Artikel tentang pembangunan ekonomi dan sosial budaya di indonesia

Infrastruktur menjadi suatu hal yang penting dalam pembangunan Indonesia yang usianya telah mencapai 76 tahun. Tumbuh kembang Indonesia sangat ditopang oleh infrastruktur sehingga infrastruktur dijadikan sebagai produk budaya yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan dan tantangan yang dihadapi. Potensi besar Indonesia sebagai negara adikuasa dalam hal sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya kebudayaan perlu ditopang oleh infrastruktur. 

Jika ditelisik lebih mendalam, struktur yang dimiliki oleh Indonesia memang memerlukan penopang sehingga mampu mengakselerasi segenap potensi yang dimiliki, salah satunya potensi di bidang kebudayaan. Indonesia memiliki 714 Suku dengan Karakter dan Adat Istiadat tertentu, 86.398 Cagar Budaya, dan 19 Warisan Dunia UNESCO yang terdiri dari Warisan Budaya Kompleks Candi Borobudur, Kompleks Candi Prambanan, Situs Prasejarah Sangiran, Lanskap Sistem Subak, Warisan Tambang Batubara Ombilin Sawahlunto, Warisan Alam Taman Nasional Ujung Kulon di Banten, Taman Nasional Komodo di Nusa  Tenggara Timur, Taman Nasional Lorentz di Papua, Warisan Hutan Hujan Tropis Sumatera  di Sumatera, serta Warisan Budaya TakBenda Batik, Praktik Terbaik Cara Pembuatan Batik, Wayang, Keris, Angklung, Tari Saman, Noken, Tiga Genre Tari Bali, Pinisi, serta Pantun. 

Keseluruhan potensi kebudayaan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke tersebut perlu direkatkan melalui infrastruktur sehingga infrastruktur bukan hanya sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia di Indonesia, melainkan sebagai perwujudan jati diri bangsa dan pemersatu rakyat Indonesia. Merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), infrastruktur adalah padanan dari prasarana. Sementara merujuk pada pendapat Gregory Mankiw (2003) dalam Teori Ilmu Ekonomi, infrastruktur merupakan perwujudan dari modal publik sebagai investasi pemerintah yang terdiri dari jalan, jembatan, dan hal lainnya. 

Dengan mengacu pada pengertian tentang infrastruktur tersebut, tak pelak membudayakan infrastruktur dalam bentuk infrastruktur budaya menjadi salah satu langkah strategis yang diperlukan oleh Indonesia sebagai bentuk investasi meskipun tantangan yang dihadapi sangat besar. 

Selayaknya infrastruktur yang dipandang sebagai investasi, kebudayaan juga perlu dipandang sebagai investasi mengingat Indonesia memiliki potensi yang besar di bidang kebudayaan.

Membudayakan infrasturktur dalam wujud infrastruktur budaya kini menghadapi tantangan yang semakin sulit, terutama pada masa Pandemi Covid-19. Mengacu pada hasil sensus penduduk yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2020, Indonesia memiliki 270,20 juta jiwa penduduk dengan laju pertumbuhan 1,25% per tahun.

Hasil ini menunjukkan bahwa Indonesia memiliki tantangan yang besar dalam bidang sumber daya manusia, apalagi dengan adanya 70,72% penduduk yang berusia produktif, yakni 15 hingga 64 tahun. Pada satu sisi, jumlah sumber daya manusia yang besar menjadi tantangan, namun apabila dikelola dengan baik akan mampu menjadi potensi berupa bonus demografi.

Tantangan lain yang dihadapi Indonesia terutama dalam upaya menyandingkan infrastruktur dengan kebudayaan adalah transformasi digital pada Revolusi Industri 4.0 dan ketidakpastian global yang memicu laju pertumbuhan ekonomi menjadi stagnan serta diperkirakan menyebabkan meningkatnya defisit transaksi berjalan sehingga berdampak pula pada kesejahteraan 270,20 juta jiwa penduduk Indonesia, terutama pada penduduk usia produktif. Selain itu, penduduk Indonesia juga dihadapkan pada tantangan efektivitas pengelolaan sumber daya, perlambatan transformasi struktural, kesenjangan sarana dan aksesibilitas, pemenuhan layanan dasar penduduk, serta ketimpangan kesejahteraan.

Hal tersebut tentu menjadi tekanan besar bagi pembangunan infrastruktur yang dianggap sebagai penopang sekaligus solusi terhadap tantangan-tantangan tersebut.

Kesenjangan menurut Tatan Sukwika (2018) dalam Jurnal Wilayah dan Lingkungan menjadi pesan bagi Pemerintah untuk mengakselerasi program-program pemerataan pembangunan secara proposional terutama di wilayah yang dianggap masih tertinggal sehingga proses pembangunan infrastruktur tidak bias pada wilayah yang sudah maju. Sejalan dengan Tatan Sukwika, Novi Maryaningsih, dkk (2014) dalam Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan juga merekomendasikan perlunya perbaikan kondisi infrastruktur baik keras maupun lunak perlu terus diupayakan dengan mempertimbangkan aspek geografis dan kebutuhan wilayah. Dengan mengacu pada kedua rekomendasi tersebut, semakin jelas bahwa infrastruktur memiliki kontribusi yang signifikan bagi Indonesia. Akan tetapi, proses pembuatan infrastruktur hingga mampu menyelesaikan tantangan dan berkontribusi bagi Indonesia dalam bentuk investasi tidak semudah membalikkan telapak tangan terutama dalam hal pembiayaan.  

Pembiayaan infrastruktur melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) belum cukup memadai untuk mengakomodir kebutuhan pembangunan infrastruktur sehingga dicanangkan dua skema, yaitu Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) dan Pembangunan Infrastruktur Non Anggaran.

Skema KPBU diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Dalam hal ini, Pemerintah Indonesia seharusnya memiliki aturan yang lebih tinggi dan lebih mengikat terkait dengan infrastruktur dalam bentuk Undang-Undang sehingga dalam implementasinya, infrastruktur dapat menjadi budaya dalam pembangunan Indonesia. Dengan adanya Undang-Undang tentang infrastruktur, proses pembiayaan hingga aturan teknis lainnya lebih tegas dan mengikat. Sebagai contoh, Amerika Serikat dalam pembangunan infrastrukturnya memiliki Undang-Undang khusus sebagaimana dikutip dari kontan.

Menyadari tantangan yang sangat besar tersebut, membudayakan infrastruktur pada dasarnya merupakan upaya melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia sesuai dengan tujuan nasional Indonesia.

Selain itu, infrastruktur pada dasarnya merupakan upaya mewujudkan hubungan antara keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam, dan sumber daya lainnya antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18A ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Sejalan dengan hal tersebut, Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 H ayat 1 mengamanatkan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memeroleh pelayanan kesehatan. Keseluruhan hak tersebut dapat diwujudkan melalui pembangunan infrastruktur.

Untuk itu, sekali lagi, infrastruktur perlu diatur dalam bentuk Undang-Undang, bukan hanya dalam bentuk Peraturan Presiden yang memungkinkan adanya perbedaan signifikan antara masa pemerintahan satu dengan yang lain sehingga menimbulkan potensi kesenjangan baru dalam pembangunan infrastruktur itu sendiri. 

Berbeda dengan infrastruktur, kebudayaan telah diatur dalam bentuk Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengacu pada pasal 32 Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang tersebut, diatur mengenai empat langkah strategis pemajuan kebudayaan, yaitu pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan.  

Jika dikaitkan dengan infrastruktur, empat langkah strategis kebudayaan tersebut merupakan langkah strategis infrasturktur sehingga mampu melindungi, mengembangkan, memanfaatkan, dan membina keutuhan Indonesia. Sebagai penopang keutuhan Indonesia pembangunan infrastruktur perlu setidaknya menerapkan keadilan sehingga pemerataan dapat dicapai dan mengedepankan persatuan melalui sinergi dan kolaborasi. 

BILA membaca ulang teori-teori pembangunan, klasik ataupun modern, kita ke­rap disuguhi narasi ilmiah bahwa pembangunan selalu ber­a­sosiasi dengan pembangunan in­frastruktur. Pembangunan infrastruktur merupakan pre-requisite (prasyarat) bagi pembangunan eko­nomi, yang tecermin pada tiga in­dikator utama: pertumbuhan, la­pangan kerja, dan pendapatan.

Tak pelak, semua sumber daya publik dikerahkan untuk mendo­rong percepatan pertumbuhan eko­nomi, yang diharapkan berdampak pada penciptaan lapangan kerja dan peningkatan pendapatan. Dapat di maklumi bila publik menaruh ha­­rapan tinggi, rangkaian kerja pem­bangunan akan berujung pada peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran bagi masyarakat.

Ideologi politik pembangunan
Pembangunan sejatinya mengandung makna ideologis-politis sangat kental, yang berkaitan erat dengan ikhtiar kolektif untuk memenuhi hak-hak dasar warga negara akan sua­tu penghidupan yang lebih baik. Pemenuhan hak-hak dasar ini dimaksudkan agar setiap warga ne­gara dapat hidup secara bermar­­tabat. Dengan pemaknaan ini, kerja pembangunan sesungguhnya adalah kerja ideologis. Pelaksanaan pem­bangunan pun harus didasarkan pada suatu ideological passion, yang merujuk pada nilai-nilai luhur yang diyakini dalam politik kenegaraan.

Bagi bangsa Indonesia, pesan ideologi politik pembangunan ter­su­rat dengan terang benderang di dalam UUD 1945 dan falsafah ne gara Pancasila. Para founding fathers merumuskan kalimat profetik dalam preambul konstitusi yang harus jadi rujukan ideologi-politik dalam kerja-kerja pembangunan, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan memajukan kesejahte­raan umum. Pembangunan harus berorientasi pada upaya untuk me­wujudkan ‘Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia’, yang menjadi cita-cita kolektif bangsa.

Secara konseptual, pembangunan dapat dirumuskan sebagai upaya sis­­tematis dan terencana untuk me­ningkatkan kualitas hidup manu­sia dan masyarakat. Para ahli pem­ba­ngunan menyarankan pemba­ngun­an harus berpusat pada manusia, dengan menerapkan strategi yang disebut people-centered development strategies. Karena itu, keseluruhan upaya pembangunan ekonomi mau­pun nonekonomi harus ditu­jukan untuk mengoptimalkan sege­nap potensi manusia.

Merujuk pandangan ini, pemba­ngunan sesungguhnya bersifat mul­tidimensi yang meliputi seluruh aspek kehidupan manusia dan ma­syarakat. Dalam konteks ini, pem­bangunan infrastruktur tidak bisa dan tidak boleh mengabaikan aspek lingkungan hidup dan sosial-budaya, untuk menjamin keberlanjutan proses pembangunan di masa mendatang. Maka, pembangunan infrastruktur untuk menopang pertumbuhan ekonomi harus dibarengi pembangunan sosial.

Pembangunan sosial berpangkal pada suatu paradigma yang menempatkan manusia sebagai epi­sentrum. Pembangunan sosial didasari suatu komitmen bahwa ma­nusia dan ma­syarakat harus men­jadi subjek sekaligus peneri­ma manfaat seluruh program pembangunan. Pembangunan sosial bertumpu pada beroperasinya institusi-institusi so­sial, antara lain keluarga, perkumpulan masyarakat, kelembagaan de­sa/kecamatan, jeja­ring sosial, dan agen pengawasan, yang berperan langsung dan berpartisipasi dalam pengelolaan program-program pem­bangunan. Karena itu, pemba­ngunan sosial harus dipahami dalam konteks pem­bangunan manusia dan pemberdayaan (institusi) masyarakat sebagai modal berharga pembangunan.

Modal manusia berperan sentral dalam pembangunan yang tecermin pada penduduk berkualitas, yang sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitas. Modal manusia mencakup empat elemen pokok, yaitu: (i) capacity, mencerminkan kemampuan dan kecakapan penduduk yang diraih melalui proses pendidikan dan pelatihan berdasarkan investasi berjangka panjang; (ii) de­­velopment, tingkat pendidikan angkatan kerja dengan jenis-jenis keterampilan dan kemahiran, yang dikembangkan secara berkelanjut­an sehingga tetap relevan dengan ke­butuhan pasar kerja. Lalu, (iii) deployment, tingkat keterampilan dan kemahiran yang terakumulasi berdasarkan pengalaman pendidik­an dan pelatihan, yang dapat dite­rapkan di lapangan kerja untuk me­macu produktivitas bangsa; dan (iv) know-how, penduduk yang memiliki kemahiran dan keterampilan teknikal dengan spesialisasi terten­tu dalam cakupan yang luas dan mendalam (Global Human Capital Report 2017). Sumbangan penting pembangunan sosial terletak pada penyediaan modal manusia yang bermutu sebagai pilar utama pembangunan ekonomi.

Mampukan manusia
Kita saksikan bersama academic discourse mengenai pembangunan telah mengalami perubahan fundamental, bergeser melampaui konsep dan pemikiran konvensional. Pembangunan yang selalu diasosiasikan pembangunan infrastruktur untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi sudah lama dikoreksi para ahli ekonomi pembangunan sendiri. Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999) memaknai pembangunan sebagai kebebasan yang terefleksi pada empat hal pokok: (1) Kemampuan dan kesempatan yang setara bagi setiap warga ne­ga­­­ra untuk memperoleh akses ke sumber daya ekonomi, (2) Mendapat­kan peluang yang sama untuk bisa mengelola aset-aset produktif bagi pe­nguatan individu dan ma­sya­rakat, (3) Memiliki kebebasan politik untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan ke­bijakan publik, dan (4) Mendapat fasilitas untuk menyuarakan kritik publik dalam konteks perbaikan ta­ta kelola pemerintahan dan pembangunan.

Namun, analisis Sen tetap berpu­­sat pada manusia dengan menegas­kan bahwa makna esensial pembangunan ialah human capabilities suatu proses memampukan manusia agar dapat menjalani ke­­hidupan secara bermartabat. Sen menawarkan analisis pembangunan dalam konteks rekayasa sosial bu­daya, bukan dalam perspektif pertumbuhan ekonomi belaka, yang tecermin pada pendapatan nasional per kapita. Dalam pemahaman Sen, isu-isu pembangunan di bidang sosial budaya sudah semestinya masuk agenda pembangunan dan menjadi arus utama dalam perencanaan pembangunan nasional.

Banyak kajian ilmiah dan bukti empiris menunjukkan investasi untuk pembangunan sosial bukan saja merupakan medium paling efektif untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, melainkan juga dapat memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan. Jadi, ada pertautan erat antara pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial dengan merujuk paradigma baru: social development is basically economic development. Karena itu, pembangunan sosial memang semestinya tidak dipisahkan dari pembangunan ekonomi.