Apakah orang Aceh termasuk suku Melayu?

Apakah orang Aceh termasuk suku Melayu?
Daftar Isi:
  • a. SUKU ACEH Suku Aceh adalah nama sebuah suku yang mendiami ujung utara Sumatra. Mereka beragama Islam. Bahasa yang dipertuturkan oleh mereka adalah bahasa Aceh yang masih berkerabat dengan bahasa Mon Khmer (wilayah Champa). Bahasa Aceh merupakan bagian dari bahasa Melayu-Polynesia barat, cabang dari keluarga bahasa Austronesia. Suku Aceh memiliki sejarah panjang tentang kegemilangan sebuah kerajaan Islam hingga perjuangan atas penaklukan kolonial Hindia Belanda. Banyak dari budaya Aceh yang menyerap budaya Hindu India, dimana kosakata bahasa Aceh banyak yang berbahasa Sanskerta. Suku Aceh merupakan suku di Indonesia yang pertama memeluk agama Islam dan mendirikan kerajaan Islam. Masyarakat Aceh mayoritas bekerja sebagai petani, pekerja tambang, dan nelayan. b. SUKU ALAS Suku Alas merupakan salah satu suku yang bermukim di Kabupaten AcehTenggara, Provinsi Aceh (yang juga lazim disebut Tanah Alas). Kata "alas" dalam bahasa Alas berarti "tikar". Hal ini ada kaitannya dengan keadaan daerah itu yang membentang datar seperti tikar di sela-sela Bukit Barisan. Daerah Tanah Alas dilalui banyak sungai, salah satu di antaranya adalah Lawe Alas (Sungai Alas). Sebagian besar suku Alas tinggal di pedesaan dan hidup dari pertanian dan peternakan. Tanah Alas merupakan lumbung padi untuk daerah Aceh. Tapi selain itu mereka juga berkebun karet, kopi,dan kemiri, serta mencari berbagai hasil hutan, seperti kayu, rotan, damar dan kemenyan. Sedangkan binatang yang mereka ternakkan adalah kuda, kambing, kerbau, dan sapi. Kampung atau desa orang Alas disebut kute. Suatu kute biasanya didiami oleh satu atau beberapa klan, yang disebut merge. Anggota satu merge berasal dari satu nenek moyang yang sama. Pola hidup kekeluargaan mereka adalah kebersamaan dan persatuan. Mereka menarik garis keturunan patrilineal, artinya garis keturunan laki-laki. Mereka juga menganut adat eksogami merge, artinya jodoh harus dicari di merge lain. Suku Alas 100% adalah penganut agama Islam. Namun masih ada juga yang mempercayai praktik perdukunan misalnya dalam kegiatan pertanian. Mereka melakukan upacara-upacara dengan latar belakang kepercayaan tertentu agar pertanian mereka mendatangkan hasil baik atau terhindar dari hama. c. SUKU KUBU Suku Kubu atau juga dikenal dengan Suku Anak Dalam atau Orang Rimba adalah salah satu suku bangsa minoritas yang hidup di Pulau Sumatra, tepatnya di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan. Mereka mayoritas hidup di propinsi Jambi, dengan perkiraan jumlah populasi sekitar 200.000 orang. Menurut tradisi lisan suku Anak Dalam merupakan orang Maalau Sesat, yang m lari ke hutan rimba di sekitar Air Hitam, Taman Nasional Bukit Duabelas. Mereka kemudian dinamakan Moyang Segayo. Tradisi lain menyebutkan mereka berasal dari Pagaruyung, yang mengungsi ke Jambi. Ini diperkuat kenyataan adat suku Anak Dalam punya kesamaan bahasa dan adat dengan suku Minangkabau, seperti sistem matrilineal. Secara garis besar di Jambi mereka hidup di 3 wilayah ekologis yang berbeda, yaitu Orang Kubu yang di utara Provinsi Jambi (sekitaran Taman Nasional Bukit 30), Taman Nasional Bukit 12, dan wilayah selatan Provinsi Jambi (sepanjang jalan lintas Sumatra). Mereka hidup secara nomaden dan mendasarkan hidupnya pada berburu dan meramu, walaupun banyak dari mereka sekarang telah memiliki lahan karet dan pertanian lainnya. Kehidupan mereka sangat mengenaskan seiring dengan hilangnya sumber daya hutan yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan, dan proses-proses marginalisasi yang dilakukan oleh pemerintah dan suku bangsa dominan (Orang Melayu) yang ada di Jambi dan Sumatra Selatan. Mayoritas suku kubu menganut kepercayaan animisme, tetapi ada juga beberapa puluh keluarga suku kubu yang pindah ke agama Islam d. SUKU ANEUK JAMEE Suku Aneuk Jamee adalah sebuah suku yang tersebar di sepanjang pesisir barat dan selatan Aceh. Dari segi bahasa, diperkirakan masih merupakan dialek dari bahasa Minangkabau. Namun, akibat pengaruh proses asimilasi kebudayaan yang cukup lama, kebanyakan dari Suku Aneuk Jamee, terutama yang mendiami kawasan yang didominasi oleh Suku Aceh, misalnya di wilayah Kabupaten Aceh Barat, Bahasa Aneuk Jamee hanya dituturkan di kalangan orang-orang tua saja dan saat ini umumnya mereka lebih lazim menggunakan Bahasa Aceh sebagai bahasa pergaulan sehari-hari (lingua franca). Adapun asal mula penyebutan "Aneuk Jamee" diduga kuat dipopulerkan oleh Suku Aceh setempat, sebagai wujud dari sifat keterbukaan Orang Aceh dalam memuliakan kelompok warga Minangkabau yang datang mengungsi (eksodus) dari tanah leluhurnya yang ketika itu berada di bawah cengkraman penjajah Belanda. Secara harfiah, istilah Aneuk Jamee berasal dari Bahasa Aceh yang berarti "anak tamu". e. SUKU BATAK Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah terma kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Tapanuli dan Sumatera Timur, di Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah: Batak Toba, Batak Karo, Batak Pakpak, Batak Simalungun, Batak Angkola, dan Batak Mandailing. Mayoritas orang Batak menganut agama Kristen dan sisanya beragama Islam. Tetapi ada pula yang menganut agama Malim dan juga menganut kepercayaan animisme (disebut Sipelebegu atau Parbegu), walaupun kini jumlah penganut kedua ajaran ini sudah semakin berkurang. f. SUKU KARO Suku Karo adalah suku asli yang mendiami Dataran Tinggi Karo, Sumatera Utara, Indonesia. Nama suku ini dijadikan salah satu nama kabupaten di salah satu wilayah yang mereka diami (dataran tinggi Karo) yaitu Kabupaten Karo. Suku ini memiliki bahasa sendiri yang disebut Bahasa Karo. Pakaian adat suku Karo didominasi dengan warna merah serta hitam dan penuh dengan perhiasan emas g. SUKU MANDAILING Suku Mandailing atau juga disebut Batak Mandailing merupakan nama suku bangsa yang mendiami sebagian Kabupaten Tapanuli Selatan dan Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, yang juga dikategorikan sebagai bagian dari suku Batak, yang mempunyai banyak dialek bahasa, walau masih berkerabat satu dengan yang lain. Pada masyarakat Adat Minangkabau, Mandailing juga menjadi nama bagi salah satu suku yang ada pada masyarakat tersebut. h. SUKU ANGKOLA Angkola Adalah Nama daerah Di Sumtera Utara tepatnya di Tapanuli Bagian Selatan. Pada masa dahulu tidak dikenal adanya Angkola .. kampung yang ada pertama kali adalah sitamiang yang didirikan oleh oppu Jolak Maribu yang bermarga Dalimunthe..dan memberi nama daerah-daerah diAngkola sekarang seperti : pargarutan (tempatnya mengasah pedang) Tanggal (tempatnya menaggalkan hari/tempat kalender batak ) sitamiang , dan lain-nya kemudian kembali ke toba meninggalkan daerah angkola sekarang..dan kembali lagi disaat suku suku lain seperti suku hindia telah masuk ke-Angkola..dan marga marga lain seperti harahap,daulay, siregar dan lain-nya ``Angkola `` berasal dari sungai sungai batang Angkola yang diberi nama seorang penguasa yang berasal dari hindia belakang yang beranama Rajendra Kola (angkola /yang dipertuan kola).masuk melalui padang lawas dan kemudian berkuasa disaat itu. disebelah selatan batang angkola diberi nama angkola jae (hilir) dan disebelah utara sungai batang angkola diberi nama Angkola julu (hulu). kemudian orang-orang hindia belakang keluar dari angkola disaat wabah lepra mewabah kemudian masuklah suku suku lain dari segala penjuru ke wilayah angkola. angkola adalah tempat atau daerah sedangkan suku diangkola adalah suku2 batak dan suku suku lain kemudian Bukti bukti berjayanya orang orang batak dan juGa Hindia belakang dihancurkan oleh kekuasaan padri (1821) dibawah pimpinan Tuanku Lelo dan juga belanda dan penghancuran selanjutnya dilakukan oleh kekuasaan bangsa jepang. i. SUKU BATAK TOBA Batak Toba merupakan sub atau bagian dari suku bangsa Batak. Suku Batak Toba meliputi Kabupaten Toba Samosir sekarang yang wilayahnya meliputi Balige, Laguboti, Parsoburan, dan sekitarnya. j. SUKU BATAK PAKPAK Suku Pakpak adalah salah satu suku bangsa yang terdapat di Pulau Sumatera Indonesia dan tersebar di beberapa kabupaten/kota di Sumatera Utara dan Aceh, yaki di Kabupaten Dairi,Kabupaten Pakpak Bharat, Kabupaten Humbang Hasundutan( Sumatera Utara), Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Sabulusalam (Prov.Aceh. Suku Pakpak terdiri atas 5 subsuku, dalam istilah setempat sering disebut dengan istilah Pakpak Silima suak yang terdiri dari : 1. Pakpak Klasen (Kab. Humbang Hasundutan Sumut] 2. Pakpak Simsim (Kab.Pakpak Bharat-sumut) 3. Pakpak Boang (Kab.Singil dan kota Sabulusalam-Aceh) 4. Pakpak Pegagan (Kab.Dairi-sumut) 5. Pakpak Keppas (Kab.Dairi sumut) Dalam administrasi pemerintahan Suku Pakpak banyak bermukim di wilayah Kabupaten Dairi di Sumatera Utara yang kemudian dimekarkan pada tahun 2003 menjadi dua kabupaten, yakni: 1. Kabupaten Dairi (ibu kota: Sidikalang) 2. Kabupaten Pakpak Bharat (ibu kota: Salak) Suku Pakpak juga berdomisili di wilayah Parlilitan yang masuk wilayah Kabupaten Humbang Hasundutan dan wilayah Manduamas yang merupakan bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah. Suku Pakpak yang tinggal di wilayah tersebut menamakan diri sebagai Pakpak Klasen. Suku Pakpak juga bermukim di wilayah Aceh khususnya di Kabupaten Aceh Singkil dan kota Sabulusalam yang disebut sebagai Pakpak Boang. Suku Pakpak yang berdiam di Kabupaten Pakpak Bharat adalah Pakpak Simsim, sedangkan yang tinggal di kota Sidikalang dan sekitarnya merupakan suku Pakpak Keppas dan yang bermukim di Sumbul sekitarnya adalah Pakpak Pegagan. Suku bangsa Pakpak mendiami bagian Utara, Barat Laut Danau Toba sampai perbatasan Sumatra Utara dengan provinsi Aceh (selatan). Suku bangsa Pakpak kemungkinan besar berasal dari keturunan tentara kerajaan Chola di Indiayang menyerang kerajaan Sriwijaya pada abad 11 Masehi. k. SUKU SIMALUNGUN Suku Simalungun atau juga disebut Batak Simalungun adalah salah satu suku asli dari provinsi Sumatera Utara, Indonesia, yang menetap di Kabupaten Simalungun dan sekitarnya. Beberapa sumber menyatakan bahwa leluhur suku ini berasal dari daerah India Selatan. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Marga asli penduduk Simalungun adalah Damanik, dan 3 marga pendatang yaitu, Saragih, Sinaga, dan Purba. Kemudian marga marga (nama keluarga) tersebut menjadi 4 marga besar di Simalungun. Orang Batak menyebut suku ini sebagai suku "Si Balungu" dari legenda hantu yang menimbulkan wabah penyakit di daerah tersebut, sedangkan orang Karo menyebutnya Timur karena bertempat di sebelah timur mereka. l. SUKU BATIN Suku Batin adalah suku Melayu di provinsi Jambi di bagian pedalaman pulau Sumatra, Indonesia. Ada sekitar 72.000 orang Batin yang tinggal di pedalaman Sumatra tengah bagian selatan. Mereka menuturkan bahasa Melayu dengan dialek Jambi. Suku Batin kebanyakan beragama Muslim, tetapi menganut sistem matrilineal. m. SUKU GAYO Suku Gayo adalah sebuah suku bangsa yang mendiami pegunungan di tengah Aceh yang populasinya berjumlah kurang lebih 85.000 jiwa. Suku Gayo secara mayoritas terdapat di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues. Suku Gayo beragama Islam dan mereka dikenal taat dalam agamanya. Suku Gayo menggunakan bahasa yang disebut bahasa Gayo. Masyarakat Gayo hidup dalam komuniti kecil yang disebut kampong. Setiap kampong dikepalai oleh seorang gecik. Kumpulan beberapa kampung disebut kemukiman, yang dipimpin oleh mukim. Sistem pemerintahan tradisional berupa unsur kepemimpinan yang disebut sarak opat, terdiri dari reje (raja), petue (petua), imem (imam), dan rayat (rakyat). Pada masa sekarang beberapa buah kemukiman merupakan bagian dari kecamatan, dengan unsur-unsur kepemimpinan terdiri atas: gecik, wakil gecik, imem, dan cerdik pandai yang mewakili rakyat. Sebuah kampong biasanya dihuni oleh beberapa kelompok belah (klan). Anggota-anggota suatu belah merasa berasal dari satu nenek moyang, masih saling mengenal, dan mengembangkan hubungan tetap dalam berbagai upacara adat. Garis keturunan ditarik berdasarkan prinsip patrilineal. Sistem perkawinan yang berlaku berdasarkan tradisi adalah eksogami belah, dengan adat menetap sesudah nikah yang patrilokal (juelen) atau matrilokal (angkap). Kelompok kekerabatan terkecil disebut sara ine (keluarga inti). Kesatuan beberapa keluarga inti disebut sara dapur. Pada masa lalu beberapa sara dapur tinggal bersama dalam sebuah rumah panjang, sehingga disebut sara umah. Beberapa buah rumah panjang bergabung ke dalam satu belah (klan). Pada masa sekarang banyak keluarga inti yang mendiami rumah sendiri. Pada masa lalu orang Gayo terutama mengembangkan mata pencaharian bertani di sawah dan beternak, dengan adat istiadat mata pencaharian yang rumit. Selain itu ada penduduk yang berkebun, menangkap ikan, dan meramu hasil hutan. Mereka juga mengembangkan kerajinan membuat keramik, menganyam, dan menenun. Kini mata pencaharian yang dominan adalah berkebun, terutama tanaman kopi. Kerajinan membuat keramik dan anyaman pernah terancam punah, namun dengan dijadikannya daerah ini sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Aceh, kerajinan keramik mulai dikembangkan lagi. Kerajinan lain yang juga banyak mendapat perhatian adalah kerajinan membuat sulaman kerawang dengan motif yang khas. Suatu unsur budaya yang tidak pernah lesu di kalangan masyarakat Gayo adalah kesenian, yang hampir tidak pernah mengalami kemandekan bahkan cenderung berkembang. Bentuk kesenian Gayo yang terkenal, antara lain tari Saman dan seni bertutur yang disebut Didong. Selain untuk hiburan dan rekreasi, bentuk-bentuk kesenian ini mempunyai fungsi ritual, pendidikan, penerangan, sekaligus sebagai sarana untuk mempertahankan keseimbangan dan struktur sosial masyarakat. Di samping itu ada pula bentuk kesenian seperti tari Bines, tari Guel, tari Munalu, sebuku/pepongoten, guru didong, dan melengkan (seni berpidato berdasarkan adat). Dalam seluruh segi kehidupan, orang Gayo memiliki dan membudayakan sejumlah nilai budaya sebagai acuan tingkah laku untuk mencapai ketertiban, disiplin, kesetiakawanan, gotong royong, dan rajin (mutentu). Pengalaman nilai budaya ini dipacu oleh suatu nilai yang disebut bersikemelen, yaitu persaingan yang mewujudkan suatu nilai dasar mengenai harga diri (mukemel). Nilai-nilai ini diwujudkan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam bidang ekonomi, kesenian, kekerabatan, dan pendidikan. Sumber dari nilai-nilai tersebut adalah agama Islam serta adat setempat yang dianut oleh seluruh masyarakat Gayo. n. SUKU TAMIANG Suku Tamiang adalah satu suku bangsa Melayu yang merupakan penduduk asli Kabupaten Aceh Tamiang. Mereka mempunyai kesamaan dialek dan bahasa dengan masyarakat Melayu yang tinggal di kabupaten Langkat, Sumatera Utara serta berbeda dengan masyarakat Aceh. Meski demikian mereka telah sekian abad menjadi bagian dari Aceh. Dari segi kebudayaan, mereka juga sama dengan masyarakat Melayu pesisir timur Sumatera lainnya. o. SUKU ORANG TALANG MAMAK Orang Talang Mamak merupakan sekumpulan masyarakat yang terasing dan hidup masih secara tradisional di sehiliran Sungai Indragiri, Provinsi Riau, Indonesia. Dalam kelompok masyarakat ini terdapat sub kelompok yang mereka sebut dengan suku, kemudian dibagi lagi dalam tobo dan unit terkecil mereka sebut dengan hinduk atau perut atau disebut juga puak anak.[1] Kelompok masyarakat ini tergolong Proto Melayu (Melayu Tua) yang merupakan suku asli Indragiri Hulu dengan sebutan Suku Tuha[2] yang berarti suku pertama datang dan lebih berhak atas sumber daya alam di Indragiri Hulu. Selain itu juga, mereka termasuk Melayu Tua. Masyarakat Talang Mamak dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa yang disebut dengan Bahasa Talang Mamak, walaupun dalam percakapan dengan pihak di luar komunitas, mereka biasa menggunakan Bahasa Melayu. Dalam kosakata Bahasa Talang Mamak ini terdapat pengaruh Bahasa Minang dan Bahasa Melayu. Untuk urusan budaya, Masyarakat Talang Mamak di Taman Nasional Bukit Tigapuluh sedikit berbeda dengan Tigabalai-Pusat kebudayaan Talang Mamak. Ini terlihat dari tidak adanya tradisi mengilir dan menyembah raja, serta lunturnya sistem kebatinan. Umumnya, mereka hidup otonom dalam beraktivitas sehingga berbagai persoalan yang ada akan diserahkan kepada kepala desa. Namun begitu, mereka masih kental dengan tradisi adat. Sebut saja Gawai (Pesta Pernikahan), Kemantan (Pengobatan Penyakit), Tambat Kubur (Acara 100 hari kematian), serta Khitanan untuk anak lelaki berumur 12 tahun ke atas yang dianggap mendekati usia dewasa. Begitu juga dengan rumah yang masih berbentuk panggung, sebagai ciri khas mereka, misalnya. Bangunan kayu tanpa ruangan khusus serta sekat pembatas -mulai dari dapur hingga ruang tidur- sehingga, segala barang tergeletak menjadi satu masih kokoh berdiri. p. SUKU SIGULAI Suku Sigulai merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue bagian utara. Suku ini terdapat di kecamatan Simeulue Barat, Alafan dan Salang. q. SUKU DEVAYAN Suku Devayan merupakan suatu suku bangsa yang mendiami Pulau Simeulue. Suku ini mendiami kecamatan Teupah Barat, Simeulue Timur, Simeulue Tengah, Teupah Selatan dan Teluk Dalam. r. SUKU SERAWAI Suku Serawai adalah suku bangsa dengan populasi terbesar kedua yang hidup di daerah Bengkulu. Sebagian besar masyarakat suku Serawai berdiam di kabupaten Bengkulu Selatan, yakni di kecamatan Sukaraja, Seluma, Talo, Pino, Kelutum, Manna, dan Seginim. Suku Serawai mempunyai mobilitas yang cukup tinggi, saat ini banyak dari mereka yang merantau ke daerah-daerah lain untuk mencari penghidupan baru, seperti ke kabupaten Kepahiang, kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu Utara, dan sebagainya. Secara tradisional, suku Serawai hidup dari kegiatan di sektor pertanian, khususnya perkebunan. Banyak di antara mereka mengusahakan tanaman perkebunan atau jenis tanaman keras, misalnya cengkeh, kopi, kelapa, dan karet. Meskipun demikian, mereka juga mengusahakan tanaman pangan, palawija, hortikultura, dan peternakan untuk kebutuhan hidup. Suku bangsa Serawai juga telah memiliki tulisan sendiri. Tulisan itu, seperti halnya aksara Kaganga, disebut oleh para ahli dengan nama huruf Rencong. Suku Serawai sendiri menamakan tulisan itu sebagai Surat Ulu. Susunan bunyi huruf pada Surat Ulu sangat mirip dengan aksara Kaganga. Oleh sebab itu, tidak aneh apabila pada masa lalu para pemimpin-pemimpin suku Rejang dan Serawai dapat saling berkomunikasi dengan menggunakan bentuk-bentuk tulisan ini. s. SUKU SEMENDO Suku ini merupakan Suku Melayu Jambi adalah salah satu suku di Sumatera Selatan yang sebagian besar berdomisli di Kabupaten Muara Enim. Tepatnya di Kecamatan Semendo Darat Laut, Semendo Darat Tengah, Semendo Darat Ulu. Dan sebagian lainnya berada di Kota Prabumulih, Kabupaten Ogan Komering Ilir, dan Kabupaten Ogan Komering Ulu. t. SUKU SEKAK BANGKA Suku Sekak Bangka merupakan suku yang mendiami pesisir sepanjang Pulau Bangka. Sebagian besar suku ini masih menganut kepercayaan aninisme dan dynamisme. Namun ada juga akhir-akhir ini yang menganut agama Islam dan Kristen. Ciri khas suku ini adalah mereka selalu mendiami daerah peisir pantai dan mata pencaharian mereka adalah nelayan. Suku Sekak merupakan rumpun bangsa melayu yasng mana bahasa dan dialek yang digunakan hampir mirip dengan bahasa melayu namun ada perbedaan yang cukup mencolok antara suku Sekak atau orang Sekak dibandingkan dengan orang yang mendiami pulau bangka. sekalipun warna kulit yang agak hitam. sebagian besar suku sekak mendiami daerah pantai didaerah utara pulau bangka. kalau dilihat sepintas ada kemiripan dengan suku -suku lain di Indonesia khususnya di daratan sumatera.sekarang ini suku ini tidak lagi merupakan suku terasing karena mereka sudah beradaptasi dengan budaya- budaya dari luar. u. SUKU REJANG Suku Rejang adalah salah satu suku bangsa tertua di Sumatera. Suku Rejang mendominasi wilayah kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, Kabupaten Bengkulu Tengah, Kabupaten Bengkulu Utara, dan kabupaten Lebong. Berdasarkan perbendaharaan kata dan dialek yang dimiliki bahasa Rejang, suku bangsa ini dikategorikan Melayu Proto. Suku Rejang menempati kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Kepahiang, kabupaten Bengkulu Utara, kabupaten Bengkulu Tengah, dan kabupaten Lebong. Suku ini merupakan suku dengan populasi terbesar di provinsi Bengkulu, suku ini tidak adaptif terhadap perkembangan di luar daerah. Ini dikarenakan kultur masyarakat Rejang yang sulit untuk menerima pendapat di luar dari pendapat kelaziman menurut pendapat mereka, dan ini menjadi bukti keyakinan dan ketaatan mereka terhadap adat-istiadat yang berlaku sejak dahulu kala. Hal ini menggambarkan bahwa sejak zaman dahulu suku Rejang telah memiliki adat-istiadat. Karena mayoritas suku Rejang masih mempertahankan kebudayaan mereka, tidak heran jika hukum adat yang berupa denda dan cuci kampung masih dipertahankan hingga sekarang. Suku Rejang sangat memuliakan harga diri, seperti halnya penjagaan martabat kaum perempuan, penghinaan terhadap para pencuri, dan penyiksaan dan pemberian hukum denda terhadap pelaku zina. Dikarenakan kesesuaian tradisi Rejang dengan ajaran Islam, suku Rejang telah mengubah kepercayaan terdahulu mereka ke ajaran agama Islam. Hingga saat ini, budaya mereka juga identik dengan nuansa Islam. Pada zaman sekarang, sudah banyak putra-putri suku Rejang telah menempuh pendidikan tinggi seperti ilmu pendidikan keguruan, ilmu kesehatan, ilmu hukum, ilmu ekonomi, sastra, dan lain-lain. Banyak yang telah menekuni profesi sebagai pegawai negeri, pejabat teras, dokter, pegawai swasta, pengacara, polisi, dan berbagai profesi yang memiliki kehormatan menurut masyarakat modern pada era sekarang ini. Suku Rejang memiliki perbedaan yang mencolok dalam dialek penuturan bahasa. Dialek Rejang Kepahiang memiliki perbedaan dengan dialek Rejang di Kabupaten Rejang Lebong yang dikenal dengan dialek Rejang Curup, dialek Rejang Bengkulu Utara, dialek Rejang Bengkulu Tengah, dan dialek Rejang yang penduduknya di wilayah kabupaten Lebong. Secara kenyataan yang ada, dialek dominan Rejang terdiri tiga macam. Dialek tersebut adalah sebagai berikut: Dialek Rejang Kepahiang (mencakup wilayah kabupaten Kepahiang) Dialek Rejang Curup (mencakup wilayah kabupaten Rejang Lebong, kabupaten Bengkulu Tengah, dan kabupaten Bengkulu Utara) Dialek Rejang Lebong (mencakup wilayah kabupaten Lebong dan wilayah kabupaten Bengkulu Utara yang berdekatan dengan wilayah kabupaten Lebong) Dari tiga pengelompokan dialek Rejang tersebut, saat ini Rejang terbagi menjadi Rejang Kepahiang, Rejang Curup, dan Rejang Lebong. Namun, meskipun dialek dari ketiga bahasa Rejang tersebut relatif berbeda, tapi setiap penutur asli bahasa Rejang dapat memahami perbedaan kosakata pada saat komunikasi berlangsung. Karena perbedaan tersebut seperti perbedaan dialek pada bahasa Inggris Amerika, bahasa Inggris Britania, dan bahasa Inggris Australia. Secara filosofis, perbedaan dialek bahasa Rejang terjadi karena faktor jarak, faktor sosial, dan faktor psikologis dari suku Rejang itu sendiri. Hal ini juga membuktikan bahwa tingkat persatuan dan kesatuan suku Rejang masih sangat rendah jika dibandingkan dengan suku bangsa terdekat lainnya suku Lembak, suku Serawai, dan suku Pasemah. Itu disebabkan karena suku Rejang bukan suku bangsa perantau sehingga tingkat kepemilikan tanah mereka tergolong tinggi. v. SUKU PASEMAH Suku Pasemah adalah suku bangsa yang mendiami wilayah kabupaten Empat Lawang, kabupaten Lahat, Ogan Komering Ulu, dan di sekitar kawasan gunung berapi yang masih aktif, gunung Dempo. Suku bangsa ini juga banyak yang merantau ke daerah-daerah di provinsi Bengkulu. Suku Pasemah, sebagian tinggal di wilayah propinsi Sumatera Selatan, lainnya tinggal di Bengkulu. Daerah pusat kediaman suku Pasemah di sekitar kawasan gunung berapi yang masih aktif, Gunung Dempo. Tersebar di lerengnya, dari barat, selatan dan barat daya sepanjang Bukit Barisan. Bahasa Pasemah dipertuturkan di wilayah kabupaten Empat Lawang, kabupaten Lahat Ogan Komering Ulu, dan di sekitar kawasan gunung Dempo. Suku Pasemah merupakan orang-orang yang penuh semangat dan antusias. mereka memegang peranan penting di bidang politik Sumatera Selatan dan memegang peranan utama dalam kepemimpinan penting di berbagai departemen pemerintah dan lembaga pendidikan di Bengkulu. Pertanian merupakan pusat kegiatan ekonomi mereka, dan tiga masa panen utama mereka adalah : beras, karet dan kopi. Produksi karet menjadi usaha sampingan mereka. Pekerja menyadap pohon karet dianggap pekerjaan rendah. Rumah-rumah mereka biasanya dibangun dari kayu beratapkan seng, memiliki 3 atau 4 ruangan termasuk dapur tertutup di belakang rumah. Penduduk desa membangun rumah keluarga mereka di atas batang tongkat setinggi 1,5 - 2,5 meter (rumah panggung) di atas tanah. Tempat kosong di bawah rumah panggung digunakan untuk berbagai kegiatan: sebagai pendingin di hari yang panas, gudang penyimpan atau penyimpan bahan makanan. Pada perkembangannya ruangan di bawah tersebut ditutup untuk mencegah pencuri masuk. Ada dua macam model pernikahan yang dikenal. Model pertama (umumnya disebut belaki), dengan pembayaran harta kepada mempelai wanita sebelum pernikahan untuk menetapkan tempat tinggal pasangan tersebut pada rumah tangga sang suami. Pada model kedua (umumnya disebut ambik anak) sang suami pindah ke tempat sang istri tanpa pembayaran yang berarti (lebih besar); anak-anak ditentukan/digolongkan sebagian bagian dari keturunan sang istri. w. SUKU NIAS Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di pulau Nias. Dalam bahasa aslinya, orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias adalah masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. Kasta : Suku Nias mengenal sistem kasta(12 tingkatan Kasta). Dimana tingkatan kasta yang tertinggi adalah "Balugu". Untuk mencapai tingkatan ini seseorang harus mampu melakukan pesta besar dengan mengundang ribuan orang dan menyembelih ribuan ekor ternak babi selama berhari-hari. Dalam budaya Ono Niha (Nias) terdapat cita-cita atau tujuan rohani hidup bersama yang termakna dalam salam Yaahowu (dalam terjemahan bebas bahasa Indonesia semoga diberkati). Dari arti Yaahowu tersebut terkandung makna: memperhatikan kebahagiaan orang lain dan diharapkan diberkati oleh Yang Lebih Kuasa. Dengan kata lain Yaahowu menampilkan sikap-sikap: perhatian, tanggungjawab, rasa hormat, dan pengetahuan. Jika seseorang bersikap demikian, berarti orang tersebut memperhatikan perkembangan dan kebahagiaan orang lain : tidak hanya menonton, tanggap, dan bertanggungjawab akan kebutuhan orang lain (yang diucapkan : Selamat Yaahowu), termasuk yang tidak terungkap, serta menghormatinya sebagai sesama manusia sebagaimana adanya. Jadi makna yang terkandung dalam Yaahowu tidak lain adalah persaudaraan (dalam damai) yang sungguh dibutuhkan sebagai wahana kebersamaan dalam pembangunan untuk pengembangan hidup bersama. Suku Nias menerapkan sistem marga mengikuti garis ayah (patrilineal). Marga-marga umumnya berasal dari kampung-kampung pemukiman yang ada. x. SUKU MINANGKABAU Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnis Nusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, pantai barat Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibu kota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak, yang bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri. Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun Melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki, serta menganut sistem adat yang khas, yang dicirikan dengan sistem kekeluargaan melalui jalur perempuan atau matrilineal, walaupun budayanya juga sangat kuat diwarnai ajaran agama Islam, sedangkan Thomas Stamford Raffles, setelah melakukan ekspedisi ke pedalaman Minangkabau tempat kedudukan Kerajaan Pagaruyung, menyatakan bahwa Minangkabau adalah sumber kekuatan dan asal bangsa Melayu, yang kemudian penduduknya tersebar luas di Kepulauan Timur.[7] Saat ini masyarakat Minang merupakan masyarakat penganut matrilineal terbesar di dunia. Selain itu, etnis ini juga telah menerapkan sistem proto-demokrasi sejak masa pra-Hindu dengan adanya kerapatan adat untuk menentukan hal-hal penting dan permasalahan hukum. Prinsip adat Minangkabau tertuang singkat dalam pernyataan Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah (Adat bersendikan hukum, hukum bersendikan Al-Qur'an) yang berarti adat berlandaskan ajaran Islam. Orang Minangkabau sangat menonjol di bidang perniagaan, sebagai profesional dan intelektual. Mereka merupakan pewaris terhormat dari tradisi tua Kerajaan Melayu dan Sriwijaya yang gemar berdagang dan dinamis Hampir separuh jumlah keseluruhan anggota masyarakat ini berada dalam perantauan. Minang perantauan pada umumnya bermukim di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Pekanbaru, Medan, Batam, Palembang, dan Surabaya. Di luar wilayah Indonesia, etnis Minang banyak terdapat di Kuala Lumpur, Seremban, Singapura, Jeddah, Sydney, dan Melbourne. Masyarakat Minang memiliki masakan khas yang populer dengan sebutan masakan Padang, dan sangat digemari di Indonesia bahkan sampai mancanegara Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang. Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis, sedangkan Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang egaliter. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau. Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat. Bahasa Minangkabau termasuk salah satu anak cabang rumpun bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa Proto-Melayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masing-masing. Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin. Meskipun memiliki bahasa sendiri, orang Minang juga menggunakan bahasa Melayu dan kemudian bahasa Indonesia secara meluas. Historiografi tradisional orang Minang, Tambo Minangkabau, ditulis dalam bahasa Melayu dan merupakan bagian sastra Melayu atau sastra Indonesia lama. Suku Minangkabau menolak penggunaan bahasa Minangkabau untuk keperluan pengajaran di sekolah-sekolah. Bahasa Melayu yang dipengaruhi baik secara tata bahasa maupun kosakata oleh bahasa Arab telah digunakan untuk pengajaran agama Islam. Pidato di sekolah agama juga menggunakan bahasa Melayu. Pada awal abad ke-20 sekolah Melayu yang didirikan pemerintah Hindia Belanda di wilayah Minangkabau mengajarkan ragam bahasa Melayu Riau, yang dianggap sebagai bahasa standar dan juga digunakan di wilayah Johor, Malaysia. Namun kenyataannya bahasa yang digunakan oleh sekolah-sekolah Belanda ini adalah ragam yang terpengaruh oleh bahasa Minangkabau. Guru-guru dan penulis Minangkabau berperan penting dalam pembinaan bahasa Melayu Tinggi. Banyak guru-guru bahasa Melayu berasal dari Minangkabau, dan sekolah di Bukittinggi merupakan salah satu pusat pembentukan bahasa Melayu formal. Dalam masa diterimanya bahasa Melayu Balai Pustaka, orang-orang Minangkabau menjadi percaya bahwa mereka adalah penjaga kemurnian bahasa yang kemudian menjadi bahasa Indonesia Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang. Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama. Dewasa ini Silek tidak hanya diajarkan di Minangkabau saja, namun juga telah menyebar ke seluruh Kepulauan Melayu bahkan hingga ke Eropa dan Amerika. Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai. Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario. Selain itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata. Terdapat tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang. Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aforisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik. y. SUKU MENTAWAI Suku Mentawai adalah penghuni asli Kepulauan Mentawai. Sebagaimana suku Nias dan suku Enggano, mereka adalah pendukung budaya Proto-Melayu yang menetap di Kepulauan Nusantara sebelah barat. Daerah hunian warga Mentawai, selain di Mentawai juga di Pulau Pagai Utara dan Pagai Selatan. Suku ini dikenal sebagai peramu dan ketika pertama kali dipelajari belum mengenal bercocok tanam. Tradisi yang khas adalah penggunaan tato di sekujur tubuh, yang terkait dengan peran dan status sosial penggunanya. z. SUKU LEMBAK Suku Lembak adalah suku bangsa yang pemukimannya tersebar di kota Bengkulu, Bengkulu Utara, kabupaten Bengkulu Tengah, kabupaten Rejang Lebong, dan kabupaten Kepahiang. Suku Lembak di kabupaten Rejang Lebong bermukim di kecamatan Padang Ulak Tanding, Sindang Kelingi, dan Kota Padang. Di kabupaten Kepahiang, suku Lembak mendiami desa Suro Lembak di kecamatan Ujan Mas.suku lembak juga mendiami wilayah daerah Kota Lubuklinggau dan Kabupaten musi rawas yang berada di Provinsi Sumatera Selatan. Suku Lembak tidak jauh berbeda dengan masyarakat Melayu pada umumnya, namun dalam beberapa hal terdapat perbedaan. Jika ditinjau dari segi bahasanya, suku Lembak dengan Melayu Bengkulu (pesisir) terdapat perbedaan dari segi pengucapan kata-katanya, Melayu Bengkulu kata-katanya banyak diakhiri dengan huruf 'o' sedangkan suku Lembak banyak menggunakan huruf 'e', selain itu ada kosakata yang berbeda. Suku Lembak adalah pemeluk agama Islam sehingga budayanya banyak bernuansakan Islam, disamping itu masih ada pengaruh dari kebudayaan lainnya. Dari sisi adat-istiadat antara Melayu Bengkulu dan suku Lembak ada terdapat kesamaan dan juga perbedaan, ada hal-hal yang terdapat dalam Melayu Bengkulu tidak terdapat dalam masyarakat Lembak, dan sebaliknya. Secara garis besar, kebudayaan Melayu mendominasi kebudayaan suku Lembak. aa. SUKU SEMAKA Suku Semaka, adalah salah satu suku yang terdapat di Kota Agung kabupaten Tanggamus provinsi Lampung. Asal usul suku Semaka ini diceritakan berasal dari Keratuan Semaka, yang berasal dari Skalabrak, yang pada perjalanan migrasinya melalui sungai Way Semaka dan menetap di wilayah ini, dan keturunannya tersebar di kabupaten Tanggamus ini, dan terutama terpusat di Kota Agung. Masyarakat suku Semaka yang sejak beberapa abad yang lalu telah mendiami wilayah kabupaten Tanggamus ini. Saat ini wilayah mereka tidak lagi seperti pada masa di awal kedatangan mereka. Sekarang mereka justru hidup di antara para pendatang yang memenuhi wilayah suku Semaka ini. Bahkan jumlah para pendatang telah melebihi jumlah masyarakat Semaka di wilayahnya sendiri. Sehingga saat ini suku Semaka sendiri seperti kehilangan identitas, bahkan bahasa Semaka yang dahulunya sebagai bahasa asli di wilayah ini, sekarang berganti dengan bahasa para pendatang. Terlihat di daerah-daerah keramaian seperti di pasar, bahasa yang dominan adalah bahasa para pendatang. Masyarakat suku Semaka ini seperti kehilangan kepercayaan diri terhadap bahasa mereka sendiri. Kalangan muda sudah tidak berbahasa Semaka lagi, praktis tinggal hanya golongan manula saja yang masih memahami bahasa Lampung dialek Semaka ini. Suku Semaka ini berada di bawah adat Lampung Saibatin. Adat Saibatin adalah salah satu dari 2 adat yang terdapat di provinsi Lampung. Pemakai adat Saibatin biasanya disebut sebagai masyarakat Peminggir. Pada masyarakat suku Semaka terdapat beberapa marga, yakni Padang, Suoh dan Smong. Masyarakat suku Semaka ini hidup pada bidang pertanian, seperti menanam padi di sawah dan ladang, selain itu mereka juga menanam sayur-sayuran serta buah-buahan. Tanaman utama mereka adalah lada dan kopi. Profesi lain adalah sebagai nelayan, karena pemukiman mereka tidak jauh dari pesisir pantai. ab. SUKU SMOUNG Suku Smoung (Smong), adalah suatu masyarakat adat marga Smoung yang berasal kelompok masyarakat Lampung yang berada di salah satu kampung negeri yang bernama (pekon/ desa) Sanggi di kabupaten Tanggamus di provinsi Lampung. Masyarakat marga Smoung, adalah salah satu dari sekian banyak subetnik di Lampung yang membentuk komunitas adat suku tersendiri. Marga Smoung hidup sebagai komunitas adat terpencil dan tersingkir dari realitas dinamika pembangunan daerah. Masyarakat marga Smoung hingga saat ini masih berada dalam taraf keterasingan dan kemiskinan. Menurut JW Van Royen, seorang anthropolog yang melakukan penelitian di Lampung pada tahun 1855-1913, mengatakan bahwa masyarakat adat Lampung terdiri dari banyak marga yang bersatu dalam kesatuan adat, tetapi ada beberapa marga membentuk komunitas suku sendiri. Masyarakat marga Smoung hidup terisolir dari dinamika pembangun daerah, karena secara geografi mereka menetap di kawasan yang sangat terpencil dan tidak bisa disentuh pembangunan. Sehingga karena keterpencilan ini sekian lama, mereka membentuk komunitas suku tersendiri. Di pedalaman hutan kabupaten Tanggamus terdapat sebuah desa bernama desa Sanggi. Desa ini ternyata dihuni oleh masyarakat yang masih bagian dari suku Lampung marga Smoung. Komunitas marga Smoung ini bermukim di desa yang berada di aliran sungai Way Semaka, bersebelahan dengan dengan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Desa ini sangat terpencil, apabila menggunakan sepeda motor akan menempuh waktu selama 5 jam dari Kota Agung, ditambah berjalan kaki melalui jalan setapak selama beberapa jam. Mungkin akan lebih mudah apabila perjalanan ditempuh lewat jalur perairan melalui Way (Sungai) Semaka. Menurut penuturan masyarakat desa ini, bahwa desa Sanggi di kabupaten Tanggamus telah ada sejak tahun 1850.. Masyarakat marga Smoung di desa Sanggi kabupaten Tanggamus, tidak tahu asal usul mereka sebenarnya, tetapi mereka beranggapan kemungkinan nenek moyang mereka datang dari desa Sanggi yang ada di kabupaten Lampung Barat. Komunitas marga desa Sanggi di kabupaten Tanggamus kadang-kadang menjalin komunikasi dengan masyarakat desa Sanggi di kabupaten Lampung Barat. Masyarakat suku Smoung ini hidup pada bidang pertanian seperti menanam sayur-sayuran dan buah-buahan, serta berburu ke hutan sekitar pemukiman mereka. ac. SUKU BELALALU Suku Belalau, adalah salah satu masyarakat adat yang bermukim di wilayah kabupaten Lampung Barat provinsi Lampung. Suku Belalau ini menurut cerita rakyat Belalau, adalah sebagai penghuni pertama wilayah Belalau dan Krui. Menurut mereka, bahwa sejak dahulu mereka tidak memiliki kebiasaan nomaden yang berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Seperti menurut penuturan mereka, pada awalnya sebelum kehadiran mereka di wilayah ini, mereka berasal dari daerah Sekalabrak, sebagaimana suku-suku lain di wilayah provinsi Lampung. Suku Belalau berbicara dalam bahasa Belalau, yang disebut sebagai bahasa Api atau bahasa Lampung Api. Rumah tradisional masyarakat Belalau bernama Rumah Sabukh, dan beberapa masih terpelihara di desa Hujung kecamatan Belalau kabupaten Lampung Barat. Diperkirakan rumah-rumah tradisional tersebut sudah berumur ratusan tahun. Menurut mereka rumah tradisional ini sudah dihuni oleh 4 generasi sekitar tahun 1867. Rumah tradisional masyarakat Belalau ini dibuat dari kayu dan bambu dari kualitas yang paling baik, kayu yang dipilih adalah kayu klutum dan kayu medang. Atap rumah ditutup dengan ijuk atau sabut aren. Adanya peninggalan rumah tua yang telah berumur ratusan tahun menunjukkan bahwa masyarakat Belalau masih memegang teguh amanat nenek moyang, warisan tersebut menggambarkan kehidupan masa lalu suku Lampung Belalau pedalaman. Di Pekon (Desa) Hujung kecamatan Belalau kabupaten Lampung Barat, terdapat 14 rumah Sabukh, upaya penyelamatan rumah Sabukh ini merupakan peninggalan sejarah kehidupan suku Lampung Belalau jaman dulu. Masyarakat suku Belalau pada umumnya hidup sebagai petani, terutama pada tanaman padi dan sayur-sayuran serta buah-buahan. Lada dan kopi menjadi tanaman utama bagi kehidupan masyarakat Belalau ini. Saat ini telah banyak masyarakat suku Belalau ini yang bekerja pada sektor pemerintahan dan juga bidang profesi lainnya. ad. SUKU MERPAS Suku Merpas, adalah salah satu suku yang berada di bawah adat Lampung, yang bermukim di Merpas. Merpas adalah desa di kecamatan Nasal kabupaten Kaur provinsi Bengkulu Indonesia. Suku Merpas walaupun bermukim di wilayah provinsi Bengkulu, tetapi secara kultural dan adat, mereka lebih berkerabat dengan masyarakat di provinsi Lampung. Adat istiadat yang dijalankan oleh masyarakat suku Merpas adalah termasuk bagian dari adat Lampung. Selain itu Merpas adalah termasuk salah satu dari marga yang ada di Lampung. Menurut penuturan masyarakat Merpas sendiri, dahulunya mereka memang berasal dari wilayah Lampung. Pada pertengahan abad 17, mereka telah bermigrasi ke wilayah Bengkulu tempat mereka sekarang ini. Wilayah pemukiman suku Merpas ini mereka hidup berdampingan dengan suku lain seperti suku Kaur yang asli penduduk Bengkulu. Walaupun secara kultural dan adat, suku Merpas ini masih berkerabat dengan suku-suku di Lampung, tetapi kebanyakan dari mereka sudah menganggap diri mereka adalah bagian dari masyarakat Bengkulu. Selain itu di antara mereka telah banyak terjadi perkawinan campur dengan suku-suku lain, yang terdapat di wilayah Bengkulu, termasuk dengan para pendatang yang juga bermukim di wilayah tersebut. Suku Merpas sendiri berbicara dalam bahasa Merpas, yang mirip dengan bahasa Lampung, tetapi mendapat pengaruh dari bahasa-bahasa di Bengkulu, termasuk mendapat pengaruh dari bahasa Melayu Pesisir.. Masyarakat Merpas, bertahan hidup pada bidang pertanian. Beberapa bergerak pada pertanian padi sawah, maupun ladang. Mereka juga menanam berbagai jenis sayur-sayuran dan buah-buahan, termasuk tanaman keras seperti karet dan kopi. ae. SUKU KOMERING Suku Komering adalah satu klan dari Suku Lampung yang berasal dari Kepaksian Sekala Brak yang telah lama bermigrasi ke dataran Sumatera Selatan pada sekitar abad ke-7 dan telah menjadi beberapa Kebuayan atau Marga. Nama Komering diambil dari nama Way atau Sungai di dataran Sumatera Selatan yang menandai daerah kekuasaan Komering. af. SUKU RANAU Suku Ranau adalah nama salah satu marga dari etnis Lampung, yaitu Marga Ranau. Marga Ranau merupakan bagian dari Kepaksian Sekala Brak yang pembagian wilayahnya diatur oleh Umpu Bejalan Diway dari Paksi Buay Bejalan Diway Paksi Pak Sekala Brak pada Abad ke VII M. ag. SUKU TULANGBAWANG Suku Tulang Bawang (Tulangbawang Mego Pak), adalah salah satu komunitas adat yang terdapat di provinsi Lampung. Suku Tulangbawang ini tersebar di 4 wilayah adat, yaitu Menggala, Mesuji, Panaragan dan Wiralaga. Suku Tulangbawang ini berada di bawah hukum adat Pepadun. Pepadun adalah salah satu dari dua adat yang terdapat di Lampung. Menurut cerita asal usul suku Tulangbawang, bahwa para leluhur suku Tulangbawang memasuki wilayah mereka sekarang ini melalui pinggiran Way Tulangbawang. Mego Pak. Maksud dari Mego Pak adalah suku Tulangbawang ini memiliki 4 mego (marga). Puyang Umpu, Puyang Bulan, Puyang Aji dan Puyang Tegamoan. Seni budaya pada masyarakat Tulangbawang adalah Tari Bedayo, yang memiliki usia sangat tua dibandingkan dengan tarian lainnya yang ada di Menggala. Menurut mereka Tari Bedayo dulunya diciptakan atas permintaan Menak Sakaria dan adiknya Menak Sangecang Bumi keturunan ari puti Bulan, di kampung Tus Bujung Menggala kecamatan Tulang Bawang Udik. Konon munculnya tari Bedayo akibat adanya wabah penyakit yang melanda kampung Bujung Menggala di masa itu. Berbagai usaha yang dilakukan pada saat itu, namun tidak kunjung hilang, selama pertapaannya menak Sakaria mendapatkan wangsit agar mengadaan upacara dan memotong kambing hitam diiringi sebuah tarian yang dibawakan penari wanita yang masih suci berjumlah 12 orang. Masyarakat Tulangbawang, secara umum masih percaya dengan kata-kata orang tua, baik itu berupa pantun, dongeng, legenda mitos dan yang lainnya. Mayoritas masyarakat suku Tulangbawang adalah penganut agama Islam, yang telah lama berkembang di wilayah ini. Beberapa tradisi adat budaya suku Tulangbawang terlihat banyak mengandung unsur Islami. Mereka adalah penganut agama Islam yang taat, tetapi mereka juga terbuka terhadap golongan agama lain, seperti dari golongan agama Kristen, Hindu dan Budha, sehingga kerukunan agama di wilayah ini tetap terpelihara dengan baik. Kehidupan masyarakat Tulangbawang pada umumnya berprofesi sebagai petani, pada tanaman padi, sayur-sayuran dan tanaman keras seperti kopi. Selain itu banyak juga yang bekerja pada sektor pemerintahan, menjadi pedagang, guru dan profesi lainnya. Di halaman rumah beberapa keluarga memelihara ternak seperti sapi, kambing, bebek dan ayam untuk menambah penghasilan hidup. ah. SUKU WAYKANAN Suku Way Kanan, adalah suatu komunitas masyarakat adat yang berada di kabupaten Way Kanan provinsi Lampung. Suku Waykanan ini disebut juga sebagai Buay Lima, karena kelompok masyarakat ini terdiri dari 5 Kebuaian. Suku Waykanan ini berada di bawah adat Lampung Pepadun. Adat Pepadun adalah salah satu dari 2 adat yang terdapat di provinsi Lampung. Menurut cerita rakyat yang terdapat pada masyarakat suku Lampung, bahwa Suku Waykanan ini, adalah keturunan nenek moyang suku Lampung yang berasal dari Skalabrak. Skalabrak sendiri dipercaya adalah tempat asal usul etnis Lampung, yang tersebar ke berbagai wilayah di Sumatra Selatan, Lampung hingga Bengkulu. Salah satu keturunan yang berasal dari Skalabrak adalah suku Waykanan, yang pada perjalanan migrasinya melalui pinggiran Way Kanan. Masyarakat suku Waykanan secara mayoritas adalah pemeluk agama Islam yang taat. Beberapa adat-istiadat terlihat banyak mengandung unsur Islami. Saat ini di wilayah pemukiman suku Waykanan ini, telah dipenuhi oleh para pendatang transmigran, terutama yang berasal dari pulau Jawa. Selain itu juga terdapat pendatang lain yang berasal dari berbagai daerah di Sumatra, seperti Minang, Palembang, Batak dan lain-lain. Saat ini agak susah mendeteksi suku Waykanan ini di wilayah mereka sendiri, karena banyaknya jumlah pendatang transmigran di wilayah ini, selain itu juga banyak terjadi perkawinan campur antara masyarakat Waykanan dengan masyarakat pendatang. Sehingga sekilas terlihat masyarakat suku Waykanan sendiri hidup dalam budaya masyarakat pendatang. Masyarakat suku Waykanan pada umumnya hidup pada bidang pertanian, seperti pertanian padi-sawah, maupun ladang, berbagai tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan juga menjadi tanaman utama mereka. Selain itu masyarakat suku Waykanan juga banyak yang telah bekerja di sektor pemerintahan, dan juga sebagai pedagang, guru dan lain-lain. ai. SUKU SUNGKAI Suku Sungkai, adalah salah satu komunitas masyarakat adat yang berada di bawah tradisi hukum adat Pepadun Lampung. Suku Sungkai bermukim di wilayah Lampung Suku Sungkai terdiri dari 7 Kebuwayan Besar, yaitu: Buway Indor gajah (Segajah), Buway Selembasi, Buway Perja (serja) yang ketiganya anak Putri Silimayang, Buay Harayap, Buway Liwa, Buway Semenguk dan Buway Dibintang. Asal usul suku Sungkai, menurut cerita rakyat Sungkai, bahwa dahulu berasal dari daerah Komering. Dahulu banyak orang komering yang bermigrasi keluar dari daerah asal mereka di sepanjang aliran Way Komering, untuk mencari kehidupan baru pindah ke wilayah lain. Pada perjalanan migrasi, mereka membuka pemukiman baru (umbul) maupun kampung (tiuh). Perpindahan kali pertama oleh orang Komering marga Bunga Mayang yang kemudian menjadi suku Sungkai atau disebut juga sebagai suku Lampung Bunga Mayang. Suntan Baginda Dulu (Lampung Ragom, 1997), mengatakan Kelompok Lampung Sungkai asal nenek moyang mereka adalah orang Komering pada tahun 1800 Masehi, pindah dari Komering Bunga Mayang menyusur Way Sungkai lalu minta bagian tanah permukiman kepada tetua Abung Buway Nunyai pada tahun 1818 s/d. 1834 Masehi. Kenyataan kemudian hari mereka maju. Mampu begawi menyembelih kerbau 64 ekor dan dibagi ke seluruh Kebuayan Abung. Oleh masyarakat suku Abung, suku Sungkai dinyatakan berada di bawah adat Lampung Pepadun dan tanah yang sudah diserahkan Buay Nunyai mutlak menjadi milik mereka. Kemungkinan daerah Sungkai yang pertama kali adalah Negara Tulang Bawang, membawa nama kampung/ marga Negeri Tulang Bawang asal mereka di Komering. Dari sini kemudian menyebar ke Sungkai Utara, Sungkai Selatan, Sungkai Jaya dan sebagainya. Di daerah Sungkai Utara, banyak penduduk yang berasal dari Komering Kotanegara, mereka adalah generasi keempat sampai kelima yang sudah menetap di sana. aj. SUKU LAUT Suku Laut atau sering juga disebut Orang Laut adalah suku bangsa yang menghuni Kepulauan Riau, Indonesia. Secara lebih luas istilah Orang Laut mencakup "berbagai suku dan kelompok yang bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga, Pulau Tujuh, Kepulauan Batam, dan pesisir dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatera Timur dan Semenanjung Malaya bagian selatan. Sebutan lain untuk Orang Laut adalah Orang Selat. Orang Laut kadang-kadang dirancukan dengan suku bangsa maritim lainnya, Orang Lanun. Secara historis, Orang Laut dulunya adalah perompak, namun berperan penting dalam Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor. Mereka menjaga selat-selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan-kerajaan tersebut, dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut. Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai Bahasa Melayu Lokal. Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Seperti suku Bajau Orang Laut kadang-kadang dijuluki sebagai "kelana laut", karena mereka hidup berpindah-pindah di atas perahu. ak. SUKU KILUET Suku Kluet adalah sebuah suku yang mendiami beberapa kecamatan di kabupaten Aceh Selatan, yaitu kecamatan Kluet Utara, Kluet Selatan, Kluet Tengah, dan Kluet Timur. Daerah Kluet ini dipisahkan oleh sungai Lawé Kluet yang berhulu di Gunung Leuser dan bermuara di Lautan Hindia. Wilayah kediaman orang Kluet ini terletak 30 km dari kota Tapak Tuan atau 500 km dari Banda Aceh. Suku Kluet mempergunakan bahasa Kluet yang termasuk dalam kelompok bahasa-bahasa Batak. Bahasa Kluet terbagi atas 3 dialek yaitu Dialek Paya Dapur, Manggamat dan Lawe Sawah. Mata pencahariannya umumnya adalah bertani, berladang dan berkebun. al. SUKU KOTO Suku koto merupakan satu dari dua klan induk dalam suku Minangkabau. Suku minangkanbau memiliki dua klan (suku dalam bahasa orang minang) yaitu Klan/suku Koto Piliang dan Klan/suku Bodi Chaniago. A.A. Navis dalam bukunya berjudul Alam Terkembang Jadi Guru menyatakan bahwa nama suku Koto berasal dari kata 'koto' yang berasal dari bahasa Sanskerta 'kotta' yang artinya benteng, dimana dahulu benteng ini terbuat dari bambu. di dalam benteng ini terdapat pula pemukiman beberapa warga yang kemudian menjadi sebuah 'koto' yang juga berarti kota, dalam bahasa Batak disebut 'huta' yang artinya kampung. Dahulu Suku Koto merupakan satu kesatuan dengan Suku Piliang tapi karena perkembangan populasinya maka paduan suku ini dimekarkan menjadi dua suku yaitu suku Koto dan suku Piliang. Suku Koto dipimpin oleh Datuk Ketumanggungan yang memiliki aliran Aristokratis Militeris, dimana falsafah suku Koto Piliang ini adalah "Manitiak dari Ateh, Tabasuik dari bawah, batanggo naiak bajanjang turun" Datuk Ketumanggungan gadang dek digadangan "Besar karena diagungkan oleh orang banyak),sedangkan Datuk Perpatih Nan Sebatang "tagak samo tinggi, duduak samo randah" am. SUKU KERINCI Suku Kerinci adalah suku bangsa yang mendiami wilayah Kabupaten Kerinci, Jambi. Nama Kerinci berasal dari bahasa Tamil, yaitu nama bunga kurinji (Strobilanthes kunthiana) yang tumbuh di India Selatan pada ketinggian di atas 1800m yang mekarnya satu kali selama dua belas tahun. Karena itu Kurinji juga merujuk pada kawasan pegunungan. dapat dipastikan bahwa hubungan Kerinci dengan India telah terjalin sejak lama dan nama Kerinci sendiri diberikan oleh pedagang India Tamil Suku Kerinci sebagaimana juga halnya dengan suku-suku lain di Sumatera adalah penutur bahasa Austronesia. Berdasarkan bahasa dan adat-istiadat suku Kerinci termasuk dalam kategori Proto Melayu, dan paling dekat dengan Minangkabau Deutro Melayu dan Jambi Deutro Melayu. Sebagian besar suku Kerinci menggunakan bahasa Kerinci, yang memiliki beragam dialek, yang bisa berbeda cukup jauh antar satu dusun dengan dusun lainnya di dalam wilayah Kabupaten Kerinci dan Kota Madya Sungai Penuh - setelah pemekaran wilayah tahun 2008. Untuk berbicara dengan pendatang biasanya digunakan bahasa Minangkabau atau bahasa Indonesia (yang masih dikenal dengan sebutan Melayu Tinggi). Suku Kerinci memiliki aksara yang disebut aksara incung yang merupakan salah satu variasi surat ulu. Sebagian penulis seperti Van Vollenhoven memasukkan Kerinci ke dalam wilayah adat (adatrechtskring) Sumatera Selatan, sedangkan yang lainnya menganggap Kerinci sebagai wilayah rantau Minangkabau. Suku Kerinci merupakan masyarakat matrilineal. Sebagaimana diketahui dari Naskah Tanjung Tanah, naskah Melayu tertua yang ditemukan di Kerinci, yang dikirimkan oleh raja Malayu di Dharmasraya pada abad ke-14 kepada depati di Kerinci dan telah disetujui oleh maharajadiraja Adityawarman yang berada di Suruaso dekat Pagaruyung di Tanah Datar. an. SUKU KAUR Suku Kaur adalah sebuah kelompok etnis berdiam di daerah Bintuhan, Kecamatan Kaur Selatan, Tanjungiman, Kecamatan Kaur Tengah dan Padangguci, kecamatan Kaur Utara, di pinggir pantai samudra Indonesia, Provinsi Bengkulu. Daerah kediaman orang Kaur berdekatan dengan kediaman orang Serawai & Pasemah. Mereka memiliki bahasa sendiri, yakni bahasa Kaur, yang tergolong rumpun bahasa Melayu. Mata pencaharian pokoknya ialah menanam padi. Selain itu, daerah ini terkenal dengan hasil cengkeh dan ladanya. Sebagian usaha tambahan mereka beternak, menangkap ikan, dan berdagang. Kaum pria bekerja di ladang sementara kaum wanita mengurus rumah tangga. Biasanya, sesudah panen padi, mereka menanam buah-buahan seperti durian & mangga. Kaum wanita suku Kaur di desa Gedung Sako Senahak, masih menyusui bayinya di tempat umum sekalipun. Pada dasarnya mereka orang-orang yang menjaga kebersihan dan berpakaian dengan pantas. Suku Kaur tinggal di rumah batu beratapkan seng. Listrik sudah tersedia. Uniknya rumah-rumah itu semuanya di cat biru & putih. Perapian biasanya digunakan untuk memasak dan sumur terlihat dihalaman belakang, demikian, juga ayam, bebek dan sapi terlihat berlarian di sekitar tempat itu. "Gotong royong" dan pelayanan masyarakat dilakukan di desa ini, misalnya: anda bisa meminta tolong untuk membantu panen dan lain kali anda yang menolong orang lain. Orang Kaur tidak diperbolehkan menikahi orang dari klen lain. Tetapi bisa menikah dengan orang Kaur dari desa lain. Pernikahan hanya bisa terjadi sesudah perayaan Panen Padi. Usia pernikahan umumnya 20 tahun untuk pria dan 15 - 16 tahun untuk wanita. Jika mempelai laki-laki ingin mempelai wanitanya tinggal bersama keluarga mempelai laki-laki, dia harus membayar keluarga mempelai wanita Rp. 50.000, dan jika mempelai pria harus tinggal di rumah mempelai wanita, orang tua mempelai wanita hanya diwajibkan memberikan kenang-kenangan kepada pihak laki-laki. Generasi tua suku Kaur biasanya memiliki rata-rata 13 anak dalam tiap keluarga tetapi sekarang dengan adanya Program KB dari Pemerintah mereka hanya memiliki 3 anak.