Bagaimana pendapat para ulama mengenai kedudukan hakim wanita

Rep: Nashih Nashrullah Red: Chairul Akhmad

REPUBLIKA.CO.ID, Pada dasarnya, Allah memandang sama antara laki-laki dan perempuan. Hanya satu yang membedakan, yaitu derajat ketakwaan individu.

Hal ini sebagaimana dipertegas dalam ayat, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujuraat: 13).

Tetapi, terdapat beberapa persoalan yang menjadi perhatian para ulama terkait dengan peran dan kiprah perempuan di ranah publik. Termasuk persoalan pelik yang diperdebatkan dalam kajian fikih Islam ialah keterlibatan perempuan di wilayah umum, yaitu memegang jabatan atau posisi sebagai hakim—yang memutuskan kasus-kasus persengketaan dalam interaksi seharihari. Dalam sejarah Islam, sejumlah sahabat perempuan dikenal pernah memerankan fungsi sebagai rujukan dalam hukum, layaknya seorang hakim. Di antaranya ialah Aisyah RA, Ummu Salamah, Shafiyah, dan juga Ummu Habibah.Menurut mayoritas ulama mazhab— Syafi’i, Hanbali, dan Maliki—seorang perempuan dinyatakan tak boleh memegang jabatan sebagai hakim. Ketentuan ini berlaku di semua jenis kasus. Baik yang berkenaan dengan sengketa harta, qishash ataupun had, atau kasus-kasus lainnya. Bila mereka tetap diberikan kepercayaan sebagai hakim, maka pihak pemberi wewenang kepada yang bersangkutan dihukumi berdosa. Ketetapan yang dihasilkan oleh hakim perempuan itu pun dianggap batal walaupun mengandung unsur kebenaran.Sedangkan, dalam pandangan mazhab Hanafi, hukumnya tak jauh beda dengan pendapat mayoritas. Hanya saja, para ulama bermazhab Hanafi sedikit memberikan keleluasaan. Selama dianggap memenuhi syarat tertentu, maka mereka diperbolehkan berposisi sebagai seorang hakim.

  • fikih muslimah
  • hakim perempuan

Bagaimana pendapat para ulama mengenai kedudukan hakim wanita

Tuliskan contoh laporan tentang hasil pengamatan pelaksanaan prinsip prinsip demokrasi di rumah dan di sekolah dalam sebuah artikel minimal 300 kata​

Apa yang dimaksud dengan mixed constitution dalam sistem pemerintahan parlementer Inggris tersebut ​

Bagaimana praktek prinsip kedaulatan rakyat di Indonesia sesuai UUD 1945

30. Setiap warga negara Indonesia mempunyai hak dalam memanfaatkan kekayaan wilayah Nusantara untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan hidup sehari-hari … . Hal tersebut wujud dari Indonesia sebagai kesatuan .... a. politik b. ekonomi c. sosial budaya d. pertahanan keamanan an yang benar!​

apa persamaan berbohong dan menipu (min 5)​

krar yang disampaikan para pemuda untuk bersatu tanah air indonesia dinamakan​

Damia tinggal di daerah pesisir pantai Daerah tempat tinggal Damia memiliki keindahan alam yang menakjubkan. Pemerintah daerah mengelola daerah terseb … ut menjadi tempat pariwisata. Hasilnya, kini banyak wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut. Banyaknya kunjungan wisatawan menjadikan pereokonomian daerah mengalami peningkatan. Pemerintah daerah dalam mengembangkan suatu daerah berdasarkan wacana di atas memperhatikan karakteristik daerah tempat tinggal, yaitu.....Jgn ngasal ya! ​

Makna Sumpah pemuda bagi perjuanagn kemerdekaan​

dampak bagi masyarakat yang memiliki satu kenegaraan?​

Hal-hal yang tertuang dalam pembukaan UUD Tahun 1945, kecuali.... A. Pernyataan kemerdekaan Indonesia. B. Penderitaan rakyat Indonesia dimasa penjajah … an. C. Ideologi Negara. D. Cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia. ​

PUTHUT SYAHFARUDDIN, NIM : 11360064 (2016) KEDUDUKAN HAKIM PEREMPUAN (Studi Komparatif Imam Abu Hanifah dan Ibn Hazm). Skripsi thesis, UIN SUNAN KALIJAGA.

Bagaimana pendapat para ulama mengenai kedudukan hakim wanita

Bagaimana pendapat para ulama mengenai kedudukan hakim wanita

Preview

Text (KEDUDUKAN HAKIM PEREMPUAN (Studi Komparatif Imam Abu Hanifah dan Ibn Hazm))
11360064_BAB-I_IV-atau-V_DAFTAR-PUSTAKA.pdf - Published Version

Download (3MB) | Preview
Bagaimana pendapat para ulama mengenai kedudukan hakim wanita
Text (KEDUDUKAN HAKIM PEREMPUAN (Studi Komparatif Imam Abu Hanifah dan Ibn Hazm))
11360064_BAB-II_sampai_SEBELUM-BAB-TERAKHIR.pdf - Published Version
Restricted to Registered users only

Download (1MB)

Abstract

Hakim merupakan salah satu profesi yang penting, karena hakim adalah salah satu jabatan yang tinggi dalam Islam. Kedudukan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan mufti, karena tugas hakim bukan hanya sekedar menyatakan hukum, melainkan juga menjatuhkan suatu hukuman yang mana hasil dari putusan hukum tersebut wajib dilaksanakan dan dipatuhi. Sehingga, syarat-syarat dan uji kelayakan untuk menjadi hakim harus ditegakan secara demokratis, adil dan jujur. Dalam wacana syarat-syarat dan status keabsahan perempuan menjabat sebagai hakim, dalam islam terjadi perbedaan pendapat dan menimbulkan kontroversi dikalangan imam mazhab. Masalah mendasar yang menjadi kontroversi dalam kajian ini adalah menelaah dan memahami pandangan-pandangan imam mazhab dalam hal istinbath hukumnya terhadap syarat-syarat kehakiman. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa perempuan diperbolehkan untuk menjabat sebagai hakim dalam masalah keperdataan karena diqiyaskan dengan bolehnya kesaksian dalam masalah tesebut dan beliau juga tidak mensyaratkan laki-laki sebagai syarat wajib menjadi hakim. Sedangkan Ibn Hazm berpendapat bahwasanya perempuan boleh menjabat sebagai hakim secara mutlak, hal ini didasarkan pada hujjah beliau terhadap hadis Nabi yang diriwayatkan imam Bukhori. Selain berpedoman pada hujjah tersebut Ibn Hazm juga berpegang teguh pada kaedah ‘’al-Bara’ah al-Ashliyyah’’ Tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan penjelasan, analisa dan penilaian terhadap syarat-syarat dan faktor-faktor apa saja yang melatar belakangi terjadinya perbedaan pendapat antara imam Abu Hanifah dan Ibn Hazm terhadap kedudukan perempuan menjabat sebagai hakim serta mengutarakan istinbath hukum yang digunakan imam mazhab tersebut. Menurut jenisnya penelitian ini dikategorikan dalam penelitian kualitatif (kepustakaan), sifat penelitian yang digunakan adalah deskriptif-analisis-komparatif, dengan menggunakan metode pendekatan sosio-historis dan metode berfikir induktif, sehingga penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan beberapa kajian keeilmuan yang bermanfaat. Adapun hasil dari analisis yang penyusun lakukan adalah faktor yang melatar belakangi terjadinya perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah dan Ibn Hazm hal ini disebabkan oleh perbedaan penafsiran terhadap ayat al-Qur’an dan hadis Nabi SAW, karena adanya pertentangan dalil di antara keduanya (imam Abu Hanifah dan Ibn Hazm), serta perbedaan dalam menafsirkan dan memahami nash. Adapun persamaan pendapat keduanya dalam hal kedudukan hakim perempuan yaitu diperbolehkanya seorang perempuan menjabat sebagai hakim dan keduanya sama-sama tidak menjadikan laki-laki sebagai syarat mutlak untuk menjadi hakim. Sedangkan perbedaan pendapat di antara mereka adalah apa bila imam Abu Hanifah membatasi kewenangan hakim perempuan hanya pada wilayah perdata, berbeda halnya dengan ibn Hazm yang memperbolehkan perempuan menjabat sebagai hakim secara mutlak.

Share this knowledge with your friends :

Actions (login required)

Bagaimana pendapat para ulama mengenai kedudukan hakim wanita
View Item