Apakah sistem subak menunjukkan kegiatan masyarakat Indonesia sebagai negara agraris jelaskan

Sistem subak telah diakui dunia sebagai salah satu sistem irigasi yang unggul dan maju Sistem subak dikelola secara berkelompok dengan pembagian tugas yang spesifik Subak merupakan sistem swadaya masyarakat yang berfungsi mengatur pembagian aliran irigasi persawahan di Bali Sistem subak tetap lestari dalam budaya pedesaan di Bali selama berabad-abad Sistem subak mengajarkan kearifan lokal bagi petani agar hidup serasi dengan alam untuk mendapat panen yang optimal Diperkirakan sistem pertanian subak telah berkembang sejak abad ke-11 Masehi

HAMPARAN sawah hijau berundak-undak. Di dekatnya, air sungai mengalir dan terlihat jernih. Suara kecipak airnya nyaring dan menenteramkan. Pohon-pohon kelapa berdiri di tiap sisi sawah dan sungai. Kabut tipis perlahan turun dan menyelimuti sebuah pura kecil di tepi sawah. Suasana jadi magis. Inilah pemandangan suatu pagi di sawah Tegalalang, Bali.

Bagi banyak orang, Bali menarik karena suasana pantainya. Tapi sebagian lagi melihat sawah di Bali jauh lebih menarik. Sawah di sana memberikan kesan khusus bagi para pelancong dari dalam dan luar negeri. Banyak dari mereka memperoleh pengalaman spiritual berbeda ketika berada di sana.

Namun bagi orang Bali, sawah bukan sekadar tempat wisata. Sawah adalah denyut nadi kehidupan. Mereka menghidupi sawah, dan begitu sebaliknya. Sawah diatur, dijaga, dan dilestarikan tahun demi tahun, generasi demi generasi. Pengaturan, penjagaan, dan pelestarian itu dilakukan melalui sebuah lembaga sosial bernama subak.

Sistem subak menjadi salah satu kekhasan Provinsi Bali. Sistem pengairan ini menjadi sebentuk kearifan lokal yang membuat masyarakat petani dapat hidup serasi dengan alam untuk memperoleh hasil panen optimal.

Subak merupakan suatu sistem swadaya masyarakat yang berfungsi mengatur pembagian aliran irigasi yang mengairi setiap petak areal persawahan. Sistem ini dikelola secara berkelompok dan bertingkat disertai pembagian peran yang spesifik bagi setiap anggotanya.

Dalam organisasi subak, dikenal adanya beberapa perangkat. Perangkat-perangkat yang ada dalam subak adalah pekaseh (ketua subak), petajuh (wakil pekaseh), penyarikan (juru tulis), petengen (juru raksa), kasinoman (kurir), dan beberapa lainnya. Selain itu, dikenal adanya sub kelompok yang terdiri dari 20-40 petani yang disebut munduk dan diketuai seorang pengliman.

Selain sistem strukturalnya, subak memiliki kekhasan dalam hal ritual upacara keagamaan. Dalam subak, dikenal adanya ritual perseorangan dan berkelompok (tingkat munduk/tempek).

Ritual perseorangan antara lain ngendangin (kali pertama mencangkul), ngawiwit (saat petani menabur benih), mamula (ketika menanam), neduh (selagi padi berumur 1 bulan agar tidak diserang penyakit), binkunkung (kala padi mulai berisi), nyangket (pas panen), dan manteni (selama padi disimpan di lumbung).

Dalam ritual berkelompok, dikenal ritual berkelompok seperti mapag toya (upacara jelang pengolahan tanah), mecaru (upacara agar terhindar hama), dan ngusaba (upacara menjelang panen).

Kemunculan subak tak terlepas dari sistem pertanian yang diterapkan masyarakat Bali sejak berabad-abad lampau.

Beberapa arkeolog meyakini masyarakat Bali mengenal pertanian sejak awal abad masehi. Keyakinan itu berdasarkan temuan alat-alat pertanian kuno di Sembiran, salah satu desa tertua di Bali, yang digunakan untuk menanam padi. Tapi para arkeolog belum mampu menjabarkan cara bertani dan pengelolaan irigasi masyarakat kala itu.

Keterangan lebih jelas mengenai pengelolaan sawah dan irigasi termuat dalam Prasasti Trunyan (891). Dalam prasasti itu tersua kata “serdanu” yang berarti kepala urusan air danau. Ini berarti masyarakat Bali sudah mengenal cara mengelola sawah dan irigasinya pada akhir abad ke-9.

Tak heran arkeolog kondang Supratikno Raharjo dalam Sejarah Kebudayaan Bali berkesimpulan bahwa masa ini dianggap sebagai awal kemunculan subak, meski istilah subak sendiri belum dikenal. Kesimpulan ini ditopang oleh Prasasti Bebetin (896) dan Prasasti Batuan (1022). Raharjo menulis, “Dua prasasti itu menjelaskan ada tiga kelompok pekerja khusus sawah, salah satunya ahli pembuat terowongan air yang disebut undagi pangarung.” Pekerja ini biasa dipakai dalam subak masa modern.

Kata subak merupakan kata modern. Asal kata itu tertulis dan berbunyi suwak. Kata ini ditemukan dalam Prasasti Pandak Badung (1071) dan Klungkung (1072). Menurut I Ketut Setiawan dalam “Subak: Organisasi Irigasi Pada Pertanian Padi Sawah Masa Bali Kuno”, tesis pada Universitas Indonesia, suwak terdiri atas dua kata: “su” yang berarti baik dan “wak” untuk pengairan. Dengan demikian, suwak dapat diartikan sebagai sistem pengairan yang baik.

Suwak telah berjalan di wilayah Klungkung. Wilayah yang mendapat pengairan yang baik disebut Kasuwakan Rawas. Penamaan itu tergantung pada nama desa terdekat, sumber air, atau bangunan keagamaan setempat.

Pembentukan kasuwakan tak lepas dari pengaruh agama Hindu yang dianut masyarakat setempat. Agama Hindu di Bali kala itu mengenal konsep Tri Hita Karana yang merumuskan kebahagiaan manusia. Kebahagiaan hanya bisa tercapai melalui harmonisasi tiga unsur: parahyangan (ketuhanan), pawongan (manusia), dan palemahan (alam).

Masyarakat percaya bahwa mereka harus bekerja mengolah tanah dan air, tapi kepemilikan dua unsur tersebut sejatinya berada di tangan dewa-dewi. Karena itu masyarakat harus menjaga tanah dan air agar tetap berlimpah. Penguasaan dan keserakahan atas tanah dan air tak dapat dibenarkan. Jika melanggarnya, sanksi pengucilan bisa menimpanya.

Konsep tadi mewujud dalam kasuwakan. Sebagai ungkapan rasa syukur atas keberlimpahan tanah dan air, masyarakat mendirikan beberapa bangunan keagamaan seperti pura dan candi di dekat sawah. Beberapa pura bertitimangsa abad ke-9 ditemukan di beberapa sawah. Pura itu dipersembahkan kepada Dewi Sri (dewi pertanian dan kesuburan).

Pada abad ke-20, pemerintah kolonial ikut mendorong perkembangan subak. Mereka membangun bendungan-bendungan seperti Dam Pejeng (1914), Dam Mambal (1924), Dam Oongan (1925), dan Dam Sidembuntut (1926). Mereka ingin hasil sawah meningkat. Mereka tak mencampuri aturan-aturan internal subak.

Keberhasilan subak dalam panen terbukti melalui statistik hasil pertanian 1934-1981 yang dikeluarkan IPB. Bali selalu menempati posisi di atas Jawa dan Madura untuk hasil panen nasional. Keberhasilan itu mendorong pemerintah daerah membangun Museum Subak pada 1981. Turis di Bali pun mulai tertarik mengenal subak.

Subak pun telah memperoleh pengakuan dari para ahli pertanian internasional. Salah satunya John S. Ambler (1990), yang pernah menjabat program officer bidang Pengairan Ford Foundation, yang menyebut subak sebagai prinsip pengelolaan irigasi yang unggul dan maju. Sistem irigasi pertanian ini pun tetap lestari dalam budaya masyarakat pedesaan di Bali selama berabad-abad dan terus berjalan hingga saat ini.*

Admin buleleng | 16 Maret 2021 | 45124 kali

Subak adalah sebuah organisasi yang dimiliki oleh masyarakat petani di Bali yang khusus mengatur tentang manajemen atau sistem pengairan/irigasi sawah secara tradisional, keberadaan Subak merupakan manifestasi dari filosofi/konsep Tri Hita Karana.

Tri Hita Karana berasal dari kata "Tri" yang artinya tiga, "Hita" yang berarti kebahagiaan/kesejahteraan dan "Karana" yang artinya penyebab. Maka dapat disimpulkan bahwa Tri Hita Karana berarti “Tiga penyebab terciptanya kebahagiaan dan kesejahteraan”. Penerapannya didalam sistem subak yaitu:

  • Parahyanganyaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan.
  • Pawonganyaitu hubungan yang harmonis antara manusia dengan sesamanya.
  • Palemahanyakni hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam dan lingkungannya.

Kata "Subak" merupakan sebuah kata yang berasal dari bahasa Bali, kata tersebut pertama kali dilihat di dalam prasasti Pandak Bandung yang memiliki angka tahun 1072 M. Kata subak tersebut mengacu kepada sebuah lembaga sosial dan keagamaan yang unik, memiliki pengaturan tersendiri, asosiasi-asosiasi yang demokratis dari petani dalam menetapkan penggunaan air irigasi untuk pertumbuhan padi.

Subak bagi masyarakat Bali tidak hanya sekedar sistem irigasi, tetapi juga merupakan konsep kehidupan bagi rakyat Bali itu sendiri. Dalam pandangan rakyat Bali, Subak adalah gambaran langsung dari filosofi Tri Hita Karana tersebut.

Sebagai suatu metode penataan hidup bersama, Subak mampu bertahan selama lebih dari satu abad karena masyarakatnya taat kepada tradisi leluhur. Pembagian air dilakukan secara adil dan merata, segala masalah dibicarakan dan dipecahkan bersama, bahkan penetapan waktu menanam dan penentuan jenis padi yang ditanam pun dilakukan bersama.

Sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran akan ditentukan sendiri oleh warga melalui upacara atau ritual yang dilaksanakan di pura. Harmonisasi kehidupan seperti inilah yang menjadi kunci utama lestarinya budaya Subak di pulau dewata.

Struktur Organisasi Subak

Anggota subak atau juga biasa disebut dengan krama subak adalah para petani yang memiliki garapan sawah dan mendapatkan bagian air pada sawahnya. Didalam anggota subak juga terdapat beberapa kelompok yang disebut dengan Sekaa, Krama subak digolongkan menjadi 3, yaitu:

  1. Krama aktifadalah anggota yang aktif seperti krama pekaseh, sekaa yeh atau sekaa subak.
  2. Krama pasifyaitu anggota yang mengganti kewajibannya dengan uang atau natura karena beberapa penyebab yang biasa disebut dengan Pengampel atau Pengohot.
  3. Krama luputyaitu anggota (krama) yang tidak aktif didalam segala macam kegiatan subak karena tugasnya seperti kepala desa atau Bendesa Adat.

Pengurus (Prajuru) Subak terdiri dari:

  1. Pekaseh/Kelian adalah bertugas sebagai kepala subak.
  2.  Pangliman/Petajuh bertugas menjadi wakil kepala subak.
  3. Peyarikan/Juru tulis adalah sebagai sekretaris.
  4. Petengen/Juru raksa adalah memiliki tugas sebagai bendahara.
  5. Saya/juru arah/juru uduh/juru tibak/kasinoman mempunyai tugas dalam urusan pemberitahuan atau pengumuman.
  6. Pemangku adalah bertugas khusus dalam urusan ritual/keagamaan.

Kelompok (Sekaa) di dalam subak dibagi menjadi:

  1. Sekaa Numbeg, yaitu sebuah kelompok yang mengatur hal pengolahan tanah.
  2. Sekaa Jelinjingan, kelompok yang bertugas untuk mengatur pengolahan air.
  3. Sekaa Sambang, yaitu kelompok yg memiliki tugas dalam hal pengawasan air dari pencurian, penangkap atau penghalau binatang perusak tanaman seperti burung maupun tikus.
  4. Sekaa Memulih/Nandur, yaitu kelompok yang bertugas dalam hal penanaman bibit padi.
  5. Sekaa Mejukut yaitu kelompok yang bertugas menyiangi padi.
  6. Sekaa Manyi adalah kelompok yang bertugas menuai/memotong/mengetam padi.
  7. Sekaa Bleseng yaitu kelompok yang memiliki tugas mengangkut ikatan padi yang telah diketam dari sawah ke lumbung.

Sebagai organisasi yang bersifat otonom dalam mengurus organisasinya sendiri, subak dapat menetapkan peraturan yang dikenal dengan sebutan awig awig, sima, perarem. Di dalam awig awig tersebut dimuat hal-hal dan ketentuan pokok, isi pokok dalam awig awig adalah mengatur mengenai hal parahyangan, pawongan dan pelemahan sedangkan ketentuan dan hal yang lebih detail dimuat di dalam pararem sebagai pelaksanaan awig awig subak. Awig awig subak memuat tentang hak dan kewajiban dari warga subak serta memuat tentang sanksi atas pelanggaran hak dan kewajiban tersebut.

Jaringan Irigasi Subak

Para ahli juga menyebutkan bahwa Subak juga sebagai sistem teknologi yang sudah menjadi budaya di Bali. Subak sebagai metode teknologi dari budaya asli petani Bali. Fasilitas yang utama dari irigasi subak (palemahan) untuk setiap petani anggota subak adalah berupa pengalapan (bendungan air), jelinjing(parit), dan sebuah cakangan (satu tempat/alat untuk memasukkan air ke bidang sawah garapan).

Jika di suatu lokasi bidang sawah terdapat dua atau lebih cakangan yang saling berdekatan maka ketinggian cakangan-cakangan tersebut adalah sama (kemudahan dan kelancaran air mengalir masuk ke sawah masing-masing petani sama), tetapi perbedaan lebar lubang cakangan masih dapat ditoleransi yang disesuaikan dengan perbedaan luas bidang sawah garapan petani. Pembuatan, pemeliharaan, serta pengelolaan dari penggunaan fasilitas irigasi subak dilakukan bersama oleh anggota (krama) subak.

Jaringan sistem pengairan dalam subak jika diurut dari sumber air terdiri dari:

  1. Empelan/empangan sebagai sumber aliran air/bendungan.
  2. Bungas/Buka adalah sebagai pemasukan (in take).
  3. Aungan adalah saluran air yang tertutup atau terowongan.
  4. Telabah aya (gede), adalah saluran utama.
  5. Tembuku aya (gede), adalah bangunan untuk pembagian air utama.
  6. Telabah tempek (munduk/dahanan/kanca), adalah sebagai saluran air cabang.
  7. Telabah cerik, sebagai saluran air ranting.
  8. Telabah panyacah (tali kunda), dibeberapa tempat dikenal dengan istilah Penasan (untuk 10 bagian), Panca (untuk 5 orang), dan Pamijian (untuk sendiri/1 orang).

Melalui sistem Subak inilah, para petani medapatkan bagian air sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh musyawarah dari warga/krama subak dan tetap dilandasi oleh filosofi Tri Hita Karana. Maka dari itu, kegiatan dalam organisasi/perkumpulan Subak tidak hanya meliputi masalah pertanian atau bercocok tanam saja, tetapi juga meliputi masalah ritual dan peribadatan untuk memohon rejeki dan kesuburan.

Sawah, tanaman padi, dan air mempunyai peranan penting dalam sistem irigasi subak bahkan dikaitkan dengan segi religius. Ketiganya berhubungan dengan kekuasaan Dewi Sri (Dewi kesuburan dan kemakmuran). Oleh karena itu subak tidak semata hanya mengatur masalah teknis pengaturan dan pembagian air semata, tetapi juga aspek sosial dan religius (agama).

Setiap Subak biasanya memiliki pura yang disebut Pura Ulun Carik atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para petani untuk memuja Dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang tokoh adat dan juga merupakan petani yang disebut dengan Kelian (Klian) yang mempunyai tugas untuk mengawasi dan mengelola subak.

Untuk menjadi Kelian subak ini adalah sifatnya sosial, tidak mendapatkan gaji ataupun imbalan. Pembagian atau penyaluran air disesuaikan dengan keanggotaan petani di subak, ada anggota yang aktif dan pasif, keduanya mendapat pembagian air yang berbeda. Inilah dasar keadilan dimana distribusi air disesuaikan dengan kontribusi.

Subak telah dipelajari dan diteliti oleh Clifford Geertz, sedangkan J. Stephen Lansing telah menarik perhatian publik tentang pentingnya metode irigasi tradisional. Ia mempelajari dan meneliti banyak tempat suci (pura) di Bali, terutama tempat suci yang diperuntukkan bagi pertanian.

Pada tahun 1987, J. Stephen Lansing bekerja sama dengan para petani di Bali telah mengembangkan kembali sistem pengairan/irigasi Subak menjadi lebih efektif. Dengan cara itu ia dapat membuktikan bagaimana keefektifan serta pentingnya metode irigasi subak di Bali.

Subak - Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO

Organisasi pendidikan, Ilmu pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO - The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) akhirnya mengakui Subak di Bali sebagai Warisan Budaya dunia. Pengakuan tersebut dapat diwujudkan setelah perjuangan pemerintah republik Indonesia selama kurang lebih 12 tahun.

Pengusulan untuk kategori ini tidaklah mudah karena diperlukan penelitian yang mendalam dengan pendekatan melalui berbagai ilmu pengetahuan seperti arkeologi, antropologi, geografi, ilmu lingkungan, arsitektur lansekap, dan beberapa ilmu pengetahuan terkait lainnya.

Tepat pada tanggal 29 Juni 2012, Pengusulan Subak telah disetujui, diakui dan ditetapkan/disahkan sebagai Warisan Budaya Dunia oleh UNESCO dalam sidang ke-36 Komite Warisan Dunia UNESCO di kota Saint Peterburg, Rusia.

Penetapan sebagai Warisan Budaya Dunia ini disambut baik oleh pemerintah dan masyarakat Bali. Sesuai dengan pengajuannya, Subak di Bali yang memiliki luas kurang lebih 20.000 ha yang terdiri atas beberapa subak yang berada di 5 kabupaten, yaitu kabupaten Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar, dan Tabanan.

Situs-situs di Bali yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia adalah:

  1. Pura Ulun Danu Batur di ujung danau Batur yang merupakan pura air utama (water temple) sebagai sumber dari setiap mata air dan sungai.
  2. Lanskap Subak dari Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, yang diketahui sebagai sistem irigasi yang tertua di Bali.
  3. Lanskap Subak dari Catur Angga Batukaru, objek wisata persawahan berundak-undak (terasering) Jatiluwih merupakan salah satu dari bagiannya.
  4. Pura Taman ayun, merupakan pura air yang paling besar dengan arsitektur nya paling terkenal, mencontohkan ekspansi penuh dari sistem subak di bawah pemerintahan kerajaan Bali pada abad ke-19.

Komponen-komponen subak adalah meliputi hutan yang melindungi pasokan air, lanskap sawah yang berundak-undak/bertingkat/terasering, sawah yang terhubung dengan sebuah sistem kanal, terowongan dan bendungan, desa, pura dengan berbagai ukuran yang menandakan pentingnya sumber air atau perjalanan air melalui pura menurun mengairi lahan subak.

Museum Subak

Untuk memperkenalkan dan melestarikan Subak yang merupakan warisan budaya leluhur maka didirikanlah Museum Subak yang terletak di kabupaten Tabanan yang bertujuan untuk memperkenalkan pada generasi muda ataupun wisatawan tentang sistem irigasi tradisional yang dimiliki dan masih digunakan sampai sekarang oleh masyarakat petani di pulau dewata Bali.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA