Bagaimana kedudukan hukum adat dalam konstitusi NRI 1945?

5 Oktober 2020 in opini Tidak ada komentar 304092

Indonesia adalah negara yang menganut pluralitas dalam bidang hukumnya, dimana ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Pada prakteknya masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam mengatur kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. Setiap wilayah di Indonesia mempunyai tata hukum adatnya masing-masing untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam yang sebagian besar hukum adat tersebut tidak dalam bentuk aturan yang tertulis.

Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan masyarakat dan tradisi rakyat yang ada. Hukum adat merupakan endapan kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya mendapatkan pengakuan dalam masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya, praktek yang terjadi dalam masyarakat hukum adat keberadaan hukum adat sering menimbulkan pertanyaan-pertanyaan apakah aturan hukum adat ini tetap dapat digunakan untuk mengatur kegiatan sehari-hari masyarakat dan menyelesaikan suatu permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat hukum adat. Sementara itu negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-undangan lainnya. Antara hukum adat dengan hukum negara mempunyai daya pengikat yang berbeda secara konstitusional bersifat sama tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.

Menurut Van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan. Menurut Terhaar, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan adat dan berlaku secara spontan. Dapat disimpulkan hukum adat adalah suatu norma atau peraturan tidak tertulis yang dibuat untuk mengatur tingkah laku masyarakat  dan memiliki sanksi.

 Keberadaan hukum adat ini secara resmi telah diakui oleh negara keberadaannya tetapi penggunaannyapun terbatas. Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945 dimana menyebutkan”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang” yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta konstitusional haknya dalam system hukum Indonesia. Disamping itu juga diatur dalam Pasal 3 UUPA “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi”.

Polemik yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat atau kepemilikan hak atas tanah. Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat dapat mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga halnya dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, “semakin kuat kedudukan hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis tetapi apabila semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu akan berakhir”. Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat tetapi mengapa masih banyak permasalahan itu terjadi di daerah-daerah Indonesia. Banyak penggunaan tanah ulayat yang berakhir sengketa karena tidak sesuai dengan seharusnya. Hal itu timbul karena para investor seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak ulayat untuk melaksanakan suatu perjanjian. Tetapi kenyataannya malah investor tersebut mendapatkan tanahnya melalui pemerintah yang mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes karena mengapa melakukan kegiatan investor ditanah mereka. Timbul juga sebuah kerugian sebagai efek samping dari terjadinya sengketa karena tanah tersebut dalam status quo sehingga tidak dapat digunakan secara optimal dan terjadilah penurunan kualitas sda yang bisa merugikan banyak pihak.

Negara dimana sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat terhadap masyarakat hukum adat dengan di berlakukannya UU No.5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) diharapkan dapat mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan untuk masyarakat adat. Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah nasional bersumber pada hukum adat seharusnya secara otomatis hak-hak ulayat tersebut diakui tetapi dalam prakteknya tidak. Jangan sampai terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya kepemilikan serta penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan hukum Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut.

Untuk konsep kedepannya diharapkan untuk adanya jaminan kepastian hukum tentang pengelolaan hak ulayat masyarakat hukum adat. Dimana haruslah dibuat secara lebih mendalam atau rinci peraturan perundang-undangannya baik itu bisa dalam Peraturan Presiden atau Peraturan Pemerintah dimana yang jelas dibawah undang-undang, apakah bisa dibuat dalam bentuk tertulis dalam hal hak atas tanah atau untuk pelaksanaannya. Supaya ada kejelasan hak milik dari pada masyarakat hukum adat itu kedepannya karena selama ini hukum adat memang dikenal dalam UUPA dan juga diatur dalam UUD 1945 tapi sejauh mana keberadaan hukum adat itu bisa menganulir hukum positif tidak ada kejelasannya.

Kelompok 22:

M. Ridho Saputra

Eryandi Pratama

Vita Sari Prihastoro

Brata Yudha Putra Sitio

Vaula Surya Hanifa

Amira Safitri


Recommended Posts

5 Oktober 2020

5 Oktober 2020

5 Oktober 2020

Oleh: Dr. Hj. Muskibah, S.H., M.Hum

BERBICARA bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia tentu kita tidak dapat melepaskan keberadaan nilai, norma, kaedah, maupun pedoman berprilaku yang hidup di tengah masyarakat. 

Hal-hal tersebut merupakan bentuk kekayaan bangsa Indonesia yang sudah sedari lama hidup dan berkembang di dalam kehidupan masyarakat di Nusantara. Sehingga bisa dikatakan bahwa nilai, norma, kaedah serta pedoman berprilaku tersebut yang bisa dikatakan terakomodir dalam suatu hukum yang umumnya tidak tertulis dimana dikenal secara luas dengan istilah hukum adat.

Di dalam literatur, Snouck Hurgronje memperkenalkan istilah Adatrecht (hukum adat) sebagai hukum yang berlaku bagi bumi putra (orang Indonesia asli) dan orang timur asing pada masa Hindia Belanda. Di samping itu definisi yang sama juga dikemukakan oleh Van Vollenhoven yang mendefinisikan hukum adat sebagai hukum yang berlaku bagi rakyat Indonesia asli. Sehingga setidaknya dapat dipahami bahwa hukum adat merupakan hukum yang hodup di tengah masyarakat Indonesia, serta berlaku bagi masyarakat Indonesia yang mana dalam hal ini setiap tempat hukum adat tersebut memiliki pengaturan yang berbeda namun pada dasarnya memiliki akar konsep yamng sama.

Berbicara Indonesia sebagai Negara hukum, maka keberadaan hukum adat ini juga diatur, dilindungi, dan diakomodir pula oleh konstitusi. Merujuk kepada ketentuan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 mengatur ”Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Merujuk kepada ketentuan tersebut ada beberapa hal penting yang bisa ditarik pemahaman sehubungan dengan kedudukan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia.

Bahwa Negara mengakui keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat di Indonesia secara konstitusional haknya. Dan tentu dalam hal ini termasuk pula hukum yang hidup di dalamnya yakni hukum adat itu sendiri. Pengakuan hak tersebut dapat dimakanakan sebagai pengakuan hak bagi masyarakat hukum adat terkait mengenai eksistensinya. Dalam artian masyarakat hukum adat dilindungi konstitusi eksistensi masyarakat dan segala hal yang hidup di dalam kehidupan masyarakat itu sendiri, termasuk di dalam hal ini adalah hukum adat itu sendiri yang menjadi bagian dari masyarakat hukum adat.

Di sampjng itu, pengakuan dan penghormatan hukum Negara itu berlaku sepanjang hukum adat dan masyarakatnya sendiri masih hidup hingga saat ini. Dalam arti bahwa pengakuan Negara tersebut patut menjadi catatan bagi bangsa Indonesia untuk senantiasa menjaga kelestarian masyarakat adat dan instrumennya sebagai warisan luhur bangsa Indonesia yang telah melalui sejarah panjang ditambah lagi ancaman degradasi masyarakat adat itu sendiri saat ini di tengah terjangan dan terpaan globalisasi.

Catatan penting pula sehubungan dengan landasan konstitusi tersebut adalah pengakuan tersebut berlaku sepanjang hal-hal tersebut sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI itu sendiri. Maka dalam hal ini agaknya tidak berlebihan jika disebutkan pengakuan Negara terhadap masyarakat hukum adat dan hukum adatnya sendiri adalah pengakuan bersyarat (sekalipun dalam konsep Negara hukum syarat-syarat tersebut merupakan bentuk control bingkai Negara hukum).

Jika ditelisik lebih jauh, sebagaimana diatur pada Pasal 4 Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 Tahun 2014 tentang pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat yang dalam hal ini mengatur sehubungan tentang tahapan dan syarat yang harus dipenuhi oleh Masyarakat Hukum Adat untuk memperoleh kepastian hukum atas hak-hak tradisionalnya. Di dalam ketentuannya tersebut masysarakat adat harus melalui tahapan-tahapan yang dilakukan secara berjenjang untuk mendapatkan legalisasi pengakuan atas masyarakat hukum adat itu sendiri dimana dalam hal ini tahapan-tahapan tersebut meliputi tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, verifikasi dan validasi masyarakat hukum adat serta kemudian setelah 3 (tiga) tahapan tersebut dilalui maka dalam hal ini dilakukan penetapan masyarakat hukum adat sebagai output dari tahapan-tahapan tersebut.

Lebih lanjut diatur bahwa dalam tahapan identifikasi masyarakat hukum adat, hal-hal yang menjadi objek adalah sejarah masyarakat hukum adat, hukum adat, wilayah adat, harta kekayaan dan/atau benda-benda adat, kelembagaan/sistem pemerintahan adat. Lebih lanjut sehubungan dengan wilayah adat dan kelembagaan/sistem pemerintahan adat secara substansial pada ketentuan hukum ini belum diatur secara jelas teknis penentuan cara menentukan wilayah adat yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat dan atau pun kelembagaan / sistem pemerintahan adat apakah diatur secara stuktural.

Dalam fokus kedudukan hukum adat dalam sistem hukum Indonesia, kembali konstitusi dimana Pengakuan terhadap hukum tidak tertulis dahulu hanya dijelaskan atau dicantumkan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 yang dalam hal ini mengatur ”... Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang di sampingnya Undang-undang Dasar itu berlakunya juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-atauran dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara meskipun tidak tertulis”. Dalam artian hukum adat yang pada umumya tidak tertulis memiliki kedudukan yang sama dengan hukum lainnya yang berlaku di Indonesia mengingat pengakuan terhadap hukum tidak tertulis di samping Undang-Undang Dasar itu sendiri.

Maka dalam hal ini dapat dipahami bahwa kedudukan hukum adat di dalam sistem hukum di Indonesia memiliki kedudukan secara konstitusiona bersifat sama dengan kedudukan hukum pada umumnya berlaku dalam kehidupan bernegara di Indonesia, namun yang patut digaris bawahi juga terdapat perbedaan antara hukum adat dengan hukum yang berlaku pada umumnya yakni dari aspek keberlakuan dan bentuknya. Dimana dalam hal ini keberlakuan hukum adat hanya berlaku untuk orang Indonesia dan dari aspek bentuknya hukum adat pada umumnya tidak tertulis. Oleh karena itu, tentu sebagaimana syarat pengakuan tersebut adalah kewajiban bersama untuk senantiasa melestarikan hukum adat dan masyarakat hukum adat itu sendiri, sehingga nilai-nilai luhur bangsa tersebut dapat selamat dari terjangan degradasi akibat globalisasi.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA