyebabkan kemandulan.

”'Bila kuman TB-nya menyerang organ reproduksi, ini bisa menyebabkan masalah sulit memiliki keturunan. Banyak juga yang tidak menyadari sudah terkena kuman TB lantaran gejalanya tidak seperti TB yang menyerang jaringan paru,'' tuturnya.

Erlina mengatakan, 30 persen TBC organ lain juga disertai dengan TB paru-paru. Makanya biasanya mereka di rontgen juga. Tuberkulosis di organ lain memiliki obat yang sama dengan tuberkulosis paru-paru.

DPR Desak Menkes Kendalikan TBC

Sementara itu, Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo mendesak Menteri Kesehatan (Menkes) mencegah dan mengendalikan TBC atau Tuberkulosis. Penyakit menular yang menetapkan Indonesia terbanyak kedua penderita penyait itu di dunia membutuhkan perhatian ekstra. Contohnya di Surabaya, Jawa Timur, TBC telah menyerang 764 anak.

Bamsoet-sapaan akrab Bambang Soesatyo mengatakan, untuk itu melalui Komisi IX, dirinya mendorong Kemenkes bersama dengan Dinas Kesehatan (Dinkes) untuk segera melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit TBC tersebut.

”Seperti meningkatkan upaya penemuan kasus TBC baru melalui penerapan dan penguatan jejaring layanan TBC pemerintah dan swasta berbasis kabupaten/kota, serta menerapkan wajib lapor (mandatory notification, red) bagi semua layanan yang mengobati TBC, dalam memetakan dan mengurangi masalah kasus TB yang tidak terlaporkan, guna memutus rantai penularan di masyarakat,” ujarnya kepada INDOPOS akhir pekan lalu di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.

Melalui Komisi IX, sambung politisi Partai Golkar itu, pimpinan DPR juga mendorong Kemenkes bersama Dinkes untuk melakukan vaksinasi BCG kepada anak, terutama pada usia bayi baru lahir secara fokus dan menyeluruh guna melindungi bayi dari infeksi TBC, mengingat kasus TBC di Indonesia mencapai 300.000 orang setiap tahunnya.

”Saya juga meminta Komisi IX DPR mendorong pemerintah fokus menerapkan sistem Directly Observed Treatment Short-course (DOTS) dalam penanggulangan TBC, serta mendukung ketersediaan Obat Anti TBC sesuai dengan Surat Keputusan nomor 1190/Menkes/SK/2004 tentang Pemberian Gratis Obat Anti Tuberkulosis (OAT, red) dan Obat Anti Retro Viral (ARV, red) untuk HIV/AIDS," tambah Bamsoet.

Bamsoet menyebutkan, Komisi IX DPR agar mendorong Kemenkes melakukan edukasi dengan memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang cara-cara penularan dan cara-cara pemberantasan serta manfaat penegakan diagnosa dini.

”Mengimbau semua pihak dan tokoh agama serta tokoh masyarakat untuk turut berperan aktif dalam mensosialisasikan gerakan imunisasi BCG dan gerakan TOSS (Temukan Obati Sampai Sembuh, red) TBC sebagai upaya pencegahan dan pengendalian TBC," pungkas Bamsoet.

Sedangkan Ketua Komisi IX DPR RI, Dede Yusuf mengatakan, TBC merupakan penyakit menular maka perlu dilakukan langkah-langkah maksimal agar persebarannya tidak terus bertambah, melalui pengumpulan data mengenai orang-orang yang terkena TB, sehingga bisa dilakukan tindakan prevensi terhadap lingkungannya.

”Untuk mengetahui siapa yang terkena TB tentu tidak hanya bisa mengandalkan rumah sakit pemerintah saja yang selama ini didatangi, tetapi, harus dicek melalui rumah-rumah, puskesmas dan yang lainnya, sehingga dapat dipetakan daerah mana saja yang terdapat persebaran TB,” ujar Dede Yusuf di lokasi yang sama.

Politisi Partai Demokrat itu menuturkan, program yang khusus mengenai penyebaran penyakit-penyakit menular ini memang sudah ada anggarannya. Tetapi, tentu prioritasnya di bagi-bagi, untuk TB sendiri itu dananya Rp 400 milliar.

Politisi dapil Jawa Barat II mengatakan, TB memang merupakan penyakit pembunuh yang ada di seluruh dunia, akan tetapi, meski mematikan, penyakit ini tetap dapat disembuhkan dengan anjuran minum obat yang tepat waktu dan sesuai anjuran dosis.

”Diketahui juga upaya penurunan kasus TB terus dilakukan untuk mencapai target dunia mengeradikasi TB tahun 2050. Pemerintah Indonesia mencanangkan program TOSS TB atau Temukan, Obati Sampai Sembuh Tuberkulosis,” tutupnya. (aen/dew/cr-1)

Sumber: INDOPOS.CO.ID