apakah penulis termasuk seniman

apakah penulis termasuk seniman
Jacob Ereste

Jika syarat untuk bisa menulis itu dikatakan harus jujur dan ikhlas serta punya nyali, tidaklah berlebih. Karena tanpa memiliki tiga persyaratan pokok tersenut, tidaklah mungkin keinginan untuk menulis bisa terwujud. Karena untuk menjadi penulis yang baik dan handal dalam pengertian dan pemahaman yang ideal dari perspektif pekerja profesi di habitat jurnaliatik, memang harus begitu. Syarat ini pun belum berarti cukup, sebab masih perlu diimbuh oleh pelling, daya analisis serta psikopogi masa secukupnya. Felling dan daya nalar itu perlu untuk melihat masalah yang paling menarik diantara yang menarik guna dijadikan tema serta toilpik bahasan yang dianggap perlu menjadi tajuk bincanga bersama orang banyak. Setidalnya tema dan topik yang penting dan perlu diangkat akan menjadi sorotan dan perhatian banyak orang.

Jadi sensitifitas menangkap masalah pokok yang tengah menggejala dan akan menjadi pembicaraan orang banyak perlu terus diasah biar tajam dan peka menangkap gejala yang bakal menjadi pembicaraan publik. Karena itulah sebabnya seorang penulis menjadi naib bila tidak banyak membaca, tidak banyak melihat dan tidak mau banyak mendengar, serta memilkliki kemampuan menahan diri untul tidak terlalu banyak bicara. Sebab hanya dengan begitu pengendapan dari intisari ide serta gagasan yang hendak dituangkan dalam bentuk tulisan bisa lebih cepat proses pematangannya dalam perenungan dan penghayatan yang dilakukan.

Dalam proses kreatif, inilah di kalangan para seniman ada istilah yang acap disebut kaum sebagai tahapan perenungan dan pematangan guna kesempurnaan penuangan ide serta gagasan pemikiran dalam bentuk karya seni, termasuk karya tulis menulis seperti cerpen dan puisi.

Agaknya, dalam rentang panjang sejarah manusia, teknis menulis yang baku belum pernah ada yang menyusunnya. Sebab menulis itu sama dengan proses kreatif seniman pada umumnya, dan ini pula yang membuat jurnalis dan penulis dengan seniman seperti anak kembar, nyaris tidak sama sekali ada bedanya. Cara kerjanya pun sama gila-gilaan hingga terkadang sulit dipahami oleh akal sehat dan harus dimaklumi saja oleh semua orang.

Seorang jurnalis maupun penulis, dominan tidak memiliki jadual kerja yang jelas. Namun hasil kerja harus tepat waktu. Ibarat menu makanan yang terlambat disuguhkan, pasti sensasi rasanya akan berbeda. Itulah sebabnya srorang penulis merasa perlu mencantumkan tanggak serta tempat dimana tulisan itu dibuat. Sedangkan karya jurnalistik, cukup menandai semua itu dalam narasi berita atau laporannya saja, namun tenggang waktu dari peristiwanya sendiri, selalu diupayakan seninimal mungkin. Artinya, lebih cepat berita atau laporan jurnalistik itu dipublikasikan, maka nilainya akan semakin tinggi.

Nah, dalam cara kerja seperti itulah, pengertian kerja gila-gilaan tadi dimaksud. Sebab untuk menakar nilai dari karya jurnalistik pada era meoineal sekaran semakin dituntut lebih, sehingga beban kerja bagi kaum jurnslis relatif lebih berat bersaing dengan pekerja jurnalistik lain. Terutama bagi media cetak pada era teknologi canggih sekarang ini.
Karena hanya dalam hitungan detik saja publikasi berita atau laporan seorang jurnalis sudah harus bisa mendunia dan dibaca banyak orang.

Agaknya, itulah kemiripan dari pekerja jurnalis dengan seniman. Keduanya dominan merasa sebagai mamusia paling bebas, meski pada sisi yang lain dia sendiri yang acap jadi penindas dirinya sendiri.

Banten, 30 Juli 2019

Paparan ini merupakan materi sisipan untuk teferensi pelatihan Jurnalis Terpakai yang dilaksanakan Komunitas Buruh Indonesia kerjasama dengan Jurnais Indonesia Bersatu di Tangerang Banten, 30 Juli 2019

Connects once per page in :