Bagaimana cara menanggapi masalah tentang ruu kuhp

Akhirnya, pada 30 Mei 2015, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna H. Laoly menyatakan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (R KUHP) akan segera diserahkan oleh Presiden Jokowi ke DPR RI untuk dibahas pada pekan depan. Pernyataan dari Menteri Hukum HAM perlu di tanggapi secara kritis karena Pemerintah sebetulnya terlambat menyelesaikan R KUHP 2015. Aliansi Nasional Reformasi KUHP, koalisi NGO nasional yang selama ini melakukan Advokasi KUHP sangat berhati hati menanggapi perkembangan tersebut, karena ada banyak tantangan yang akan di hadapi oleh R KUHP di samping karena subtansinya maupun masalah pembahasannya di DPR

Aliansi mengingatkan, terkait R KUHP 2015, DPR dan Pemerintah perlu mempersiapan diri terhadap proses pembahasan RUU tersebut. Pemerintah dan DPR harus meyadari bahwa R KUHP bukan seperti seperti rancangan lainnya. R KUHP memiliki karakter yang berbeda dari RUU lain, Dari segi bentuknya saja, R KUHP berencana akan menghasilkan sebuah Kitab Kodifikasi. Kemudian jumlah pasal yang cukup besar berjumlah 785 Pasal yang penuh dengan isu krusial. Perhatian publik juga cukup besar termasuk, masyarakat umum, profesional akademisi, masyarakat sipil dan aparat penegak hukum.

Berdasarkan pengalaman pembahasan model-model RUU lainnya di DPR, termasuk pembahasan RUU KUHP di tahun 2013-2014 lalu, Aliansi menilai ada banyak tantangan yang akan di hadapi oleh Pemerintah dan DPR.

Ada lima tantangan yang nantinya akan sangat mempengaruhi hasil pembahasan R KUHP, apakah dapat diselesaikan dengan baik sesuai dengan niat awal para perumus KUHP atau justru malah kembali terpental seperti tahun 2014 atau pembahasan dapat diselesaikan namun dengan kualitas yang rendah. Tantangan tersebut yakni:

  • Tantangan Pertama: adalah masa kerja atau waktu kerja yang terbatas karena periode kerja pembahasan 2015 hanya tersisa kurang lebih 5 bulan efektif. Disamping itu pula tata tertib DPR tidak mengatur sifat “carryover” pembahasan, yang tentunya akan menyulitkan penyelesaian Pembahasan R KUHP 2015. Aliansi menolak pembahasan yang terburu-buru terkait R KUHP. Karena sifatnya melakukan kodifikasi, Aliansi mendorong pembahasan R KUHP yang berkualitas.
  • Tantangan Kedua: anggaran pembahasan yang minim terutama di pihak pemerintah, yang akan menyulitkan proses pembahasan yang berkualitas.Masalah anggaran biaya pembahasan yang kurang berimbang antara pemerintah dan DPR. Ditengarai Biaya Pemerintah untuk Pembahasan RUU KUHP tidak sebanding dengan anggaran DPR (Berdasarkan informasi rencana anggara pemerintah sebesar Rp 500.000.000 sedangkan rencana anggaran DPR sebesar Rp 6.000.000.000)
  • Tantangan Ketiga: adalah prioritas kerja anggota DPR (komisi III) yang terpecah,baik karena cukup banyak isu yang harus di respon DPR juga dikhawatirkan akan adanya pembahasan RUU Lainnya. (RUU Paten dll)
  • Tantangan Keempat, Muatan substansi R KUHP yang sangat berat, termasuk jumlah pasalnya yang besar yakni 785 pasal. Kemungkinan terdiri atas 1500an Daftar Rincian Masalah yang harus di buat oleh DPR.
  • Tantangan Kelima, Model pembahasan biasa atau konvensional yang selama ini digunakan oleh DPR tidak akan cukup mampu membahas R KUHP, karena memiliki keterbatasan. Model pembahasan R KUHP di DPR yang dilakukan dengan cara yang ‘biasa’ (konvensional), dengan membentuk Panja dan meminta masukan publik secara terbatas, cukup mengkhawatirkan. Terlebih dengan begitu banyaknya substansi ketentuan tentang kejahatan yang akan diatur, yang melingkupi hampir seluruh tindak-tanduk warga negara. Pembahasan R KUHP yang sembarangan, sembrono, dan tidak penuh kehati-hatian hanya akan berimplikasi pada terancamnya kebebasan sipil warga negara.

Aliansi menyatakan bahwa kegagalan pembahasan R KUHP di tahun 2013-2014 harus dijadikan pengalaman bagi pembahasan R KUHP tahun ini. Oleh karena itu Aliansi, merekomendasikan terobosan baru termasuk beberapa prasyarat kunci yakni:

  • Pertama harus ada perubahan model pembahasan di DPR, Aliansi merekomendasikan pembahasan di DPR harus lebih efektif, fokus dan terencana. Misalnya menggunakan “model clustering”,dan Harus ada kelompok kerja khusus R KUHP di DPR, yang tidak bekerja paruh waktu untuk pembahasan RUU Lainnya. Perlu juga di bentuk Panel ahli Pemerintah dan DPR untuk membantu Proses perdebatan dan Pembahasan terkait substansi.
  • Kedua, DPR dalam hal ini Sekretariat Jendaral DPR maupun Badan Legislatif DPR harus merevisi peraturan DPR yang terkait dengan tata cara pembahasan Undang-Undang (tata tertib DPR) khusus terhadap pembahasan R KUHP. Dalam sejarah DPR, R KUHP 2015 ini merupakan sebuah RUU pertama dengan jumlah Pasal terbesar dan terberat dari segi substansinya. Aliansi juga mendorong DPR agar menyepakati pembahasan secara bertahap terhadap R KUHP, misalnya Prioritas Pembahasan tahun 2015 hanya pada Buku I RUU KUHP lalu disusul untuk Buku II di tahun selanjutnya (2016)(mendorong sistem “carry over”). Aliansi secara tegas menolak pembahasan R KUHP yang terburu buru.
  • Ketiga, DPR harus membuka Peluang partisipasi Publik yang besar. Mengingat 200 juta rakyat Indonesia akan terkena imbas atas R KUHP 2015 ini,maka DPR harus membuka akses yang seluas-luasnya atas rancangan tersebut kepada publik termasuk di tiap tahap pembahasannya. Aliansi mendorong agar tempat pembahasan juga sebaiknya di fokuskan di Gedung DPR dengan sifat rapat pembahasan yang terbuka, sehingga publik dan pengamat dapat mengikuti setiap tahap pembahasan. Dengan cara seperti ini akan mengurangi sikap defensif publik kepada rancangan versi pemerintah.Sekaligus memupus kecurigaankepada pemerintah atas kepentingan tertentu dalam memerioritaskan R KUHP pada Prolegnas tahun ini.

Aliansi Nasional Reformasi KUHP

ELSAM, ICJR, AJI, LBH Pers, Imparsial, KontraS, ICW, HuMA, Wahid Institute, LeIP, LBH Jakarta, PSHK, ArusPelangi, HRWG, YLBHI, Demos, SEJUK, LBH APIK, LBH Masyarakat, KRHN, MAPPI FH UI, ILR, ILRC, ICEL, Desantara, WALHI, TURC, Jatam, YPHA, CDS, ECPAT

“Indonesia has failed to prevent and handle many torture cases. Not to mention a weakening of their legal system against

Rabu, 18 November 2019, ICJR mengirimkan Amicus Curiae (Sahabat Pengadilan) kepada Pengadilan Negeri Denpasar atas Perkara Terdakwa I Gede Aryastina

ICJR, Harm Reduction International, dan LBHM menyambut baik kesempatan pelaporan kepada Komite Hak Asasi Manusia berkaitan dengan adopsi List of

  Close Window

Loading, Please Wait!

This may take a second or two.

tirto.id - Demo mahasiswa berlanjut di Jakarta dengan melibatkan ribuan massa pada Selasa (24/9/2019). Demo serupa meluas di Semarang, Palembang, Makassar, Solo, Medan dan sejumlah kota lainnya. Di ibu kota, ribuan mahasiswa mengepung Gedung DPR. Sementara di banyak kota lain, gedung DPRD digeruduk demonstran.

Selain menolak beberapa rancangan beleid, dua isu yang menjadi sorotan utama demo mahasiswa di semua kota ialah RUU KUHP dan UU KPK yang baru (hasil revisi).

Revisi UU KPK telah disahkan DPR. Sedangkan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan semula akan disahkan pada Selasa. Namun, DPR RI memutuskan menunda pengesahan dua RUU itu setelah ada usulan dari Presiden Joko Widodo.

Pada Senin kemarin, Jokowi meminta DPR RI menunda pengesahan RUU KUHP, RUU PAS, RUU Minerba dan RUU Pertanahan. Namun, Jokowi mengaku belum berencana menerbitkan Perppu KPK (pengganti UU KPK yang baru), walaupun hal itu menjadi tuntutan mahasiswa di banyak kota.

Ribuan mahasiswa terpantau sempat bertahan di depan Gedung DPR serta menuntut pimpinan dewan menemui mereka pada Selasa sore. Namun, kericuhan kemudian mulai terjadi saat polisi menyemprotkan water cannon dan menembakkan gas sir mata. Bentrok massa vs polisi pun pecah dan berlangsung sampai Selasa malam.

Pasal Kontroversial RUU KUHP dan Masalahnya

Pemerintah dan DPR merampungkan pembahasan RUU KUHP, 15 September lalu. Pembahasan akhir dikebut pada 14-15 September 2019 di Hotel Fairmont, Jakarta. Aliansi Nasional Reformasi KUHP (koalisi 40 LSM) menilai pembahasan itu 'diam-diam' dan menghasilkan draf yang memuat sejumlah masalah.

Politikus PPP dan anggota Panja RKUHP Arsul Sani sudah membantah rapat itu digelar secara diam-diam. Sebaliknya, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Anggara Suwahju menyatakan: "RUU KUHP dibahas tanpa legitimasi dan transparansi yang kuat. Pengesahannya harus ditunda." Hal itu ia katakan pada 16 September 2019.

Baca juga: Puluhan Demonstran Dirawat di RSPP Setelah Bentrok di DPR

Lalu apa isi pasal-pasal kontroversial di RUU KUHP yang dinilai bermasalah dan memantik demo ribuan mahasiswa di berbagai kota? Berikut ini daftar sejumlah pasal kontroversial itu. Rincian pasal-pasal ini sesuai isi RUU KUHP versi siap disahkan yang diunggah situs reformasikuhp.org.

1. Pasal RUU KUHP soal Korupsi

Sejumlah pasal di RUU KUHP memuat hukuman bagi pelaku korupsi yang lebih rendah daripada UU Tipikor. Aliansi Nasional Reformasi KUHP menilai hal ini bisa memicu praktik 'jual-beli' pasal.

Misalnya, pasal 603 RUU KUHP mengatur pelaku korupsi dihukum seumur hidup atau paling sedikit 2 tahun penjara dan maksimal 20 tahun. Pasal 604 RUU KUHP mengatur hukuman sama persis bagi pelaku penyalahgunaan wewenang untuk korupsi. Lalu, pasal 605 mengatur hukuman ke pemberi suap minimal 1 tahun bui dan maksimal 5 tahun. Pasal 605 pun mengancam PNS dan penyelenggara negara penerima suap dengan penjara minimal 1 tahun, serta maksimal 6 tahun.

Sedangkan pasal 2 UU Tipikor, mengatur hukuman bagi pelaku korupsi ialah pidana seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. UU Tipikor pasal 5 memang memuat aturan hukuman bagi pemberi suap mirip dengan pasal 605 RUU KUHP. Akan tetapi, pasal 6 UU Tipikor mengatur hukuman lebih berat bagi penyuap hakim, yakni 3-15 tahun bui. Bahkan, Pasal 12 UU Tipikor huruf (a) mengatur hukuman bagi pejabat negara atau hakim penerima suap: pidana seumur hidup atau penjara 4-20 tahun.

Tidak heran, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM, Zaenur Rohman menilai RUU KUHP merupakan salah satu rancangan beleid yang, “memanjakan para koruptor".

2. Pasal RUU KUHP tentang Penghinaan Presiden

Pasal kontroversial RUU KUHP yang lain terkait penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden. Pasal 218 mengancam pelaku dengan penjara maksimal 3,5 tahun. Di pasal 219, pelaku penyiaran hinaan itu diancam 4,5 tahun bui. Di pasal 220 RUU KUHP, dijelaskan bahwa perbuatan ini menjadi delik apabila diadukan oleh presiden atau wakil presiden.

Baca juga: Demo di DPR: Satu Bus Terbakar di Lapangan Tembak Senayan

Selain itu, pasal 353-354 mengatur hukuman bagi pelaku penghinaan terhadap kekuasaan umum dan lembaga negara. Pelakunya terancam 1,5 tahun bui. Bila penghinaan itu memicu kerusuhan, pelakunya bisa dihukum 3 tahun penjara. Dan jika hal itu disiarkan, pelaku terancam 2 tahun bui.

Ketentuan ini ada di KUHP lama dan dinilai merupakan warisan kolonial. Ketua Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) Fakultas Hukum UI, Dio Ashar Wicaksana menilai, pasal ini bisa bersifat 'karet' dan menjadi alat mengkriminalisasi warga. "Potensi kriminalisasi justru ketika ada kritik kepada kebijakan presiden […]," ujar Dio pada 19 September lalu.

Kata Dio, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2006 sebenarnya sudah membatalkan pasal-pasal penghinaan terhadap presiden karena dinilai tidak sesuai dengan prinsip kepastian hukum dan demokrasi.

3. Pasal RUU KUHP tentang Makar

RUU KUHP mengatur pidana makar melalui pasal 167, 191, 192 dan 193. Pelaku makar terhadap presiden dan NKRI diancam hukuman mati, seumur hidup atau bui 20 tahun. Makar terhadap pemerintah yang sah, juga diancam penjara 12 dan 15 tahun. Pasal 167 menyebut: “Makar adalah niat untuk melakukan suatu perbuatan yang telah diwujudkan dengan adanya permulaan pelaksanaan perbuatan tersebut."

Menurut analisis Aliansi Reformasi KUHP, definisi makar di dalam RUU KUHP itu tak sesuai dengan akar katanya pada bahasa Belanda, yakni 'aanslag' yang berarti penyerangan. Masalah definisi ini dinilai berpotensi membikin pasal makar bersifat karet dan memberangus kebebasan berekspresi masyarakat sipil.

4. Pasal RUU KUHP soal Penghinaan Bendera

RUU KUHP juga mengatur pemidanaan terkait penghinaan bendera negara. Ketentuan ini diatur pasal 234 dan 235. Di pasal 235, diatur pidana denda maksimal Rp10 juta bagi mereka yang: (a) memakai bendera negara untuk reklame/iklan komersial; (b) mengibarkan bendera negara yang rusak, robek, luntur, kusut, atau kusam; (c) mencetak, menyulam dan menulis huruf, angka, gambar atau tanda lain, atau memasang lencana atau benda apa pun pada bendera negara; dan (d) memakai bendera negara untuk langit-langit, atap, pembungkus barang, tutup barang, yang menurunkan kehormatannya.

Baca juga: Saat RKUHP, RUU PAS, dan Revisi UU KPK Hanya Manjakan Koruptor

Aliansi menilai pasal 235 memuat ancaman kriminalisasi perbuatan formil (tanpa memandang niat yang harusnya berupa penodaan bendera). Ancaman penjara di pasal 234 pun dinilai terlalu tinggi (5 tahun).

5. Pasal RUU KUHP terkait Alat Kontrasepsi

Pasal kontroversial lainnya di RUU KUHP ialah soal pemidanaan promosi kontrasepsi. Pasal 414 mengatur: orang yang mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, menunjukkan untuk bisa memperoleh alat pencegah kehamilan [kontrasepsi] kepada Anak dipidana denda maksimal Rp1 juta (kategori I)."

Aliansi menganggap pasal 414 menghambat penyebaran info soal alat kontrasepsi dan kesehatan reproduksi. Pasal ini pun bertentangan dengan program KB pemerintah. Apalagi, pasal ini bisa menjerat pengusaha retail yang memajang alat kontrasepsi di toko. Jurnalis yang menulis konten soal alat kontrasepsi pun bisa terkena pidana. Sekalipun pasal 416 mengecualikan 'pejabat berwenang' dan aktivitas pendidikan, pidana ini dinilai tidak sesuai era keterbukaan informasi.

Baca juga: Pasal 414 RKUHP: Kental Kriminalisasi & Mempersulit Pencegahan HIV

Di sisi lain, di Indonesia terdapat 6 peraturan tentang penanggulangan HIV/AIDS yang memuat aturan “kampanye penggunaan kondom" yang isinya mengizinkan penyebaran luas info soal alat kontrasepsi. Jaksa Agung (tahun 1978) dan BPHN (1995) juga telah mendekriminalisasi perbuatan ini mengingat kondom menjadi salah satu alat efektif untuk mencegah penyebaran HIV.

6. Pasal RUU KUHP soal Aborsi

Pemidanaan terkait aborsi diatur pasal 251, 415, 469 dan 470. Misalnya, pasal 469 mengatur hukuman bagi perempuan yang menggugurkan kandungannya, maksimal 4 tahun bui. Orang yang menggugurkan kandungan perempuan dengan persetujuannya juga bisa dibui maksimal 5 tahun, sesuai isi pasal 470 RUU KUHP.

Pasal ini dinilai berpotensi mengkriminalisasi korban perkosaan yang hamil dan memutuskan untuk menggugurkan kandungannya. “Kondisi mental korban perkosaan seharusnya menjadi perhatian bagi negara untuk memberikan perlindungan hukum seadil-adilnya, bukan malah melakukan kriminalisasi," tulis Aliansi Reformasi KUHP dalam siaran persnya, 12 September lalu.

Baca juga: Pasal Aborsi pada RKUHP Bisa Jerat Korban Perkosaan

Isi pasal-pasal itu pun tidak sesuai dengan UU Kesehatan pasal 75 ayat 2 yang mengecualikan tindakan aborsi jika dalam keadaan darurat medis atau mengalami kehamilan sebab perkosaan. Pasal ini juga dinilai mengabaikan fakta tingginya angka kematian ibu akibat aborsi tidak aman.

7. Pasal RUU KUHP soal Gelandangan

RUU KUHP juga mengatur pemidanaan gelandangan. Pasal 431 mengancam gelandangan dengan denda maksimal Rp1 juta. Direktur Program ICJR Erasmus Napitupulu mendesak penghapusan pasal ini sebab ia warisan kolonial yang menilai gelandangan sebagai: Orang tidak berguna akibat kesalahan dalam hidupnya. Adapun Peneliti hukum Mappi FH UI Andreas Marbun menilai pasal ini bukan solusi atas masalah gelandangan, sekaligus aneh. "Lagipula gelandangan, kan, miskin, mana sanggup mereka bayar denda. Kalau enggak mampu, terus gimana?" Kata Andreas.

8. Pasal RUU KUHP tentang Zina dan Kohabitasi

Pasal 417 dan 419 mengatur pidana perzinaan dan kohabitasi (hidup bersama sebagai suami-istri di luar ikatan perkawinan). Pasal 417 mengatur hukuman bagi mereka yang berzina maksimal bui 1 tahun atau denda Rp10 juta. Pidana ini diatur sebagai delik aduan dari suami, istri, orang tua dan anak. Sementara pasal 418 mengancam pelaku kohabitasi dengan penjara 6 bulan dan denda Rp10 juta. Pidana ini delik aduan. Kepala desa termasuk yang bisa mengadukan tindak kohabitasi ke polisi.

Baca juga: Isi RUU Bermasalah Didemo Mahasiswa Hari Ini di Jakarta & Kota Lain

Kriminalisasi perzinaan dan kohabitasi (yang dilakukan orang dewasa secara konsensual dan tanpa paksaan) dinilai mengancam privasi warga. ICJR pun khawatir delik aduan terkait kohabitasi yang memasukkan kepala desa sebagai pihak pelapor bisa memicu kesewenang-wenangan dan praktik kriminalisasi berlebihan. Dua pasal itu juga dianggap mengabaikan fakta jutaan masyarakat adat dan warga miskin yang masih kesulitan mengakses dokumen perkawinan resmi.

9. Pasal RUU KUHP soal Pencabulan

Pasal 420 menjadi bermasalah karena mengatur pemidanaan pencabulan dengan memberikan tekanan kata: "terhadap orang lain yang berbeda atau sama jenis kelaminnya." ICJR menilai penyebutan kata “sama jenis" tidak perlu. Menurut ICJR, penyebutan spesifik “sama jenis kelaminnya" malah menjadi bentuk diskriminasi terhadap kelompok minoritas seksual. Pasal ini dikhawatirkan membuat kelompok orientasi seksual yang berbeda rentan dikriminalisasi dan semakin distigma negatif. Apalagi, kekerasan ke komunitas LGBT selama ini sudah sering terjadi.

Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam juga mengkritik ketentuan pencabulan yang dipidana jika dilakukan di muka umum (pasal 420 huruf a). "Bagaimana kalau orang tidak berdaya ini dicabuli bukan di muka umum? Kalau ini terjadi, maka tidak akan dilakukan pemidanaan karena tidak dilakukan di muka umum," kata Anam.

10. Pasal Pembiaran Unggas dan Hewan Ternak

Pasal 278 RUU KUHP secara khusus mengatur: orang yang membiarkan unggas miliknya berjalan di kebun atau tanah telah ditaburi benih/tanaman milik orang lain terancam denda sampai Rp10 juta. Lalu, pasal 279 juga mengancam setiap orang yang membiarkan hewan ternaknya berjalan di kebun, tanah perumputan, tanah yang ditaburi benih, atau tanah yang disiapkan untuk ditaburi benih atau ditanami, dengan pidana denda maksimal Rp10 juta (kategori II). Bahkan pasal 279 ayat 2 menyatakan, hewan ternak yang dilibatkan dalam pelanggaran ini dapat dirampas negara.

Baca juga: Demo Mahasiswa di Makassar Ricuh, Wartawan Ikut Dipukul Aparat

Aliansi mencatat pasal ini dikutip dari KUHP lama tanpa evaluasi terkait relevansinya. Pidana ini dinilai lebih tepat menjadi pelanggaran administratif yang diatur Perda, jika memang dibutuhkan.

11. Pasal RKUHP tentang Tindak Pidana Narkoba

Pasal 611- 616 RUU KUHP terkait narkotika, juga dikritik sebab membuat pendekatan pidana semakin diutamakan di penanganan masalah narkoba. Aliansi menilai pasal-pasal itu menguatkan stigma narkotika sebagai masalah pidana saja. Padahal, banyak negara di dunia memproklamirkan pembaruan kebijakan narkotika dengan pendekatan kesehatan warga. Di samping itu, pendekatan pidana yang berfokus pada pemberantasan suplai narkoba dianggap tidak efektif.

RKUHP pun dinilai oleh Aliansi masih memuat ketentuan pasal karet yang diadopsi langsung dari UU 35/2009 tentang narkotika tanpa perbaikan yang lebih memadai.

12. Pasal tentang Contempt of Court

Pasal di RUU KUHP tentang penghinaan terhadap badan peradilan atau contempt of court juga dikritik. pasal 281 huruf b mengatur pidana denda Rp10 juta bagi mereka yang: “Bersikap tak hormat terhadap hakim atau persidangan atau menyerang integritas hakim dalam sidang pengadilan." Menurut catatan Aliansi, unsur “bersikap tidak homat" di Pasal 281 huruf b tidak dijabarkan secara terang pada bagian penjelasan. Selain itu, menuduh hakim bersikap memihak atau tidak jujur, mestinya sah sebagai kritik.

13. Pasal Tindak Pidana terhadap Agama

Ketentuan terkait tindak pidana terhadap agama diatur pasal 304-309. Di antara kritik Aliansi ke pasal-pasal itu: (a) isinya jauh dari standar pasal 20 ICCPR soal konteks pelarangan propaganda kebencian; (b) hanya melindungi agama yang “dianut" di Indonesia; (c) serta belum memuat unsur penting, yakni perbuatan “dengan sengaja" terkait tindak pidana terhadap agama.

14. Pasal terkait Pelanggaran HAM Berat (pasal 598-599)

Aliansi mencatat pengecualian asas retroaktif (tak berlaku surut) untuk pelanggaran HAM berat belum diatur buku 1 RKUHP. Padahal, ini diatur UU 26/2000 tentang Pengadilan HAM.

Komnas HAM pun menyoroti hukuman bagi pelaku genosida di RUU KUHP yang malah lebih rendah dari ketentuan UU 26/2000. RUU KUHP mengatur hukuman 5-20 tahun bui. Adapun UU 26/2000 menetapkan hukuman 10-25 tahun penjara.

Baca juga:

  • Jokowi Tunda Pengesahan RKUHP karena Banyak Pasal Bermasalah
  • Dalih Yasonna Laoly soal Pasal Penghinaan Presiden di RKUHP
  • Demo Mahasiswa, Menkumham: Mau Debat & Tanya RUU Datang ke Saya

Baca juga artikel terkait RUU KUHP atau tulisan menarik lainnya Addi M Idhom
(tirto.id - add/agu)


Penulis: Addi M Idhom
Editor: Agung DH

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA