“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
MENCIPTAKAN BUDAYA HUKUM MASYARAKAT INDONESIA
DALAM DIMENSI HUKUM PROGRESIF
Oleh
Nur Rohim Yunus*)
Abstrak
Hukum merupakan sebuah produk budaya. Bahkan hukum dianggap sebagai benda
mati, yang tiada artinya jika tak dibuat dengan kesadaran akan urgensi dan ketulusan
untuk melaksanakannya. Hukum hanya akan jadi lelucon dan lawakan apabila yang
membuatnya menjadi pelanggar hukum nomor satu, dan yang melaksanakannya
adalah bangsa tak berbudaya hukum. Lawrence Meil Friedman memiliki anekdot yang
menarik tentang hal ini, “Without legal culture, the legal system is inert—a dead fish
lying in a basket, not a living fish swimming in its sea.” Hukum di negara ini niscaya tak
berdaya, ibarat ikan mati, jika tak disokong oleh budaya hukum bangsa sendiri.
Penulisan penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis sosiologis. Data yang
dikaji lebih mengedepankan aspek empiris dari fenomena masyarakat. Didalamnya
ditelaah sejauhmana budaya hukum masyarakat tumbuh dan berkembang. Sedang
telaah teoretis yang menjadi pisau analisis penelitian ini adalah ungkapan dari Satjipto
Rahardjo yang mengatakan, “hukum adalah untuk manusia.” Suatu aturan hukum
tidak dapat dilepas dari aspek manusia. Bahkan ia sesungguhnya berpusat pada
manusia, karena esensi dan eksistensinya berpusat pada manusia (antro posentris).
Dari, oleh, dan untuk manusia. Kesimpulan dan rekomendasi yang dihasilkan dari
penelitian ini adalah gagasan menciptakan budaya hukum masyarakat Indonesia yang
mengedepankan kesadaran untuk bertindak, berbuat, dan berperilaku atas dasar
hukum yang seharusnya. Selain perbaikan loyalitas penegak hukum dan rekontruksi
kepatuhan seluruh lapisan masyarakat.
Kata Kunci : Budaya Hukum, Penegakan Hukum, Kepatuhan Hukum, Kesadaran
Hukum
A. PENDAHULUAN
Membangun dan merealisasikan
hukum dalam kehidupan masyarakat
sudah pasti akan dihadapkan pada ber-
bagai tantangan, baik yang disebabkan
oleh faktor internal maupun eksternal
masyarakat itu sendiri. 1 Padahal
1 Masyarakat sebagai terjemahan istilah society
adalah sekelompok orang yang membentuk
sistem semi tertutup (atau semi terbuka),
dimana sebagian besar interaksi adalah antara
individu-individu yang berada dalam kelompok
hukum akan menjadi baik apabila
masyarakat menerimanya dengan
sukarela. Sebaliknya, hukum akan
menjadi buruk apabila masyarakat
tersebut. Lebih abstraknya, sebuah masyarakat
adalah suatu jaringan hubungan-hubungan
antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah
komunitas yang interdependen (saling
tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah
masyarakat digunakan untuk mengacu
sekelompok orang yang hidup bersama dalam
satu komunitas yang teratur. [Lihat: Soerjono
Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta:
Rajawali Pers, 1987), h.20].
*) Penulis adalah Dosen Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Jakarta
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
tidak dapat menerimanya, karena tidak
dapat menjaga kepentingan masyarakat.
Dengan demikian hukum dan kepen-
tingan masyarakat harus memiliki
keseimbangan, dalam arti bahwa
hukum diciptakan untuk melindungi
kepentingan masyarakat.
Sosiolog memandang hukum seba-
gai sebuah produk budaya. Hukum
hanyalah benda mati, yang tiada arti-
nya jika tidak dibuat dengan kesadaran
akan urgensinya dan ketulusan untuk
melaksanakannya. Hukum hanya akan
jadi lelucon dan lawakan apabila yang
membuatnya menjadi pelanggar hukum
nomor satu, dan yang melaksanakan-
nya adalah bangsa tak berbudaya
hukum.
Lawrence Meil Friedman memiliki
anekdot yang menarik tentang hal ini,
“Without legal culture, the legal system
is iner -a dead fish lying in a basket, not
a living fish swimming in its sea.” 2
Hukum di negara ini niscaya tak
berdaya, ibarat ikan mati, jika tak
disokong oleh budaya hukum bangsa
sendiri.
Hukum adalah untuk manusia, 3
artinya suatu aturan hukum tidak
dapat dilepas dari aspek manusia.
Bahkan ia berpusat pada manusia
karena esensi dan eksistensinya ber-
pusat pada manusia (antro posentris),
dari, oleh, dan untuk manusia. Ia
berembrio dari kehendak, motif, ideal,
dan keprihatinan manusia. Ia dibuat
oleh manusia, dan dirumuskan dalam
bahasa manusia yang hanya dapat
dipahami oleh manusia. Ia dijalankan
oleh manusia dan untuk melayani
kepentingan manusia. Keyakinan dasar
ini tidak melihat hukum sebagai
2 Lawrence Meil Friedman, Law and Society; an
Introductions, (Prencite-Hall Foundations of
Modern Sociology Series, Englewood Cliffts,
Standford University, New Jersey, 1979), h. 7.
3 Satjipto Raharjo, membedah hukum progresif,
(Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), h. 151.
sesuatu yang sentral dalam berhukum,
melainkan manusialah yang berada di
titik pusat perputaran hukum.4
Titik tolak semua teorisasi hukum
pada dasarnya berporos pada satu hal,
yaitu hubungan manusia dan hukum.
Semakin landasan suatu teori bergeser
ke faktor peraturan, maka semakin ia
menganggap hukum sebagai unit ter-
tutup yang formal legalistik. Sebaliknya,
semakin ia bergeser ke manusia, sema-
kin teori itu terbuka dan menyentuh
mozaik sosial kemanusiaan.5
Lawrence Meil Friedman 6 mema-
sukkan komponen kultur hukum
dalam teori sistem hukumnya yaitu: (1)
struktur (structure), (2) substansial
(susbstance), dan (3) kultur (legal
culture). Ketiga komponen dalam sistem
hukum ini kerap dijadikan rujukan
standar untuk mengukur penegakan
hukum di suatu negara.7
4Satjipto Raharjo, Biarkan Hukum Mengalir,
Catatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan
Hukum, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007),
h. 139.
5 Bernard L. Tanya, Teori Hukum, Strategi Tertib
Manusia Lintas Ruang dan Generasi, (Surabaya:
Penerbit CV Kita, 2006), h. iii.
6 Lawrence Meil Friedman, Law and Society; an
Introductions, (Prencite-Hall Foundations of
Modern Sociology Series, Englewood Cliffts,
Standford University, New Jersey, 1979.
7 Ketiga komponen tersebut dapat dipersepsikan
sebagai aspek bekerja sistem hukum,
sebagaimana berikut ini: Aspek struktural yaitu:
aparat penegak hukum dalam melaksanakan
penegakan hukum dibatasi tingkat kemampuan
atau profesionalitas maupun terbatasnya biaya,
sumber daya manusia, sarana dan prasarana.
Aspek substantif yaitu: aspek yang disebabkan
adanya kelemahan dalam undang-undang yang
ada dalam hal ini adalah Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP). Aspek
kultural/budaya yaitu: aspek yang muncul pada
diri aparat penegak hukum yang disebabkan
adanya pengaruh dari aspek nilai dan sikap baik
dari dalam organisasi kepolisian sendiri ataupun
pengaruh dari lingkungan sekitarnya. [Lihat:
Pusat Studi Indonesia, Jurnal Studi Indonesia,
(Jakarta: Universitas Terbuka, 1999), vol. 9-10,
h.4].
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
Adapun penjabaran ketiga kom-
ponen tersebut sebagai berikut: 1).
Struktur yaitu kelembagaan yang
diciptakan oleh suatu sistem hukum
dengan berbagai macam fungsinya
dalam rangka mendukung bekerjanya
sistem hukum tersebut. 2). Substansi
adalah segi output sistem hukum.
Dalam pengertian ini dimasukkan
norma-norma hukum itu sendiri, baik
berupa peraturan-peraturan, doktrin-
doktrin, keputusan-keputusan, sejauh
semua itu digunakan oleh pihak yang
mengatur maupun yang diatur. 3).
Kultur yaitu seperangkat nilai-nilai dan
sikap-sikap yang berkaitan dengan
hukum, yang akan menentukan kapan,
mengapa, dan dimana rakyat datang
kepada hukum atau pemerintah atau
menghindar dari keduanya.
Ketiga komponen dari sistem
hukum tersebut menentukan bekerja-
nya sistem hukum yang berarti bahwa
suatu pembahasan mengenai proses
sosialisasi dan pelaksanaan hukum
dalam masyarakat niscaya akan meli-
batkan proses dari ketiga komponen
tersebut.
Di antara ketiganya harus berjalan
beriringan yaitu struktur harus kuat,
kredibel, akuntabel, dan kapabel.
Substansi harus selaras dengan rasa
keadilan 8 masyarakat, sedang budaya
hukumnya harus mendukung tegaknya
hukum. Jika salah satunya timpang,
misal struktur aparat (law unforcement
officer) tidak akuntabel, kredibel, dan
8 Menurut Muchsin yang dinamakan dengan adil
apabila; meletakkan sesuatu pada tempatnya,
menerima hak tanpa lebih dan memberikan hak
oranglain tanpa kurang, memberikan hak setiap
yang berhak secara lengkap tanpa lebih tanpa
kurang antara sesama yang berhak, dalam
keadaan yang sama, dan penghukuman orang
jahat atau yang melanggar hukum, sesuai
dengan kesalahan dan pelanggarannya. [Lihat:
Muchsin, Ikhtisar Filsafat Hukum, (Jakarta:
Badan Peneliti Iblam, 2006), h. 76.
kapabel, maka mustahil hukum dapat
ditegakkan dengan baik dan benar.
Struktur yaitu tatanan kelembaga-
an dan substansi yang tak lain adalah
peraturan perundangan-undangan itu
sendiri adalah topik yang lebih familiar
bagi para yuris, ketimbang elemen yang
terakhir. Arti penting legal culture
dalam membentuk suatu sistem
hukum kadang terlupakan, padahal
merujuk dari pendapat Friedman,
budaya hukum menentukan “…how
law is used, avoided, or abused.”
L.M. Friedman 9 selanjutnya
menempatkan “legal culture” sebagai
salah satu komponen dalam bangunan
“grand theory”-nya yaitu The Legal
System. Teori tersebut menjadi sangat
monumental dalam ilmu hukum,
karena sifatnya yang “agung”, hukum
dapat dikaji dengan pendekatan sistem
pada semua aspek yang terkait dengan
hukum.
Hukum dikontruksikan sebagai
suatu sistem yang terkait satu sama
lain (substance, structure, dan culture).
Karena kuatnya pengaruh pendekatan
hukum sebagai “the legal system”
sehingga teori tersebut menjadi rujukan
dalam buku-buku teks hukum di
seluruh dunia.
Melihat betapa pentingnya kajian
tentang legal culture sebagai salah satu
komponen sistem hukum, maka dalam
tulisan ini akan dikemukakan beberapa
konsep teoritik yang menjadi substansi
dan esensi pemikiran L.M. Friedman
khususnya yang terkait dengan legal
culture (Budaya Hukum) sebagai
komponen mendasar dalam pemikiran
fenomenalnya. Selain itu, pemahaman
yang benar terhadap substansi dan
esensi pemikirannya perlu diperjelas,
sehingga asumsi-asumsi yang
dimaksudkan dapat dipahami secara
9 Lawrence Meil Friedman, Law and Society; an
Introductions, h. 70.
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
benar dari setiap orang jika berbicara
tentang Legal Culture.
Sejalan dengan pemikiran Fried-
man tersebut, Soerjono Soekanto 10
mempertegas ketiga komponen ini men-
jadi faktor-faktor yang mempengaruhi
penegakan hukum, yaitu; hukum itu
sendiri, penegak hukum, sarana atau
fasilitas, masyarakat, dan kebudayaan.
Dengan adanya ketiga komponen
hukum tersebut, keterkaitan hukum
dan masyarakat semakin terlihat jelas.
Tidak ada budaya hukum (legal culture)
bila tidak ditopang oleh substansi dan
struktur hukum yang jelas. Hukum
yang selama ini dipandang hanya tajam
ke bawah dan tumpul ke atas dapat
kemudian dihindari bila semua
komponen hukum mampu mengartikan
hukum dengan sebenar-benarnya.
Karenanya, sudah menjadi kewajiban
untuk melakukan review terhadap
konsep Legal Culture dan berupaya
merekontruksinya menjadi kajian
teoritik sebagai langkah yang sangat
tepat dalam memahami secara utuh
teori “legal system.”11
10 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1983), h. 30.
11 Teori “legal system” diartikan sebagai teori
system hukum. Daniel S.Lev di dalam
karangannya Judicial Institutions and Legal
Culture in Indonesia menguraikan tentang sistem
hukum dan budaya hukum. Menurut Lev sistem
hukum menekankan pada prosedur tetapi tidak
menjelaskan tentang bagaimana sesungguhnya
orang-orang itu menyelesaikan masalahnya di
dalam kehidupan sehari-hari. Adapun budaya
hukum diperinci ke dalam nilai-nilai hukum
prosedural dan nilai-nilai hukum substantif.
Nilai-nilai hukum prosedural mempersoalkan
tentang cara-cara pengaturan masyarakat dan
manajemen konflik, sedangkan komponen
substantif dari budaya hukum ini terdiri dari
asumsi-asumsi fundamental mengenai distribusi
maupun penggunaan sumber-sumber di dalam
masyarakat. Budaya hukum merupakan unsur
penting untuk memahami perbedaan-perbedaan
yang terdapat di antara sistem hukum yang satu
dengan yang lain. [Lihat: Daniel S
Selain bila dikaji secara mendalam
kepada aspek budaya hukum (legal
culture), maka akan didapati bahwa
bekerjanya suatu sistem hukum dalam
masyarakat (law in action), tidak
terlepas adanya pengaruh dari aspek
nilai dan sikap, yang memberi
pemahaman tentang bekerjanya sistem
hukum.
B. PEMBAHASAN
1. Masyarakat Memandang Hukum
Masyarakat dan kebudayaan tak
lain adalah dwitunggal dalam elemen
budaya hukum yang memiliki pengaruh
penting dalam bekerjanya sebuah
sistem besar, bernama sistem hukum.
Maka tak heran jika para ahli hukum
mengatakan jika budaya dan kesadar-
an hukum adalah satu-satunya sumber
dan kekuatan mengikat dari hukum.
Tetapi untuk meningkatkan derajat
budaya hukum bukanlah perkara mu-
dah. Sebuah tugas yang tidak ringan,
karena kesadaran hukum suatu bangsa
bersumber dari perasaan dan keyakin-
an hukum individu. Sehingga dibutuh-
kan upaya membangun keyakinan
individu-individu masyarakat Indonesia
bahwa hukum adalah tonggak acuan di
negeri ini.
Budaya hukum bukan hanya
monopoli masyarakat, di dalamnya ada
peran serta penguasa dan pembentuk
undang-undang sebagai guru yang
seharusnya pantas “digugu” dan
“ditiru”, serta bijak dan tentunya
berbudi. Bukan sebaliknya, hanya
menjadi pejabat yang menikmati kursi
dengan melupakan tugas dan kewa-
jiban sebagai pelayan masyarakat.
Akibatnya, timbul masyarakat yang
Lev, ”Peradilan dan Kultur Hukum Indonesia”,
dalam Prisma No. 6 Tahun II, Desember 1973,
dalam Esmi Warassih, Pranata Hukum Sebuah
Telaah Sosiologis, (Semarang, 2005), h.104].
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
lepas kontrol dan tak terkendali,
karena pengontrol masyarakat –dalam
hal ini pejabat negara- melupakan
masyarakat. Selain masyarakat hanya
merasa dijadikan objek kepentingan
pejabat semata, atau dijadikan sapi
perah yang dimanfaatkan untuk
memuaskan kepentingan penguasa.
Dampaknya, tidak ada lagi kesadaran
hukum di masyarakat, hukum hanya
sebatas angin lalu yang tidak
diacuhkan oleh lapisan bawah.
Peraturan perundang-undangan se-
harusnya berasal dari suara „bawah‟
yang dibawa ke „atas‟, dan bukan
corong kepentingan penguasa untuk
mengobok-ngobok rakyat di bawah.
Karena hukum bukan hanya produk
penguasa semata, melainkan hasil dari
pengejawantahan nilai-nilai yang ada di
masyarakat.12
Karenanya, upaya peningkatan
derajat budaya hukum dapat dilakukan
dengan melakukan beberapa cara,
seperti membuat produk hukum yang
sesuai dengan suara rakyat, dan tidak
pula membuat frustasi dan sengsara
rakyat. Juga bukan produk hukum
yang hanya memuat kepentingan-ke-
pentingan personal, kelompok tertentu
yang bermain di dalamnya.
Hukum layaknya suatu bahasa,
tumbuh dan berkembang dalam
sebuah bangsa dan menjadi milik
bersama dari bangsa tersebut. Karena
itu, hukum didasarkan pada karakter
dan jiwa kebangsaan dari bangsa yang
bersangkutan (volkgeist). Sebagaimana
12 Sebagaimana pemikiran mazhab Historical
Jurisprudence, yang diwakili oleh Friedrich Karl
von Savigny, bahwa hukum bukanlah sesuatu
yang dapat diciptakan secara sewenang-wenang
dan terencana oleh pembuat hukum, melainkan
hukum merupakan proses yang bersifat internal
dan otonom serta diam-diam dalam diri
masyarakat. [Lihat: Prof. Darji Darmodiharjo
dan DR. Shidarta, SH., Pokok-Pokok Filsafat
Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2006), Cet. Ke-6, h.128].
pandangan sosiologi hukum (sociologi-
cal of law) 13 yang melihat hukum
sebagai manifestasi masyarakat, yang
berarti pembentukan hukum tidak
dapat dipisahkan dari masyarakat itu
sendiri.
Eugen Ehrlich 14 berpendapat
bahwa Living Law adalah inner order
dari masyarakat. Ia mengatakan,
“center of gravity of legal development
lies not in legislation, nor in juristic
science, nor in judicial decision, but in
society itself.”15
Di samping itu tentunya yang tak
kalah penting adalah kesadaran hukum
masyarakat harus sejalan dengan
kesadaran hukum penguasa. Sebagai-
mana halnya seorang anak kecil yang
suka meniru, rakyat juga mencontoh
watak dan perilaku penguasanya.
Penguasa hendaknya mengajarkan
rakyatnya bahwa hukum pantas untuk
ditegakkan. Sehingga perilaku pem-
biaran dan sikap permisif terhadap
pelanggaran hukum tidak dapat terjadi.
13 Sociological of law adalah aliran pemikiran
sosiologis yang pada prinsipnya mengatakan
bahwa hukum adalah apa yang menjadi
kenyataan dalam masyarakat, bagaimana secara
fakta hukum diterima, tumbuh dan berlaku
dalam masyarakat. Aliran ini dipelopori oleh
Roscoe Pound (juris dari Amerika Serikat),
Eugen Ehrlich, Emil Durkheim, dan Max Weber.
[Lihat: Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum,
(Bogor, Ghalia Indonesia, 2011), h. 146].
14 Eugene Ehrlich adalah penulis yang pertama-
tama melalui bukunya berjudul “Sosiologi
Hukum atau Grundlegung der Soziologie des
Rechts, pada tahun 1912. Dalam buku
tersebutlah antara lain dituliskan bahwa
masyarakatlah yang menjadi pusat gaya tarik
perkembangan hukum bukan pada perundang-
undangan, ilmu hukum atau pun putusan
hakim. [Lihat: Marwan Mas, Pengantar Ilmu
Hukum, h. 146].
15 Terjemahan teks tersebut adalah: “Pusat gaya
tarik perkembangan hukum tidak terletak pada
perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum,
juga tidak pada putusan hakim, tetapi di dalam
masyarakat itu sendiri.” [Lihat: Alan Watson,
Society and Legal Change, (Edinburgh: Scottish
Academic Press, 1977), h.131].
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
Selain penguasa juga harus mampu
diandalkan untuk menjadi panutan
bagi penegakan hukum.
Realita yang terjadi saat ini, hukum
hanya dijadikan sebagai kambing hitam.
Rakyat hanya tahu “prosedur hukum
berbelit-belit, hukum ada untuk
dilanggar, atau hukum hanya untuk
wong cilik, tajam ke bawah tumpul
keatas.” Karenanya sebagai penguasa
harus mampu membuktikan bahwa
semua paradigma itu adalah salah dan
selanjutnya menunjukkan perilaku
yang pantas ditiru.
Negara hukum 16 bukan hanya
sebatas predikat semata. Bila hanya
antonim dari kata machtsstaat, tentu
predikat ini mudah terukir di negeri ini.
Akan tetapi, yang sesungguhnya harus
dipertanyakan, apakah hukum telah
mendarah daging di dalam diri bangsa
Indonesia? apakah memang hukum
telah memiliki „nyawa‟-nya di bumi
Indonesia ini?
Sudah saatnya setiap komponen
bangsa harus berani menjadi agen
perubahan (the agent of change) demi
tegaknya hukum, sebagaimana pan-
dangan Roscoe Pound 17 yang men-
jadikan hukum sebagai social
engineering.
Sebuah negara tidak layak
dianggap sebagai negara hukum jika
kesadaran hukum tak mampu ditum-
16 Pembahasan tentang negara hukum telah
dituangkan secara detail oleh Prof. Dr. H.
Muhammad Tahir Azhari, SH, dalam bukunya
Negara Hukum. Beliau mendefinisikan Negara
Hukum sebagai suatu gagasan bernegara yang
paling ideal dan telah berkembang sejak lama.
[Lihat: Muhammad Tahir Azhari, Negara Hukum,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet.4,
2010), hlm.2].
17 Roscoe Pound dalam teorinya mengatakan
bahwa “Law as tool of social engineering” hukum
sebagai alat perekayasa sosial masyarakat.
[Lihat: Andre Ata Ujan, Filsafat Hukum,
Membangun Hukum, Membela Keadilan,
(Yogyakarta: Kanisius, 2009), h. 233].
buhkembangkan. Penegakan hukum
hanya akan menjadi mimpi, bila
hukum hanyalah sebatas corong dan
alat penguasa serta isinya tak
„membumi‟ di masyarakat.
Hukum tertulis berwujud undang-
undang masih hanya berupa janji-janji
hukum, ia menjadi hukum apabila
dilaksanakan oleh aparat hukum dan
diikuti oleh warga masyarakat. Artinya
hukum hanyalah salah satu sarana,
bukan tujuan, sehingga penggunaan-
nya harus benar-benar bijaksana.
Pencapaian tujuan hukum tidak
boleh terhalang oleh kelemahan-
kelemahan secara prosedural yang
dibuat oleh pembuat hukum (legislatif
dan eksekutif) dan aparat pelaksananya
dengan mengabaikan keadilan sub-
stansial. Bila hal ini terjadi, maka
hukum akan benar-benar bersenyawa
dalam kehidupan masyarakat, sehingga
perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang
dilakukan masyarakat adalah budaya
hukum yang lahir tanpa tekanan.
Budaya hukum adalah basis yang
tak terelakkan di dalam membangun
negara hukum. Rechtstaat tak akan
dapat diwujudkan tanpa adanya
budaya hukum. Masyarakat yang tak
punya budaya hukum adalah masya-
rakat yang mendekat kepada kemun-
duran atau kembali kepada peradaban
zaman batu.
2. Relasi Hukum dan Struktur
Masyarakat Sebagai Perwujudan
Budaya Hukum
Hukum dan masyarakat berhu-
bungan secara timbal balik, karena
hukum sebagai sarana pengantar
masyarakat bekerja di dalam
masyarakat dan dilaksanakan oleh
masyarakat. Hubungan tersebut dapat
bersifat simbiosis mutualistis yaitu
mendukung tumbuh dan tegaknya
hukum, maupun sebaliknya bersifat
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
parasitis, yaitu menghambat tumbuh
berkembang dan tegaknya hukum.
Menurut Mochtar Kusumaat-
madja 18 hukum merupakan keselu-
ruhan asas-asas dan kaidah-kaidah
yang mengatur kehidupan manusia
dalam masyarakat, yang juga men-
cangkup lembaga-lembaga dan proses-
proses yang mewujudkan berlakunya
kaidah-kaidah di dalam kenyataan.
Kehadiran hukum dalam masyarakat
salah satunya adalah untuk meng-
integrasikan dan mengkondisikan ke-
pentingan organisasi dalam masyarakat.
Kepentingan-kepentingan tersebut oleh
hukum diintegrasikan sedemikian rupa,
sehingga dapat meminimalisir bentur-
an-benturan sekecil-kecilnya. Penginte-
grasian kepentingan tersebut dilakukan
dengan cara membatasi kepentingan
pihak lain.
Manusia tidak dapat hidup sendiri,
karena manusia adalah makhluk sosial
yang dituntut untuk hidup berdam-
pingan secara berkelompok sebagai
satuan masyarakat dalam rangka mem-
pertahankan kelangsungan hidupnya.
Dalam pergaulan masyarakat itu
sendiri, tentunya terdapat aturan-atur-
an atau norma-norma yang dijunjung
tinggi oleh anggota masyarakat untuk
mengatur perikehidupan mereka agar
tercipta suatu keadilan, ketertiban,
kepastian, maupun keselarasan.
Dalam pergaulan, terjadi integrasi
antara satu dengan yang lainnya, yang
pada akhirnya menyebabkan adanya
perubahan-perubahan dalam masyara-
kat. Perubahan-perubahan itu terkait
dengan sifat manusia sebagai zoon
politicon, economikus, religious yang
memang mampu mengubah diri dan
lingkungannya baik secara evolusioner
18 Lihat: Lili Rasyidi dan IB Wyasa, Hukum
sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993), h. 20.
maupun revolusioner melalui proses
interaksi dan adaptasi sosial.
3. Penegakan Hukum Sebagai Upaya
Membangun Budaya Hukum
Penegakan hukum dirasa sangat
urgen dalam menata seluruh ketertiban
masyarakat. Sehingga diharapkan
masyarakat dapat berbudaya hukum.
Tak heran bila ada adagium yang
menyatakan: “meskipun dunia akan
runtuh, hukum harus ditegakkan (fiat
justitia et pereat mundus).” Penegakan
hukum bukanlah suatu hal yang
berdiri sendiri, melainkan saling berkait
dengan masalah-masalah sosial
masyarakat lainnya. Artinya hukum
bukan hanya sebagai sistem nilai,
tetapi juga sebagai sub sistem dari
sistem sosial yang lebih besar, yaitu
masyarakat di mana hukum diberlaku-
kan.
Hukum ditegakkan tidak melulu
mempertahankan pola lama, “status
quo” tetapi juga rekayasa sosial,
mengalokasikan keputusan politik,
penciptaan pola baru bahkan sebagai
alat pengefektifan pencapaian tujuan
nasional. Namun tujuan dan fungsi
hukum itu seringkali tidak seperti yang
diharapkan, tiada lain karena
banyaknya faktor, baik yang berasal
dari dalam sistem hukum19 maupun di
luar sistem hukum 20 yang mem-
pengaruhi bekerjanya hukum.
19 Faktor berasal dari dalam sistem hukum
seperti aparat yang tidak kapabel, kredibel dan
akuntabel, politik penguasa yang tidak mewakili
rasa keadilan masyarakat artinya apa yang
diinginkan oleh hukum berbeda dengan
keinginan masyarakat. Roscoe pound menyebut
dengan istilah kesenjangan Law in the books dan
law in action. Chamblis dan Seidman menyebut
“The Myth of the operation of the law to given the
hie dailcy.”
20 Faktor di luar sistem hukum berasal dari
kesadaran hukum masyarakat, perkembangan
dan perubahan sosial, politik hukum penguasa,
tekanan dunia internasional, maupun budaya
hukum masyarakat.
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
Selain itu sering terjadi ketimpang-
an, diskresi antara hukum “solen”
dengan hukum”sein,” karena aparat
penegak hukum yang malah melaku-
kan penyimpangan, sehingga berakibat
timbulnya masyarakat yang beraksi
menolaknya dengan berbagai cara
seperti memprotes, melanggar, bahkan
tidak menghiraukannya. Dengan kata
lain, hukum tegak jika seluruh
komponen sistem hukum seperti aparat,
hukum, dan masyarakat mampu
bekerja sama. Namun jika salah satu
absen, tidak bekerja sebagaimana
mestinya, maka hukum yang tegak
hanya sebuah angan-angan belaka.
Aparat atau pun pelaku legislator
dianggap “absen” jika dalam law
making process nilai-nilai masyarakat
direduksi, disimpangi hasilnya hanya
untuk menguntungkan golongan ter-
tentu, kelas tertentu, persekutuan-
persekutuan tertentu, penguasa, orang-
orang kaya dan sebagainya. Dalam
penegakannya (law enforcement
process) aparat mudah disuap, dibeli,
sering menjungkirbalikkan fakta,
membenarkan yang salah dan
menyalahkan yang benar.
Di sisi lain masyarakatnya
mengembangkan budaya yang tidak
kondusif dan mendukung tegaknya
hukum seperti main hakim sendiri,
tidak bersahabat dengan aparat untuk
mencegah penyimpangan, pengabaian
hukum dan sebagainya, maka hakikat
sistem sebagai keteraturan hanya mitos
belaka. Realita yang terjadi justru
konflik dalam sistem hukum, karena
masing-masing komponen, elemen, sub
sistem memiliki kontribusi untuk
merapuhkan penegakan hukum. Oleh
karenanya, bila ditarik kesimpulan,
komponen dasar apa yang mem-
pengaruhi penegakan hukum, maka
jawabannya adalah pada sisi aparatur
penegak hukum itu sendiri seperti
hakim, jaksa, advokat, dan juga polisi.
4. Dilema Kesadaran Hukum
Sebagai Penghambat Budaya
Hukum
Kesadaran hukum adalah nilai-nilai
yang hidup dalam masyarakat tentang
hukum, yang meliputi pengetahuan,
pemahaman, penghayatan, kepatuhan
atau ketaatan kepada hukum. Sedang-
kan dari sudut terminologi “kesadaran
hukum” berarti kesadaran untuk
bertindak sesuai dengan ketentuan
hukum. Kesadaran hukum masyarakat
merupakan semacam jembatan yang
menghubungkan antara peraturan-
peraturan hukum dengan tingkah laku
hukum anggota masyarakat.21
Kesadaran hukum pada dasarnya
merupakan kontrol agar hukum dibuat
dan dilaksanakan sebaik mungkin.
Oleh karena itu perlu adanya usaha-
usaha ke arah pembinaan kesadaran
hukum yang berorientasi kepada
penanaman, pemasyarakatan, dan
pelembagaan nilai-nilai yang mendasari
peraturan tersebut. Kesadaran memer-
lukan hukum sebagai sarana yang
disengaja guna mencapai tujuan-tujuan
yang dikehendaki, yang tentunya
berangkat dari keinginan bersama.
Sehingga dapat menjadi sarana penun-
jang untuk merealisasikan kebijakan-
kebijakan negara, baik dalam bidang
ekonomi, politik, sosial budaya, dan
Hankam sesuai dengan skala prioritas
yang telah ditentukan.
Masyarakat dalam proses bekerja-
nya hukum berposisi sebagai “peme-
gang peran” (role occupant). Sehingga
diharapkan berperan sebagaimana
yang dikehendaki oleh hukum.
Seseorang berperan sesuai dengan
kriteria hukum atau tidak ternyata
21 Pengertian tentang kesadaran hukum ini
diwacanakan sebagai upaya menciptakan
masyarakat yang sadar hukum (kadarkum) yang
tertuang dalam surat Keputusan Menteri
Kehakiman RI No. M. 05-PR.08.10 Tentang Pola
Pemantapan Penyuluhan Hukum, 1998.
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
banyak dikendalikan oleh faktor dalam
sistem hukum maupun diluar sistem
hukum yaitu anggapan, persepsi
masyarakat terhadap adanya hukum
yang lazim disebut budaya hukum.
Jika masyarakat menganggap bahwa
hukum dipraktekkan pemerintah kepa-
danya dirasa baik dalam menjalin
keberlangsungan hidupnya, tentunya
rakyat akan berperan sesuai hukum itu.
Sebaliknya, jika hukum secara sub-
stansial merugikan ataupun tingkah
laku masyarakatnya kurang taat, maka
perilaku yang diharapkan sulit ter-
wujud dan akhirnya muncul peran
yang kontradiktif dan paradok terhadap
hukum.
Kesadaran hukum terkait erat
dengan budaya hukum masyarakatnya.
Dengan kata lain dapat dijelaskan
bahwa tingkat kesadaran hukum
masyarakat tinggi atau rendah dapat
dilihat pada budaya hukumnya, jika
budaya hukumnya cenderung positif,
proaktif terhadap cita hukum tentu
masyarakatnya memiliki kesadaran
hukum yang tinggi. Dalam hal ini
fungsi hukum mengalami perluasan
yang mulanya sebagai kontrol sosial
dan pertahanan pola sosial bergeser ke
arah perubahan tingkah laku yang
dikehendaki hukum. Jika demikian
dapat digeneralisasikan bahwa tingkah
laku masyarakat suatu negara dapat
dilihat pada hukumnya, yaitu jika
hukumnya bertujuan mengontrol dan
mempertahankan pola hidup warga
negara secara tetap dan mapan dalam
bertingkah laku.
5. Implikasi Kepatuhan Terhadap
Budaya Hukum Masyarakat
Budaya hukum sangat erat hu-
bungannya dengan kesadaran hukum
dan diwujudkan dalam bentuk perilaku
sebagai cermin kepatuhan hukum22 di
dalam masyarakat. Dalam budaya
hukum dapat dilihat suatu tradisi
perilaku masyarakat kesehariannya
yang sejalan dan mencerminkan
kehendak undang-undang atau rambu-
rambu hukum yang telah ditetapkan
berlaku bagi semua subjek hukum
dalam hidup berbangsa dan bernegara.
Dalam budaya hukum masyarakat
dapat pula dilihat apakah masyarakat
dalam kesadaran hukumnya sungguh-
sungguh telah menjunjung tinggi
hukum sebagai suatu aturan main
dalam hidup bersama dan sebagai
dasar dalam menyelesaikan setiap
masalah yang timbul dari resiko hidup
bersama.
Hal ini menunjukkan bahwa
kesadaran hukum masyarakat saja
tidak cukup membangun budaya
hukum di negeri ini. Karena kesadaran
hukum masyarakat masih bersifat
abstrak, belum merupakan bentuk
perilaku yang nyata. Secara instinktif
maupun secara rasional sebenarnya
masyarakat sadar akan perlunya
kepatuhan dan penghormatan terhadap
hukum yang berlaku.
Pakar Sosiologi Hukum Satjipto
Raharjo 23 secara implisit menyimpul-
kan bahwa, adanya perasaan tidak
bersalah sekalipun putusan Pengadilan
telah menyatakan yang bersangkutan
bersalah, merupakan preseden buruk
bagi tegaknya budaya hukum di negeri
ini. Pandangan kritis pakar sosiologi
hukum itu patut menjadi renungan
bersama, sebab di dalamnya terkan-
dung pesan yang dalam mengenai
perlunya mentradisikan budaya hukum
22 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
kata “patuh” berarti taat pada perintah dan
aturan, atau berdisiplin. [Lihat: Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), h. 737].
23 Lihat: Satjipto Raharjo, Sisi-Sisi Lain Dari
Hukum Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kompas,
2003), h.55.
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
di negeri ini, karena tanpa tertanamnya
budaya hukum mustahil akan dapat
ditegakkan hukum yang berkeadilan.
Oleh karenanya, sekalipun masyarakat
sadar terhadap hukum yang berlaku di
negaranya, belum tentu masyarakat
tersebut patuh pada hukum tersebut.
Kepatuhan terhadap hukum merupa-
kan hal yang substansial dalam
membangun budaya hukum di negeri
ini.
Kepatuhan hukum adalah kesadar-
an kemanfaatan hukum yang melahir-
kan bentuk “kesetiaan” masyarakat ter-
hadap nilai-nilai hukum yang diberla-
kukan dalam hidup bersama yang
diwujudkan dalam bentuk perilaku
yang senyatanya patuh terhadap nilai-
nilai hukum itu sendiri yang dapat
dilihat dan dirasakan oleh sesama
anggota masyarakat.
Kepatuhan hukum masyarakat
pada hakikatnya adalah kesadaran dan
kesetiaan masyarakat terhadap hukum
yang berlaku sebagai aturan main (rule
of the game) sebagai konsekuensi hidup
bersama, dimana kesetiaan tersebut
diwujudkan dalam bentuk perilaku
yang senyatanya patuh pada hukum
antara das sein dengan das sollen
dalam fakta adalah sama.
Secara a contra-rio jika di dalam
komunitas masyarakat banyak didapat-
kan anggota masyarakat tidak patuh
pada hukum, hal ini dikarenakan
individu dan masyarakat dihadapkan
pada dua tuntutan kesetiaan, dimana
antara tuntutan kesetiaan yang satu
bertentangan dengan tuntutan kesetia-
an lainnya. Misalnya masyarakat
tersebut dihadapkan pada pilihan setia
terhadap hukum atau setia terhadap
“kepentingan pribadinya”, setia dan
patuh pada atasan yang memerintah-
kan berperang dan membunuh atau
setia kepada hati nuraninya yang
mengatakan bahwa membunuh itu
tidak baik, atau yang lebih umum
seperti yang sering terjadi masyarakat
tidak patuh pada aturan lalu-lintas,
perbuatan korupsi, perbuatan anarkis-
me dan main hakim sendiri (eigen
rechting) karena mereka lebih men-
dahulukan setia kepada kepentingan
pribadinya atau kelompoknya, dan lain
sebagainya.
Selain itu, ketidakpatuhan dapat
terjadi karena hukum dalam pene-
gakannya dinilai tidak mempunyai
kewibawaan lagi, dimana penegak
hukum karena kepentingan pribadinya
pula tidak lagi menjadi penegak hukum
yang baik. Penegakan hukum dirasa-
kan diskriminatif, sehingga dalam hal
ini kesetiaan terhadap kepentingan
pribadi menjadi pangkal tolak mengapa
manusia atau masyarakat tidak patuh
pada hukum. Jika faktor kesetiaan
tidak dapat diandalkan lagi untuk
menjadikan masyarakat patuh pada
hukum, maka negara atau pemerintah
mau tidak mau harus membangun dan
menjadikan rasa takut masyarakat
sebagai faktor yang membuat masya-
rakat patuh pada hukum.
Wibawa hukum akan dapat dirasa-
kan, jika individu masyarakat memiliki
komitmen kuat, konsisten, dan
kontiniu menegakkan hukum tanpa
diskriminatif, sehingga siapapun harus
tunduk kepada hukum, dan penegakan
hukum pun tidak memihak kepada
siapapun dan dengan alasan apapun,
kecuali kepada kebenaran dan keadilan
itu sendiri. Disitulah letak wibawa
hukum dan keadilan hukum. Namun,
jika hukum diberlakukan secara
diskriminatif, penuh rekayasa politis,
dan tidak dapat dipercaya lagi sebagai
sarana memperjuangkan hak dan
keadilan, maka akibat yang timbul
masyarakat akan memperjuangkan
haknya melalui jalur kekerasan fisik
(eigen rechting).
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
6. Progresifitas Penciptaan Masyara-
kat Berbudaya Hukum
Perubahan merupakan suatu keha-
rusan dalam dinamika kehidupan
hukum masyarakat. Tidak ada yang
statis, semua berubah, dan bergerak
secara dinamis. Segala sesuatu di jagad
raya ini selalu mengalami perubahan,
tidak ada yang abadi kecuali perubah-
an itu sendiri.
Pada intinya, moralitas bangsa
sangat menentukan perubahan yang
terjadi di dalam masyarakat. Kesadaran
yang beralih pada kepatuhan sehingga
tegaknya hukum secara perlahan men-
jadikan masyarakat berbudaya hukum
adalah suatu metamorfosis kehidupan
hukum yang harus dijalankan oleh
semua komponen masyarakat. Untuk
menuju terciptanya masyarakat berbu-
daya hukum maka perlu ada gerakan
perubahan dalam bentuk reformasi
atau pun restorasi ulang segala lini ke-
hidupan, baik sistem hukum, masyara-
kat, pemerintah, maupun aparat
penegak hukum itu sendiri.
Adapun upaya menciptakan masya-
rakat berbudaya hukum dapat
dilakukan dengan beberapa hal seperti:
a. Reduksi Kekuasaan Menuju
Negara Hukum Hakiki
Sejak diproklamirkannya kemerde-
kaan tanggal 17 Agustus 1945, bangsa
Indonesia memilih negara yang berda-
sarkan atas hukum, bukan berdasar-
kan atas kekuasaan. Oleh karenanya,
dalam penyelenggaraan bernegara dan
berbangsa, negara berkewajiban melin-
dungi segenap tumpah darah Indonesia.
Kewajiban ini telah diamanatkan dalam
UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang telah ditegaskan dalam
Pembukaannya, sebagai landasan, jiwa,
dan ruh bangsa Indonesia dalam
bernegara, berbangsa, dan bermasyara-
kat.24
24 Lihat: Pembukaan UUD NRI 1945 pada alenia kedua.
Penyelenggaraan negara berdasar-
kan atas hukum (rechtsstaat) memang
tidaklah semudah membalikkan tela-
pak tangan. Banyak fakta dan sejarah
negara-negara di dunia yang mengata-
kan bahwa negaranya bukan berlan-
daskan pada kekuasaan (machtsstaat),
tetapi dalam realitas kehidupan ber-
bangsa, bernegara, dan bermasyarakat
dalam prakteknya tergelincir ke dalam
negara berdasarkan atas kekuasaan
(machtsstaat). Sehingga kehidupan ber-
bangsa, bernegara, dan bermasyarakat
tidak berdasarkan atas hukum. Akibat-
nya, hukum berlaku sangat diskrimi-
natif. Sehingga dalam pelaksanaannya,
banyak menimbulkan masalah dan per-
soalan yang sangat serius dan bahkan
akhirnya menjadi persoalan dilematis.
Hukum diartikan sebagai kekuasa-
an, sehingga penegakan hukum dapat
diintervensi oleh seberapa besar
pengaruh langsung kekuasaan pada
para penegak hukum atau pada sebuah
institusinya, yang menyangkut karier
dan jabatan. Selain itu banyak gugatan
berbagai kalangan yang menyoal keter-
tutupan pengadilan, yang disebabkan
oleh pelaksanaan hukum yang tebang
pilih.
Gugatan terhadap pelaksanaan
hukum yang tebang pilih atau pene-
gakan hukum yang sangat diskriminatif
tersebut sangat mencederai rasa
keadilan. Karenanya sejauh mungkin
agar dapat dihindari, bila tidak, maka
pelaksanaan hukum dan penegakan
hukum berjarak jauh bagaikan langit
dan bumi.
Diskriminasi hukum dan kasus
tebang pilih terhadap proses hukum
terjadi karena dalam penegakan hukum
masih jauh dari rasa memiliki budaya
hukum. Selain para penegak hukum
belum banyak memahami budaya
hukum. Padahal, budaya hukum
sangatlah penting dan bahkan dapat
menjadi faktor penentu dalam
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
penegakan hukum dan pelaksanaan
hukum, sehingga hukum berlaku
untuk semua orang dan memiliki rasa
keadilan.
Bukti empirik menyatakan bahwa
proses hukum yang terjadi saat ini
sudah bukan menjadi rahasia lagi,
dimana praktek dan pelaksanaan
hukum berasaskan pandang bulu.
Misalnya, maling ayam yang nilai
nominalnya tak lebih dari harga dua
puluh ribu rupiah dijatuhi hukuman
penjara tiga bulan bahkan lebih. Tapi
para koruptor yang menggelapkan uang
rakyat milyaran rupiah, ternyata dinya-
takan tidak bersalah dan divonis bebas,
atau hanya mendapat hukuman ringan
saja. Padahal, maling ayam hanya
mengorbankan kepentingan satu orang,
yaitu pemilik ayam yang secara materi
hanya dua puluh ribu rupiah, sedang-
kan pelaku korupsi, yang dikorbankan
adalah semua warga masyarakat, yang
secara material nilainya milyaran
rupiah, dan secara multiplier effect
adalah masyarakat, rakyat dan bangsa
Indonesia. Karena dampaknya dapat
menghambat program kegiatan penye-
lenggaraan negara, terkendala bahkan
terhenti, yang secara ekonomi dengan
terhentinya kegiatan penyelengaraan
negara untuk kepentingan rakyat telah
raib akibat ulah para pelaku kejahatan
korupsi tadi.
Oleh karenanya, negara hukum
(rechsstaat) yang menjadi cita-cita awal
negara Indonesia harus direstorasi
ulang. Tidak ada lagi kekuasaan yang
mendominasi. Hukum harus ditegak-
kan tanpa pandang bulu. Diskriminasi
hukum dan tebang pilih dengan mem-
beda-bedakan penguasa atau pejabat
dengan rakyat jelata hendaknya dihin-
darkan, karena tidak sesuai dengan
gagasan dasar negara hukum Indonesia.
b. Sinergitas Penegak Hukum dan
Sistem Hukum
Pada dasarnya budaya hukum yang
dikatakan Friedman menunjuk pada
dua hal yaitu; unsur adat istiadat yang
organis berkaitan dengan kebudayaan
secara menyeluruh; dan unsur nilai
dan sikap sosial. Bahkan sistem
hukum yang terdiri dari struktur dan
substansi, bukanlah merupakan mesin
yang bekerja. Apabila kedua unsur itu
berfungsi dalam masukan dan keluaran
proses hukum, maka kekuatan-kekuat-
an sosial tertentu berpengaruh terha-
dapnya. Kekuatan-kekuatan sosial itu
merupakan variabel tersendiri yang
disebut budaya hukum. Varibel itu
berproses bersamaan dengan kebuda-
yaan sebagai suatu variasi, yang
kemungkinan variabel tersebut menen-
tang, melemahkan, atau memperkuat
sistem hukum.
Hukum baru dapat berjalan apabila
antara penegak hukum dan hukum itu
sendiri menjadi sebuah himpunan yang
berkorelasi langsung dalam hubungan
paralel. Artinya, hukum baru akan
berjalan bilamana para penegak hukum
mempunyai dan atau menjalankan
budaya hukum, atau dengan perkataan
lain, hukum baru dapat berjalan
dengan rasa keadilan bilamana insti-
tusi penegakan hukum tidak menjadi
sebuah institusi “jeruk makan jeruk.”
Keadilan baru dapat terwujud
bilamana para penegak hukum memi-
liki kejujuran dan parameter kebenaran
yang jelas, atau jika para penegak
hukum dapat jujur dan benar. Tanpa
kejujuran dan kebenaran, amat naïf
keadilan dapat diwujudkan dan
dirasakan.
Karenanya, saat penegak hukum
menjalankan budaya hukum, maka
dapat menjadi faktor penentu kepatuh-
an terhadap hukum dalam kehidupan
bermasyarakat. Sebaliknya, jika para
penegak hukum kurang atau tidak
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
mempunyai budaya hukum, maka bu-
daya hukum dalam masyakarakat pun
sangat kecil kemungkinannya dapat
berjalan dan diterapkan. Ketaatan
masyarakat terhadap keberadaan
hukum akan sangat bergantung pada
sejauhmana konsistensi dan budaya
hukum hidup dalam aparat penegak
hukum atau institusi penegak hukum.
Keniscayaan hukum merupakan
persoalan budaya hukum, dimana
budaya hukum sebagai komponen
sistem hukum yang juga tak terlepas
dari faktor suri tauladan (qudwah
hasanah) yang diberikan oleh para
penegak hukum untuk membudayakan
hukum terlebih dahulu sebelum
kemudian menegakkan hukum kepada
masyarakat. Bila budaya hukum suatu
masyarakat belum tumbuh dan
tertanam baik dalam kehidupan sosial,
maka prosesi penegakan hukum pun
akan sulit dapat diterapkan. Sehingga
bila hal ini terjadi, masyarakat pun
tumbuh dan berkembang tanpa adanya
budaya hukum yang menyertai.
c. Melepas Belenggu Tafsir KUHP
Ketiadaan budaya hukum dalam
kehidupan para penegak hukum, men-
jadi penghambat dan kendala besar
dalam tegaknya supremasi hukum.
Bahkan hukum seolah menjadi ber-
umah di atas angin.
Ketiadaan budaya hukum dalam
perilaku penegak hukum disebabkan
oleh banyak hal, di antara yang sangat
signifikan adalah karena para penegak
hukum banyak terjerat dan terjebak
serta hanya berkutat pada tafsir KUHP
(Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
Misalnya, dalam kasus korupsi yang
dipergunakan KUHP, bukan dengan UU
Pemberantasan Korupsi (UU No.
31/1999 jo UU No. 20/2001) yang lebih
luas. Pembajakan hak intelektual tidak
menggunakan UU Hak Cipta Intelektual
(HAKI). Kasus pelenyapan atau
penculikan aktivis bukan dengan UU
HAM dan seterusnya.
Oleh karenanya, perlu upaya
pembaharuan KUHP yang notabene
warisan kaum kolonial Belanda, dengan
melakukan legislasi KUHP baru hasil
cipta dan rasa yang bersumber dari
kebudayaan bangsa Indonesia sendiri.25
Sehingga tidak lagi tumpang tindih
keputusan hakim yang bersumber dari
KUHP dan Undang-Undang lain yang
relevan dengan kasus yang dihadapi.
d. Pertanggungjawaban Moralitas
Penegak Hukum
Penyebab signifikan lainnya adalah
masalah moralitas para penegak hu-
kum. Oleh karenanya, sistem pendidik-
an moral harus dirubah sedemikian
rupa dan atau lebih pada metodologi
sistem pemaknaan terhadap moralitas
itu sendiri. Sehingga para pejabat yang
ditunjuk untuk menduduki jabatannya
adalah benar-benar orang yang secara
moralitas dapat dipertanggungjawab-
kan.
Yang tak kalah signifikan lainnya
adalah KUHP (Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana) dalam sistem makna
hukum yang hidup dalam diri para
penegak hukum adalah KUHP bukan
lagi menjadi KUHP yang sebenarnya,
tetapi sudah menjadi “KUHP” dalam
sistem makna “Keluar Uang Habis
Perkara.”26
25 Upaya ini sebenarnya telah dilakukan dengan
pengajuan RUU tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dari tahun 2006, tetapi upaya ini
masih belum terealisasi karena Sumber Daya
Manusia (SDM) di Senayan yang belum mampu
mewujudkannya.
26 Contoh KUHP menjadi “KUHP” terjadi dalam
praktek pasal 359 KUHP dalam hal musibah
atau kecelakaan lalu lintas. Orang yang tidak
mempunyai uang akan menghadapi proses
hukum dan menjalani vonis hukuman kurungan
atau penjara serendah-rendahnya dengan vonis
6 bulan penjara, tetapi bagi yang mempunyai
uang maka akan menjadi Keluar Uang Habis
Perkara (KUHP). Fakta tersebut tidak dapat
terbantahkan keberadaannya di negeri kita.
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
Dalam kasus penangguhan pena-
hanan dan uang jaminan penangguhan
penahanan, tentunya dengan berbagai
alibi, bahwa yang bersangkutan dapat
dijamin tidak akan menghilangkan
barang bukti, tidak akan melarikan diri,
akomodatif dan ada yang memberikan
jaminan. Salah satu pasal dipakai
untuk menjastifikasi adalah KUHP.
Dibanyak fakta, penangguhan pena-
hanan sangat bergantung pada tingkat
lobi dan besarnya uang. Realita yang
terjadi juga, penangguhan penahanan
dengan jaminan uang disalahartikan.
Uang jaminan tersebut berakhir
menjadi “uang kami”. Sebagai jaminan,
seharusnya uang jaminan tersebut
dikembalikan setelah masa penjaminan
berakhir atau selesai. Itulah moralitas
penegakan hukum di negeri kita.
Contoh lainnya, bahwa pada pasal
4 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001,
bahwa pengembalian kerugian keuang-
an negara atau perekonomian negara
tidak menghapuskan dipidananya pela-
ku tindak pidana korupsi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 2 dan pasal 3.
Dalam prakteknya, asal telah mengem-
balikan uang yang dikorupsi, maka
putusan majelis hakim adalah bebas
dan dinyatakan tidak bersalah, tidak
cukup bukti dan seterusnya, karena
dianggap tidak ada kerugian negara lagi.
Karenanya, supremasi hukum baru
dapat berjalan, jika budaya hukum
telah hidup dan berjalan pada
kehidupan para penegak hukum itu
sendiri. Selama para penegak hukum
Bahkan ada fakta di negeri kita, seseorang yang
menjadi korban tabrak lari, di mana yang
membonceng mati akibat tabrak lari tersebut
dan yang menabrak tidak bisa dikenali dan atau
hilang jejak, kemudian pengemudi motor yang
masih hidup oleh Polisi dijerat dan dijadikan
tersangka dengan alasan tafsir KUHP kelalaian
yang menyebabkan hilang nyawa seseorang. Bila
pengemudi mau mengeluarkan uang, maka
perkara akan menjadi “KUHP (Keluar Uang
Habis Perkara).”
tidak memiliki budaya hukum, tidak
memiliki kejujuran dan kebenaran,
maka perilaku penegak hukum akan
menjadi diskriminatif dan bahkan
menjadi kabur, dan jauh dari rasa
keadilan.
Kebenaran tidak dapat terwujud
jika tidak ada kejujuran. Tanpa kebe-
naran, keadilan sangat naïf terwujud
dan rasa keadilan tidak akan pernah
dirasakan, artinya bagaikan meng-
gantung di atas awan.
e. Legislasi Undang-Undang Yang
Berpihak Pada Aspirasi Masya-
rakat
Selain penegak hukum, para
pembuat hukum (legislator) pun harus
berbudaya hukum. Karena pembuatan
hukum merupakan suatu rencana
bertindak dengan aktif memperhatikan
berbagai faktor terkait dalam kehidup-
an masyarakat, dan tidak boleh dilaku-
kan secara parsial. Sehingga untuk
mencapai tujuan tersebut diperlukan
usaha yang sistematis meliputi
tekhnik-tekhnik perundang-undangan
yang dipakai. Dengan harapan proses
pertimbangan pembuatan hukum ter-
sebut mampu mengakomodir nilai dan
kehendak serta cita-cita bersama.
Realita yang terjadi, dalam proses
legislasi atau pembuatan Undang-
Undang (UU) tidak lagi didasarkan atas
kepentingan rakyat, tetapi lebih dida-
sarkan pada kepentingan individual
atau kelompok semata. Bahkan proses
legislasi hukum yang ada, seolah hanya
mengayomi para elit penguasa dan
pengusaha semata. Bila berkenaan
dengan kepentingan partai atau peng-
usaha, maka kepentingan partai politik
dan pengusaha yang didahulukan.
Hal ini mengakibatkan hilangnya
kepatuhan masyarakat terhadap
hukum, karena mereka mengetahui
bahwa hukum dibuat hanya untuk
kepentingan kalangan tertentu saja.
Dampaknya, tingkat kesadaran hukum
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
menjadi lemah. Hukum yang dibuat
tidak lagi mampu menyerap ke akar
rumput. Pemberdayaan hukum dalam
bentuk gerakan Kesadaran Hukum
(Kadarkum) masih sebatas angin lalu.
Lagi-lagi budaya hukum sangat perlu
peningkatan yang lebih maksimal.
f. Penanaman Nilai-Nilai Agama dan
Ketakwaan
Nilai-nilai agama selalu berpihak
kepada kebenaran dan mengajarkan
kebaikan serta memerintahkan melaku-
kan perbuatan baik, sehingga memberi-
kan dampak kedamaian dan ketentra-
man kepada seluruh umat manusia.
Oleh karenanya, perlu dilakukan upaya
penanaman nilai-nilai agama terhadap
masing-masing individu masyarakat
Indonesia, dalam segala lini lapisannya.
Upaya ini pun dapat memberikan
kontribusi besar dalam rangka pem-
bentukan budaya hukum masyarakat
Indonesia, karena adanya nilai-nilai
baik dan mulia yang tertanam dalam
sanubari individu masyarakat Indone-
sia.27
Dalam Islam, nilai-nilai agama
terwujud dalam bentuk ketakwaan
kepada Allah SWT, yang dibarengi
dengan perilaku menjaga diri dari
amarah dan azab Allah SWT. Dengan
kata lain melaksanakan perintah Allah
dan menjauhi laranganNya.
27 Hal ini dilegal formalkan dalam TAP MPR
Nomor V/MPR/2000 tentang Pemantapan
Persatuan dan Kesatuan Nasional. Bab III:
“Terwujudnya nilai-nilai agama dan nilai-nilai
budaya bangsa sebagai sumber etika dan moral
untuk berbuat baik dan menghindari perbuatan
tercela, serta perbuatan yang bertentangan
dengan hukum dan hak asasi manusia. Nilai-
nilai agama dan nilai-nilai budaya bangsa selalu
berpihak kepada kebenaran dan mengajarkan
untuk memberi maaf kepada orang yang telah
bertobat dari kesalahannya.” Bab IV:
“Menjadikan nilai-nilai agama dan nilai-nilai
budaya bangsa sebagai sumber etika kehidupan
berbangsa dan bernegara dalam rangka akhlak
dan moral penyelenggara negara dan
masyarakat.”
Pengertian takwa terkandung pula
pengendalian manusia akan dorongan
dan emosinya dan penguasaan atas
kecenderungan dan hawa nafsunya,
dengan memenuhi dorongan-dorongan
dalam batas-batas yang diperkenankan
oleh ajaran Islam. 28 Selain, dalam
pengertian takwa juga terkandung
perintah kepada manusia agar dalam
tindakan-tindakannya, manusia berla-
ku benar, adil, memegang amanat,
dapat dipercaya, bergaul baik dengan
orang lain, dan menghindari permu-
suhan dan kezaliman. Pun hendaknya
melaksanakan segala pekerjaan yang
dipercayakan kepadanya dengan se-
baik-baiknya dengan selalu mengha-
dapkan jiwa kepada Allah SWT,
memohon ridha dan karunia-Nya.
Ketakwaan dengan pengertian di
atas akan menjadi kekuatan yang
mempengaruhi manusia ke arah
tingkah laku yang lebih baik, ke arah
pengembangan diri dan menghindari
tingkah laku yang buruk, menyimpang,
dan tercela. Untuk itu manusia
dituntut untuk dapat membina dirinya
dan mengendalikan dan mengarahkan
hawa nafsunya.
Dengan demikian ketakwaan meru-
pakan salah satu faktor yang meng-
antarkan pada kematangan kepribadi-
an, keutuhan, keseimbangan, dan men-
dorong manusia untuk mengembang-
kan diri menuju kesempurnaan manu-
siawi.
Bila hal ini terakumulasi dalam
komunitas masyarakat, maka akan
terbentuk masyarakat mulia yang
terdiri dari individu-individu bertakwa.
Baik sebagai aparat penegak hukum,
aparat penyelenggara pemerintahan,
ataupun sebagai masyarakat umum.
Sehingga hukum yang berlaku dapat
28 Lihat: M. Usman Najati, Al-Qur’an dan Ilmu
Jiwa, (Bandung: Pustaka Bandung, 2000), h.
304.
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
tegak, dipatuhi, dan berjalan efektif.
Maka secara otomatis masyarakat akan
berbudaya hukum, karena adanya
kesadaran hukum yang tumbuh dalam
sanubari masing-masing.
g. Adanya Komunikasi Hukum
Terjadinya misunderstanding (kesa-
lahpahaman) ataupun misperseption
(kesalahan persepsi) masyarakat atas
kebijakan hukum pemerintah kerap
disebabkan karena miscommunication
(kurang komunikasi) antara pemerintah
dan masyarakat umum. Sehingga
hukum yang dibuat tidak membumi ke
seluruh lapisan masyarakat. Oleh kare-
nanya, diperlukan hubungan timbal
balik yang saling memahami antara
pemerintah dan masyarakat untuk me-
wjudkan hukum dan melaksanakannya
tanpa ada keterpaksaan atau pun
tekanan dari pihak manapun. Dalam
hal ini diperlukan komunikasi
hukum.29
Kadangkala komunikasi hukum
yang dilakukan tidak dapat berjalan
dengan lancar disebabkan karena apa
yang diatur dalam hukum tidak erat
29 Komunikasi merupakan suatu proses
penyampaian dan penerimaan lambang-lambang
yang mengandung arti-arti tertentu. Tujuan dari
komunikasi adalah menciptakan pengertian
bersama dengan maksud agar terjadi perubahan
pikiran, sikap ataupun perilaku. Namun,
komunikasi hukum lebih banyak tertuju pada
sikap. Oleh karena sikap merupakan suatu
kesiapan mental (predisposition) sehingga
seseorang mempunyai kecenderungan-
kecenderungan untuk memberikan pandangan
yang baik atau buruk yang kemudian terwujud
di dalam perilaku nyata. Dengan demikian,
sikap mempunyai komponen kognitif, afektif
maupun konatif. Komponen kognitif
menyangkut persepsi terhadap keadaan
sekitarnya yang antara lain mencakup
pengetahuan. Komponen afektif berhubungan
dengan perasaan senang atau tidak senang.
Komponen konatif berkaitan dengan
kecenderungan untuk bertindak atau berbuat
terhadap sesuatu. Ketiga komponen tersebut
berkaitan erat dengan komunikasi hukum.
[Lihat: Soekanto, 1989) h. 18].
hubungannya dengan masalah-masa-
lah yang secara langsung dihadapi oleh
masyarakat. Akibatnya hukum tidak
mempunyai pengaruh sama sekali atau
mempunyai pengaruh yang negatif
terhadap sikap masyarakat. Dalam
kondisi seperti itu, maka masyarakat
dapat bersikap acuh tak acuh atau
bahkan melawan hukum. Hal tersebut
disebabkan karena kebutuhan yang
tidak dapat dipenuhi dan tidak
dipahami, sehingga mengakibatkan
terjadinya frustasi, tekanan atau
bahkan konflik.
Peranan ahli hukum dalam
komunikasi hukum sangat diharapkan
untuk dapat menjelaskan hukum
kepada masyarakat dengan berpegang
pada dasar-dasar komunikasi maupun
psikologi agar masyarakat dapat
memahami serta mematuhi hukum.
Komunikasi hukum yang berkaitan
dengan suatu keputusan hukum dapat
dilakukan secara langsung kepada
masyarakat melalui tatap muka,
sehingga dapat langsung diketahui
apakah pesannya diterima dan
dimengerti oleh si penerima pesan atau
tidak.
Komunikasi langsung harus dapat
dilakukan dalam masyarakat-masya-
rakat kecil yang mendasarkan pola
interaksi pada komunikasi tatap muka.
Berlainan jika sasaran komunikasi
hukum adalah masyarakat luas, maka
pembuat hukum harus dapat mem-
proyeksikan sarana-sarana yang diper-
lukan, agar kaidah hukum yang
dirumuskannya mencapai sasaran dan
benar-benar dipatuhi.
Sedangkan kaitan dengan masalah
dan relevansi suatu kaidah hukum,
maka semakin khusus ruang lingkup
suatu kaidah, semakin efektif kaidah
hukum tersebut dari sudut komunikasi
hukum. Demikian pula dalam peng-
gunaan bahasa harus digunakan
bahasa yang dapat dipahami oleh
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
masyarakat. Penentuan masyarakat
yang menjadi sasaran perundang-
undangan pun perlu diperhatikan.
Apabila hukum telah dikomunikasikan
kepada masyarakat, maka kepatuhan
terhadap hukum sangat dipengaruhi
oleh budaya hukum yang ada di
masyarakat di mana hukum itu akan
diimplementasikan.
h. Restorasi Nilai-Nilai Budaya
Menuju Perubahan Hukum
Disadari atau tidak, hukum sebagai
kaidah sosial tidak mungkin dapat dile-
paskan dari nilai (values) yang berlaku
di suatu masyarakat. Bahkan dapat
dikatakan bahwa hukum merupakan
pencerminan nilai-nilai yang berlaku di
dalam masyarakat. Hukum yang baik
adalah hukum yang sesuai dengan
hukum yang hidup (living law) dalam
masyarakat yang berarti pencerminan
dari nilai-nilai dalam masyarakat itu
sendiri.
Nilai-nilai kehidupan dalam suatu
masyarakat akan mengalami proses
perkembangan, khususnya pada suatu
masyarakat yang mengalami proses
peralihan (transition) dari suatu masya-
rakat sederhana yang berciri tertutup,
statis, dan terbelakang menuju ke
suatu masyarakat modern yang berciri
dinamis, terbuka, dan maju.
Konteks perubahan dalam proses
pembangunan atau pun reformasi yang
terpenting bukanlah sekedar mengejar
pertumbuhan ekonomi dan pembangu-
nan yang berorientasi fisik material
semata yang ditandai dengan banyak-
nya pembangunan infrastruktur atau
perkembangan teknologi transportasi
dan informasi, akan tetapi yang paling
pokok dan terpenting adalah pemba-
ngunan manusia sebagai anggota
masyarakat serta nilai-nilai dan budaya
yang dianut.
Nilai-nilai sosial budaya tidak lepas
dari sikap (attitude), pola pikir, budaya
yang mendorong dan seharusnya
dimiliki oleh masyarakat yang sedang
membangun dan mereformasi diri. Bila
aspek ini diabaikan, maka pembangu-
nan dan pembaharuan fisik material
tidak banyak berarti, bahkan akan
menemui kegagalan seperti yang terjadi
pada negara berkembang yang menga-
baikan aspek budaya lokalnya.30
Para elite masyarakat termasuk apa
yang dinamakan intelektual sebagai
golongan yang mempelopori pembaha-
ruan, seringkali tidak dapat memprak-
tekkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang
dianjurkan sebagai sifat yang diperla-
kukan dalam masyarakat modern,
seperti; kejujuran (honesty), efisiensi
(efficient), bertepat waktu (punctulity),
keteraturan (orderliness), rasional da-
lam berpikir dan dalam mengambil
keputusan, kemampuan untuk mena-
ngguhkan konsumsi (perspektif masa
depan).31
Kaitannya dengan nilai-nilai
budaya dapat saja mengambil segi-segi
positif dari budaya luar, akan tetapi
dalam prakteknya tetap melakukan
penyaringan dengan budaya hukum itu
sendiri yang lebih bersifat kommunal
yang berciri kekeluargaan dan
kegotongroyongan sebagai ciri yang
menonjol dari budaya hukum Panca-
sila.
Dalam penemuan hukum dan
pembentukan hukum-hukum baru,
masyarakat Indonesia tidak mungkin
mampu menutup diri dari gelombang
globalisasi, akan tetapi dalam penerap-
an hukum harus mampu lebih
mempertimbangkan budaya hukum
sendiri.
30Lihat: Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-
Konsep Hukum Dalam Pembangunan, (Bandung:
Alumni, 2006), h. 10-12.
31Ibid, h. 12.
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
C. PENUTUP
Kesimpulan akhir yang dapat diam-
bil adalah perlunya mempertahankan
nilai-nilai budaya bangsa yang telah
menjadi warisan leluhur, untuk kemu-
dian dalam bidang hukum menjadi
suatu kebudayaan tersendiri. Budaya
untuk malu berbuat salah, malu
melanggar aturan, dan malu untuk
tidak mengikuti aturan dan hukum
yang ada. Bila ini telah disadari, maka
aspek-aspek lain seperti kepatuhan
hukum, penegakan hukum, dan
kesadaran hukum dengan sendirinya
dapat terwujud dalam bingkai budaya
hukum yang terpantri dalam jiwa dan
sanubari masyarakat Indonesia.
Selain itu diupayakan penciptaan
budaya hukum dalam masyarakat
Indonesia dalam bentuk progresifitas
hukum seperti melakukan reduksi
kekuasaan penguasa sehingga Negara
Indonesia menjadi Negara hukum yang
hakiki, sinergitas penegak hukum dan
sistem hukum, melepas belenggu tafsir
KUHP, pertanggungjawaban moralitas
penegak hukum, legislasi undang-
undang yang berpihak pada aspirasi
masyarakat, penanaman nilai-nilai
agama dan ketakwaan, adanya
komunikasi hukum, dan restorasi nilai-
nilai budaya menuju perubahan
hukum.
D. DAFTAR PUSTAKA
Alan Watson, 1977, Society and Legal
Change, Edinburgh: Scottish
Academic Press.
Azhari, Muhammad Tahir, 2010,
Negara Hukum, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group,
Cet.4.
Darmodiharjo, Darji, dan DR. Shidarta,
SH., 2006, Pokok-Pokok Filsafat
Hukum, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Friedman, Lawrence Meil, 1979, Law
and Society; an Introductions,
Prencite-Hall Foundations of
Modern Sociology Series,
Englewood Cliffts, Standford
University, New Jersey.
Friedman, Lawrence Meil, 1979, Law
and Society; an Introductions,
(Prencite-Hall Foundations of
Modern Sociology Series,
Englewood Cliffts, Standford
University, New Jersey.
Kusumaatmadja, Mochtar, 2006,
Konsep-Konsep Hukum Dalam
Pembangunan, Bandung:
Alumni.
Lev, Daniel S, ”Peradilan dan Kultur
Hukum Indonesia”, dalam
Prisma No. 6 Tahun II,
Desember 1973, dalam Esmi
Warassih, 2005, Pranata
Hukum Sebuah Telaah
Sosiologis, Semarang.
Mas, Marwan, Pengantar Ilmu Hukum,
Bogor, Ghalia Indonesia, 2011.
Muchsin, 2006, Ikhtisar Filsafat Hukum,
Jakarta: Badan Peneliti Iblam.
Najati, M. Usman, Al-Qur’an dan Ilmu
Jiwa, Bandung: Pustaka
Bandung, 2000.
Pusat Studi Indonesia, 1999, Jurnal
Studi Indonesia, Jakarta:
Universitas Terbuka.
“Supremasi Hukum” Volume 11 Nomor 1, Januari 2015 Nur Rohim Yunus
Fakultas Hukum Universitas Islam Syekh Yusuf Tangerang
Raharjo, Satjipto, 2003, Sisi-Sisi Lain
Dari Hukum Di Indonesia,
Jakarta: Penerbit Kompas,.
Raharjo, Satjipto, 2007, Biarkan Hukum
Mengalir, Catatan Kritis Tentang
Pergulatan Manusia dan Hukum,
Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Raharjo, Satjipto, 2007, membedah
hukum progresif, Jakarta:
Penerbit Buku Kompas.
Rasyidi, Lili, dan IB Wyasa, 1993,
Hukum sebagai Suatu Sistem,
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Soekanto, Soerjono, 1983, Faktor-
Faktor yang Mempengaruhi
Penegakan Hukum, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
Soekanto, Soerjono, 1987, Sosiologi
Suatu Pengantar, Jakarta:
Rajawali Pers.
Tanya, Bernard L., 2006, Teori Hukum,
Strategi Tertib Manusia Lintas
Ruang dan Generasi, Surabaya:
Penerbit CV Kita.
Tim Penyusun Kamus, Pusat
Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan,
1994, Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), Edisi Kedua,
Cetakan Ketiga, Jakarta: Balai
Pustaka.
Ujan, Andre Ata, 2009, Filsafat Hukum,
Membangun Hukum, Membela
Keadilan, Yogyakarta: Kanisius