Bagaimana makna pancasila dalam kehidupan berpolitik di Indonesia jelaskan?

TAHUN 2018 hingga 2019 disebut sebagai tahun politik.

Mengapa tahun politik? Mengapa tidak ada tahun ekonomi atau tahun kebudayaan?

Tahun politik lebih populer karena paling banyak melibatkan partisipasi dan aktivitas politik masyarakat di semua lapisan.

Politik untuk memilih calon kepala daerah yang 'disukai', politik untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari pesta demokrasi, politik untuk mendapatkan jabatan, proyek-proyek infrastruktur, dan tak ketinggalan bisnis konsultan politik ikut kecipratan rezeki dari tahun politik.

Maka, tahun politik lebih seksi dan berkaitan langsung dengan hajat hidup orang banyak.

Di 2018 ini akan digelar pilkada di 171 daerah, yang meliputi 17 provinsi dan 154 Kabupaten/Kota.

Meskipun puncaknya akan berlangsung pada 27 Juni 2018, sejak 2017 hingga awal 2018 ini persiapan dan 'pesta' kecil-kecilan sudah berlangsung.

Lobi-lobi dan kasak-kusuk (positif maupun negatif) sudah berseliweran. Isu mahar politik dan kampanye hitam juga bergulir.

Selain dinamika politik yang kian memanas itu, Pilkada Serentak 2018 akan menjadi barometer Pileg dan Pilpres 2019.

Kontestasi politik 2018 ialah semifinal guna menghadapi grand final pada 2019.

Pengalaman penyelenggaraan Pilkada 2015 di 269 daerah dan 2017 di 269 daerah secara umum berjalan lancar dan patut dibanggakan.

Kematangan dan kedewasaan elite-elite politik kita patut diacungi jempol.

Meskipun terjadi perselisihan dalam hasil perolehan suara, semua pihak yang bertikai taat pada putusan MK.

Kalaupun ada percikan-percikan kecil, konflik horizontal dan vertikal, itu tidak membuat Indonesia terpecah belah.

Namun, meski situasi politis masyarakat pascapilkada dapat kembali ke titik keseimbangan (equilibrium), bagaimana dengan situasi sosiologis dan psikologisnya?

Apakah pesta demokrasi lima tahunan ini mampu menguatkan keterikatan psikologis kita sebagai satu bangsa?

Atau justru terjadi segregasi sosial berdasarkan label in-group versus out-group, sebagai efek samping dari politisasi identitas berbau SARA, seperti dalam pilkada DKI.

Dalam beberapa kasus pilkada, misalnya, pesta demokrasi yang seyogianya menjadi wadah perjumpaan antaranak bangsa dalam suasana sukacita justru menimbulkan trauma psikis berkepanjangan akibat intimidasi, teror mental, dan marginalisasi satu kelompok terhadap kelompok lain hanya karena pilihan politik yang berbeda.

Strategi pemenangan pilkada dengan cara memolitisasi identitas primordial sangat berbahaya bagi kohesivitas bangsa dan identitas nasional Indonesia.

Secara psikologis, kelompok yang kalah mengalami trauma psikis yang berujung pada kemunduran mental dan moril berkepanjangan.

Wujudnya bisa perasaan kecewa yang mendalam, stigma terhadap memori kebersamaan masa lalu, dendam dan amarah yang tak berkesudahan, stres, bahkan sampai depresi berat.

Para pelaku politik yang menggunakan isu primordial (SARA) kurang memperhitungkan 'ongkos psikologis' yang dapat dialami saudara-saudara sebangsanya.

Sejatinya kontestasi pilkada ibarat pertandingan tinju, begitu bel berbunyi bertandinglah sekeras-kerasnya dengan teknik dan stamina yang prima.

Namun, begitu pertandingan usai, semuanya saling merangkul dan kembali pada kehidupan kebersamaan sebagai satu bangsa.

Namun, jika kemenangan itu akhirnya menimbulkan 'derita batiniah dan lahiriah' bagi pihak yang kalah, apa gunanya menang di pilkada?

Dapatkah pesta demokrasi menjadi sarana untuk memperkuat paham dan rasa kebangsaan kita? Siapa yang bertanggung jawab atas 'ongkos psikologis' yang diderita saudara-saudara kita sendiri?

Bisakah kampanye politik dilakukan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan berdasarkan nilai-nilai Pancasila?

Norma dasar

Para pendiri bangsa meletakkan Pancasila sebagai norma dasar (grundnorm) dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.

Dalam hierarki hukum nasional, Pancasila menempati kedudukan tertinggi, yang disusul UUD 1945, UU, dan berbagai peraturan perundang-undangan di bawahnya.

Norma dasar itu ialah norma tertinggi.

Menurut pandangan Edisius Riyadi (2017), Pancasila sebagai norma dasar tidak hanya bermakna substansial-material, tapi juga prosedural-formal.

Secara substansial-material, berbagai hukum yang ada di Indonesia baik yang tertulis maupun tidak harus mengacu ke Pancasila sebagai rujukan tertingginya.

Oleh sebab itu, setiap norma hukum harus memuat dan mempertimbangkan nilai-nilai kasih sayang, saling menghormati, dan toleran (wujud sila pertama), berperikemanusiaan (sila kedua), menjaga persatuan dan persatuan (sila ketiga), demokrasi-musyawarah (sila keempat), serta solidaritas sosial yang berkeadilan (sila kelima).

Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila itu menjadi landasan etis atau pedoman perilaku baik dan buruk masyarakat di ruang-ruang publik.

Nilai-nilai itu terkait membentuk sistem etika di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, dsb.

Etika Pancasila menghendaki kukuhnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dalam wadah NKRI berdasarkan prinsip Bhinneka Tunggal Ika.

Kampanye hitam, fitnah, isu SARA, berita bohong, dan negatif yang menyerang pribadi kontestan atau partai lain berarti melanggar etika Pancasila dan patut dikenai sangsi sosial dan politis.

Sebagai sistem etika, Pancasila seyogianya menjadi national public norm dan leading principles, baik bagi penyelenggara negara (khususnya penyelenggara pemilu), parpol, elite politik, dan masyarakat sebagai subjek politik.

Sistem ini tidak hanya menjadi rambu-rambu bagi perilaku politisi, tetapi juga bagi semua pemangku kepentingan. KPU, Bawaslu, konsultan politik, serta lembaga survei politik, memiliki kewajiban moral yang sama dan berkontribusi terhadap terciptanya kualitas demokrasi yang bermartabat, demokratis, dan manusiawi.

Elegan dan bermartabat

Sayangnya etika kehidupan berbangsa yang diatur dalam Tap MPR RI No VI/MPR/2001 yang bersumber dari nilai-nilai luhur Pancasila belum berjalan efektif.

Rumusan tentang etika kehidupan berbangsa itu disusun untuk memberikan penyadaran tentang arti penting tegaknya etika dan moral dalam kehidupan berbangsa.

Namun, karena ketiadaan sistem reward and punishment yang terukur, serta lemahnya kedudukan Tap MPR dalam hierarki hukum, etika kehidupan berbangsa itu menjadi teks tanpa makna.

Kita berharap, pesta demokrasi pada 2018 ini dan 2019 menjadi pesta demokrasi dan ajang kontestasi yang elegan dan bermartarbat, diselenggarakan dengan penuh kegembiraan.

Betapa pun kerasnya kompetisi, jangan sampai itu merobohkan bangunan rumah bersama, bernama Indonesia. Pihak yang menang semestinya menjadi the great winner tanpa niat menyengsarakan pihak lain.

Sementara itu, pihak yang kalah seyogianya menjadi the good loser, mau menerima kekalahan dengan lapang dada dan siap bekerja sama.

Salam Pancasila. Merdeka!