Bagaimana pendapat tentang otsus di papua

Pemerintah pusat sering menggunakan klaim bahwa segala kebijakan Jakarta adalah demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam kasus Papua, seolah-olah segala masalah terkait Papua hanya berasal dari ancaman terhadap persatuan Indonesia.

Kalau pun ancaman itu ada, salah satu akar masalahnya lebih berasal dari pola pikir yang keliru dan kebijakan yang inkonsisten. Sebagian besar yang selama ini diberlakukan oleh Jakarta adalah pendekatan koersif dalam konteks mempertahankan integrasi Papua dalam wilayah NKRI.

Wilayah beserta kekayaan alamnya diutamakan, tetapi manusianya dikesampingkan. Itu sebabnya banyak terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga dalam revisi Undang-Undang tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) dan disahkannya RUU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus (UU Otsus) bagi Provinsi Papua.  UU No 2/2021 tentang Perubahan Kedua atas UU No 21/2001 itu sudah diundangkan pada 19 Juli 2021.

Dalam pembahasan revisi itu, pemerintah pusat tidak melibatkan Majelis Rakyat Papua (MRP) sebagai representasi kultural orang asli Papua secara memadai. Bahkan protes penolakan ditangani secara koersif.

Di atas kertas, UU Otonomi Khusus tahun 2001 selama ini telah dianggap mengandung pasal-pasal yang mengakui hak-hak masyarakat adat.

Terkait integrasi Papua ke dalam Indonesia, Bung Hatta pernah khawatir akan munculnya apa yang ia sebut sebagai imperialisme Indonesia atas Papua. Imperialisme, dalam sejarah, mengutamakan pemusatan kekuasaan, akumulasi modal, dan politik rasisme.

Hal ini terlihat dari gagalnya implementasi UU Otsus Papua. Di atas kertas, UU Otonomi Khusus tahun 2001 selama ini telah dianggap mengandung pasal-pasal yang mengakui hak-hak masyarakat adat. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya, UU Otonomi Khusus 2001 tidak pernah benar-benar dilaksanakan.

Salah satunya adalah karena pemerintah pusat tidak pernah benar-benar memberi kepercayaan kepada orang Papua, termasuk MRP yang telah ditetapkan menjadi representasi kultural orang asli Papua, dengan yang bisa dikatakan tertinggi.

Bahkan beberapa kegagalan pelaksanaan otonomi khusus selama ini juga disebabkan oleh inkonsistensi Jakarta terhadap apa yang telah disepakati dalam UU Otsus. Misalnya, pembentukan provinsi baru atau pemekaran wilayah provinsi Papua pada tahun 2003. Pemekaran wilayah yang menghasilkan pembentukan provinsi baru, yaitu Irian Jaya Barat, atau yang sekarang dikenal sebagai Papua Barat.

Sekarang, masalahnya makin melebar. Bukan hanya pelaksanaan atas UU Otsus, melainkan juga proses perumusan draf revisi UU Otsus dan proses pembahasannya yang tanpa pelibatan dan konsultasi yang memadai dari orang asli Papua.

Jika memang surat presiden (surpres) dari Presiden Joko Widodo kepada DPR yang menjadi dasar revisi UU Otsus mencerminkan konsultasi publik yang meluas dari orang asli Papua, maka seharusnya MRP tidak akan memutuskan untuk mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi (MK).

Persoalan lain, substansi hukum dari UU Otsus tersebut justru kembali ditabrak. Salah satunya melalui pengambilan wewenang Majelis Rakyat Papua, lembaga negara resmi yang dibentuk oleh undang-undang otonomi khusus, dalam keputusan pemekaran wilayah.

Dalam UU Otsus yang lama, Pasal 76 menyatakan bahwa “Pemekaran Provinsi Papua menjadi provinsi-provinsi dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memerhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa datang.”

Artinya, pemekaran wilayah dilakukan atas persetujuan MRP dan Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP), walaupun pernah dilanggar di era Presiden Megawati Soekarnoputri yang membentuk Provinsi Irian Jaya Barat dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2003.

Adapun dalam naskah Revisi UU Otsus Papua yang baru disahkan, pemerintah pusat ingin memiliki kewenangan untuk secara langsung melakukan pemekaran wilayah di Papua tanpa harus mendapat persetujuan dari Majelis Rakyat Papua.

Simak ketentuan berikut. Pasal 76 Ayat 1 berbunyi: “Pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi provinsi-provinsi dan kabupaten/kota dapat dilakukan atas persetujuan MRP dan DPRP setelah memerhatikan dengan sungguh-sungguh kesatuan sosial budaya, kesiapan sumber daya manusia, kemampuan ekonomi, dan perkembangan pada masa yang akan datang”.

Dengan kata lain, revisi UU Otsus yang baru ini ingin memusatkan kembali kendali Papua oleh Jakarta.

Ketentuan ini menghilangan sifat imperatif (wajib) dari persetujuan Majelis Rakyat Papua dalam pemekaran wilayah, dengan menambahkan kata “dapat”. Artinya pemekaran wilayah itu boleh dilakukan oleh MRP, tetapi juga dibolehkan untuk dilakukan oleh pemerintah pusat dengan tanpa persetujuan MRP. Dengan kata lain, revisi UU Otsus yang baru ini ingin memusatkan kembali kendali Papua pada Jakarta.

Begitu pula dengan Pasal 76 Ayat 2: “Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dapat melakukan pemekaran daerah provinsi dan kabupaten/kota menjadi daerah otonom untuk mempercepat pemerataan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, dan kesejahteraan masyarakat, serta mengangkat harkat dan martabat Orang Asli Papua dengan memerhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial-budaya, kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur dasar, kemampuan ekonomi, perkembangan pada masa yang akan datang, dan/atau aspirasi masyarakat Papua”.

Dengan rumusan ini jelas bahwa kedua ketentuan baru ini menunjukkan inkonsistensi Jakarta untuk yang kesekian kalinya. Pasal-pasal lainnya, penambahan orang asli Papua dan badan khusus Papua yang dipimpin oleh Wakil Presiden, hanya menegaskan kendali Papua ditarik kembali ke Jakarta.

Pola pikir ini melukai perasaan saudara-saudara Papua dan menyulitkan penyelesaian Papua.

Dengan pemusatan kendali politik tersebut, maka jaminan hak-hak masyarakat adat atas kekayaan alam mereka kerap dikesampingkan. Contohnya, dalam sektor pengelolaan sumber daya alam. Hak mereka dibenturkan dengan undang-undang lain yang bertentangan.

Hal ini dapat dilihat dengan berlanjutnya deforestasi di wilayah adat. Menurut data Forest Watch Indonesia, antara tahun 2000 hingga 2009, laju deforestasi di Papua sekitar 60.300 hektar per tahun. Antara 2013 dan 2017, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi 189.300 hektar per tahun.

Respons pihak berwenang atas sejumlah protes di Papua dan wilayah lain-yang dipicu ketidakpuasan atas implementasi otonomi khusus-juga tidak memuaskan.

Protes-protes tersebut ditanggapi dengan penangkapan dan kekerasan. Demonstrasi mahasiswa disambut dengan represi. Ketika MRP mengadakan pertemuan publik evaluasi otonomi khusus di Merauke pada November 2020, misalnya, dua anggota dan stafnya ditangkap atas tuduhan makar.

Contoh lain adalah pembubaran paksa aksi damai mahasiswa dan pemuda di lingkungan Universitas Cendrawasih, serta menangkap 23 mahasiswa  demonstran pada Rabu (14/7/2021), dan penangkapan 50 aktivis Papua di Jakarta (15/7/2021).

Pemerintah harus memastikan bahwa penduduk asli Papua didengar pendapatnya dan dilibatkan secara berarti dalam menentukan segala aspek yang menyangkut kehidupan mereka, termasuk dalam penyusunan UU Otsus.

Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/08/05/prospek-papua-pasca-revisi-uu-otonomi-khusus?status=sukses_login&utm_source=kompasid&utm_medium=login_paywall&utm_campaign=login&utm_content=https%3A%2F%2Fwww.kompas.id%2Fbaca%2Fopini%2F2021%2F08%2F05%2Fprospek-papua-pasca-revisi-uu-otonomi-khusus%3Fstatus%3Dsukses_login&status_login=login

Papua menjadi salah satu dari dua provinsi di Indonesia yang menerima otonomi khusus. Pemberian otonomi khusus ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat asli Papua, mewujudkan keadilan dalam hal pemerataan dan percepatan pembangunan, menghormati hak-hak dasar orang asli Papua, serta mendorong tata kelola pemerintahan yang baik.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengingatkan kembali hal itu dalam rapat dengar pendapat dengan Panitia Khusus Otonomi Khusus Papua Dewan Perwakilan rakyat di kompleks parlemen, Jakarta, Kamis (8/4).

Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian. (Foto: Humas Kemendagri)

Ditambahkannya, meski ada kekhususan bagi dua provinsi di Papua, yakni Papua dan Papua Barat, tetapi harus tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Selama dua dasawarsa pelaksanaan otonomi khusus di Papua, lanjutnya, taraf hidup masyarakat Papua makin membaik, meski belum optimal.

Tito menambahkan UU No.21/Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua baru mengatur ketentuan dana bagi hasil minyak bumi dan gas alam secara spesifik untuk Provinsi Papua Barat saja, belum untuk Provinsi Papua.

"Kondisi geografis yang berat dan luas masih menjadi kendala utama percepatan dan pemerataan pembangunan di wilayah Papua. (Sehingga) berdampak terjadi ekonomi tinggi serta rentan kendali pembangunan yang sulit di luar jangkauan pemerintah," kata Tito.

Gubernur Papua, Lukas Enembe membeli 5 ton ubi dan pangan lokal untuk dibagikan kepada masyarakat terdampak pandemi corona, 5 Mei 2020. (Foto: Humas Pemda)

Kekurangan lainnya, kata Tito, adalah masih belum terbentuknya Komisi Kebenaran dan rekonsiliasi (KKR) seperti diamanatkan oleh UU No.21/Tahun 2001 itu. Dia juga menyoroti masih perlunya peningkatan kualitas sumber daya manusia di Papua, terutama mereka yang bekerja di sektor pemerintahan.

Dengan berbagai kekurangan yang masih ada selama 20 tahun pelaksanaan otonomi khusus, Tito menyimpulkan otonomi khusus masih perlu diperpanjang, termasuk dana otonomi khusus yang menjadi sumber APBD.

"Untuk Provinsi Papua itu 63,79 persen APBDnya dari dana otsus (otonomi khusus), Rp14 triliun lebih untuk provinsi. Total untuk provinsi dan kabupaten hampir Rp54 triliun. Untuk Provinsi Papua Barat 52,68 persen dari dari dana otsus. Jadi kalau dana otsus ini tidak dilanjutkan, maka APBDnya akan langsung drop," ujar Tito

BACA JUGA: Pemerintah akan Perketat Pengawasan Dana Otsus Papua

Ditambahkannya, pemerintah menilai besaran dana otonomi khusus bagi Papua perlu ditambah dari dua persen menjadi 2,25 persen untuk mempercepat pembangunan dan kesejahteraan. Hanya saja skemanya perlu diubah dari 100% hibah, menjadi 1% hibah dan sisanya berdasarkan kinerja.

Dengan luas 3,5 kali pulau Jawa dan penduduk sekitar lima juta orang, pemerintah mengusulkan pemekaran kembali provinsi di Papua untuk percepatan pembangunan dan pemerataan. Sejauh ini ada aspirasi untuk membentuk provinsi Papua Selatan, Papua Utara, dan Papua Tengah.

Setujui Perpanjangan Otonomi Khusus di Papua

Dalam pandangan fraksinya, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Eti Wijayati mengatakan pemerintah perlu mewujudkan kesejahteraan, keadilan, dan perdamaian di Papua. Karena itu Fraksi PDIP menyetujui usulan pemerintah untuk memperpanjang pelaksanaan otonomi khusus di Papua dengan merevisi UU No.21/Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.

Seorang ibu membawa noken di sebuah pasar di Papua. (Foto: Alam Burhanan/VOA)

"Fraksi PDIP menyayangkan perubahan hanya sebatas afirmasi numerik, dana otonomi khusus, dan afirmasi administrasi kewilayahan, pemekaran provinsi. Bukannya perubahan dilakukan menyeluruh sekaligus menjawab persoalan sepanjang 20 tahun pemberlakuan otonomi khusus,” ujar Eti.

Trifena M. Tinal dari Fraksi Partai Golongan Karya menjelaskan meski sudah 20 tahun otonomi khusus dilaksanakan, sektor pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur di Papua masih lebih buruk dibandingkan rata-rata kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu, hal yang sangat memprihatinkan adalah menurut laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terdapat penyalahgunaan dana otonomi khusus oleh pemerintah daerah.

Pemerintah Nilai Otonomi Khusus di Papua Perlu Diperpanjang

Trifena merujuk data Badan Pusat Statistik pada 2018 yang menyebutkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua sebesar 60,84 atau meningkat 0,78 poin dibanding pada 2018. Dia menganggap masih ada harapan untuk peningkatan IPM Papua meski tidak signifikan.

"Oleh karena itu, mekanisme penyaluran serta pengawasan dana otonomi khusus harus diperbaiki agar lebih tepat sasaran serta memenuhi prinsip transparansi, dan akuntabilitas,” ujar Trifena.

Di akhir rapat, Panitia Khusus Revisi Undang-undang Otonomi Khusus Papua sepakat dengan pemerintah untuk melanjutkan proses pembahasan legislasi tersebut hingga rencana pengambilan keputusan mengenai draf RUU di rapat paripurna pada 15 Juli 2021. [fw/em]