Bagaimana pandangan isalam tentang bunga bank konvensional

Sebagai alternatif sistem bunga dalam ekonomi konvensional, ekonomi Islam menawarkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing) ketika pemilik modal  (Surplus spending unit) bersama dengan pengusaha (deficit spending unit) untuk melakukan kegiatan usaha. Apabila kegiatan usaha menghasilkan, keuntungan dibagi berdua dan apabila kegiatan usaha menderita kerugian, kerugian ditanggung bersama. Sistem bagi hasil menjamin adanya keadilan dan tidak ada pihak yang tereksploitasi (dizalimi).[1]

Bagi hasil adalah pembagian atas hasil usaha yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian yaitu pihak nasabah dan bank syariah. Dalam hal ini terdapat dua pihak yang melakukan perjanjian usaha, maka hasil atas usaha yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak, akan dibagi sesuai dengan posisi masing-masing pihak yang melakukan akad perjanjian.[2]

 Pembagian hasil usaha dalam perbankan syariah ditetapkan dengan menggunakan nisbah. Nisbah yaitu persentase yang disetujui oleh kedua belah pihak dalam menentukan bagi hasil usaha yang dikerjakan.[3]

Kebanyakan orang masih bertanya-tanya apakah interest dan usury itu sama-sama termasuk dalam kategori riba. Mengingat ada perbedaan fundamental antara usury dan interest. Usury lebih menekankan pengambilan keuntungan atas pinjaman uang secara berlebihan, sedangkan interest menurut sebagian orang adalah sesuatu yang wajar, demi menjaga nilai atas suatu mata uang. Tetapi sebelum sampai pada kesimpulan terlebih dahulu perlu dikaji secara mendalam, apa itu interest dan usury. Apakah termasuk kategori riba menurut pandangan Islam.[4]

Konsep interest ini mulai dikenal pada zaman pertengahan, yang berasal dari bahasa latin interesse yang berarti pampasan karena kerugian atau bayaran pampasan. Dengan kata lain interest adalah pampasan yang diberikan akibat kerusakan atau kerugian yang ditanggung pemberi hutang akibat kegagalan peminjam untuk mengembalikan pinjaman pada saat yang ditentukan.

 Usury sendiri berasal dari bahasa latin yaitu usura atau usuria yang berarti bayaran atas pinjaman. Dalam bahasa Yunani disebut sebagai tokos yang artinya mengeluarkan atau menghasilkan. Usury  dalam kontek pinjaman berarti harga yang harus dibayar akibat pinjaman baik berupa barang maupun berupa uang melebihi nilai yang sebenarnya berlebihan. Praktik yang terjadi biasanya dilakukan terhadap pinjam-meminjam uang.[5]

Dari uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa interest dan usury merupakan dua konsep dengan satu jiwa yaitu keuntungan yang diharapkan oleh pemberi pinjaman atas pinjaman uang atau barang, yang sebenarnya barang atau uang tersebut tidak ada unsur tenaga kerja, sehingga sesuatu yang dihasilkan oleh barang atau uang tersebut muncul tanpa resiko ataupun biaya.      Dengan demikian, interest dan usury termasuk dalam kategori riba, mengingat kedua-duanya menghasilkan tambahan keuntungan tanpa disertai adanya resiko dan biaya. Keuntungan yang dihasilkan berdasarkan perjalanan waktu semata dikenal dengan istilah time value of money.

Menurut Muhammad, bunga lebih didasarkan pada aspek kemudharatannya yang lebih besar dibanding dengan aspek kemanfaatannya. Kemudharatan sistem bunga sehingga dikategorikan sebagai riba, antara lain adalah sebagai berikut:

  1. Mengakumulasi dana untuk keuntungannya sendiri.
  2. Bunga adalah konsep biaya yang digeserkan kepada penanggung berikutnya.
  3. Menyalurkan hanya kepada mereka yang mampu.
  4. Penanggung terakhir adalah masyarakat.
  5. Memandulkan kebijakan stabilitas ekonomi dan investasi.
  6. Terjadi kesenjangan yang tidak aka nada habisnya.

Setelah dibahas cukup mendalam pengertian riba, interes, dan usury, ternyata ketiga konsep tersebut memiliki kesamaan dalam arti akar kata dan praktiknya di masyarakat. Oleh karena itu, ketiga-tiganya termasuk dalam sesuatu yang dilarang secara tegas dalam Islam.[6]

Adapun dalam Islam sendiri terdapat tiga aliran atau pandangan tentang riba dan larangan mengenai bunga bank, yaitu pandangan pragmatis, pandangan konservatif, dan pandangan sosio-ekonomis. Ketiga aliran atau pandangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

Menurut pandangan yang pragmatis, al-Qur’an melarang usury yang berlaku selama sebelum era Islam, tetapi tidak melarang bunga (interest) dalam sistem keuangan modern. Firman Allah:Pendapat ini didasarkan pada al-Qur’an Surah ali Imran ayat 130 yang melarang penggandaan pinjaman melalui proses yang usurious. Ayat itu mengemukakan:

“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. Ali Imran 130

Dengan demikian, pandangan pragmatis membenarkan pembebanan bunga bank sehingga terhadapnya dianggap sah. Yang dilarang secara hukum adalah pengenaan tambahan yang luar biasa tingginya karena terdapat unsur eksploitasi.  Lebih lanjut pandangan pragmatis membenarkan pembebanan bunga bank justru untuk kepentingan pembangunan ekonomi negara-negara muslim.[7]

Inti dari pandangan konservatif adalah mengartikan riba sebagai bunga (interest) maupun usury. Setiap imbalan yang telah ditentukan sebelumnya atas suatu pinjaman sebagai imbalan (return) untuk pembayaran tertunda atas pinjaman adalah riba, oleh karena itu dilarang dalam Islam. Pandangan konservatif membedakan riba menjadi riba nasiah dan riba fadl.

Riba nasiah terkait dengan tambahan bayaran yang dibebankan dalam transaksi pinjaman, sedangkan riba fadl bertalian dengan tambahan bayaran yang dibebankan dalam transaksi penjualan.

Pandangan sosio-ekonomis melarang bunga bank dengan dalih yang bersifat sosio-ekonomis. Pendapat yang terpenting mengemukakan bahwa bunga mempunyai kecenderungan pengumpulan kekayaan di tangan segelintir orang saja. Lebih lanjut pandangan sosio-ekonomis berpendapat bahwa prinsip keuangan Islam mengharuskan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman menghadapi resiko atau dengan kata lain keuntungan muncul bersama resiko dan pendapatan muncul bersama biaya.[8]

Politikus  Syiria kontemporer, Doualibi, membedakan antara pinjaman untuk konsumsi dengan pinjaman untuk produksi dan berpendapat bahwa bunga pada pinjaman untuk produksi adalah halal, tetapi bunga pada pinjaman untuk konsumsi adalah haram.

Pendapat ini berdasarkan bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan riba, menurut pandangan mereka, turun dalam konteks membebaskan penderitaan kaum miskin, dan kelompok masyarakat lemah, dan mereka yang, karena terjebak dalam hutang, tidak mampu melunasi hutangnya. Oleh sebab itu, mereka sepakat, bahwa pengharaman al-Qur’an terkait dengan pinjaman-pinjaman untuk konsumsi.[9]

Perbedaan antara bungan dan bagi hasil.

1.  Bunga

  1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan keuntungan.
  2. Besarnya persentase didasarkan pada jumlah dana/modal yang dipinjamkan.
  3. Bunga dapat mengambang/variabel dan besarnya naik turun sesuai dengan naik turunnya bunga patokan atau kondisi ekonomi.
  4. Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa dipertimbangkan apakah usaha yang dijalankan peminjam untung atau rugi.
  5. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan naik berlipat ganda.
  6. Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh semua agama.

2.  Bagi hasil

  1. Penentuan besarnya/rasio nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan pada kemungkinan untung rugi.
  2. Besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.
  3. Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama akad masih berlaku kecuali diubah atas kesepakatan bersama.
  4. Bagi hasil bergantung pada keuntungan usaha yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan ditanggung bersama.
  5. Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan keuntungan.
  6. Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.[10]

Dalam Islam ada tiga pendapat tentang riba dan pelarangan bunga. Pertama, melarang riba dan tidak melarang bunga. Pendapat pertama membolehkan bunga dengan alasan untuk kepentingan pembangunan ekonomi. Kedua,  Bunga dilarang dalam Islam, karena bunga dan riba adalah suatu hal yang sama. Pendapat ketiga melarang adanya bunga dalam system perbankan syariah karena dianggap mengumpulkan harta kekayaan di tangan segelintir orang saja. Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa bunga pada pinjaman untuk produksi adalah halal, tetapi bunga pada pinjaman untuk konsumsi adalah haram. Dengan demikian Islam melarang menerapkan sistem bunga dalam perbankan syariah. Sebagai gantinya, perbankan syariah bisa menerapkan bagi hasil dengan nisbah keuntungan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.

Bagi hasil adalah pembagian hasil usaha yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang mengadakan perjanjian kerja sama, besarnya nisbah bagi hasil merupakan kesepakatan kedua belah ihak.

Bagi hasil adalah pembagian atas hasil usaha yang telah dilakukan oleh pihak-pihak yang melakukan perjanjian yaitu pihak nasabah dan bank syariah. Dalam hal ini terdapat dua pihak yang melakukan perjanjian usaha, maka hasil atas usaha yang dilakukan oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak, akan dibagi sesuai dengan posisi masing-masing pihak yang melakukan akad perjanjian.

Dalam perbankan syariah akad mud}a>rabah dibagi menjadi dua yaitu mud}arabah mut}laqah dan mud}arabah muqayyadah. Pemilik modal boleh membatasi atau menentukan jenis usaha, waktu, dan tempat untuk melakukan kegiatan usaha. Selain itu, dalam akad ini juga dipebolehkan untuk tidak membatasi jenis usaha, waktu, dan tempat usaha.by.imamghozali

[1]     Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, 26.

[2]     Ismail, Perbankan Syariah, 95.

[3]     Ibid., 96.

[4]     Abdul Ghafur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, 17.

[5]      Abdul Ghafur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, 18

[6]     Ibid., 19.

[7]     Abdul Ghafur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, 20.

[8]     Abdul Ghafur Anshori, Perbankan Syariah di Indonesia, 21.

[9]     Abdullah Saeed, Menyoal Bank Syariah: Kritik Atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo-Rivalis, 65.

[10] Ascarya, Akad, 27.