Bagaimana islam mengstur tentang politik

Islamic politics or political Islam is often defined ranging from Muslim politics through Islamic political parties, institutionalization of Islamic regulations, to politicized Islam for personal and parties’ interests. This paper examines Islamic politics from Al-Qur’an sura Al Imran verse number 159 on consensus (musyawarah). By examining exegesis sura Ali Imran verse number 159 from tafsir al-Maraghi, tafsir al-Misbah and tafsir al-Azhar, this paper argues that musyawarah, having consensus, is one of the value and principles of Islamic politics in the Qur’an. These exegeses even suggest that the Prophet Muhammad as the leader of Islamic community at that time often took a decision promoted by his Companions, rather than based on his own opinion. Therefore, this paper shows that one of principles of Islamic politics from Al-Qur’an is obtaining consensus in taking a decision involving many parties and by involving them in taking the decision. This paper also shows that decision taken based on majority votes, not elites’ ones, is a decision suits principles of Islamic politics from Al-Quran.

Keyword: Politics Islam, Tafsir Al Maraghi, Tafsir Al Misbah, Tafsir Al Azhar.

Politik Islam dipahami mulai sebagai politik yang dilakukan oleh umat Islam dalam bentuk partai politik, mengagendakan Islam dalam peraturan kenegaraan sampai kepada penggunaan Islam untuk kepentingan pribadi, politik partai dan kelompok. Tulisan ini menggambarkan bahwa politik Islam dalam Al-Qur’an banyak berbicara tentang nilai dan prinsip politik Islam, yang pada kajian ini membahas surat Ali Imran ayat 159 yang berkenaan dengan musyawarah.

Dengan menganalisa ayat ini dari tafsir al-Maraghi, tafsir al-Misbah dan tafsir al-Azhar, tulisan ini berargumen bahwa musyawarah merupakan salah satu nilai dan prinsip politik Islam yang dipentingkan dalam Al-Quran. Tafsir-tafsir ini malah menyebutkan bahwa Nabi Muhammad sebagai pemimpin umat Islam pada waktu itu sering mengambil keputusan yang berasal dari para sahabat sebagai keputusan bersama, bukan keputusan yang bersumber dari dirinya sendiri.

Dengan demikian, tulisan ini menunjukkan bahwa salah satu nilai dan prinsip politik Islam dalam Al-Qur’an adalah anjuran untuk melakukan musyawarah dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan banyak orang dan dengan melibatkan banyak orang. Tulisan ini juga menunjukkan bahwa keputusan yang diambil berdasarkan suara terbanyak, bukan suara pemimpin politik saja, adalah keputusan yang sesuai dengan nilai dan prinsip politik Islam dalam Al-Qur’an.

Kata Kunci: Politik Islam, Al-Quran, Tafsir Al Maraghi, Tafsir Al Misbah, Tafsir Al Azhar.

PEMILIHAN Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) 2019 sudah di depan mata. Menjelang pesta demokrasi itu, beragam masalah masih menjadi PR besar bagi penyelenggara maupun pengawas pemilu.

Satu kendala yang belum juga tuntas ialah menekan angka golongan putih (golput), yakni pemilih yang enggan terlibat dalam proses berpolitik lewat pencoblosan di TPS. Padahal, partisipasi masyarakat dalam sebuah demokrasi sangatlah vital dalam menentukan nasib lima tahun ke depan bangsa ini.


Banyak faktor yang menyebabkan sesorang memilih untuk tidak berpartisipasi dalam proses berpolitik, meski hanya sekadar jadi pemilih, seperti kurangnya sosialisasi, persoalan administrasi, maraknya politik uang yang menciptakan kebimbangan pemilih, maupun kurangnya pendidikan berpolitik.

Pada Pilgub Lampung 2018 saja, berdasarkan rilis KPU, dari target 77,5%, warga Lampung yang mencoblos di TPS hanya mencapai 72,46%. Jumlah warga yang golput mencapai 1.707.747 orang. Satu masalah lain yang juga menjadi penyumbang angka golput adalah adanya pola pikir dari masyarakat awam bahwa politik sering dinilai sebagai sesuatu yang buruk, kotor, bahkan jahat. Padahal, lewat politik, sebuah keadilan dapat diwujudkan. Melalui politik, kesejahteraan masyarakat juga mampu diraih.

Politik dalam Islam

Bagaimanakah politik dari sudut pandang Islam? Islam mengatur seluruh sendi kehidupan manusia, termasuk permasalahan politik atau dikenal dengan siyasah. Berdasar terminologi, siyasah berarti mengatur, memperbaiki, dan mendidik. Secara asal-usul kata, siyasah mempunyai makna yang berhubungan dengan negara dan kekuasaan.

Dalam konteks Indonesia, hubungan Islam dan politik menjadi jelas dalam penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas di negeri ini. Hal itu bukan berarti menghapus cita-cita Islam dan melenyapkan unsur Islam dalam percaturan politik di Tanah Air.

Sejauh mana unsur Islam mampu memberikan inspirasi dalam percaturan politik bergantung pada sejauh mana kalangan muslimin mampu tampil dengan gaya baru yang dapat mengembangkan kekayaan pengetahuan sosial dan politik untuk memetakan dan menganalisis transformasi sosial.

Dalam format politik Islam konstitusionalis, unsur genuinitas Islam dan komitmen berbangsa-bernegara tidak akan hilang. Politik Islam konstitusionalis, seperti yang disampaikan Bung Karno perihal politik agama pada awal masa kemerdekaan, ialah bahwa setiap agama dipersilakan mewujudkan agenda, dakwah, dan misi agamanya di Indonesia dengan catatan masih dalam koridor komitmen emat pilar kebangsaan: Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.

Maka, apabila ada yang mengatakan Islam tidak usah berpolitik, itu adalah salah besar. Sebab, berpolitik adalah hal yang begitu penting bagi kaum muslimin. Jadi, kita harus memahami betapa pentingnya mengurusi urusan umat agar tetap berjalan sesuai dengan syariat Islam. Terlebih, memikirkan/memperhatikan urusan umat Islam hukumnya wajib.

Di sisi lain, umat Islam Indonesia harus berkontribusi dalam agenda penguatan kehidupan kebangsaan yang bersifat fundamental, seperti mewujudkan kehidupan berbangsa yang penuh damai, memperjuangkan keadilan kesejahteraan anak bangsa, dan menjadikan negara bangsa Indonesia dihormati dan disegani negara lainnya.

Urgensi Berpolitik

Pada zaman Rasulullah dan Khulafa al-Rasyidin dapat dipastikan mereka adalah pemimpin agama sekaligus pimpinan negara. Konsep imamah yang mempunyai fungsi ganda memelihara agama sekaligus mengatur dunia dengan sasaran pencapaian kemaslahatan umum menunjukkan betapa eratnya interaksi antara Islam dan politik. Tentu saja, dalam hal ini politik dimengerti secara mendasar, meliputi serangkaian hubungan aktif antarmasyarakat sipil dan dengan lembaga kekuasaan.

Meskipun politik sudah ada di zaman Rasullah, sayangnya di zaman sekarang banyak masyarakat yang anti dengan politik. Sebab, banyak yang beranggapan politik hanya sebagai ajang menunjukkan siapa yang hebat dan siapa yang ber-uang, karena masyarakat melihat ini hanya ajang mencari kekuasaan.

Padahal, dalam hal ini masyarakat harus melihat lebih luas dan lebih cerdas bahwa betapa pentingnya berpolitik. Nasib bangsa akan ditentukan oleh politik. Jadi, sudah dipastikan bahwa berpolitik itu dihalalkan karena memiliki pengaruh besar dalam mempertahankan ajaran Islam di suatu negara asalkan tetap memegang teguh prinsip-prinsip Islam.

OLEH: SN

Politik seringkali dinilai sebagi sesuatu yang buruk, kotor bahkan jahat. Padahal, dengan politik, keadilan bisa diwujudkan. Dengan politik juga kesejahteraan masyarakat akan bisa didapat.

Bagaimana politik dari tinjauan Islam?

Islam bukan hanya agama ritual melainkan agama ideologi yang memiliki tatanan yang sempurna. Karenanya, Islam mengatur seluruh aspek kehidupan baik urusan keluarga, tata kemasyarakatan, prinsip pemerintahan dan hubungan internasional.

Islam dan politik adalah dua hal yang integral. Oleh karena itu, Islam tidak bisa dilepaskan dari aturan yang mengatur urusan masyarakat dan negara, sebab Islam bukanlah agama yang mengatur ibadah secara individu saja. Namun, Islam juga mengajarkan bagaimana bentuk kepedulian kaum muslimin dengan segala urusan umat yang menyangkut kepentingan dan kemaslahatan mereka, mengetahui apa yang diberlakukan penguasa terhadap rakyat, serta menjadi pencegah adanya kedzaliman oleh penguasa.

Apakah dizaman Rasulullah dan Para Sahabatpun Berpolitik?

Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa di pagi hari perhatiannya kepada selain Allah, maka Allah akan berlepas dari orang itu. Dan barangsiapa di pagi hari tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin maka ia tidak termasuk golongan mereka (kaum muslimin).“

Pun dalam sejarah perjuangan para sahabat terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwasannya agama Islam memang memiliki otoritas terhadap politik. Salah satu yang menjadi bukti sejarah perpolitikan pada masa itu adalah ketika mengangkat seorang khalifah (kepala negara pengganti Rasulullah).

Oleh : Faisal Reza, SHI

(Staf. Panmud Gugatan MS Meureudu)

Politik berasal dari bahasa Belanda politiek dan bahasa Inggris politics, yang masing-masing bersumber dari bahasa Yunani (politika – yang berhubungan dengan negara) dengan akar katanya polites (warga negara) dan polis (negara kota). Secara etimologi kata “politik” masih berhubungan dengan policy (kebijakan). Sehingga Politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang antara lain berwujud proses pembuatan keputusan, khususnya dalam negara.[1] Pengertian ini merupakan upaya penggabungan antara berbagai definisi yang berbeda mengenai hakikat politik yang dikenal dalam ilmu politik.

Di dalam bahasa Arab, Politik dikenal dengan istilah siyasah. Oleh sebab itu, di dalam buku-buku para ulamasalafush shalih dikenal istilah siyasah syar’iyyah, misalnya. Dalam Al Muhith, siyasah berakar kata sâsa – yasûsu. Dalam kalimat Sasa addawaba yasusuha siyasatan berarti Qama ‘alaiha wa radlaha wa adabbaha (mengurusinya, melatihnya, dan mendidiknya). Bila dikatakan sasa al amra artinya dabbarahu (mengurusi/mengatur perkara). Jadi, asalnya makna siyasah (politik) tersebut diterapkan pada pengurusan dan pelatihan gembalaan. Lalu, kata tersebut digunakan dalam pengaturan urusan-urusan manusia; dan pelaku pengurusan urusan-urusan manusiatersebut dinamai politikus(siyasiyun). Dalam realitas bahasa Arab dikatakan bahwa ulil amrimengurusi (yasûsu) rakyatnya, mengaturnya, dan menjaganya. Dengan demikian, politik merupakan pemeliharaan (ri’ayah), perbaikan (ishlah), pelurusan (taqwim), pemberian arah petunjuk (irsyad), dan pendidikan (ta`dib).[2]

Rasulullah SAWsendiri menggunakan kata politik (siyasah) dalam sabdanya : “Adalah Bani Israil, mereka diurusi urusannya oleh para nabi(tasusuhumul anbiya). Ketika seorang nabi wafat, nabi yang lain datang menggantinya. Tidak ada nabi setelahku, namun akan ada banyak para khalifah”.[3] Teranglah bahwa politik atau siyasah itu makna awalnya adalah mengurusi urusan masyarakat. Berkecimpung dalam politik berarti memperhatikan kondisi kaum muslimin dengan cara menghilangkan kezhaliman penguasa pada kaum muslimin dan melenyapkan kejahatan musuh kafir dari mereka. Untuk itu perlu mengetahui apa yang dilakukan penguasa dalam rangka mengurusi urusan kaum muslimin, mengingkari keburukannya, menasihati pemimpin yang mendurhakai rakyatnya, serta memeranginya pada saat terjadi kekufuran yang nyata (kufran bawahan) seperti ditegaskan dalam banyak haditsterkenal. Ini adalah perintah Allah SWT melalui Rasulullah SAW. Berkaitan dengan persoalan ini Nabi MuhammadSAW bersabda : “Siapa saja yang bangun pagi dengan gapaiannya bukan Allah maka ia bukanlah (hamba) Allah, dan siapa saja yang bangun pagi namum tidak memperhatikan urusan kaum muslimin maka ia bukan dari golongan mereka.” (HR. Al Hakim)

Politik Adalah Fitrah

Masyarakat kita masih banyak yang berpendapat bahwa politik itu kotor dan harus dijauhi. Sehingga anggapan seperti itu membuat masyarakat kita sangat apatis, apriori (benci), dan alergi dengan politik dan segala sesuatu yang berhubungan dengannya. Hal itu mungkin terjadi karena hasil pantauan masyarakat dilapangan dan lewat media terhadap politik selama ini selalu menunjukkan gejala yang buruk. Orang-orang yang terlibat di dalamnya dapat bergeser orientasi politiknya menjadi politik imperialis, berkhianat, koruptor dan semena-mena. Apalagi, setelah panggung politik dunia dirasuki politik Machiavelli yang menghalalkan segala cara, semakin menjadi-jadilah kebencian masyarakat terhadap politik.

Lantas pertanyaannya, apakah politik itu selalu buruk? Itulah yang harus dimengerti oleh masyarakat secara benar, Karena Persepsi yang keliru terhadap politik tentu akan melahirkan sikap-sikap yang keliru pula. Padahal, politik itu keharusan yang tak bisa dihindari. Karena secara praktis, politik merupakan aktivitas yang mulia dan bermanfaat karena berhubungan dengan peng-organisasian urusan masyarakat/publik dalam bentuk yang sebaik-baiknya.

Tak ada orang yang bisa menghindari politik karena setiap orang pasti hidup di suatu negara, sedangkan negara adalah organisasi politik tertinggi. politik merupakan bagian dari kehidupan manusia dan tidak ada seorang pun yang bisa lepas dari politik. Begitu kita lahir, kita sudah bergabung dengan organisasi tertinggi yakni negara. Tidak ada seorangpun yang hidup tanpa terikat oleh politik. Orang yang ingin mempengaruhi kebijakan negara haruslah merebut kekuasaan politik. Orang yang menyatakan tidak mau terlibat dalam politik dan membiarkan kekuasaan politik diambil orang, maka dia terikat pada kebijakan-kebijakan pemenang kontes politik, betapa pun tak sukanya dia pada kebijakan itu. Karena itu, dapat dikatakan bahwa politik itu adalah fitrah atau sesuatu yang tak bisa dihindari.

Pandangan Islam Mengenai Politik

Islam adalah agama universal, meliputi semua unsur kehidupan, dan politik, Negara dan tanah airi adalah bagian dari islam. tidak ada yang namanya pemisahan antara agama dan politik. karena politik bagian dari risalah Islam yang sempuran.[4] Seperti ungkapan bahwa tidak ada kebaikan pada agama yang tidak ada politiknya dan tidak ada kebaikan dalam politik yang tidak ada agamanya.

Di dalam Islam pun, politik mendapat kedudukan dan tempat yang hukumnya bisa menjadi wajib. Para ulama kita terdahulu telah memaparkan nilai dan keutamaan politik. Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Dunia merupakan ladang akhirat. Agama tidak akan menjadi sempurna kecuali dengan dunia. memperjuangkan nilai kebaikan agama itu takkan efektif kalau tak punya kekuasaan politik. Memperjuangkan agama adalah saudara kembar dari memperjuangkan kekuasaan politik (al-din wa al-sulthan tawamaan).

lengkapnya Imam Al- Ghazali mengatakan: “Memperjuangkan kebaikan ajaran agama dan mempunyai kekuasaan politik (penguasa) adalah saudara kembar. Agama adalah dasar perjuangan, sedang penguasa kekuasaan politik adalah pengawal perjuangan. Perjuangan yang tak didasari (prinsip) agama akan runtuh, dan perjuangan agama yang tak dikawal akan sia-sia”.[5] Dari pandangan Al-Ghazali itu bisa disimpulkan bahwa berpolitik itu wajib karena berpolitik merupakan prasyarat dari beragama dengan baik dan nyaman. Begitulah islam memandang pollitik

Karena paraktiknya politik itu banyak diwarnai oleh perilaku jahat, kotor, bohong, dan korup, timbullah kesan umum bahwa politik (pada situasi tertentu) adalah kotor dan harus dihindari. Mujaddid Islam, Muhammad Abduh, pun pernah marah kepada politik dan politisi karena berdasarkan pengalaman dan pengamatannya waktu itu beliau melihat di dalam politik itu banyak yang melanggar akhlak, banyak korupsi, kebohongan, dan kecurangan-kecurangan.

Muhammad Abduh pernah mengungkapkan doa taawwudz dalam kegiatan politik ,”Aku berlindung kepada Allah dari masalah politik, dari orang yang menekuni politik dan terlibat urusan politik serta dari orang yang mengatur politik dan dari orang yang diatur politik”. Tetapi dengan mengacu pada filosofi Imam Al-Ghazali menjadi jelas bahwa berpolitik itu bagian dari kewajiban syari’at karena tugas-tugas syari’at hanya bisa direalisasikan di dalam dan melalui kekuasaan politik atau penguasa (organisasi negara).

Dalam kaitan inilah ada kaidah ushul fiqh yang menyebutkan “Ma la yatimmul wajib illa bihi fahuwa wajib” (Jika ada satu kewajiban yang tidak bisa dilaksanakan kalau tidak ada sesuatu yang lain, maka sesuatu yang lain wajib juga diadakan/ dipenuhi). Dengan kata lain, “jika kewajiban mensyiarkan nilai kebaikan Islam tak bisa efektif kalau tidak berpolitik, maka berpolitik itu menjadi wajib pula hukumnya.” Inilah yang menjadi dasar, mengapa sejak awal turunnya Islam, muslimin itu sudah berpolitik, ikut dalam kegiatan bernegara, bahkan mendirikan Negara, dan Rasulullah, SAW, Khulafaur Rasyidin serta para pemimpin islam terdahulu telah membuktikanya.

Memilih Pemimpin Yang Terbaik

Dalam konteks keindonesiaan sekarang ini kaum muslimin tidak boleh apatis terhadap pemilihan pemimpin yaitu presiden dan calon presiden. Kita tidak boleh bersikap golput atau “tidak akan memilih ” pasangan capres/cawapres yang mana pun hanya dengan alasan tidak ada pasangan yang ideal. Kita tetap harus memilih karena siapa pun yang terpilih akan menentukan arah kebijakan negara yang juga mengikat kita.

Dengan segala kekurangan dan kelebihan masing-masing pasangan capres/cawapres: Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sudah disaring melalui proses konstitusional yang sah. Semuanya sama baiknya, atau, sama tak baiknya. Tak ada yang boleh mengatakan bahwa secara mutlak pasangan yang satu lebih baik dari pasangan yang lain. Semua tergantung penilaian kita masing-masing. Kata sekelompok orang pasangan ini lebih baik karena ini dan itu, sedangkan pasangan lain lebih jelek karena ini dan itu. Bahkan pemberitaan media digempur dengan blac campaign dan berita-berita yang penuh kebohongan dan sarat Pencitraan.

Jadi kedua pasangan ada kelebihan dan kekurangannya serta ada pendukung dan penolaknya masing-masing. Menghadapi alternatif seperti itu kita harus tetap memilih dengan kesadaran penuh bahwa takkan pernah ada alternatif yang ideal untuk dipilih. Bahkan, mungkin saja, semua alternatif yang tersedia semuanya sangat tidak ideal. Jika demikian halnya, maka ada kaidah akhaff al-dhararain, yaitu memilih yang paling sedikit jeleknya di antara alternatif-alternatif yang sama-sama jelek.

Dalam hal prinsip dan sistem pemerintahan, misalnya, tidak ada yang betul-betul baik dari antara sistem-sistem yang tersedia. Baik teokrasi, demokrasi, monarki, aristokrasi, oligarki, maupun tirani semuanya samasama tidak ideal dan mengandung segi-segi kelemahan. Tetapi, sebagian terbesar negara-negara di dunia memilih prinsip dan sistem demokrasi, bukan karena sistem itu bagus melainkan karena ia mengandung kelemahan yang paling sedikit jika dibanding dengan sistem yang lain. Maka itu, pilihlah yang terbaik dari yang ada, meskipun tidak ideal.

karena itu kita harus berkontribusi untuk negeri ini dengan memilih pemimpin dengan bijaksana. Memilih pemimpin yang bisa mengatur urusan negara dengan baik, memakmurkan dan mensejahterakan rakyat, pemimpin yang jujur, tegas dalam bersikap dan mempunyai kewibaan serta pemimpin yang bisa menampung aspirasi umat islam dan didukung oleh mayoritas umat islam. Negara Indonesia adalah salah satu negara terbesar berpenduduk muslim di dunia, 85 % penduduk di negeri kita adalah beragama islam dan sebagai muslim. Oleh sebab itu layaknya kita mengharapkan pemimpin yang memperjuangkan aspirasi umat islam dan melenyapkan segala kerusakan dan kezaliman yang bisa merugikan rakyat, negeri dan agama. Utsman bin Affan Ra pernah berkata, Kezaliman yang tidak dapat dilenyapkan Alquran akan Allah Swt lenyapkan melalui tangan penguasa. Itulah aura pemimpin yang diharapkan.

[1] Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi ke-IV, Jakarta : Balai Pustaka, 2008. [2] http://id.wikipedia.org/wiki/Politik_Islam [3] HR. Bukharidan Muslim [4] Dr. Yusuf Al-Qardhawi, Tarbiyah Politik Hasan Al-banna : Referensi Gerakan Dakwah di Kancah politik, Jakarta : Arah Press, 2007. [5] Dr. Yusuf Al-Qaradhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer jilid II, Jakarta : Gema Insani Press, 2002. hlm 913