Apakah kurva kalibrasi sama dengan kurva standar?

Kurva standar atau kurva kalibrasi merupakan kurva yang digunakan untuk menentukan hubungan antara respon analitik dengan konsentrasi suatu analat. Hubungan antara respon analitik dengan konsentrasi analat tersebut ditentukan dengan menggunakan zat/senyawa standar yang murni atau telah diketahui konsentrasinya. Kurva standar / kurva kalibrasi dibuat dengan memplot kurva dangan respon analitik pada sumbu y dan konsentrasi analat yang telah diketahui pada sumbu x. Dari kurva yang telah dibuat tersebut nantinya akan diperoleh persamaan kalibrasi yang dapat digunakan dalam menentukan konsentrasi senyawa yang akan kita cari (Skoog, 2013). Dalam penelitian ini kurva standar dibuat sebagai acuan untuk menentukan konsentrasi DDT dan metabolit produk hasil degradasi. Kurva standar dalam penelitian ini dibuat dengan metode standar internal dimana pirena digunakan sebagai standar internal. Pirena dipilih sebagai standar internal karena memiliki sifat fisik yang hampir sama dengan DDT dan metabolit produknya (Purnomo dkk., 2008).

Kurva standar dibuat dengan membuat larutan DDT dengan variasi konsentrasi 100%, 75%, 50%, 25% dan 0% (100% = 0,25 µmol DDT yang berasal dari DDT 5 mM) yang selanjutnya dicampur dengan 50 µL Pirena 5 mM sebagai standar internal dan diidentifikasi dengan menggunakan HPLC. Dari pengukuran dengan menggunkan HPLC diperoleh data luas puncak DDT dan pirena yang selanjutnya dibuat rasio DDT/Pirena dan diplot pada sumbu y kurva, sedangkan untuk variasi konsentrasi DDT yang telah di buat di plot pada sumbu x kurva sehingga diperoleh kurva standar DDT seperti pada Gambar 4.4. (Data luas puncak DDT dan pirena terlampir (Lampiran 3)). Dari kurva standar tersebut diperoleh persamaan kalibrasi y=0,004x dimana, y merupakan rasio luas puncak DDT/Pirena sedangkan x merupakan konsentrasi DDT. Persamaan tersebut yang selanjutnya akan dijadikan acuan untuk menentukan konsentrasi recovery DDT dari hasil proses degradasi. Selain persamaan kalibrasi, dari data kurva standar juga dapat diperoleh nilai koefisien korelasi kurva standar. Nilai koefisien

38

korelasi tersebut menunjukan adanya hubungan linieritas antara konsentrasi DDT dengan Rasio luas puncak DDT/Pirena. Dari kurva standar pada Gambar 4.4. diperoleh nilai koefisien korelasi 0,994 yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan linieritas yang hampir sempurna antara konsentrasi DDT dengan rasio luas puncak DDT/pirena. Hal tersebut dikarenakan besarnya nilai koefisien korelasinya mendekati 1.

Gambar 4.4. Kurva standar DDT 4.4. Biodegradasi DDT oleh D. dickinsi

Dalam penelitian ini degradasi DDT oleh D. dickinsii dilakukan dengan menambahkan 50 μL DDT 5 mM (dalam DMSO konsentrasi akhir: 0,25 μmol DDT/labu) kedalam kultur D. dickinsii hasil pre-inkubasi. DMSO digunakan sebagai pelarut DDT dikarenakan DMSO merupakan pelarut aprotik yang dapat melarutkan DDT yang merupakan senyawa non polar ke dalam media PDB yang bersifat polar. Pemberian oksigen bertujuan untuk menyuplai oksigen untuk jamur D. dickinsii agar metabolismenya berjalan lancar. Hal tersebut dikarenakan D. dickinsii merupakan jamur dengan metabolisme aerobik yang membutuhkan oksigen untuk proses metabolismenya. Inkubasi dilakukan pada suhu 30°C dikarenakan pada suhu tersebut jamur D. dickinsii dapat tumbuh secara optimal (Purnomo dkk., 2008).

Setelah proses degradasi berlangsung, dilakukan pengekstrakan kembali DDT dari kultur hasil proses degradasi. Pengekstrakan kembali DDT tersebut bertujuan untuk mengetahui kadar DDT yang tersisa (recovery) dari proses

y = 0,004x R² = 0,994 0 0,05 0,1 0,15 0,2 0,25 0,3 0,35 0,4 0,45 0 20 40 60 80 100 120 Ra sio L ua s pu nca k DDT/ Pirena Konsentrasi DDT (%) Kurva Standar DDT

39

biodegradasi sehingga dapat diketahui kemampuan biodegradasi dari mikroorganisme yang digunakan. Pengestrakkan kembali DDT diawali dengan menambahkan 20 mL Metanol dan 50 μL piren 5 mM ke dalam kultur hasil inkubasi. Penambahan metanol bertujuan untuk menghentikan reaksi metabolisme mikroorganisme. Hal tersebut dikarenakan metanol memiliki sifat desinfektan sehingga dapat membunuh mikroorganisme pendegradasi dan merusak enzim-enzim sehingga reaksi enzim-enzimatis berhenti. Penambahan pirena bertujuan sebagai standar internal untuk mengantisipasi hilangnya DDT akibat proses pengekstrakan (Skoog, 2013). Selanjutnya sampel dipindahkan kedalam tabung sentrifuge dan erlemeyer bekas sampel dicuci dengan 5 mL aseton. Pencucian dengan aseton bertujuan untuk membersihkan erlemeyer dari sisa-sisa larutan sampel. Larutan sampel yang telah dipindah ke tabung sentrifuge kemudian dihomogenkan dengan homogenizer untuk memecah miselium dan membebaskan DDT yang terjebak dalam miselium jamur. Sampel yang telah homogen selanjutnya dipisahkan dengan sentrifuge dan disaring dengan tujuan untuk memisahkan biomassa jamur dari sampel.

Setelah melalui penyaringan, filtrat yang dihasilkan dievaporasi pada suhu 40°C untuk menguapkan aseton dan metanol pada sample. Filtrat yang tidak menguap dimasukkan kedalam corong pisah, dan diekstrak dengan menggunakan 100 ml n-heksana sebanyak 2 kali pengekstrakan. Pengekstrakan dilakukan dengan menggunakan pelarut n-heksana yang bersifat nonpolar karena DDT dalam sampel yang akan diekstrak juga bersifat nonpolar sehingga nantinya DDT dalam sampel akan terekstrak kedalam n-heksana. Fasa organik yang terkumpul selanjutnya dimasukkan kedalam erlenmeyer dan ditambahkan bubuk Na2SO4

anhidrat, kemudian disaring. Penambahan bubuk Na2SO4 anhidrat bertujuan untuk mengikat air yang tertinggal dalam sampel hasil ekstrak. Filtrat hasil penyaringan selanjutnya dievaporasi pada suhu 40°C hingga tersisa sekitar 1 mL. Evaporasi bertujuan untuk menguapkan pelarut dan memekatkan sampel sehingga nantinya dapat memberikan puncak kromatogram yang jelas. Sampel dianalisis menggunakan GC/MS. Sisa sampel dievaporasi kembali hingga kering dan ditambah 1 mL metanol. Residu (sampel) dihomogenkan dengan ultrasonic cleaner, kemudian dianalisis menggunakan HPLC. Pelarut metanol digunakan

40

karenakan dalam analisa HPLC digunakan kolom nonpolar sehingga sampel yang akan dianalisa harus dilarutkan dalam pelarut polar agar tidak merusak kolom HPLC (Purnomo dkk., 2010).

Tabel 4.1. Data analisa HPLC hasil degradasi DDT oleh D. dickinsii. Sampel Luas Puncak

DDT

Luas Puncak Pirena

Luas Puncak DDT/ Luas Puncak Pirena

% Recovery

Kontrol 75547,93 29219,51 0,39 96,70

Perlakuan 7930,74 1367,33 0,17 43,09

Dari data hasil analisa HPLC diperoleh data luas puncak DDT dan luas puncak pirena seperti pada Tabel 4.1. Dari data luas puncak tersebut dapat diketahui rasio luas puncak DDT/Pirena yang selanjutnya disubstitusikan dalam persamaan yang diperoleh dari kurva strandar (y=0,004x) dan dihitung nilai x nya sebagai konsentrasi DDT hasil degradasi. Dari data pada Tabel 4.1. diperoleh % recovery kontrol sebesar 96,70 % dan % recovery untuk degradasi dengan menggunakan D. dickinsii selama 7 hari masa inkubasi sebesar 43,09 %. Dengan demikian besarnya kemampuan degradasi DDT oleh D. dickinsii selama 7 hari masa inkubasi dapat dihitung dengan mengurangkan % recovery kontrol dengan % recovery D. dickinsii dan diperoleh % degradasi sebesar 53,61%. Purnomo dkk. (2008) melaporkan bahwa D. dickinsii mampu mendegradasi DDT sebesar 47% dalam media PDB selama 14 hari dalam media PDB. Walaupun menggunakan waktu inkubasi yang lebih lama, hasil tersebut lebih rendah dibandingkan hasil pada penelitian ini yaitu 53,61% dengan waktu inkubasi hanya 7 hari. Perbedaan hasil tersebut dapat dikarenakan peda penelitian sebelumnya menggunakan volume total kultur dua kali lebih rendah dibandingkan pada penelitian ini sehingga konsentrasi DDT pada kultur lebih pekat dan toksisitasnya lebih tinggi. Kemampuan D. dickinsii dalam mendegradasi DDT tersebut melibatkan hidroksi radikal yang dihasilkan oleh reaksi Fenton dalam metabolisme jamur D. dickinsii. Seperti pada jamur pelapuk coklat pada umumnya D. dickinsii mampu memproduksi hidroksi radikal melalui reaksi Fenton untuk mendegradasi kayu dan lignoselulosa sebagai sumber makanannya (Kaneko dkk., 2005).

41 4.5. Biodegradasi DDT oleh Bakteri

Dalam penelitian ini kemampuan masing-masing bakteri yang akan digunakan dalam optimalisasi degradasi DDT oleh D. dickinsii juga diteliti. Kemampuan degradasi DDT oleh masing-masing bakteri juga diteliti dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan awal masing-masing bakteri dalam mendegradasi DDT sebelum dilakukan pencampuran dengan D. dickinsii. Biodegradasi DDT oleh masing-masing bakteri ini dilakukan dengan menambahakan 50 μL DDT 5 mM (dalam DMSO konsentrasi akhir: 0,25 μmol DDT/labu) ke dalam kultur bakteri (Variasi konsentrasi : 1, 3 ,5 ,7 dan 10 mL) hasil pre-inkubasi. Pada degradasi DDT dengan menggunakan masing-masing bakteri ini dilakukan dengan media dan kondisi yang sama dengan degradasi DDT oleh D. dickinsii. Hal tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah masing-masing bakteri tersebut dapat hidup dan mendegradasi DDT dengan kondisi optimal D. dickinsii. Hal tersebut diperlukan karena nantinya masing-masing bakteri tersebut akan ditumbuhkan bersama dengan D. dickinsii untuk mendegradasi DDT sehingga bakteri yang digunakan harus bisa tumbuh sesuai dengan kondisi media optimal pada D. dickinsii (Ashari, 2013).

Setelah masa inkubasi bakteri untuk degradasi DDT selama 7 hari berakhir, dilakukan pengektrakan pada masing-masing kultur untuk mendapatkan kembali DDT hasil degradasi. Pengekstrakan dilakukan dengan cara yang sama dengan degradasi DDT oleh D. dickinsii. Dari data analisa menggunakan HPLC diperoleh data persen degradasi seperti pada Tabel 4.2. dan diplotkan dalam grafik diperoleh data seperti pada Gambar 4.5.

Tabel 4.2. Persen Degradasi DDT oleh Bakteri Konsentrasi

Bakteri (mL) P. aeruginosa % Degradasi B. subtilis R. pickettii 1 75,17 ± 2,06a 35,38± 6,36a 8,62± 0,65a 3 82,13 ± 2,34b 66,21± 0,64b 12,08± 0,88b 5 86,15 ± 0,51b 79,51± 0,04c 15,64± 2,29b

7 90,20 ± 0,16c 84,06± 1,76c 30,87± 0,52c

10 65,98 ± 0,87d 86,44± 1,64c 19,84± 0,60b

* Perbedaan alfabet pada data menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dari hasil uji t dengan n=2 dan α=0,05.

42

Gambar 4.5. Persen Degradasi DDT oleh Bakteri. PA= P. aeruginosa, BS = B. subtilis dan RP = R. pickettii. Perbedaan alfabet pada data menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan dari hasil uji t dengan n=2 dan α=0,05.

Berdasarkan Tabel 4.2. dan Gambar 4.5., persen degradasi DDT terbesar untuk bakteri P. aeruginosa ada pada konsentrasi bakteri 7 mL (1 mL = 1,05 x 109

CFU) yaitu mencapai 90,2%. Bakteri B. subtilis diperoleh persen degradasi terbesar ada pada konsentrasi bakteri 10mL (1mL = 6,7 x108 CFU) yaitu sebesar 86,44%, sedangkan untuk bakteri R. pickettii persen degradasi terbesar ada pada konsentrasi bakteri 7 mL (1 mL = 1,44 x 1013 CFU) yaitu sebesar 30,87%. Dari data tersebut secara umum kemampuan degradasi bakteri mendegradasi DDT tidak linier terhadap konsentarasi bakteri yang digunakan. Secara umum persen degradasi mengalami peningkatan dari konsentrasi bakteri 1-7 mL, namun ketika konsentrasi bakteri 10 mL, persen degradasi untuk B. subtilis mengalami peningkatan sangat sedikit, sedangkan untuk bakteri P. aeruginosa dan R. pickettii mengalami penurunan. Walaupun pada bakteri B. subtilis pada konsentrasi 7mL ke 10 mL mengalami peningkatan, akan tetapi tidak berbeda secara signifikan (Tabel 4.2). Hal tersebut didukung oleh hasil Uji T yang menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara persen degradasi pada konsentrasi 7 mL dan 10 mL untuk bakteri B. subtilis. Dengan demikan dari ketiga bakteri

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 3 5 7 10 % De gr ad asi Konsentrasi Bakteri (mL) Degradasi DDT oleh Bakteri

PA BS RP b b b b c d a b c c c a b b b c a

43

tersebut dapat diketahui bahwa setelah konsentrasi 7 mL kemampuan degradasinya semakin melemah. Hal tersebut dapat dikarenakan pada konsentrasi bakteri yang lebih pekat maka jumlah bakterinya semakin banyak dan tingkat persaingan antar bakteri untuk mempertahankan diri juga lebih tinggi sehingga bakteri lebih cenderung untuk memproduksi metabolit sekunder untuk mempertahankan dirinya. Hal tersebut mengakibatkan menurunnya kemampuan degradasi dari tiap bakteri (Maier, 2009).

Kemampuan ketiga jenis bakteri tersebut dalam mendegradasi DDT berkaitan dengan kemampuan dari ketiga jenis bakteri tersebut dalam memproduksi enzim pendegradasi dalam proses metabolismenya. Jeon dan Kim (2015) menjelaskan bahwa bakteri jenis P. aeruginosa mampu menghasikan enzim-enzim hidroksilase seperti alkalin monooksigenase dan Rubredoksin reduktase yang berperan dalam proses biodegradasi. Jones dkk. (2012) menjelaskan bahwa bakteri jenis B. subtilis mampu menghasilkan enzim Xilanase yang mampu mendegradasi hemiselulosa menjadi monomer-monomernya berupa xylan. Riyan dkk. (2007) menjelaskan bahwa bakteri jenis R. pickettii mampu menghasilkan enzim hidroksilase berupa 2,4,6-trichlorophenol-4-dechlorinase yang berperan dalam degradasi polutan terklorinasi berpa triklorofenol. Selain memiliki kemampuan menghasilkan enzim pendegradasi, ketiga jenis bakteri tersebut juga mampu menghasilkan biosurfaktan yang juga berperan dalam proses biodegradasi. Scheibenbogen dkk. (1994) melaporkan bahwa P. aeruginosa mampu menghasilkan biosurfaktan jenis rhamnolipid. Banat dkk. (2010) juga melaporkan bahwa bakteri jenis B. subtilis mampu menghasilkan biosurfaktan berupa surfaktin (lipopeptida). Plaza dkk. (2005) juga melaporkan bahwa bakteri jenis R. pickettii juga memiliki kemampuan untuk memproduksi biosurfaktan yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kemampuan bioremeidiasi terhadap tanah yang terkontaminasi petrolium hidrokarbon.

4.6. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Bakteri terhadap Biodegradasi DDT

Apa yang dimaksud dengan kurva kalibrasi standar?

Kurva kalibrasi merupakan hubungan antara respons instrumen dan sejumlah (konsentrasi) tertentu analit yang sudah diketahui. Dari kurva kalibrasi tersebut didapatkan persamaan garis yang menyatakan hubungan antara konsentrasi dan absorbansi. Kurva kalibrasi disebut juga dengan kurva standar.

Apa yang dimaksud dengan kurva standar?

Dalam kimia analitik, sebuah kurva kalibrasi, juga dikenal sebagai kurva standar, adalah sebuah metode utama yang digunakan untuk menentukan konsentrasi suatu zat dalam suatu sampel yang tidak diketahui dengan membandingkan yang tidak diketahui kedalam seperangkat sampel standar dari konsentrasi yang telah diketahui.

Mengapa dibutuhkan pembuatan kurva standar?

Pembuatan kurva standar bertujuan sebagai acuan untuk menghitung jumlah sel pada kurva pertumbuhan. Nilai regresi linear yang semakin mendekati 1 menunjukkan bahwa kurva tersebut semakin valid.

Jelaskan apa yang dimaksud dengan kurva standar bagaimana cara pembuatannya apa fungsinya dan bagaimana cara menggunakannya?

Kurva standar adalah standar dari sampel yang dapat digunakan sebagai acuan untuk sampel tersebut pada percobaan. Pembuatan kurva standar bertujuan untuk mengetahui hubungan antara konsentrasi larutan dengan nilai absorbansinya sehingga konsentrasi pada sampel dapat diketahui.