Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Peta Ranah Melayu purba, berlandaskan teori yang diterima umum, pusat Kerajaan Malayu dikaitkan dengan situs Muaro Jambi, muara sungai Batanghari, Jambi, Sumatera. Tetapi beragam negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditaklukan Sriwijaya pada kesudahan ratus tahun ke-7 Masehi, seperti Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.

Show

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國) adalah sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang merasakan naik turun ini mampu di dikenal dimulai pada ratus tahun ke-7 yang berpusat di Minanga, pada ratus tahun ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal ratus tahun ke 15 berpusat di Suruaso[1] atau Pagaruyung[2].

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang dinamakan sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682[3].

Penggunaan kata Melayu, telah dikenal sekitar tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[4]. Dan pengahabisan dalam kitab Hindu Purana pada 100 tahun Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi air.

Sumber Berita Cina

Berita tentang kerajaan Melayu selang lain dikenal dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Nasihat Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India 100 tahun Dinasti Tang)[5] dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya sebagai mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[6][7]

Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut[8]:

“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan ... ... Setelah semakin kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan sebagai berupaya bisa Sabdawidya. Sri Baginda sangat adil kepada saya. Dia menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan. Pengahabisan saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah ... ... Berlayar dari Kedah menuju utara semakin dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) ... ... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”

Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut[5]:

“Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Masa kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua ... ... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah anggaran sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan sampai Kanton dalam waktu sebulan.”

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha arus Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak diceritakan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.

Berita lain tentang kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 sebagai awal mulanya, namun setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu tidak hadir lagi mengirimkan utusan ke Cina.[9]

Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran selang Sriwijaya dan Kedah. Berlaku Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Nyaris semua mahir sejarah sepakat bahwa negeri Melayu bertempat di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu adalah hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[10].

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan kebanyakan merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, dia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena kawasan itu adalah dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya persangkaan tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu diamankan oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[9].

Dari keterangan Sisa dari pembakaran Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, mahir geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang menyalakan bahwa dia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatera[11][12].

Penaklukan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu adalah ekspedisi militer menaklukkan suatu kawasan. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data[3]

  1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
  2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa semakin dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Argumen ini berlandaskan dengan catatan I Tsing bahwa, pada masa berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu sedang menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah diduduki oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu adalah penguasa lalu lintas Selat Malaka masa itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka dialihkan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya[13][9].

Dari Minanga ke Dharmasraya

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan kerajaan Sriwijaya dampak agresi Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu pengahabisan muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang dinamakan dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu mengandung perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai agar membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang semakin dari satu ratus tahun pengahabisan, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut keadaan seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Dia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut pengahabisan ditaruh di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton dinamakan dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja mampu pula dinamakan sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri probabilitas mulia adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga diasumsikan sebagai raja Malayu, walaupun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Yang menarik di sini adalah kawasan kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah sampai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu gunanya, setelah Sriwijaya merasakan kekalahan, Malayu bangun kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kira-kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak mampu dikuatkan, dari catatan Cina [9] diceritakan bahwa pada tahun 1082 sedang hadir utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang sedang menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak dikenal dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai masa ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang semakin tua daripada prasasti Grahi.

Kawasan Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225[14] diceritakan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 kawasan bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), , Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, kawasan Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, kawasan Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada 100 tahun Dinasti Song sekitar tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya merasakan kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi sedang tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina sebagai menyebut Pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi sedang diasumsikan identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa masa itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi sedang mengirimkan utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang)[2].

Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao diceritakan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta mulia ke Cina yang masa itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta mulia tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan pengahabisan dilanjutkan pengiriman utusan pengahabisan tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar kawasan bawahan San-fo-tsi tersebut tidak hadir menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut adalah daftar yang dijajah kerajaan Dharmasraya, karena masa itu masa kejayaan Sriwijaya sudah kesudahannya.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap dipergunakan dalam berita Cina sebagai menyebut Pulau Sumatera secara umum, walaupun kerajaan yang berkuasa masa itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada ratus tahun ke-14, yaitu 100 tahun Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming sedang menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah masa itu Sriwijaya sedang hadir. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut keadaan negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan selang Singhasari dengan Dharmasraya.

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Sebagai memperkuat persahabatan selang Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Dia pengahabisan melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun hadir probabilitas lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini diterapkan sebagai menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Beberapa sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Masa itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Posisi ini adalah posisi tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini sebagai menunjukkan sekiranya dia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Ditaklukkan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di selang sekian banyak negeri yang dijajah Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra[15]. Namun interpretasi pokok yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini sedang kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit sebagai menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang bermanfaat membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[16]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini diasumsikannya identik dengan Adityawarman[17].

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah membantu Majapahit dalam melaksanakan beberapa penaklukan, Pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya[18] dan pengahabisan memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau)[19], dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[20]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja diterapkan sebagai mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming sedang dirujuk kepada Adityawarman, yang pengahabisan kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377[21]. Dan pengahabisan dari berita ini mampu dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada 100 tahun Adityawarman, dimana pada naskah tersebut hadir menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian balik Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[22].

Daftar Raja Melayu

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Referensi

  1. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  2. ^ a b Paul Michel Munoz, (2006), Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  3. ^ a b Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Perancis)
  4. ^ Berggren, J. Lennart and Jones, Alexander, (2000), Ptolemy's Geography: An Annotated Translation of the Theoretical Chapters, Princeton University Press, Princeton and Oxford, ISBN 0-691-01042-0.
  5. ^ a b O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  6. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  7. ^ Edouard Chavannes, (1894), Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  8. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  9. ^ a b c d Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS
  10. ^ R.Pitono Hardjowardojo, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Ratus tahun XIV, Bhratara, Djakarta
  11. ^ W.J. van der Meulen. "SUVARNADVIPA AND THE CHRYSE CHERSONESOS*". Diakses 4 February 2010. 
  12. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  13. ^ Meyer, Milton Walter (1997). Asia: a concise history. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 0-8476-8063-0. 
  14. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  15. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  16. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  17. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  18. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Lawas dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Kawasan Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi.
  19. ^ Casparis, J. G. de., , (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Kawasan Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi.
  20. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  21. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Kawasan Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi, hlm. 235-256.
  22. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.

Lihat Pula


edunitas.com


Page 2

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Peta Ranah Melayu purba, berlandaskan teori yang diterima umum, pusat Kerajaan Malayu dikaitkan dengan situs Muaro Jambi, muara sungai Batanghari, Jambi, Sumatera. Tetapi beragam negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditaklukan Sriwijaya pada kesudahan ratus tahun ke-7 Masehi, seperti Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國) adalah sebuah nama kerajaan yang hadir di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang merasakan naik turun ini bisa di dikenal dimulai pada ratus tahun ke-7 yang berpusat di Minanga, pada ratus tahun ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal ratus tahun ke 15 berpusat di Suruaso[1] atau Pagaruyung[2].

Kerajaan ini hadir di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang dinamakan sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awal mulanya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682[3].

Penggunaan kata Melayu, telah dikenal sekitar tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[4]. Dan pengahabisan dalam kitab Hindu Purana pada 100 tahun Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi air.

Sumber Berita Cina

Berita tentang kerajaan Melayu selang lain dikenal dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Nasihat Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India 100 tahun Dinasti Tang)[5] dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya sebagai mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[6][7]

Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut[8]:

“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan ... ... Setelah semakin kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan sebagai berupaya bisa Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Dia menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan. Pengahabisan saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah ... ... Berlayar dari Kedah menuju utara semakin dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) ... ... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”

Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut[5]:

“Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Masa kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua ... ... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah anggaran sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan sampai Kanton dalam kala sebulan.”

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha arus Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak diceritakan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.

Berita lain tentang kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 sebagai awal mulanya, namun setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu tidak hadir lagi mengirimkan utusan ke Cina.[9]

Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran selang Sriwijaya dan Kedah. Berlaku Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Nyaris semua mahir sejarah sepakat bahwa negeri Melayu bertempat di hulu sungai Batang Hari, karena pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu adalah hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[10].

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan kebanyakan merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, dia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu adalah dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya persangkaan tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu diamankan oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[9].

Dari keterangan Sisa dari pembakaran Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, mahir geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang mencetuskan bahwa dia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatera[11][12].

Penaklukan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu adalah ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data[3]

  1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
  2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa semakin dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Argumen ini berlandaskan dengan catatan I Tsing bahwa, pada masa berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu sedang menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu adalah penguasa lalu lintas Selat Malaka masa itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Karenanya sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka dialihkan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya[13][9].

Dari Minanga ke Dharmasraya

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan kerajaan Sriwijaya dampak agresi Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa kala pengahabisan muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang dinamakan dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu mengandung perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai agar membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang semakin dari satu ratus tahun pengahabisan, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut keadaan seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Dia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut pengahabisan ditaruh di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton dinamakan dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja bisa pula dinamakan sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan mulia adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun dapat juga diasumsikan sebagai raja Malayu, walaupun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah sampai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu gunanya, setelah Sriwijaya merasakan kekalahan, Malayu memainkan usaha kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kira-kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak bisa ditetapkan, dari catatan Cina [9] diceritakan bahwa pada tahun 1082 sedang hadir utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang sedang menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak dikenal dengan jelas apakah pimpinan kebangkitan tersebut adalah Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai masa ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang semakin tua daripada prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225[14] diceritakan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), , Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada 100 tahun Dinasti Song sekitar tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya merasakan kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi sedang tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina sebagai menyebut Pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi sedang diasumsikan identik dengan Sriwijaya, karenanya hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa masa itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, karenanya tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi sedang mengirimkan utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang)[2].

Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao diceritakan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta mulia ke Cina yang masa itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta mulia tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan pengahabisan dilanjutkan pengiriman utusan pengahabisan tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak hadir menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut adalah daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, karena masa itu masa kejayaan Sriwijaya sudah kesudahannya.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap dipergunakan dalam berita Cina sebagai menyebut Pulau Sumatera secara umum, walaupun kerajaan yang berkuasa masa itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada ratus tahun ke-14, yaitu 100 tahun Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming sedang menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah masa itu Sriwijaya sedang hadir. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut keadaan negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan selang Singhasari dengan Dharmasraya.

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Sebagai memperkuat persahabatan selang Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Dia pengahabisan melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun hadir kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah karena Raden Wijaya pada kala itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilaksanakan sebagai menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Beberapa sumber menyebut bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Masa itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Posisi ini adalah posisi tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini sebagai menunjukkan sekiranya dia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Ditaklukkan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di selang sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra[15]. Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang mesti menghaturkan upeti ini sedang kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit sebagai menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang berjasa menolong Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[16]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini diasumsikannya identik dengan Adityawarman[17].

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah menolong Majapahit dalam menerapkan beberapa penaklukan, Pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya[18] dan pengahabisan memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau)[19], dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[20]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilaksanakan sebagai mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming sedang dirujuk kepada Adityawarman, yang pengahabisan kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377[21]. Dan pengahabisan dari berita ini bisa dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada 100 tahun Adityawarman, dimana pada naskah tersebut hadir menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian balik Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[22].

Daftar Raja Melayu

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Referensi

  1. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  2. ^ a b Paul Michel Munoz, (2006), Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  3. ^ a b Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Perancis)
  4. ^ Berggren, J. Lennart and Jones, Alexander, (2000), Ptolemy's Geography: An Annotated Translation of the Theoretical Chapters, Princeton University Press, Princeton and Oxford, ISBN 0-691-01042-0.
  5. ^ a b O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  6. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  7. ^ Edouard Chavannes, (1894), Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  8. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  9. ^ a b c d Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS
  10. ^ R.Pitono Hardjowardojo, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Ratus tahun XIV, Bhratara, Djakarta
  11. ^ W.J. van der Meulen. "SUVARNADVIPA AND THE CHRYSE CHERSONESOS*". Diakses 4 February 2010. 
  12. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  13. ^ Meyer, Milton Walter (1997). Asia: a concise history. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 0-8476-8063-0. 
  14. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  15. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  16. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  17. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  18. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Lawas dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi.
  19. ^ Casparis, J. G. de., , (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi.
  20. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  21. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi, hlm. 235-256.
  22. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.

Lihat Pula


edunitas.com


Page 3

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Peta Ranah Melayu purba, berlandaskan teori yang diterima umum, pusat Kerajaan Malayu dikaitkan dengan situs Muaro Jambi, muara sungai Batanghari, Jambi, Sumatera. Tetapi beragam negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditaklukan Sriwijaya pada kesudahan ratus tahun ke-7 Masehi, seperti Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國) adalah sebuah nama kerajaan yang hadir di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang merasakan naik turun ini bisa di dikenal dimulai pada ratus tahun ke-7 yang berpusat di Minanga, pada ratus tahun ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal ratus tahun ke 15 berpusat di Suruaso[1] atau Pagaruyung[2].

Kerajaan ini hadir di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang dinamakan sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awal mulanya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682[3].

Penggunaan kata Melayu, telah dikenal sekitar tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[4]. Dan pengahabisan dalam kitab Hindu Purana pada 100 tahun Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi air.

Sumber Berita Cina

Berita tentang kerajaan Melayu selang lain dikenal dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Nasihat Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India 100 tahun Dinasti Tang)[5] dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya sebagai mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[6][7]

Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut[8]:

“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan ... ... Setelah semakin kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan sebagai berupaya bisa Sabdawidya. Sri Baginda sangat baik kepada saya. Dia menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan. Pengahabisan saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah ... ... Berlayar dari Kedah menuju utara semakin dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) ... ... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”

Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut[5]:

“Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Masa kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua ... ... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah anggaran sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan sampai Kanton dalam kala sebulan.”

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha arus Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak diceritakan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.

Berita lain tentang kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 sebagai awal mulanya, namun setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu tidak hadir lagi mengirimkan utusan ke Cina.[9]

Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran selang Sriwijaya dan Kedah. Berlaku Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Nyaris semua mahir sejarah sepakat bahwa negeri Melayu bertempat di hulu sungai Batang Hari, karena pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu adalah hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[10].

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan kebanyakan merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, dia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena daerah itu adalah dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya persangkaan tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu diamankan oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[9].

Dari keterangan Sisa dari pembakaran Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, mahir geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang mencetuskan bahwa dia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatera[11][12].

Penaklukan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu adalah ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data[3]

  1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
  2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa semakin dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Argumen ini berlandaskan dengan catatan I Tsing bahwa, pada masa berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu sedang menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu adalah penguasa lalu lintas Selat Malaka masa itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Karenanya sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka dialihkan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya[13][9].

Dari Minanga ke Dharmasraya

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan kerajaan Sriwijaya dampak agresi Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa kala pengahabisan muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang dinamakan dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu mengandung perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai agar membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang semakin dari satu ratus tahun pengahabisan, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut keadaan seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Dia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut pengahabisan ditaruh di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton dinamakan dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja bisa pula dinamakan sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan mulia adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun dapat juga diasumsikan sebagai raja Malayu, walaupun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Yang menarik di sini adalah daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah sampai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu gunanya, setelah Sriwijaya merasakan kekalahan, Malayu memainkan usaha kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kira-kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak bisa ditetapkan, dari catatan Cina [9] diceritakan bahwa pada tahun 1082 sedang hadir utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang sedang menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak dikenal dengan jelas apakah pimpinan kebangkitan tersebut adalah Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai masa ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang semakin tua daripada prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225[14] diceritakan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), , Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada 100 tahun Dinasti Song sekitar tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya merasakan kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi sedang tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina sebagai menyebut Pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi sedang diasumsikan identik dengan Sriwijaya, karenanya hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa masa itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, karenanya tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi sedang mengirimkan utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang)[2].

Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao diceritakan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta mulia ke Cina yang masa itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta mulia tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan pengahabisan dilanjutkan pengiriman utusan pengahabisan tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak hadir menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut adalah daftar jajahan kerajaan Dharmasraya, karena masa itu masa kejayaan Sriwijaya sudah kesudahannya.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap dipergunakan dalam berita Cina sebagai menyebut Pulau Sumatera secara umum, walaupun kerajaan yang berkuasa masa itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada ratus tahun ke-14, yaitu 100 tahun Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming sedang menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah masa itu Sriwijaya sedang hadir. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut keadaan negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan selang Singhasari dengan Dharmasraya.

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Sebagai memperkuat persahabatan selang Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Dia pengahabisan melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun hadir kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah karena Raden Wijaya pada kala itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilaksanakan sebagai menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Beberapa sumber menyebut bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Masa itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Posisi ini adalah posisi tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini sebagai menunjukkan sekiranya dia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Ditaklukkan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di selang sekian banyak negeri jajahan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra[15]. Namun interpretasi isi yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang mesti menghaturkan upeti ini sedang kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit sebagai menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang berjasa menolong Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[16]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini diasumsikannya identik dengan Adityawarman[17].

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah menolong Majapahit dalam menerapkan beberapa penaklukan, Pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya[18] dan pengahabisan memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau)[19], dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[20]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilaksanakan sebagai mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming sedang dirujuk kepada Adityawarman, yang pengahabisan kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377[21]. Dan pengahabisan dari berita ini bisa dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada 100 tahun Adityawarman, dimana pada naskah tersebut hadir menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian balik Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[22].

Daftar Raja Melayu

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Referensi

  1. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  2. ^ a b Paul Michel Munoz, (2006), Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  3. ^ a b Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Perancis)
  4. ^ Berggren, J. Lennart and Jones, Alexander, (2000), Ptolemy's Geography: An Annotated Translation of the Theoretical Chapters, Princeton University Press, Princeton and Oxford, ISBN 0-691-01042-0.
  5. ^ a b O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  6. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  7. ^ Edouard Chavannes, (1894), Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  8. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  9. ^ a b c d Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS
  10. ^ R.Pitono Hardjowardojo, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Ratus tahun XIV, Bhratara, Djakarta
  11. ^ W.J. van der Meulen. "SUVARNADVIPA AND THE CHRYSE CHERSONESOS*". Diakses 4 February 2010. 
  12. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  13. ^ Meyer, Milton Walter (1997). Asia: a concise history. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 0-8476-8063-0. 
  14. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  15. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  16. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  17. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  18. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Lawas dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi.
  19. ^ Casparis, J. G. de., , (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi.
  20. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  21. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi, hlm. 235-256.
  22. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.

Lihat Pula


edunitas.com


Page 4

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Peta Ranah Melayu purba, berlandaskan teori yang diterima umum, pusat Kerajaan Malayu dikaitkan dengan situs Muaro Jambi, muara sungai Batanghari, Jambi, Sumatera. Tetapi beragam negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditaklukan Sriwijaya pada kesudahan ratus tahun ke-7 Masehi, seperti Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國) adalah sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang merasakan naik turun ini mampu di dikenal dimulai pada ratus tahun ke-7 yang berpusat di Minanga, pada ratus tahun ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal ratus tahun ke 15 berpusat di Suruaso[1] atau Pagaruyung[2].

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang dinamakan sebagai pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682[3].

Penggunaan kata Melayu, telah dikenal sekitar tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[4]. Dan pengahabisan dalam kitab Hindu Purana pada 100 tahun Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi air.

Sumber Berita Cina

Berita tentang kerajaan Melayu selang lain dikenal dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Nasihat Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut ilmu di India 100 tahun Dinasti Tang)[5] dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya sebagai mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[6][7]

Kisah pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 diceritakannya sendiri, dengan terjemahan sebagai berikut[8]:

“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan ... ... Setelah semakin kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana saya berdiam selama enam bulan sebagai berupaya bisa Sabdawidya. Sri Baginda sangat adil kepada saya. Dia menolong mengirimkan saya ke negeri Malayu, di mana saya singgah selama dua bulan. Pengahabisan saya kembali meneruskan pelayaran ke Kedah ... ... Berlayar dari Kedah menuju utara semakin dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) ... ... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”

Perjalanan pulang dari India tahun 685 diceritakan oleh I-tsing sebagai berikut[5]:

“Tamralipti adalah tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Masa kapal tiba adalah bulan pertama atau kedua ... ... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah anggaran sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi bagian Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan sampai Kanton dalam waktu sebulan.”

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha arus Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak diceritakan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.

Berita lain tentang kerajaan Melayu berasal dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 sebagai awal mulanya, namun setelah munculnya Sriwijaya sekitar 670, kerajaan Melayu tidak hadir lagi mengirimkan utusan ke Cina.[9]

Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran selang Sriwijaya dan Kedah. Berlaku Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Nyaris semua mahir sejarah sepakat bahwa negeri Melayu bertempat di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu adalah hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[10].

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu berasal dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan kebanyakan merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh karena itu, dia tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, karena kawasan itu adalah dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya persangkaan tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu diamankan oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[9].

Dari keterangan Sisa dari pembakaran Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, mahir geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang menyalakan bahwa dia mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatera[11][12].

Penaklukan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh karena Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu adalah ekspedisi militer menaklukkan suatu kawasan. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data[3]

  1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
  2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa semakin dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Argumen ini berlandaskan dengan catatan I Tsing bahwa, pada masa berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu sedang menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah diduduki oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu adalah penguasa lalu lintas Selat Malaka masa itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka dialihkan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya[13][9].

Dari Minanga ke Dharmasraya

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan kerajaan Sriwijaya dampak agresi Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu pengahabisan muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang dinamakan dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli adalah Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu mengandung perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai agar membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang semakin dari satu ratus tahun pengahabisan, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini menyebut keadaan seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Dia mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut pengahabisan ditaruh di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton dinamakan dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja mampu pula dinamakan sebagai raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri probabilitas mulia adalah keturunan dari Trailokyaraja. Oleh karena itu, Trailokyaraja pun bisa juga diasumsikan sebagai raja Malayu, walaupun prasasti Grahi tidak menyebutnya dengan jelas.

Yang menarik di sini adalah kawasan kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah sampai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu gunanya, setelah Sriwijaya merasakan kekalahan, Malayu bangun kembali sebagai penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kira-kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak mampu dikuatkan, dari catatan Cina [9] diceritakan bahwa pada tahun 1082 sedang hadir utusan dari Chen-pi (Jambi) sebagai bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang sedang menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman berasal dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak dikenal dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut adalah Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, karena sampai masa ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang semakin tua daripada prasasti Grahi.

Kawasan Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225[14] diceritakan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 kawasan bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), , Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, kawasan Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, kawasan Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada 100 tahun Dinasti Song sekitar tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya merasakan kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi sedang tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina sebagai menyebut Pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi sedang diasumsikan identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa masa itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Karena Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi sedang mengirimkan utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang)[2].

Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao diceritakan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta mulia ke Cina yang masa itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta mulia tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan pengahabisan dilanjutkan pengiriman utusan pengahabisan tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar kawasan bawahan San-fo-tsi tersebut tidak hadir menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut adalah daftar yang dijajah kerajaan Dharmasraya, karena masa itu masa kejayaan Sriwijaya sudah kesudahannya.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap dipergunakan dalam berita Cina sebagai menyebut Pulau Sumatera secara umum, walaupun kerajaan yang berkuasa masa itu adalah Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada ratus tahun ke-14, yaitu 100 tahun Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming sedang menggunakan istilah San-fo-tsi, seolah-olah masa itu Sriwijaya sedang hadir. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah menyebut keadaan negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenal dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sebagai tanda persahabatan selang Singhasari dengan Dharmasraya.

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Sebagai memperkuat persahabatan selang Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Dia pengahabisan melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun hadir probabilitas lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sebagai istri, karena hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri semua anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini diterapkan sebagai menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Beberapa sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Masa itu Adwayabrahma menjabat sebagai Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Posisi ini adalah posisi tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton adalah tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri nantinya menggunakan gelar Mauli Warmadewa. Hal ini sebagai menunjukkan sekiranya dia adalah keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Ditaklukkan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 menyebut Dharmasraya sebagai salah satu di selang sekian banyak negeri yang dijajah Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra[15]. Namun interpretasi pokok yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang harus menghaturkan upeti ini sedang kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sebagai uparaja atau raja bawahan Majapahit sebagai menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan menyebut nama Arya Damar sebagai Bupati Palembang yang bermanfaat membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[16]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini diasumsikannya identik dengan Adityawarman[17].

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah membantu Majapahit dalam melaksanakan beberapa penaklukan, Pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347 memproklamirkan dirinya sebagai pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya[18] dan pengahabisan memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau)[19], dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[20]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat dia menggabungan beberapa nama yang pernah dikenal sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja diterapkan sebagai mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka adalah Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada masa Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sebagai duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada masa Dinasti Ming sedang dirujuk kepada Adityawarman, yang pengahabisan kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377[21]. Dan pengahabisan dari berita ini mampu dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada 100 tahun Adityawarman, dimana pada naskah tersebut hadir menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian balik Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[22].

Daftar Raja Melayu

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Referensi

  1. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  2. ^ a b Paul Michel Munoz, (2006), Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  3. ^ a b Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Perancis)
  4. ^ Berggren, J. Lennart and Jones, Alexander, (2000), Ptolemy's Geography: An Annotated Translation of the Theoretical Chapters, Princeton University Press, Princeton and Oxford, ISBN 0-691-01042-0.
  5. ^ a b O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  6. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  7. ^ Edouard Chavannes, (1894), Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  8. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  9. ^ a b c d Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS
  10. ^ R.Pitono Hardjowardojo, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Ratus tahun XIV, Bhratara, Djakarta
  11. ^ W.J. van der Meulen. "SUVARNADVIPA AND THE CHRYSE CHERSONESOS*". Diakses 4 February 2010. 
  12. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  13. ^ Meyer, Milton Walter (1997). Asia: a concise history. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 0-8476-8063-0. 
  14. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  15. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  16. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  17. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  18. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Masa Kerajaan Melayu Lawas dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Kawasan Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi.
  19. ^ Casparis, J. G. de., , (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Kawasan Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi.
  20. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  21. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Kawasan Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Norma budaya istiadat Jambi, hlm. 235-256.
  22. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.

Lihat Pula


edunitas.com


Page 5


Page 6


Page 7

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Peta Ranah Melayu purba, berdasarkan teori yang diterima umum, pusat Kerajaan Malayu dikaitkan dengan situs Muaro Jambi, muara sungai Batanghari, Jambi, Sumatera. Tetapi bermacam negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditaklukan Sriwijaya pada penghabisan zaman ke-7 Masehi, seperti Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國) merupakan sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat di dikenali dimulai pada zaman ke-7 yang berpusat di Minanga, pada zaman ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal zaman ke 15 berpusat di Suruaso[1] atau Pagaruyung[2].

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang dikata sbg pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya memiliki kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682[3].

Penggunaan kata Melayu, telah dikenali lebih kurang tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[4]. Dan yang belakang sekali dalam kitab Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi cairan.

Sumber Berita Cina

Berita tentang kerajaan Melayu ditengahnya dikenali dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Nasihat Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut pengetahuan di India zaman Dinasti Tang)[5] dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya bagi mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[6][7]

Tuturan pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 dituturkannya sendiri, dengan terjemahan sbg berikut[8]:

“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan ....... ..... Sesudah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana aku berdiam selama enam bulan bagi berlatih Sabdawidya. Sri Baginda paling tidak sewenang-wenang kepada aku. Beliau membantu mengirimkan aku ke negeri Malayu, di mana aku singgah selama dua bulan. Yang belakang sekali aku kembali meneruskan pelayaran ke Kedah ....... ..... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) ....... ..... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”

Perjalanan pulang dari India tahun 685 dituturkan oleh I-tsing sbg berikut[5]:

“Tamralipti yaitu tempat kami naik kapal bila akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba yaitu bulan pertama atau kedua ....... ..... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Sesudah agak sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi anggota Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha arus Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak dituturkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.

Berita lain tentang kerajaan Melayu bermula dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 bagi awalnya, namun sesudah munculnya Sriwijaya lebih kurang 670, kerajaan Melayu tidak mempunyai lagi mengirimkan utusan ke Cina.[9]

Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran selang Sriwijaya dan Kedah. Sah Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir seluruh pandai sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[10].

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu bermula dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh sebab itu, beliau tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, sebab daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya persangkaan tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[9].

Dari keterangan Sisa dari pembakaran Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, pandai geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang mencetuskan bahwa beliau mengunjungi sebuah negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatera[11][12].

Penaklukan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh sebab Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu yaitu ekspedisi militer menaklukkan sebuah daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data[3]

  1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
  2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Gagasan ini berdasarkan dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu sedang menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka digantikan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya[13][9].

Dari Minanga ke Dharmasraya

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan kerajaan Sriwijaya akhir suatu peristiwa serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu yang belakang sekali muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang dikata dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli yaitu Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu mempunyai isinya perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu zaman yang belakang sekali, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini mengatakan mempunyainya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Beliau mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut yang belakang sekali diletakkan di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton dikata dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula dikata sbg raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan akbar yaitu keturunan dari Trailokyaraja. Oleh sebab itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sbg raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak mengatakannya dengan jelas.

Yang menarik di sini yaitu daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu manfaatnya, sesudah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu wujud kembali sbg penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat diputuskan, dari catatan Cina [9] dituturkan bahwa pada tahun 1082 sedang mempunyai utusan dari Chen-pi (Jambi) sbg bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang sedang menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman bermula dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak dikenali dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut yaitu Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, sebab sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225[14] dituturkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), , Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Song lebih kurang tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi sedang tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina bagi mengatakan Pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi sedang dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Sebab Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi sedang mengirimkan utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang)[2].

Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao dituturkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta akbar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta akbar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan yang belakang sekali dilanjutkan pengiriman utusan yang belakang sekali tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak mempunyai menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar taklukan kerajaan Dharmasraya, sebab saat itu saat kejayaan Sriwijaya sudah habis.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap dipergunakan dalam berita Cina bagi mengatakan Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu yaitu Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada zaman ke-14, yaitu zaman Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming sedang memakai istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya sedang mempunyai. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah mengatakan mempunyainya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenali dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sbg tanda persahabatan selang Singhasari dengan Dharmasraya.

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Bagi memperkuat persahabatan selang Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Beliau yang belakang sekali melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun mempunyai kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sbg istri, sebab hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri seluruh anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan bagi menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan sesudah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sbg Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Posisi ini merupakan posisi tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton yaitu tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri nantinya memakai gelar Mauli Warmadewa. Hal ini bagi menunjukkan seandainya beliau yaitu keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Ditaklukkan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 mengatakan Dharmasraya sbg salah satu di selang sekian jumlah negeri taklukan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra[15]. Namun interpretasi inti yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang mesti menghaturkan upeti ini sedang kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sbg uparaja atau raja bawahan Majapahit bagi menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan mengatakan nama Arya Damar sbg Bupati Palembang yang berbuat jasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[16]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman[17].

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Sesudah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, Pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347 memproklamirkan dirinya sbg pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya[18] dan yang belakang sekali memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau)[19], dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[20]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat beliau menggabungan beberapa nama yang pernah dikenali sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan bagi mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka yaitu Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada saat Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sbg duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada saat Dinasti Ming sedang dirujuk kepada Adityawarman, yang yang belakang sekali kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377[21]. Dan yang belakang sekali dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman, dimana pada naskah tersebut mempunyai menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Bila dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[22].

Daftar Raja Melayu

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Rujukan

  1. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  2. ^ a b Paul Michel Munoz, (2006), Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  3. ^ a b Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Perancis)
  4. ^ Berggren, J. Lennart and Jones, Alexander, (2000), Ptolemy's Geography: An Annotated Translation of the Theoretical Chapters, Princeton University Press, Princeton and Oxford, ISBN 0-691-01042-0.
  5. ^ a b O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  6. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  7. ^ Edouard Chavannes, (1894), Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  8. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  9. ^ a b c d Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS
  10. ^ R.Pitono Hardjowardojo, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Zaman XIV, Bhratara, Djakarta
  11. ^ W.J. van der Meulen. "SUVARNADVIPA AND THE CHRYSE CHERSONESOS*". Diakses 4 February 2010. 
  12. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  13. ^ Meyer, Milton Walter (1997). Asia: a concise history. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 0-8476-8063-0. 
  14. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  15. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  16. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  17. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  18. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Saat Kerajaan Melayu Lawas dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi.
  19. ^ Casparis, J. G. de., , (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi.
  20. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  21. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi, hlm. 235-256.
  22. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.

Lihat Pula


edunitas.com


Page 8

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Peta Ranah Melayu purba, berdasarkan teori yang diterima umum, pusat Kerajaan Malayu dikaitkan dengan situs Muaro Jambi, muara sungai Batanghari, Jambi, Sumatera. Tetapi bermacam negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditaklukan Sriwijaya pada penghabisan zaman ke-7 Masehi, seperti Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國) merupakan sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat di dikenali dimulai pada zaman ke-7 yang berpusat di Minanga, pada zaman ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal zaman ke 15 berpusat di Suruaso[1] atau Pagaruyung[2].

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang dikata sbg pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682[3].

Penggunaan kata Melayu, telah dikenali lebih kurang tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[4]. Dan yang belakang sekali dalam kitab Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi cairan.

Sumber Berita Cina

Berita tentang kerajaan Melayu ditengahnya dikenali dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Nasihat Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut pengetahuan di India zaman Dinasti Tang)[5] dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[6][7]

Tuturan pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 dinyatakannya sendiri, dengan terjemahan sbg berikut[8]:

“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan ....... ..... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana aku berdiam selama enam bulan untuk berlatih Sabdawidya. Sri Baginda paling tidak sewenang-wenang kepada aku. Beliau membantu mengirimkan aku ke negeri Malayu, di mana aku singgah selama dua bulan. Yang belakang sekali aku kembali meneruskan pelayaran ke Kedah ....... ..... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) ....... ..... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”

Perjalanan pulang dari India tahun 685 dinyatakan oleh I-tsing sbg berikut[5]:

“Tamralipti yaitu tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba yaitu bulan pertama atau kedua ....... ..... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah lebih kurang sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi anggota Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha arus Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak dituturkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.

Berita lain mengenai kerajaan Melayu bermula dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk awal mulanya, namun setelah munculnya Sriwijaya lebih kurang 670, kerajaan Melayu tidak mempunyai lagi mengirimkan utusan ke Cina.[9]

Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran selang Sriwijaya dan Kedah. Sah Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir seluruh pandai sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[10].

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu bermula dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh sebab itu, beliau tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, sebab daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya persangkaan tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[9].

Dari keterangan Sisa dari pembakaran Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, pandai geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang mencetuskan bahwa beliau mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatera[11][12].

Penaklukan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh sebab Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu yaitu ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data[3]

  1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
  2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Gagasan ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu sedang menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka digantikan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya[13][9].

Dari Minanga ke Dharmasraya

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan kerajaan Sriwijaya akhir suatu peristiwa serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu yang belakang sekali muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang dikata dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli yaitu Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu mempunyai isinya perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu zaman yang belakang sekali, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini mengatakan mempunyainya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Beliau mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut yang belakang sekali ditaruh di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton dikata dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula dikata sbg raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan akbar yaitu keturunan dari Trailokyaraja. Oleh sebab itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sbg raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak mengatakannya dengan jelas.

Yang menarik di sini yaitu daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu manfaatnya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sbg penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat ditetapkan, dari catatan Cina [9] dituturkan bahwa pada tahun 1082 sedang mempunyai utusan dari Chen-pi (Jambi) sbg bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang sedang menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman bermula dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak dikenali dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut yaitu Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, sebab sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225[14] dituturkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), , Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Song lebih kurang tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi sedang tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk mengatakan Pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi sedang dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Sebab Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi sedang mengirimkan utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang)[2].

Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao dituturkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta akbar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta akbar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan yang belakang sekali dilanjutkan pengiriman utusan yang belakang sekali tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak mempunyai menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar taklukan kerajaan Dharmasraya, sebab saat itu saat kejayaan Sriwijaya sudah habis.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap dipergunakan dalam berita Cina untuk mengatakan Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu yaitu Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada zaman ke-14, yaitu zaman Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming sedang memakai istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya sedang mempunyai. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah mengatakan mempunyainya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenali dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sbg tanda persahabatan selang Singhasari dengan Dharmasraya.

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan selang Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Beliau yang belakang sekali melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun mempunyai kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sbg istri, sebab hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri seluruh anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sbg Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Posisi ini merupakan posisi tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton yaitu tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri nantinya memakai gelar Mauli Warmadewa. Hal ini untuk menunjukkan seandainya beliau yaitu keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Ditaklukkan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 mengatakan Dharmasraya sbg salah satu di selang sekian jumlah negeri taklukan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra[15]. Namun interpretasi inti yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang mesti menghaturkan upeti ini sedang kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sbg uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan mengatakan nama Arya Damar sbg Bupati Palembang yang berbuat jasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[16]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman[17].

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, Pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347 memproklamirkan dirinya sbg pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya[18] dan yang belakang sekali memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau)[19], dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[20]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat beliau menggabungan beberapa nama yang pernah dikenali sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka yaitu Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada saat Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sbg duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada saat Dinasti Ming sedang dirujuk kepada Adityawarman, yang yang belakang sekali kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377[21]. Dan yang belakang sekali dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman, dimana pada naskah tersebut mempunyai menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[22].

Daftar Raja Melayu

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Rujukan

  1. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  2. ^ a b Paul Michel Munoz, (2006), Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  3. ^ a b Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Perancis)
  4. ^ Berggren, J. Lennart and Jones, Alexander, (2000), Ptolemy's Geography: An Annotated Translation of the Theoretical Chapters, Princeton University Press, Princeton and Oxford, ISBN 0-691-01042-0.
  5. ^ a b O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  6. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  7. ^ Edouard Chavannes, (1894), Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  8. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  9. ^ a b c d Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS
  10. ^ R.Pitono Hardjowardojo, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Zaman XIV, Bhratara, Djakarta
  11. ^ W.J. van der Meulen. "SUVARNADVIPA AND THE CHRYSE CHERSONESOS*". Diakses 4 February 2010. 
  12. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  13. ^ Meyer, Milton Walter (1997). Asia: a concise history. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 0-8476-8063-0. 
  14. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  15. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  16. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  17. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  18. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Saat Kerajaan Melayu Lawas dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi.
  19. ^ Casparis, J. G. de., , (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi.
  20. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  21. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi, hlm. 235-256.
  22. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.

Lihat Pula


edunitas.com


Page 9

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Peta Ranah Melayu purba, berdasarkan teori yang diterima umum, pusat Kerajaan Malayu dikaitkan dengan situs Muaro Jambi, muara sungai Batanghari, Jambi, Sumatera. Tetapi bermacam negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditaklukan Sriwijaya pada penghabisan zaman ke-7 Masehi, seperti Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國) merupakan sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat di dikenali dimulai pada zaman ke-7 yang berpusat di Minanga, pada zaman ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal zaman ke 15 berpusat di Suruaso[1] atau Pagaruyung[2].

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang dikata sbg pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya mempunyai kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682[3].

Penggunaan kata Melayu, telah dikenali lebih kurang tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[4]. Dan yang belakang sekali dalam kitab Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi cairan.

Sumber Berita Cina

Berita tentang kerajaan Melayu ditengahnya dikenali dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Nasihat Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut pengetahuan di India zaman Dinasti Tang)[5] dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya untuk mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[6][7]

Tuturan pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 dinyatakannya sendiri, dengan terjemahan sbg berikut[8]:

“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan ....... ..... Setelah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana aku berdiam selama enam bulan untuk berlatih Sabdawidya. Sri Baginda paling tidak sewenang-wenang kepada aku. Beliau membantu mengirimkan aku ke negeri Malayu, di mana aku singgah selama dua bulan. Yang belakang sekali aku kembali meneruskan pelayaran ke Kedah ....... ..... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) ....... ..... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”

Perjalanan pulang dari India tahun 685 dinyatakan oleh I-tsing sbg berikut[5]:

“Tamralipti yaitu tempat kami naik kapal jika akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba yaitu bulan pertama atau kedua ....... ..... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Setelah lebih kurang sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi anggota Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha arus Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak dituturkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.

Berita lain mengenai kerajaan Melayu bermula dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 untuk awal mulanya, namun setelah munculnya Sriwijaya lebih kurang 670, kerajaan Melayu tidak mempunyai lagi mengirimkan utusan ke Cina.[9]

Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran selang Sriwijaya dan Kedah. Sah Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir seluruh pandai sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[10].

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu bermula dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh sebab itu, beliau tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, sebab daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya persangkaan tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[9].

Dari keterangan Sisa dari pembakaran Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, pandai geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang mencetuskan bahwa beliau mengunjungi suatu negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatera[11][12].

Penaklukan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh sebab Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu yaitu ekspedisi militer menaklukkan suatu daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data[3]

  1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
  2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Gagasan ini sesuai dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu sedang menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka digantikan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya[13][9].

Dari Minanga ke Dharmasraya

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan kerajaan Sriwijaya akhir suatu peristiwa serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu yang belakang sekali muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang dikata dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli yaitu Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu mempunyai isinya perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu zaman yang belakang sekali, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini mengatakan mempunyainya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Beliau mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut yang belakang sekali ditaruh di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton dikata dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula dikata sbg raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan akbar yaitu keturunan dari Trailokyaraja. Oleh sebab itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sbg raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak mengatakannya dengan jelas.

Yang menarik di sini yaitu daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu manfaatnya, setelah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu bangkit kembali sbg penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat ditetapkan, dari catatan Cina [9] dituturkan bahwa pada tahun 1082 sedang mempunyai utusan dari Chen-pi (Jambi) sbg bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang sedang menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman bermula dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak dikenali dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut yaitu Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, sebab sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225[14] dituturkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), , Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Song lebih kurang tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi sedang tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina untuk mengatakan Pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi sedang dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Sebab Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi sedang mengirimkan utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang)[2].

Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao dituturkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta akbar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta akbar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan yang belakang sekali dilanjutkan pengiriman utusan yang belakang sekali tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak mempunyai menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar taklukan kerajaan Dharmasraya, sebab saat itu saat kejayaan Sriwijaya sudah habis.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap dipergunakan dalam berita Cina untuk mengatakan Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu yaitu Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada zaman ke-14, yaitu zaman Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming sedang memakai istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya sedang mempunyai. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah mengatakan mempunyainya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenali dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sbg tanda persahabatan selang Singhasari dengan Dharmasraya.

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Untuk memperkuat persahabatan selang Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Beliau yang belakang sekali melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun mempunyai kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sbg istri, sebab hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri seluruh anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan untuk menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan setelah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sbg Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Posisi ini merupakan posisi tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton yaitu tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri nantinya memakai gelar Mauli Warmadewa. Hal ini untuk menunjukkan seandainya beliau yaitu keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Ditaklukkan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 mengatakan Dharmasraya sbg salah satu di selang sekian jumlah negeri taklukan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra[15]. Namun interpretasi inti yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang mesti menghaturkan upeti ini sedang kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sbg uparaja atau raja bawahan Majapahit untuk menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan mengatakan nama Arya Damar sbg Bupati Palembang yang berbuat jasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[16]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman[17].

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Setelah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, Pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347 memproklamirkan dirinya sbg pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya[18] dan yang belakang sekali memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau)[19], dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[20]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat beliau menggabungan beberapa nama yang pernah dikenali sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan untuk mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka yaitu Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada saat Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sbg duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada saat Dinasti Ming sedang dirujuk kepada Adityawarman, yang yang belakang sekali kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377[21]. Dan yang belakang sekali dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman, dimana pada naskah tersebut mempunyai menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Jika dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[22].

Daftar Raja Melayu

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Rujukan

  1. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  2. ^ a b Paul Michel Munoz, (2006), Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  3. ^ a b Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Perancis)
  4. ^ Berggren, J. Lennart and Jones, Alexander, (2000), Ptolemy's Geography: An Annotated Translation of the Theoretical Chapters, Princeton University Press, Princeton and Oxford, ISBN 0-691-01042-0.
  5. ^ a b O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  6. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  7. ^ Edouard Chavannes, (1894), Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  8. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  9. ^ a b c d Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS
  10. ^ R.Pitono Hardjowardojo, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Zaman XIV, Bhratara, Djakarta
  11. ^ W.J. van der Meulen. "SUVARNADVIPA AND THE CHRYSE CHERSONESOS*". Diakses 4 February 2010. 
  12. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  13. ^ Meyer, Milton Walter (1997). Asia: a concise history. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 0-8476-8063-0. 
  14. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  15. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  16. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  17. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  18. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Saat Kerajaan Melayu Lawas dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi.
  19. ^ Casparis, J. G. de., , (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi.
  20. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  21. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi, hlm. 235-256.
  22. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.

Lihat Pula


edunitas.com


Page 10

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Peta Ranah Melayu purba, berdasarkan teori yang diterima umum, pusat Kerajaan Malayu dikaitkan dengan situs Muaro Jambi, muara sungai Batanghari, Jambi, Sumatera. Tetapi bermacam negeri (kadatuan) Melayu lainnya pun bersemi sebelum ditaklukan Sriwijaya pada penghabisan zaman ke-7 Masehi, seperti Kerajaan Langkasuka, Pan Pan dan Panai.

Kerajaan Melayu atau dalam bahasa Tionghoa ditulis Ma-La-Yu (末羅瑜國) merupakan sebuah nama kerajaan yang berada di Pulau Sumatera. Dari bukti dan keterangan yang disimpulkan dari prasasti dan berita dari Cina, keberadaan kerajaan yang mengalami naik turun ini dapat di dikenali dimulai pada zaman ke-7 yang berpusat di Minanga, pada zaman ke-13 yang berpusat di Dharmasraya dan diawal zaman ke 15 berpusat di Suruaso[1] atau Pagaruyung[2].

Kerajaan ini berada di pulau Swarnadwipa atau Swarnabumi (Thai:Sovannophum) yang oleh para pendatang dikata sbg pulau emas yang memiliki tambang emas, dan pada awalnya memiliki kemampuan dalam mengontrol perdagangan di Selat Melaka sebelum direbut oleh Kerajaan Sriwijaya (Thai:Sevichai) pada tahun 682[3].

Penggunaan kata Melayu, telah dikenali lebih kurang tahun 100-150 seperti yang tersebut dalam buku Geographike Sintaxis karya Ptolemy yang menyebutkan maleu-kolon[4]. Dan yang belakang sekali dalam kitab Hindu Purana pada zaman Gautama Buddha terdapat istilah Malaya dvipa yang bermaksud tanah yang dikelilingi cairan.

Sumber Berita Cina

Berita tentang kerajaan Melayu ditengahnya dikenali dari dua buah buku karya Pendeta I Tsing atau I Ching (義淨; pinyin Yì Jìng) (634-713), yang termasyhur yaitu Nan-hai Chi-kuei Nei-fa Chuan (Catatan Nasihat Buddha yang dikirimkan dari Laut Selatan) serta Ta-T’ang Hsi-yu Ch’iu-fa Kao-seng Chuan (Catatan Pendeta-pendeta yang menuntut pengetahuan di India zaman Dinasti Tang)[5] dalam pelayarannya dari Cina ke India tahun 671, singgah di Sriwijaya enam bulan lamanya bagi mempelajari Sabdawidya, dan menerjemahkan naskah-naskah Buddha dari bahasa Sanskerta ke bahasa Tionghoa.[6][7]

Tuturan pelayaran I-tsing dari Kanton tahun 671 dituturkannya sendiri, dengan terjemahan sbg berikut[8]:

“Ketika angin timur laut mulai bertiup, kami berlayar meninggalkan Kanton menuju selatan ....... ..... Sesudah lebih kurang dua puluh hari berlayar, kami sampai di negeri Sriwijaya. Di sana aku berdiam selama enam bulan bagi berlatih Sabdawidya. Sri Baginda paling tidak sewenang-wenang kepada aku. Beliau membantu mengirimkan aku ke negeri Malayu, di mana aku singgah selama dua bulan. Yang belakang sekali aku kembali meneruskan pelayaran ke Kedah ....... ..... Berlayar dari Kedah menuju utara lebih dari sepuluh hari, kami sampai di Kepulauan Orang Telanjang (Nikobar) ....... ..... Dari sini berlayar ke arah barat laut selama setengah bulan, lalu kami sampai di Tamralipti (pantai timur India)”

Perjalanan pulang dari India tahun 685 dituturkan oleh I-tsing sbg berikut[5]:

“Tamralipti yaitu tempat kami naik kapal bila akan kembali ke Cina. Berlayar dari sini menuju tenggara, dalam dua bulan kami sampai di Kedah. Tempat ini sekarang menjadi kepunyaan Sriwijaya. Saat kapal tiba yaitu bulan pertama atau kedua ....... ..... Kami tinggal di Kedah sampai musim dingin, lalu naik kapal ke arah selatan. Sesudah agak sebulan, kami sampai di negeri Malayu, yang sekarang menjadi anggota Sriwijaya. Kapal-kapal umumnya juga tiba pada bulan pertama atau kedua. Kapal-kapal itu senantiasa tinggal di Malayu sampai pertengahan musim panas, lalu mereka berlayar ke arah utara, dan mencapai Kanton dalam waktu sebulan.”

Menurut catatan I Tsing, Sriwijaya menganut agama Buddha arus Hinayana, kecuali Ma-la-yu. Tidak dituturkan dengan jelas agama apa yang dianut oleh kerajaan Melayu.

Berita lain tentang kerajaan Melayu bermula dari T'ang-Hui-Yao yang disusun oleh Wang p'u pada tahun 961, kerajaan Melayu mengirimkan utusan ke Cina pada tahun 645 bagi awalnya, namun sesudah munculnya Sriwijaya lebih kurang 670, kerajaan Melayu tidak mempunyai lagi mengirimkan utusan ke Cina.[9]

Lokasi Pusat Kerajaan

Dari uraian I-tsing jelas sekali bahwa Kerajaan Melayu terletak di tengah pelayaran selang Sriwijaya dan Kedah. Sah Sriwijaya terletak di selatan atau tenggara Melayu. Hampir seluruh pandai sejarah sepakat bahwa negeri Melayu berlokasi di hulu sungai Batang Hari, sebab pada alas arca Amoghapasa yang ditemukan di Padangroco terdapat prasasti bertarikh 1208 Saka (1286) yang menyebutkan bahwa arca itu merupakan hadiah raja Kertanagara (Singhasari) kepada raja Melayu[10].

Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Candi Gumpung, kuil Buddha di Muara Jambi.

Prof. Slamet Muljana berpendapat, istilah Malayu bermula dari kata Malaya yang dalam bahasa Sanskerta bermakna “bukit”. Nama sebuah kerajaan biasanya merujuk pada nama ibu kotanya. Oleh sebab itu, beliau tidak setuju apabila istana Malayu terletak di Kota Jambi, sebab daerah itu merupakan dataran rendah. Menurutnya, pelabuhan Malayu memang terletak di Kota Jambi, tetapi istananya terletak di pedalaman yang tanahnya persangkaan tinggi. Dan menurut prasasti Tanjore yang dikeluarkan oleh Rajendra Chola I bertarikh 1030, menyebutkan bahwa ibu kota kerajaan Malayu dilindungi oleh benteng-benteng, dan terletak di atas bukit[9].

Dari keterangan Sisa dari pembakaran Raihan Muhammad ibn Ahmad Al-Biruni, pandai geografi Persia, yang pernah mengunjungi Asia Tenggara tahun 1030 dan menulis catatan perjalanannya dalam Tahqiq ma li l-Hind (Fakta-fakta di Hindia) yang mencetuskan bahwa beliau mengunjungi sebuah negeri yang terletak pada garis khatulistiwa pulau penghasil emas atau Golden Khersonese yakni pulau Sumatera[11][12].

Penaklukan Sriwijaya

Prasasti Kedukan Bukit menguraikan jayasiddhayatra (perjalanan jaya) dari penguasa Kerajaan Sriwijaya yang bergelar Dapunta Hyang (Yang Dipertuan Hyang). Oleh sebab Dapunta Hyang membawa puluhan ribu tentara lengkap dengan perbekalan, sudah tentu perjalanan itu yaitu ekspedisi militer menaklukkan sebuah daerah. Dari prasasti Kedukan Bukit, didapatkan data-data[3]

  1. Dapunta Hyang naik perahu tanggal 11 Waisaka 604 (23 April 682).
  2. Dapunta Hyang berangkat dari Minanga tanggal 7 Jesta (19 Mei) dengan membawa lebih dari 20.000 balatentara. Rombongan lalu tiba di Muka Upang.

Jadi, penaklukan Malayu oleh Sriwijaya terjadi pada tahun 682. Gagasan ini berdasarkan dengan catatan I Tsing bahwa, pada saat berangkat menuju India tahun 671, Ma-la-yu sedang menjadi kerajaan merdeka, sedangkan ketika kembali tahun 685, negeri itu telah dikuasai oleh Shih-li-fo-shih.

Pelabuhan Malayu merupakan penguasa lalu lintas Selat Malaka saat itu. Dengan direbutnya Minanga, secara otomatis pelabuhanpun jatuh ke tangan Kerajaan Sriwijaya. Maka sejak tahun 682 penguasa lalu lintas dan perdagangan Selat Malaka digantikan oleh kerajaan Melayu Sriwijaya[13][9].

Dari Minanga ke Dharmasraya

Munculnya Wangsa Mauli

Kekalahan kerajaan Sriwijaya akhir suatu peristiwa serangan Rajendra Coladewa, raja Chola dari Koromandel telah mengakhiri kekuasaan Wangsa Sailendra atas pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya sejak tahun 1025. Beberapa waktu yang belakang sekali muncul sebuah dinasti baru yang mengambil alih peran Wangsa Sailendra, yaitu yang dikata dengan nama Wangsa Mauli.

Prasasti tertua yang pernah ditemukan atas nama raja Mauli yaitu Prasasti Grahi tahun 1183 di selatan Thailand. Prasasti itu mempunyai isinya perintah Maharaja Srimat Trailokyaraja Maulibhusana Warmadewa kepada bupati Grahi yang bernama Mahasenapati Galanai supaya membuat arca Buddha seberat 1 bhara 2 tula dengan nilai emas 10 tamlin. Yang mengerjakan tugas membuat arca tersebut bernama Mraten Sri Nano.

Prasasti kedua berselang lebih dari satu zaman yang belakang sekali, yaitu Prasasti Padang Roco tahun 1286. Prasasti ini mengatakan mempunyainya seorang raja bernama Maharaja Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa. Beliau mendapat kiriman arca Amoghapasa dari atasannya, yaitu Kertanagara raja Singhasari di pulau Jawa. Arca tersebut yang belakang sekali diletakkan di Dharmasraya.

Dharmasraya dalam Pararaton dikata dengan nama Malayu. Dengan demikian, Tribhuwanaraja dapat pula dikata sbg raja Malayu. Tribhuwanaraja sendiri kemungkinan akbar yaitu keturunan dari Trailokyaraja. Oleh sebab itu, Trailokyaraja pun bisa juga dianggap sbg raja Malayu, meskipun prasasti Grahi tidak mengatakannya dengan jelas.

Yang menarik di sini yaitu daerah kekuasaan Trailokyaraja pada tahun 1183 telah mencapai Grahi, yang terletak di selatan Thailand (Chaiya sekarang). Itu manfaatnya, sesudah Sriwijaya mengalami kekalahan, Malayu wujud kembali sbg penguasa Selat Malaka. Namun, kapan kiranya kebangkitan tersebut dimulai tidak dapat diputuskan, dari catatan Cina [9] dituturkan bahwa pada tahun 1082 sedang mempunyai utusan dari Chen-pi (Jambi) sbg bawahan San-fo-ts'i, dan disaat bersamaan muncul pula utusan dari Pa-lin-fong (Palembang) yang sedang menjadi bawahan keluarga Rajendra.

Istilah Srimat yang ditemukan di depan nama Trailokyaraja, Tribhuwanaraja dan Adityawarman bermula dari bahasa Tamil yang bermakna ”tuan pendeta”. Dengan demikian, kebangkitan kembali kerajaan Melayu dipelopori oleh kaum pendeta. Namun, tidak dikenali dengan jelas apakah pemimpin kebangkitan tersebut yaitu Trailokyaraja, ataukah raja sebelum dirinya, sebab sampai saat ini belum ditemukan prasasti Wangsa Mauli yang lebih tua daripada prasasti Grahi.

Daerah Kekuasaan Dharmasraya

Dalam naskah berjudul Zhufan Zhi (諸蕃志) karya Zhao Rugua tahun 1225[14] dituturkan bahwa negeri San-fo-tsi memiliki 15 daerah bawahan, yaitu Che-lan (Kamboja), Kia-lo-hi (Grahi, Ch'ai-ya atau Chaiya selatan Thailand sekarang), Tan-ma-ling (Tambralingga, selatan Thailand), Ling-ya-si-kia (Langkasuka, selatan Thailand), Ki-lan-tan (Kelantan), , Ji-lo-t'ing (Cherating, pantai timur semenanjung malaya), Tong-ya-nong (Terengganu), Fo-lo-an (muara sungai Dungun, daerah Terengganu sekarang), Tsien-mai (Semawe, pantai timur semenanjung malaya), Pa-t'a (Sungai Paka, pantai timur semenanjung malaya), Pong-fong (Pahang), Lan-mu-li (Lamuri, daerah Aceh sekarang), Kien-pi (Jambi), Pa-lin-fong (Palembang), Sin-to (Sunda), dan dengan demikian, wilayah kekuasaan San-fo-tsi membentang dari Kamboja, Semenanjung Malaya, Sumatera sampai Sunda.

San-fo-tsi

Istilah San-fo-tsi pada zaman Dinasti Song lebih kurang tahun 990–an identik dengan Sriwijaya. Namun, ketika Sriwijaya mengalami kehancuran pada tahun 1025, istilah San-fo-tsi sedang tetap dipakai dalam naskah-naskah kronik Cina bagi mengatakan Pulau Sumatra secara umum. Apabila San-fo-tsi sedang dianggap identik dengan Sriwijaya, maka hal ini akan bertentangan dengan prasasti Tanyore tahun 1030, bahwa saat itu Sriwijaya telah kehilangan kekuasaannya atas Sumatra dan Semenanjung Malaya. Selain itu dalam daftar di atas juga ditemukan nama Pa-lin-fong yang identik dengan Palembang. Sebab Palembang sama dengan Sriwijaya, maka tidak mungkin Sriwijaya menjadi bawahan Sriwijaya.

Kronik Cina mencatat bahwa pada periode 1079 dan 1088, San-fo-tsi sedang mengirimkan utusan, masing-masing dari Kien-pi (Jambi) dan Pa-lin-fong (Palembang)[2].

Dalam berita Cina yang berjudul Sung Hui Yao dituturkan bahwa Kerajaan San-fo-tsi tahun 1082 mengirim duta akbar ke Cina yang saat itu di bawah pemerintahan Kaisar Yuan Fong. Duta akbar tersebut menyampaikan surat dari raja Kien-pi bawahan San-fo-tsi, dan surat dari putri raja yang diserahi urusan negara San-fo-tsi, serta menyerahkan pula 227 tahil perhiasan, rumbia, dan 13 potong pakaian. Dan yang belakang sekali dilanjutkan pengiriman utusan yang belakang sekali tahun 1088.

Sebaliknya, dari daftar daerah bawahan San-fo-tsi tersebut tidak mempunyai menyebutkan Ma-la-yu ataupun nama lain yang mirip dengan Dharmasraya.

Dengan demikian, istilah San-fo-tsi pada tahun 1225 tidak lagi identik dengan Sriwijaya, melainkan identik dengan Dharmasraya. Jadi, daftar 15 negeri bawahan San-fo-tsi tersebut merupakan daftar taklukan kerajaan Dharmasraya, sebab saat itu saat kejayaan Sriwijaya sudah habis.

Jadi, istilah San-fo-tsi yang semula bermakna Sriwijaya tetap dipergunakan dalam berita Cina bagi mengatakan Pulau Sumatera secara umum, meskipun kerajaan yang berkuasa saat itu yaitu Dharmasraya. Hal yang serupa terjadi pada zaman ke-14, yaitu zaman Dinasti Ming dan Majapahit. Catatan sejarah Dinasti Ming sedang memakai istilah San-fo-tsi, seolah-olah saat itu Sriwijaya sedang mempunyai. Sementara itu, catatan sejarah Majapahit berjudul Nagarakretagama tahun 1365 sama sekali tidak pernah mengatakan mempunyainya negeri bernama Sriwijaya melainkan Palembang.

Ekspedisi Pamalayu

Naskah Pararaton dan Kidung Panji Wijayakrama menyebutkan pada tahun 1275, Kertanagara mengirimkan utusan Singhasari dari Jawa ke Sumatera yang dikenali dengan nama Ekspedisi Pamalayu yang dipimpin oleh Kebo Anabrang.

Prasasti Padang Roco tahun 1286 menyebutkan tentang pengiriman arca Amoghapasa sbg tanda persahabatan selang Singhasari dengan Dharmasraya.

Pada tahun 1293 tim ini kembali dengan membawa serta dua orang putri Malayu bernama Dara Jingga dan Dara Petak. Bagi memperkuat persahabatan selang Dharmasraya dengan Singhasari, Dara Petak dinikahkan dengan Raden Wijaya yang telah menjadi raja Kerajaan Majapahit mengantikan Singhasari. Pernikahan ini melahirkan Jayanagara, raja kedua Majapahit. Sementara itu, Dara Jingga diserahkan kepada seorang “dewa”. Beliau yang belakang sekali melahirkan Tuan Janaka yang kelak menjadi raja Pagaruyung bergelar Mantrolot Warmadewa. Namun mempunyai kemungkinan lain bahwa Raden Wijaya juga mengambil Dara Jingga sbg istri, sebab hal ini lumrah sebab Raden Wijaya pada waktu itu telah menjadi raja serta juga memperistri seluruh anak-anak perempuan Kertanagara. Dan ini dilakukan bagi menjaga ketentraman dan kestabilan kerajaan sesudah peralihan kekuasaan di Singhasari.

Sebagian sumber mengatakan bahwa Mantrolot Warmadewa identik dengan Adityawarman Mauli Warmadewa, putra Adwayawarman. Nama Adwayawarman ini mirip dengan Adwayabrahma, yaitu salah satu pengawal arca Amoghapasa dalam prasasti Padangroco tahun 1286. Saat itu Adwayabrahma menjabat sbg Rakryan Mahamantri dalam pemerintahan Kertanagara. Posisi ini merupakan posisi tingkat tinggi. Mungkin yang dimaksud dengan “dewa” dalam Pararaton yaitu tokoh ini. Dengan kata lain, Raden Wijaya menikahkan Dara Jingga dengan Adwayabrahma sehingga lahir Adityawarman.

Adityawarman sendiri nantinya memakai gelar Mauli Warmadewa. Hal ini bagi menunjukkan seandainya beliau yaitu keturunan Srimat Tribhuwanaraja.

Ditaklukkan Majapahit

Kakawin Nagarakretagama yang ditulis tahun 1365 mengatakan Dharmasraya sbg salah satu di selang sekian jumlah negeri taklukan Kerajaan Majapahit di Pulau Sumatra[15]. Namun interpretasi inti yang menguraikan daerah-daerah "wilayah" kerajaan Majapahit yang mesti menghaturkan upeti ini sedang kontroversial, sehingga dipertentangkan sampai hari ini.

Pada tahun 1339 Adityawarman dikirim sbg uparaja atau raja bawahan Majapahit bagi menaklukan wilayah Swarnnabhumi nama lain pulau Sumatera. Penaklukan Majapahit dimulai dengan menguasai Palembang. Kidung Pamacangah dan Babad Arya Tabanan mengatakan nama Arya Damar sbg Bupati Palembang yang berbuat jasa membantu Gajah Mada menaklukkan Bali pada tahun 1343[16]. Menurut Prof. C.C. Berg, tokoh ini dianggapnya identik dengan Adityawarman[17].

Dari Dharmasraya ke Pagaruyung

Sesudah membantu Majapahit dalam melakukan beberapa penaklukan, Pada tahun 1343 Adityawarman kembali ke Swarnnabhumi dan ditahun 1347 memproklamirkan dirinya sbg pelanjut Dinasti Mauli penguasa Kerajaan Melayu di Dharmasraya[18] dan yang belakang sekali memindahkan pusat pemerintahannya ke Suruaso, (daerah Minangkabau)[19], dengan gelar Maharajadiraja Srimat Sri Udayadityawarman Pratapaparakrama Rajendra Maulimali Warmadewa[20]. Dengan melihat gelar yang disandang Adityawarman, terlihat beliau menggabungan beberapa nama yang pernah dikenali sebelumnya, Mauli merujuk garis keturunannya kepada Wangsa Mauli penguasa Dharmasraya dan gelar Sri Udayadityavarman pernah disandang salah seorang raja Sriwijaya serta menambahkah Rajendra nama penakluk penguasa Sriwijaya, raja Chola dari Koromandel. Hal ini tentu sengaja dilakukan bagi mempersatukan seluruh keluarga penguasa di Swarnnabhumi.

Dari catatan Dinasti Ming (1368-1644) menyebutkan bahwa di San-fo-tsi (Sumatera) terdapat tiga orang raja. Mereka yaitu Sengk'ia-li-yu-lan (alias Adityawarman), Ma-ha-na-po-lin-pang (Maharaja Palembang), dan Ma-na-cha-wu-li (Maharaja Dharmasraya). Dan sebelumnya pada saat Dinasti Yuan (1271-1368), Adityawarman juga pernah dikirim oleh Jayanegara sebanyak dua kali sbg duta ke Cina yaitu pada tahun 1325 dan 1332, dan tentu dengan nama yang sama pada saat Dinasti Ming sedang dirujuk kepada Adityawarman, yang yang belakang sekali kembali mengirimkan utusan sebanyak 6 kali pada rentang tahun 1371 sampai 1377[21]. Dan yang belakang sekali dari berita ini dapat dikaitkan dengan penemuan Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah di Kerinci yang diperkirakan pada zaman Adityawarman, dimana pada naskah tersebut mempunyai menyebutkan tentang Maharaja Dharmasraya. Bila dikaitkan dengan piagam yang dipahat pada bahagian belakang Arca Amoghapasa, jelas Adityawarman bergelar Maharajadiraja, dan membawahi Dharmasraya dan Palembang[22].

Daftar Raja Melayu

Berikut ini daftar nama raja Melayu:

Rujukan

  1. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.
  2. ^ a b Paul Michel Munoz, (2006), Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula.
  3. ^ a b Louis-Charles Damais, 1952, Etude d’Epigraphie Indonesienne III: Liste des Principales Datees de l’Indonesie, BEFEO, tome 46. (merupakan terjemahan Pararaton dalam bahasa Perancis)
  4. ^ Berggren, J. Lennart and Jones, Alexander, (2000), Ptolemy's Geography: An Annotated Translation of the Theoretical Chapters, Princeton University Press, Princeton and Oxford, ISBN 0-691-01042-0.
  5. ^ a b O. W. Wolters, (1967), Early Indonesian Commerce, Cornell University Press, Ithaca
  6. ^ Junjiro Takakusu, (1896), A record of the Buddhist Religion as Practised in India and the Malay Archipelago AD 671-695, by I-tsing, Oxford, London.
  7. ^ Edouard Chavannes, (1894), Memoire compose a l’epoque de la grande dynastie Tang, sur les Religieux Eminents qui allerent chercher la loi dans les pays d’Occident, par I-tsing, Ernest Leroux, Paris.
  8. ^ Gabriel Ferrand, 1922, L’Empire Sumatranais de Crivijaya, Imprimerie Nationale, Paris, “Textes Chinois”
  9. ^ a b c d Slamet Muljana. (2006). Sriwijaya. Yogyakarta: LKIS
  10. ^ R.Pitono Hardjowardojo, 1966, Adityawarman, Sebuah Studi tentang Tokoh Nasional dari Zaman XIV, Bhratara, Djakarta
  11. ^ W.J. van der Meulen. "SUVARNADVIPA AND THE CHRYSE CHERSONESOS*". Diakses 4 February 2010. 
  12. ^ .Paul Wheatley, 1961, The Golden Khersonese, University of Malaya Press, Kuala Lumpur.
  13. ^ Meyer, Milton Walter (1997). Asia: a concise history. Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers. ISBN 0-8476-8063-0. 
  14. ^ Friedrich Hirth & W.W.Rockhill, 1911, Chao Ju-kua, His Work on the Chinese and Arab Trade in the Twelfth and Thirteen centuries, entitled Chu-fan-chi, St Petersburg.
  15. ^ J.L.A. Brandes, 1902, Nāgarakrětāgama; Lofdicht van Prapanjtja op koning Radjasanagara, Hajam Wuruk, van Madjapahit, naar het eenige daarvan bekende handschrift, aangetroffen in de puri te Tjakranagara op Lombok.
  16. ^ Darta, A.A. Gde, A.A. Gde Geriya, A.A. Gde Alit Geria, 1996, Babad Arya Tabanan dan Ratu Tabanan, Denpasar: Upada Sastra.
  17. ^ C.C. Berg, 1985, Penulisan Sejarah Jawa, (terj.), Jakarta: Bhratara.
  18. ^ Djafar, Hasan, (1992), Prasasti-Prasasti Saat Kerajaan Melayu Lawas dan Permasalahannya. Dibawakan dalam Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tk I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi.
  19. ^ Casparis, J. G. de., , (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Melayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi.
  20. ^ Kern, J.H.C., (1907), De wij-inscriptie op het Amoghapāça-beeld van Padang Candi(Batang Hari-districten); 1269 Çaka, Tijdschrift voor Indische Taal-, Land-, en Volkenkunde.
  21. ^ Casparis, J. G. de., (1992), Kerajaan Malayu dan Adityawarman, Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi, 7-8 Desember 1992, Jambi: Pemerintah Daerah Tingkat I Jambi bekerjasama dengan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Hukum budaya istiadat Jambi, hlm. 235-256.
  22. ^ Kozok, Uli, (2006), Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah: Naskah Melayu yang Tertua, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, ISBN 979-461-603-6.

Lihat Pula


edunitas.com


Page 11

[+] Ekonomi menurut kawasan

[+] Daftar bertopik ekonomi

[+] Ekonomi internasional

[×] Ekonomi Keynesianisme

[+] Ekonomi menurut negara

[+] Profesi dan organisasi ekonomi

[+] Sekolah pengajaran dan metodologi ekonomi

[+] Rintisan bertopik ekonomi


Page 12

Tags (tagged): euronext, unkris, 22 september, 20, pemilik nyse euronext, tokoh penting, sebuah, bursa saham pan, eropa anak, anak, perusahaan, bursa saham, amsterdam brussel, paris, dalam rangka, euronext bertanggung, jawab, atas perdagangan, pusat, ilmu pengetahuan, global, pertama referensi euronext, history 26, 08, 04 euronext euronext, ilmu


Page 13

Euronext N.V. yaitu sebuah bursa saham pan-Eropa dengan anak-anak perusahaan di Belgia, Perancis, Belanda, Portugal, dan Britania Raya. Sebagai tambahan pasar ekuitas dan derivatif, grup Euronext menyediakan perbuatan yang berfaedah kliring dan informasi.

Euronext diwujudkan pada 22 September 2000 dalam sebuah penggabungan bursa saham Amsterdam, Brussel, dan Paris, dalam rangka mengambil keuntungan dari harmonisasi pasar keuangan Uni Eropa.

Pada tahun 2002 grup ini bergabung dengan bursa saham Portugal BVLP dan futures and options exchange yang berbasis di London LIFFE.

Euronext.liffe yaitu anak perusahaan Euronext yang bertanggung jawab atas perdagangan option dan kontrak masa depan, yang diwujudkan oleh penggabungan perkara derivatif dari Euronext dengan LIFFE.

Pada tanggal 4 April 2007, Euronext bergabung dengan NYSE Group untuk membentuk NYSE Euronext, bursa saham global pertama.

Referensi

  1. ^ "Euronext History". 2006-08-04. Retrieved 2010-11-29. 
  2. ^ World-exchanges.org

Tautan luar

  • (Inggris) Situs resmi
  • (Inggris) Yahoo! - Euronext Company Profile

edunitas.com


Page 14

Euronext N.V. yaitu sebuah bursa saham pan-Eropa dengan anak-anak perusahaan di Belgia, Perancis, Belanda, Portugal, dan Britania Raya. Sebagai tambahan pasar ekuitas dan derivatif, grup Euronext menyediakan perbuatan yang berfaedah kliring dan informasi.

Euronext diwujudkan pada 22 September 2000 dalam sebuah penggabungan bursa saham Amsterdam, Brussel, dan Paris, dalam rangka mengambil keuntungan dari harmonisasi pasar keuangan Uni Eropa.

Pada tahun 2002 grup ini bergabung dengan bursa saham Portugal BVLP dan futures and options exchange yang berbasis di London LIFFE.

Euronext.liffe yaitu anak perusahaan Euronext yang bertanggung jawab atas perdagangan option dan kontrak masa depan, yang diwujudkan oleh penggabungan perkara derivatif dari Euronext dengan LIFFE.

Pada tanggal 4 April 2007, Euronext bergabung dengan NYSE Group untuk membentuk NYSE Euronext, bursa saham global pertama.

Referensi

  1. ^ "Euronext History". 2006-08-04. Retrieved 2010-11-29. 
  2. ^ World-exchanges.org

Tautan luar

  • (Inggris) Situs resmi
  • (Inggris) Yahoo! - Euronext Company Profile

edunitas.com


Page 15

Tags (tagged): euronext, unkris, 22 september, 20, pemilik nyse euronext, tokoh penting, sebuah, bursa saham pan, eropa anak, anak, perusahaan, bursa saham, amsterdam brussel, paris, dalam rangka, euronext bertanggung, jawab, atas perdagangan, center, of studies, global, pertama referensi euronext, history 26, 08, 04 euronext euronext, of


Page 16

Tags (tagged): europium, unkris, j, r o, p, i m yoo, roh pee, m, jenis unsur lantanida, golongan, pa, 10 1 k, 10 k, 1, k at t, k 863, 957, 1072 1234 1452, r t, poly, 35 m m, k modulus, young, 18 2 gpa, modulus shear, memiliki, lambang sm nomor, atom 63, referensi, magnetic, center of, studies w, re, os ir pt, au hg, tl, pb bi po, at rn, fr, ra ac th, pa u, np, pu europium


Page 17

Euronext N.V.
Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Bursa Saham Brussel
TipeBursa efek
LokasiAmsterdam, Belanda
Didirikan22 September 2000[1]
pemilikNYSE Euronext
Tokoh pentingDuncan Niederauer (CEO)
Mata uangEuro
Jumlah daftaran1.176
MarketCapAS$ 2.93 triliun (Des 2010)[2]
VolumeAS$ 1.9 triliun (Des 2009)
IndeksEuronext 100AEX indexCAC 40

EURO Stoxx 50

WebsiteEuronext.com

Euronext N.V. yaitu suatu bursa saham pan-Eropa dengan anak-anak perusahaan di Belgia, Perancis, Belanda, Portugal, dan Britania Raya. Bagi tambahan pasar ekuitas dan derivatif, grup Euronext menyediakan afal yang berguna kliring dan informasi.

Euronext diwujudkan pada 22 September 2000 dalam suatu penggabungan bursa saham Amsterdam, Brussel, dan Paris, dalam rangka mengambil keuntungan dari harmonisasi pasar keuangan Uni Eropa.

Pada tahun 2002 grup ini bergabung dengan bursa saham Portugal BVLP dan futures and options exchange yang berbasis di London LIFFE.

Euronext.liffe yaitu anak perusahaan Euronext yang bertanggung jawab atas perdagangan option dan kontrak masa depan, yang diwujudkan oleh penggabungan keaktifan derivatif dari Euronext dengan LIFFE.

Pada tanggal 4 April 2007, Euronext bergabung dengan NYSE Group bagi membentuk NYSE Euronext, bursa saham global pertama.

Rujukan

  1. ^ "Euronext History". 2006-08-04. Retrieved 2010-11-29. 
  2. ^ World-exchanges.org

Pranala luar

  • (Inggris) Situs formal
  • (Inggris) Yahoo! - Euronext Company Profile

edunitas.com


Page 18

Euronext N.V. yaitu suatu bursa saham pan-Eropa dengan anak-anak perusahaan di Belgia, Perancis, Belanda, Portugal, dan Britania Raya. Bagi tambahan pasar ekuitas dan derivatif, grup Euronext menyediakan afal yang berguna kliring dan informasi.

Euronext diwujudkan pada 22 September 2000 dalam suatu penggabungan bursa saham Amsterdam, Brussel, dan Paris, dalam rangka mengambil keuntungan dari harmonisasi pasar keuangan Uni Eropa.

Pada tahun 2002 grup ini bergabung dengan bursa saham Portugal BVLP dan futures and options exchange yang berbasis di London LIFFE.

Euronext.liffe yaitu anak perusahaan Euronext yang bertanggung jawab atas perdagangan option dan kontrak masa depan, yang diwujudkan oleh penggabungan keaktifan derivatif dari Euronext dengan LIFFE.

Pada tanggal 4 April 2007, Euronext bergabung dengan NYSE Group bagi membentuk NYSE Euronext, bursa saham global pertama.

Rujukan

  1. ^ "Euronext History". 2006-08-04. Retrieved 2010-11-29. 
  2. ^ World-exchanges.org

Pranala luar

  • (Inggris) Situs formal
  • (Inggris) Yahoo! - Euronext Company Profile

edunitas.com


Page 19

Euronext N.V. yaitu suatu bursa saham pan-Eropa dengan anak-anak perusahaan di Belgia, Perancis, Belanda, Portugal, dan Britania Raya. Bagi tambahan pasar ekuitas dan derivatif, grup Euronext menyediakan afal yang berguna kliring dan informasi.

Euronext diwujudkan pada 22 September 2000 dalam suatu penggabungan bursa saham Amsterdam, Brussel, dan Paris, dalam rangka mengambil keuntungan dari harmonisasi pasar keuangan Uni Eropa.

Pada tahun 2002 grup ini bergabung dengan bursa saham Portugal BVLP dan futures and options exchange yang berbasis di London LIFFE.

Euronext.liffe yaitu anak perusahaan Euronext yang bertanggung jawab atas perdagangan option dan kontrak masa depan, yang diwujudkan oleh penggabungan keaktifan derivatif dari Euronext dengan LIFFE.

Pada tanggal 4 April 2007, Euronext bergabung dengan NYSE Group bagi membentuk NYSE Euronext, bursa saham global pertama.

Rujukan

  1. ^ "Euronext History". 2006-08-04. Retrieved 2010-11-29. 
  2. ^ World-exchanges.org

Pranala luar

  • (Inggris) Situs formal
  • (Inggris) Yahoo! - Euronext Company Profile

edunitas.com


Page 20

Euronext N.V.
Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Bursa Saham Brussel
TipeBursa efek
LokasiAmsterdam, Belanda
Didirikan22 September 2000[1]
pemilikNYSE Euronext
Tokoh pentingDuncan Niederauer (CEO)
Mata uangEuro
Jumlah daftaran1.176
MarketCapAS$ 2.93 triliun (Des 2010)[2]
VolumeAS$ 1.9 triliun (Des 2009)
IndeksEuronext 100AEX indexCAC 40

EURO Stoxx 50

WebsiteEuronext.com

Euronext N.V. yaitu suatu bursa saham pan-Eropa dengan anak-anak perusahaan di Belgia, Perancis, Belanda, Portugal, dan Britania Raya. Bagi tambahan pasar ekuitas dan derivatif, grup Euronext menyediakan afal yang berguna kliring dan informasi.

Euronext diwujudkan pada 22 September 2000 dalam suatu penggabungan bursa saham Amsterdam, Brussel, dan Paris, dalam rangka mengambil keuntungan dari harmonisasi pasar keuangan Uni Eropa.

Pada tahun 2002 grup ini bergabung dengan bursa saham Portugal BVLP dan futures and options exchange yang berbasis di London LIFFE.

Euronext.liffe yaitu anak perusahaan Euronext yang bertanggung jawab atas perdagangan option dan kontrak masa depan, yang diwujudkan oleh penggabungan keaktifan derivatif dari Euronext dengan LIFFE.

Pada tanggal 4 April 2007, Euronext bergabung dengan NYSE Group bagi membentuk NYSE Euronext, bursa saham global pertama.

Rujukan

  1. ^ "Euronext History". 2006-08-04. Retrieved 2010-11-29. 
  2. ^ World-exchanges.org

Pranala luar

  • (Inggris) Situs formal
  • (Inggris) Yahoo! - Euronext Company Profile

edunitas.com


Page 21

Tags (tagged): europium, unkris, j r o, p i, m, yoo roh pee, m jenis, unsur, lantanida golongan, p, pa 10, 1, k 10 k, 1 k, at, t k 863, 957 1072, 1234, 1452, r t, poly 35, m k modulus, young 18, 2, gpa modulus shear, memiliki lambang, sm, nomor atom 63, referensi magnetic, pusat, ilmu pengetahuan w, re os, ir, pt au hg, tl pb, bi, po at rn, fr ra, ac, th pa u, np pu


Page 22

Euronext N.V.
Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Bursa Saham Brussel
TipeBursa efek
LokasiAmsterdam, Belanda
Didirikan22 September 2000[1]
pemilikNYSE Euronext
Tokoh pentingDuncan Niederauer (CEO)
Mata uangEuro
Jumlah daftaran1.176
MarketCapAS$ 2.93 triliun (Des 2010)[2]
VolumeAS$ 1.9 triliun (Des 2009)
IndeksEuronext 100AEX indexCAC 40

EURO Stoxx 50

Situs webEuronext.com

Euronext N.V. adalah suatu bursa saham pan-Eropa dengan anak-anak perusahaan di Belgia, Perancis, Belanda, Portugal, dan Britania Raya. Bagi tambahan pasar ekuitas dan derivatif, grup Euronext menyediakan afal yang berguna kliring dan informasi.

Euronext diwujudkan pada 22 September 2000 dalam suatu penggabungan bursa saham Amsterdam, Brussel, dan Paris, dalam rangka mengambil keuntungan dari harmonisasi pasar keuangan Uni Eropa.

Pada tahun 2002 grup ini bergabung dengan bursa saham Portugal BVLP dan futures and options exchange yang berbasis di London LIFFE.

Euronext.liffe adalah anak perusahaan Euronext yang bertanggung jawab atas perdagangan option dan kontrak masa depan, yang diwujudkan oleh penggabungan keaktifan derivatif dari Euronext dengan LIFFE.

Pada tanggal 4 April 2007, Euronext bergabung dengan NYSE Group bagi membentuk NYSE Euronext, bursa saham global pertama.

Referensi

  1. ^ "Euronext History". 2006-08-04. Retrieved 2010-11-29. 
  2. ^ World-exchanges.org

Pranala luar

  • (Inggris) Situs resmi
  • (Inggris) Yahoo! - Euronext Company Profile

edunitas.com


Page 23

Euronext N.V. adalah suatu bursa saham pan-Eropa dengan anak-anak perusahaan di Belgia, Perancis, Belanda, Portugal, dan Britania Raya. Bagi tambahan pasar ekuitas dan derivatif, grup Euronext menyediakan perbuatan yang berguna kliring dan informasi.

Euronext diwujudkan pada 22 September 2000 dalam suatu penggabungan bursa saham Amsterdam, Brussel, dan Paris, dalam rangka mengambil keuntungan dari harmonisasi pasar keuangan Uni Eropa.

Pada tahun 2002 grup ini bergabung dengan bursa saham Portugal BVLP dan futures and options exchange yang berbasis di London LIFFE.

Euronext.liffe adalah anak perusahaan Euronext yang bertanggung jawab atas perdagangan option dan kontrak masa depan, yang diwujudkan oleh penggabungan keaktifan derivatif dari Euronext dengan LIFFE.

Pada tanggal 4 April 2007, Euronext bergabung dengan NYSE Group bagi membentuk NYSE Euronext, bursa saham global pertama.

Referensi

  1. ^ "Euronext History". 2006-08-04. Retrieved 2010-11-29. 
  2. ^ World-exchanges.org

Pranala luar

  • (Inggris) Situs formal
  • (Inggris) Yahoo! - Euronext Company Profile

edunitas.com


Page 24

Euronext N.V. adalah suatu bursa saham pan-Eropa dengan anak-anak perusahaan di Belgia, Perancis, Belanda, Portugal, dan Britania Raya. Bagi tambahan pasar ekuitas dan derivatif, grup Euronext menyediakan perbuatan yang berguna kliring dan informasi.

Euronext diwujudkan pada 22 September 2000 dalam suatu penggabungan bursa saham Amsterdam, Brussel, dan Paris, dalam rangka mengambil keuntungan dari harmonisasi pasar keuangan Uni Eropa.

Pada tahun 2002 grup ini bergabung dengan bursa saham Portugal BVLP dan futures and options exchange yang berbasis di London LIFFE.

Euronext.liffe adalah anak perusahaan Euronext yang bertanggung jawab atas perdagangan option dan kontrak masa depan, yang diwujudkan oleh penggabungan keaktifan derivatif dari Euronext dengan LIFFE.

Pada tanggal 4 April 2007, Euronext bergabung dengan NYSE Group bagi membentuk NYSE Euronext, bursa saham global pertama.

Referensi

  1. ^ "Euronext History". 2006-08-04. Retrieved 2010-11-29. 
  2. ^ World-exchanges.org

Pranala luar

  • (Inggris) Situs formal
  • (Inggris) Yahoo! - Euronext Company Profile

edunitas.com


Page 25

Euronext N.V.
Apakah Kerajaan Melayu termasuk kerajaan bercorak Hindu?

Bursa Saham Brussel
TipeBursa efek
LokasiAmsterdam, Belanda
Didirikan22 September 2000[1]
pemilikNYSE Euronext
Tokoh pentingDuncan Niederauer (CEO)
Mata uangEuro
Jumlah daftaran1.176
MarketCapAS$ 2.93 triliun (Des 2010)[2]
VolumeAS$ 1.9 triliun (Des 2009)
IndeksEuronext 100AEX indexCAC 40

EURO Stoxx 50

Situs webEuronext.com

Euronext N.V. adalah suatu bursa saham pan-Eropa dengan anak-anak perusahaan di Belgia, Perancis, Belanda, Portugal, dan Britania Raya. Bagi tambahan pasar ekuitas dan derivatif, grup Euronext menyediakan afal yang berguna kliring dan informasi.

Euronext diwujudkan pada 22 September 2000 dalam suatu penggabungan bursa saham Amsterdam, Brussel, dan Paris, dalam rangka mengambil keuntungan dari harmonisasi pasar keuangan Uni Eropa.

Pada tahun 2002 grup ini bergabung dengan bursa saham Portugal BVLP dan futures and options exchange yang berbasis di London LIFFE.

Euronext.liffe adalah anak perusahaan Euronext yang bertanggung jawab atas perdagangan option dan kontrak masa depan, yang diwujudkan oleh penggabungan keaktifan derivatif dari Euronext dengan LIFFE.

Pada tanggal 4 April 2007, Euronext bergabung dengan NYSE Group bagi membentuk NYSE Euronext, bursa saham global pertama.

Referensi

  1. ^ "Euronext History". 2006-08-04. Retrieved 2010-11-29. 
  2. ^ World-exchanges.org

Pranala luar

  • (Inggris) Situs resmi
  • (Inggris) Yahoo! - Euronext Company Profile

edunitas.com


Page 26

Tags (tagged): europium, unkris, j r o, p i, m, yoo roh pee, m jenis, unsur, lantanida golongan, p, pa 10, 1, k 10 k, 1 k, at, t k 863, 957 1072, 1234, 1452, r t, poly 35, m k modulus, young 18, 2, gpa modulus shear, memiliki lambang, sm, nomor atom 63, referensi magnetic, center, of studies w, re os, ir, pt au hg, tl pb, bi, po at rn, fr ra, ac, th pa u, np pu