Bagaimana contoh penerapan hukum taklifi?

HUKUM TAKLIFI DAN PENERAPAN DALAM ISLAM
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah
Studi Materi Fiqih di MTs/MA

Bagaimana contoh penerapan hukum taklifi?

Di Susun Oleh:
Sifa Marifat (210312220)

Dosen Pengampu:
Erwin Yudi Prahara, M.Ag.
Kelas TB.G/5

JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAM ISLAM NEGERI
(STAIN) PONOROGO
DESEMBER 2014
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Mengingat ketentuan pokok dalam al-quran sangat sulit dipahami, para ulama mencarikan jalan yang dapat memudahkan umat islam memahami hukum-hukum yang terdapat dalam al-quran dan as-snuah. Dengan demikian akan diketahui ketentuan hukum yang jelas, seperti wajib, mandub, makruh, mubah dan haram. Demikian juga, dapat diketahui ayat-ayat yang menunjukkan kebolehan, tidak boleh, atau ayat-ayat yang tidak jelas menunjukkan boleh atau tidak boleh
Berikut ini dibahas beberapa ketentuan hukum Islam yang menyangkut kebolehan dan ketidak bolehan itu. Ketentuan tersebut berasal dari dalil-dalil al-quran dan as-sunah yang sangat penting untuk diketahui umat islam

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian hukum taklifi!
2. Apa saja macam-macam hukum taklifi dan bagaimana penerapannya dalam islam!










PEMBAHASAN

A. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi adalah khitab syari yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, atau memilih antara berbuat dan meninggalkannya.[1] Hukum ini disebut dengan taklifi karena di dalamnya ada beban bagi manusia. Beban itu terlihat jelas karena merupakan suatu tuntutan, baik tuntutan untuk mengerjakan atau meninggalkan, dan takhyir (mubah)
B. Hukum Taklifi dan Penerapannya dalam Islam
Hukum taklifi secara umum terbagi dalam tiga kategori, yakni:
1. Perintah Allah terbagi dua, yakni Wajib dan Sunat
2. Larangan Allah terbagi menjadi dua, yakni Haram dan Makruh
3. Pilihan terbagi menjadi dua, yakni boleh mengerjakan atau meninggalkan
Dalam rinciannya hukum taklifi terbagi menjadi lima, yaitu:
1. Wajib (Al-Ijab)
Konsekwensi bagi mukallaf adalah suatu perbuatan apabila perbuatan itu dikerjakan oleh seseorang maka akan mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu ditinggalkan akan mendapat siksa. Contoh khitab ijab diantaranya adalah firman Allah swt. dalam Surat An-Nur Ayat 56.

Artinya:
Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan taatlah kepada Rasul (Muhammad)...(QS. An-Nur: 56)
a. Ditinjau dari segi pembenaanya: wajib ain dan wajib kifayah
1) Wajib ain adalah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap mukallaf tanpa terkecuali. Kewajiban ini harus dilaksanakan sendiri dan tidak bisa diganti orang lain. Seperti sholat fardhu dll
2) Wajib kifayah adalah kewajiban yang dibebankan kepada seluruh mukallafdan dapat gugur manakala telah dilaksanakan oleh sebagian dari mereka. Seperti sholat jenazah
b. Ditinjau dari sisi kandungan perintah: wajib muayyan dan wajib mukhayyar
1) Wajib muayyan adalah suatu kewajiban yang telah ditentukan dan tidak ada pilihan bagi mukallaf, seperti puasa di bulan ramadhan dll
2) Wajib mukhayyar adalah suatu kewajiban yang boleh dipilih oleh mukallaf atas beberapa alternativ. Misalnya membayar kifarat (denda) bagi seseorang yang melanggar sumpah, maka ia wajib memilih salah satu dari tiga hal dalam membayar kifarat: memberi makan 10 fakir miskin atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.
c. Ditinjau dari waktu pelaksanaannya: wajib mutlak dan wajib muqayyad
1) Wajib mutlak adalah suatu kewajiban yang pada waktu pelaksanaannya tidak dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti mengqodo puasa romadhon yang tertinggal
2) Wajib muqqyyad adalah suatu kewajiban yang pelaksanaannya dibatasi oleh waktu tertentu. Seperti shalat 5 waktu. Wajib muqayyad ini terbagi menjadi tiga, yaitu: wajib muwassa, wajib al-mudayyaq dan wajib adzu asy-syibhain
a) Wajib muwassa (kewajiban yang mempunyai batas waktu longgar atau luas)
Wajib muwassa adalah kewajiban yang ditentukan waktunya, akan tetapi waktunya sangat lapang atau sangat panjang sehingga dalam waktu itu, kita dapat melakukan amalan yang sejenis, seperti melakukan shalat sunnah setelah shalat maktubah (salat yang diwajibkan sehari semalam)
b) Wajib al-mudayyaq (kewajiban yang memunyai batas waktu yang sempit)
Wajib al-mudayyaq adalah kewajiban yang secara khusus diperuntukan pada suatu amalan dan tidak boleh digunakan pada amalan lain. Contoh wajib al-mudayyaq adalah puasa ramadhan yang harus dilakukan sebulan penuh. Selam bulan ramadhan tidak bisa diselingi dengan puasa sunnah lain atau mengganti puasa (mengqada puasa) yang tertinggal
c) Wajib adzu asy-syibhain
Wajib adzu asy-syibhain adalah kewajiban yang mempunyai waktu yang lapang, tetapi tidak dapat digunakan untuk amalan sejenis secara berulang-ulang. Contoh wajib adzu asy-syibhain adlah waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa melakukan beberapa amalan haji pada waktu itu berulang kali, tetapi yang dihiting cukup sekali saja, yang lain tidak dihitung.[2]
2. Mandub atau sunnah (An-Nadb)
Konsekwensi bagi mukallaf adalah peruatan yang apabila perbuatan itu dikerjakan, maka orang yang mengerjakannya mendapat pahala dan apabila ditinggalkannya tidak mendapat siksa. Contoh mandub adalah firman Allah swt.dalam Surat Al-Baqarah Ayat: 282

Artinya:
Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu melakukan utang-piutang untuk waktu yang ditentukan, hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya....(Q.S. Al-Baqarah:282)
Sunnah di bagi menjadi tiga yaitu:
a. Sunnah muakkad adalah sunnah yang sangat dianjurkan, sebab sunnah ini selalu dilakukan oleh Nabi SAW dan sangat jarang ditinggalkan. Misalnya shalat sunnah sebelum fajar
b. Sunnah ghoiru muakkad adalah sunnah yang biasa dianjurkan, sebab sunnah ini biasa dilakukan oleh Nabi SAW, namun terkadang ditinggalkan. Misalnya memeberikan shodaqoh kepada orang yang tidak dalam kondisi terdesak
c. Sunnah zawaid adalah sunnah yang biasa dilakukan Nabi SAW sebagai seorang manusia biasa, seperti adab kebiasaan Nabi dalam hal makan, minum, duduk, berpakaian.
3. Haram (At-Tahrim)
Konsekwensi bagi mukallaf adalah perbuatan yang apabila ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala, dan apabila perbuatan itu dikerjakan mendapat siksa. Contoh tahrim sebagaimana yang dijelaskan Allah swt. dalam Surah Al-Anam ayat 151

Artinya:
Janganlah kamu membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan alasan yang benar....(Q.S. Al-Anam:151)
Haram dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Haram lidzatihi adalah sesuatu yang diharamkan oleh syariat islam karena esensinya mengandung kerusakan dan bahaya bagi kehidupan manusia, contoh berzina, mencuri, membunuh, berjudi, minuman keras, memakan daging babi dan anjing dan memakan harta anak yatim.
b. Haram lighoirihi adalah sesuat yang diharamkan oleh syariat bukan karena esensinya, namun karena membawa esensi haram. Seperti jual beli pada saat adzan jumat, melaksanakan sholat menggunakan sarung yang diperoleh dari ghosob, berpuasa pada hari raya idul fitri. Perbuatan shalat dan puasa dalam contoh ini menjadi haram dilakukan karena ada alasan yang mengharamkannya. Shalat menjadi haram karena memakai pakaian hasil ghasab. Begitu juga melakukan puasa menjadi haram karena dilakikan pada hari raya idul fitri.[3]
4. Makruh (Al-Karahah)
Konsekwensi bagi mukallaf adalah perbuatan yang apabila perbuatan itu ditinggalkan, maka orang yang meninggalkannya akan mendapat pahala dan apabila dikerjakan, maka orang yang mengerjakannya tidak mendapat siksa. Contoh karahah dalam firman Allah swt. dalam Surat Al-Maidah ayat 101

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu.... (Q.S. Al-Maidah:101)
Makruh dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Makruh tanzih adalah makruh yang tidak dicela bila dikerjakan, tetapi terpuji bila ditinggalkan, contoh: merokok, makan jengkol, shalat diakhir waktu
b. Makruh tahrim adalah makruh yang dekat kepada haram, yaitu sesuatu yang dilarang oleh syariat tetapi dalil yang melarang itu bersifat zanni al-wurud, seperti larangan meminang wanita yang sedang dalam pinangan orang lain.[4]
5. Mubah (Al-Ibahah)
Konsekwensi bagi mukallaf adalah suatu perbuatan yang bila dikerjakan, orang yang mengerjakan tidak mendapat pahala, dan bila ditinggalkan tidak mendapat siksa[5]. Contoh perbuatan ibahah adalah firman Allah swt. dalam Surat Al-Maidah ayat 2

Artinya:
Apabila kamu telah menyelesaikan ihram, maka bolehkah kamu berburu...(Q.S. Al-Maidah:2)
Menurut imam Syatibi, hukum mubah dapat menjadi wajib apabila tidak dikerjakan sama sekali. Conth perbuatan mubah adalah makan dan minum. Artinya, seseorang boleh saja untuk makan dan minum atau melakukan sebaliknya. Akan tetapi, seandainya sama sekali tidak makan dan minum maka menjadi wajib hukumnya.
Makan dan minum merupakan perbuatan yang mubah. Akan tetapi, karena ada ketentuan untuk makan dan minum sesuai dengan kadarnya (tidak berlebihan) maka hukum ini menjadi mandub. Begitu juga apabila berlebihan (dalam makan dan minum) dalam kondisi tertentu, ia akan menjadi makruh. Perbuatan semacam itu, sebaiknya ditinggalkan, seperti makan karena lapar kemudian makan dan minum secara berlebihan (sangat banyak), seperti makan sampai muntah. Oleh sebab itu, dalam mengerjakan sesuatu sebaiknya tidak berlebih-lebihan dan dilakukan sesuai kadar dan porsinya saja.[6]
Menurut Abu Ishaq al-Syatibi dalam kitabnya al-Muwafaqat membagi mubah kepada tiga macam, yaitu:
a. Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseprang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan. Misalnya makan dan minum adalah sesuatu yang mubah, namun berfungsi untuk mengantarkan seseorang sampai ia mampu mengerjakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya, seperti shalat dan berusaha mencari rezeki
b. Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya apabila dilakukan sekali-kali, tetapi haram dilakukan setiap waktu. Misalnya bermain dan mendengar nyanyian hukumnya mubah bila dilakukan sekali-kali, tetapi haram hukumnya menghabiskan waktu hanya untuk bermain dan mendengar nyanyian
c. Mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula. Misalnya, membeli perabotan rumah tangga untuk kesenangan. Hidup senang hukumnya adalah mubah, dan untuk mencapai kesenangan itu memerlukan seperangkat persyaratan yang menurut esensinya harus bersifat mubah pula, karena untuk mencapai suatu yang mubah tidak layak dengan menggunakan sesuatu yang dilarang[7]










PENUTUP
KESIMPULAN
Hukum taklifi adalah khitab syari yang menuntut manusia untuk melakukan atau meninggalkan sesuatu, atau memilih antara berbuat dan meninggalkannya.
Hukum taklifi ada lima yaitu:
1. Wajib (Al-Ijab), Ditinjau dari segi pembenaanya: wajib ain dan wajib kifayah, Ditinjau dari sisi kandungan perintah: wajib muayyan dan wajib mukhayyar, Ditinjau dari waktu pelaksanaannya: wajib mutlak dan wajib muqayyad.
2. Mandub atau sunnah (An-Nadb) ada tiga, yaitu sunnah muakkad, sunnah ghoiri muakkad dan sunnah zawaid
3. Haram (At-Tahrim) ada dua, yaitu haram lidzatihi dan haram lighoirihi
4. Makruh (Al-Karahah) dibagi menjadi dua, yaitu makruh tanzih dan makruh tahrim
5. Mubah (Al-Ibahah) ada tiga, yaitu Mubah yang berfungsi untuk mengantarkan seseprang kepada sesuatu hal yang wajib dilakukan, Sesuatu baru dianggap mubah hukumnya apabila dilakukan sekali-kali, tetapi haram dilakukan setiap waktu dan Mubah yang berfungsi sebagai sarana untuk mencapai sesuatu yang mubah pula.









DAFTAR PUSTAKA

Hasbiyallah. Fiqh dan Ushul Fiqh. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2013.
Lutfillah, Muhammad dkk. Madrasah Aliyah Kelas XI Program Keagamaan. Mojokerto: Sinar Mulia. 2012.
Qasim, Rizal. Pengamalan Fiqih Untuk Kelas XII Madrasah Aliyah. Yogyakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. 2009.





[1]Rizal Qasim, Pengamalan Fiqih Untuk Kelas XII Madrasah Aliyah (Yogyakarta: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri, 2009), 73
[2]Ibid., 75-76
[3]Ibid., 80
[4]Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), 24
[5] Muhammad Lutfillah dkk, Madrasah Aliyah Kelas XI Program Keagamaan (Mojokerto: Sinar Mulia, 2012), 59-61
[6] Rizal Qasim, Pengamalan Fiqi, 78.
[7] Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqh, 25