Bagaimana peran media massa pada masa pergerakan nasional?

Berikut ini adalah pembahasan tentang sejarah pers dan kaitannya dengan pergerakan nasional yang meliputi Peranan Pers dalam Pergerakan Nasional, pers di masa pergerakan, peranan pers dalam masyarakat demokrasi, fungsi pers menurut uu no 40 tahun 1999, sejarah perkembangan pers di indonesia, perkembangan pers pada masa pergerakan nasional.

Media massa atau Pers adalah suatu istilah yang mulai digunakan pada tahun 1920-an untuk mengistilahkan jenis media yang secara khusus didesain untuk mencapai masyarakat yang sangat luas. Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah ini sering disingkat menjadi media.

Pergerakan nasional merupakan hal yang baru dalam sistem perjuangan bangsa dalam menghadapi penjajah. Hal yang baru tersebut tidak akan bisa berkembang dan dimengerti oleh masyarakat luas tanpa adanya informasi yang disebarluaskan di kalangan masyarakat umum.

Pers merupakan sarana yang sangat penting dalam menyebarluaskan informasi. Media pers yang berupa surat kabar dan majalah memiliki andil yang besar di dalam menyebarluaskan suara nasionalisme (kebangsaan) Indonesia.

Pada tahun 1615 atas perintah Jan Pieterzoon Coen, yang kemudian pada tahun 1619 menjadi Gubernur Jenderal VOC, diterbitkan “Memories der Nouvelles”, yang ditulis dengan tangan. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa “surat kabar” pertama di Indonesia ialah suatu penerbitan pemerintah VOC.

Pada Maret 1688, tiba mesin cetak pertama di Indonesia dari negeri Belanda. Atas intruksi pemerintah, diterbitkan surat kabar tercetak pertama dan dalam nomor perkenalannya dimuat ketentuan-ketentuan perjanjian antara Belanda dengan Sultan Makassar. 

Setelah surat kabar pertama kemudian terbitlah surat kabar yang diusahakan oleh pemilik percetakan-percetakan di beberapa tempat di Jawa. Surat kabar tersebut lebih berbentuk koran iklan. fungsinya untuk membantu pemerintahan kolonial belanda.

Gambar: Pers Nasional di Masa Pergerakan
  1. Darmo Kondo, dikelola oleh Budi Utomo.
  2. Oetoesan Hindia, dikelola oleh Sarekat Islam.
  3. Het Tijdschrift dan De Expres, yang diterbitkan Indische Partij. De Expres dipimpin oleh Dauwes Dekker (Dr. Danudirja Setyabudi), yaitu keturunan Indo Belanda yang memiliki jiwa nasionalis Indonesia.
  4. Surat kabar Mataram. Surat kabar Mataram banyak menulis tentang pendidikan, seni, dan budaya penderitaan rakyat dan penindasan, serta perkembangan pergerakan nasional. Tokoh yang banyak menulis pada surat kabar Mataram yaitu Suwardi Suryaningrat.
  5. Majalah Hindia Putra. Majalah ini diterbitkan pada tahun 1916 oleh Indesche Vereeniging, yakni organisasi mahasiswa Indonesia di negara Belanda. Pada tahun 1924 Majalah Hindia Putra diubah namanya menjadi Indonesia Merdeka.
  6. Majalah Indonesia merdeka. Majalah ini memiliki peran penting yaitu:
  • Menyebarkan cita-cita mencapai kemerdekaan.
  • Memperkuat cita-cita kesatuan dan persatuan Bangsa Indonesia.

Majalah ini beredar di berbagai negara seperti Belanda, Jerman, Prancis, Mesir, Malaya, dan Indonesia. Pada tahun 1930 pemerintah Hindia Belanda melarang peredaran majalah Indonesia Merdeka di wilayah Indonesia.

PERAN media jurnalistik saat ini masih sangat diperhitungkan oleh pihak Penguasa, terlepas berkembangnya media sosial (SOSMED) yang semakin marak dibuat dengan berbagai aplikasi hasil dari produk-produk kapitalis.

Selain di Negara luar, di Indonesia karya dan profesionalitas jurnalistik masih dipertahankan oleh pihak dewan pers melalui kode etik (KEJ) yang berdasarkan Undang-udang Pers Nomor 40, tahun 1999. Sehingga, berdampak pengaruh keterlibatan Jurnalistik tetap bernilai kuat dihadapan penguasa.

Meski produk sosmed dapat mewadahi suara aspirasi masyarakat global, secara kredibilitas tetap tidak bisa terukur mempengaruhi penguasa, karena tingkat kepercayaannya relatif rendah, sebab kaidah unsur akurasi tulisan maupun gambar yang ditayangkan di sosmed tidak memenuhi unsur Cover Boarside Frinciple. Selain itu, sosmed tidak berkekuatan hukum secara pasti, namun justru dapat berdampak jeratan hukum melalui UU ITE.

Hal lain yang berkembang didunia Jurnalistik terutama di Indonesia adalah penyalahgunaan profesi Jurnalistik yang berdampak buruk terhadap nilai karya dan profesionalitas jurnalistik, yaitu banyaknya perusahaan yang mengaku sebagai (perusahaan pers) dengan mengesampingkan UU Pers didalamnya. Akibatnya, rekruitmen profesi Jurnalistik mengesampingkan tujuan inti jurnalistik itu sendiri.

Terlebih, dunia jurnalistik hari ini relatif bergantung kepada penguasa, sehingga sikap independensi jurnalistik dinilai pudar, oleh sebab itu ketajaman fungsi sosial kontrol jurnalistik dalam pemberitaan relatif lemah.

Pergerakan Nasional 1945

Penulis memandang, berdasarkan riset historis, jurnalistik saat ini berbeda dengan jurnalistik dimasa pergerakan Nasional, tujuan jurnalistik saat itu adalah ikutserta mengawal mempertahankan Kemerdekaan Indonesia dari Penjajah Belanda dan para penghianat bangsa. Saat itu, pasca diproklamasikannya Kemerdekaan Indonesia yang disiarkan melalui Radio Hoso Kanri Kyoku yang saat ini bernama Radio Republik Indonesia (RRI), peran media Jurnalistik lainnya ikut serta mempublikasikan hingga ketingkat dunia.

Kontribusi terbesar media Jurnalistik saat itu, ketika sebulan setelah dipublikasikannya kemerdekaan Indonesia, Belanda kembali datang ke Indonesia tepatnya 17 September 1945, Kolonial Belanda tidak merestui atas Proklamasi tersebut dan kembali merebut beberapa wilayah di Indonesia, posisi media Jurnalistik melalui pemberitaan saat itu ikutserta terlibat dalam mempertahankan Kemerdekaan.

Kobaran semangat perjuangan saat itu terus dipublikasikan oleh berbagai media, beberapa media terkemuka dimasa itu diantaranya, Surat Kabar Fadjar Asia yang sebelumnya didirikan oleh H.O.S Cokroaminoto, Koran Soeara Asia, Harian Sedio Tomo terbitan Boedi Utomo, Majalah Mingguan Fikiran Ra’yat, Majalah Daulah Rakyat dan lain-lain ikut berjuang.

Selain datangnya kolonial Belanda ke dan di Indonesia, banyak pula bermunculan disaat itu para penghianat bangsa termasuk para tokoh Nasional, kekecewaan besar rakyat terhadap tokoh Nasional pada saat itu adalah adanya perjanjian Linggarjati pada tahun 1947, dimana kekuasaan bangsa Indonesia saat itu direstui dan disepakati oleh tokoh Nasionalis hanya Sumatra, Jawa dan Madura.

Berita Konsep Hijrah, Giroh Revolusi Nasional Menuju Revolusi Islam

Fadjar Asia terbit pada Selasa 8 November 1927 Masehi bertepatan dengan 12 Jumadil Awwal 1346 Hijriyah. Foto: Dokumen redaksi.

Saat itu, media jurnalistik terus menggelorakan semangat perjuangan atas mempertahankan tanah air bangsa. Sebelum kemerdekaan, pada 24 Mei 1930 surat kabar Fajar Asia pernah menerbitkan catatan konsep Hijrah HOS Cokroaminoto sebagai strategi perjuangan dengan memuat 4 Pasal, 12 ayat, 3 bagian dan 1 keterangan ditambah 7 anak poin dan itu dijadikan sebagai marwah dan ghiroh semangat perjuangan pasca datangnya belanda kembali ke Indonesia.

Akibat kekecewaan terhadap perjanjian Linggarjati 1947 itu, lasykar-lasykar islam kembali memuat semangat Konsep Hijrah sebagai upaya revolusi Nasional. Lebih jauh media jurnalistik menyoroti, konsep Hijrah itu kembali digelorakan umat islam, mengingat pihaknya pernah dikhianati akibat dibatalkannya piagam Jakarta pada Juni 1945, padahal konsep kemerdekaan dengan menjalankan syariat islam adalah cita-cita terbesar umat islam pada waktu itu.

Selain tokoh Islam yang merasa dikhianati, tokoh-tokoh yang berhaluan Komunispun kecewa atas sikap para tokoh Nasionalis pada saat itu, dampaknya adalah ketika adanya pemberontakan dan deklarasi Republik Indonesia Soviet di Madiun pada tahun 1948.

Perlakuan para tokoh Nasionalis yang dinilai sebagai pengkhiatan terbesar selanjutnya adalah disepakatinya perjanjian Renvile, wilayah kekuasaan Indonesia saat itu semakin dipersempit. Buktinya, atas putusan itu media Jurnalistik menginformasikan bahwa Indonesia hanya memiliki kekuasaan sebanyak 8 wilayah Karesidenan yang berpusat di Yogyakarta, wilayah-wilayah lainnya kembali diserahkan oleh para tokoh Nasionalis kepada kolonial Belanda dalam garis Demarkasi Van Mook.

Kecepatan Informasi akibat peranan Media Jurnalistik saat itu telah membuka jalan bangsa untuk terus memperjuangkan tanah airnya. Saat itu, meski sebagian rakyat bersama Siliwangi ikutserta pindah ke Yogyakarta, sebagian besar lainnya, terutama lasykar islam tetap berdiri tegak mempertahankan tanah yang dipijaknya.

Bahkan, diketahui media, Jendral Sudirman yang hendak ikutserta Longmarch ke Yogyakarta membatalkan niatnya, mensikapi pendirian lasykar-lasykar islam terutama di Jawa bagian Barat masih tetap konsisten berjuang melawan kolonial Belanda, hingga Jendral Soedirman memasok senjata ke Lasykar-lasykar Islam dan Soedirman berlanjut bergerilya di hutan belantara.

Sebagai upaya memperkuat Revolusi Nasional, tokoh Islam pada saat itu sebelumnya pada tanggal 07 sampai dengan 12 February 1948 mengadakan Konferensi Islam di Cisayong, Garut, Jawa Barat dengan membentuk Majelis Islam dan program-program didalamnya, secara catatan historis menyebut, membentuk satu barisan pertahanan bangsa dari gabungan Hisbulloh, Sabilillah dan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).

Selain itu, menurut catatan buku yang ditulis seorang tokoh politik DR. Fadli Zon M.Sc tertuang bahwa, hasil program Konferensi Islam dengan melahirkan semangat Revolusi Islam itu dapat menyelamatkan Vacum Of Power kekuasaan Indonesia akibat Agresi Militer ke II yang terjadi di Yogyakarta, dalam kekosongan kekuasaan itu, Umat Islam Bangsa Indonesia memproklamasikan kembali Kemerdekaannya berdasarkan hukum Islam tepatnya pada tanggal 07 Agustus 1949 yang berlokasi di Jawa Barat. 

Editor: Dimas Madia

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA