Apakah hasil yang diharapkan dari usaha memajukan ekonomi bagi negara anggota ASEAN

Kawasan Asia Tenggara sering menjadi contoh sukses terkait integrasi digital. Akan tetapi dalam perjalanannya tetap dibutuhkan sentuhan yang bersifat dari atas ke bawah (top-down) dan pendekatan dari bawah ke atas (bottom up). Selain itu, diperlukan sebuah kepemimpinan dalam skala regional. Apakah Indonesia bisa memainkan peranan tersebut?

Salah satu tema penting dalam rapat tahunan para Menteri Ekonomi Asean awal September 2019 adalah bagaimana kawasan Asia Tenggara bisa mengatasi turbulensi ekonomi dunia yang tengah terjadi. Agenda lain yang juga tak kalah pentingnya adalah bagaimana kawasan ini bisa memajukan ekonomi digitalnya.

Berikut analisis terkait hal ini. Nilai ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara diperkirakan sekitar US$ 31 miliar pada 2015. Angka ini diproyeksikan meningkat menjadi US$ 200 miliar pada 2025 (Menurut penelitian oleh Google Inc. dan Temasek Holdings Pte, November 2018). Namun estimasi ini dapat terlampaui apabila negara di kawasan ini bisa mencapai sebuah kesepakatan bersama dalam hal penanganan data dan pengelolaan pasar digital.

Sepuluh tahun ke depan, kita akan melihat berbagai isu penting yang menjadi denyut nadi transformasi ekonomi digital. Hal tersebut terkait isu lokalisasi data, cloud computing, kecerdasan buatan (AI) dan keamanan siber.

Di dunia yang ideal, pemerintah, komunitas bisnis digital, dan organisasi multilateral dapat bekerja sama untuk menciptakan sebuah arsitektur regional yang dapat memastikan keuntungan dari ekonomi digital. Namun, sayangnya kita tidak hidup di dunia yang ideal. Pada kenyataannya, laporan Bank Dunia menunjukkan bahwa potensi ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara masih belum bisa direalisasikan sepenuhnya karena hambatan-hambatan kebijakan di tingkat nasional di masing-masing negara.

Kendati demikian, pada pertemuan yang dihadiri pemimpin negara Asean bulan Juni 2019 di Bangkok, sebagian besar yang hadir mengidentifikasi banyak ketimpangan kebijakan terkait hal ini. Mereka setuju bahwa Asean perlu menentukan langkah yang lebih konkret untuk menciptakan kebijakan secara menyeluruh, koheren dan strategi yang terkoordinasi untuk memajukan ekonomi digital di kawasan ini.

Sebetulnya sudah ada sejumlah perencanaan yang telah disepakati bersama secara aspiratif di kawasan ini, seperti Information Communications & Technology Masterplan 2020; dan Asean Digital Integration Framework Action Plan yang diprakarsai oleh Thailand untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi digital yang lebih terintegrasi secara regional. Ada pula Asean Framework on Digital Data Governance. Meski demikian, kawasan ini perlu menentukan tujuan akhir dalam hal standardisasi kebijakan yang konsisten pada skala regional.

Pengambil keputusan dan pemangku kepentingan juga perlu menambah upaya melalui strategi dan taktik yang baru jika ingin mempercepat prosesnya. Ada dua unsur penting yang perlu diperhatikan terkait strategi baru ini.

Pertama, diperlukan fleksibilitas dalam mengejar keseimbangan antara inovasi digital dan regulasi. Banyak perusahaan yang sudah aktif di sektor digital sudah terbiasa membangun platform yang dapat beradaptasi dengan teknologi baru yang tersedia. Kita perlu mengaplikasikan pemikiran serupa terkait penerapan standardisasi.

Dari sudut pandang perbankan, contohnya, diperlukan satu perubahan pada fasilitas perbankan digital supaya bisa lebih elastis dan mengakomodasi berbagai regulasi terkait pengelolaan data di berbagai kawasan seperti Uni Eropa, dan Negara seperti Malaysia dan Amerika Serikat. Di kawasan dan Negara tersebut, peraturan terkait hal ini cenderung berbeda dan sering menimbulkan konflik.

Perubahan strategi kedua, menyangkut perlunya pembangunan konsensus dari yang sifatnya dari bawah ke atas, atau dari masyarakat (bottom up), daripada mengharapkan solusi dari pemerintah yang bersifat turun dari atas ke bawah (top-down).

Sejarah mengajarkan bahwa implementasi berbagai macam standar internasional dapat datang dari dua jalur.

Jalur yang pertama adalah ketika kekuasaan dominan sejarah mengajarkan kekuasaan dominan biasanya Amerika Serikat atau Uni Eropa menciptakan sebuah standar yang kemudian ditaati oleh dunia demi mempertahankan akses pasar. Dalam dunia yang kini menjadi multipolar, jalur ini tidak lagi memungkinkan.

Jalur yang kedua adalah ketika sekumpulan pihak yang berkepentingan bergabung untuk mencari persetujuan dan meyakinkan pihak lain untuk bergabung melalui kepentingan bersama.

Di sinilah peluang untuk Asia Tenggara. Artinya, negara-negara di Asia Tenggara tidak perlu ragu dalam memulai berbagai langkah kecil. Misalnya, kerja sama antara dua negara dapat menjadi sebuah awal untuk menuju kepentingan yang lebih besar.

Integrasi sistem pembayaran instan antara Thailand dan Singapura dapat menjadi contoh, namun masih ada sejumlah kerja sama yang dilakukan Singapura yang menyangkut spektrum teknologi, seperti upayanya merintis pasar blockchain.

HSBC juga bekerjasama dengan KPMG untuk membantu Monetary Authority of Singapore (MAS), Bank of Canada dan Bank of England untuk mengevaluasi beberapa model mata uang digital yang didukung penuh oleh masing-masing negara, untuk bisa digunakan sebagai alat pembayaran lintas negara yang bernilai tinggi (misalnya terkait penyelesaian efek, transaksi perdagangan, dan pengiriman uang perusahaan). Indonesia juga memiliki kesempatan untuk berperan sebagai pelopor. Tahun 2018, Indonesia bergabung dalam inisiatif pembayaran lintas negara terbesar di dunia, yakni Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication-Global Payment Innovation (SWIFT-GPI) yang merupakan sebuah standar baru dalam pembayaran global untuk memungkinkan institusi finansial mengirim dan menerima dana dengan transparansi penuh, selain juga memperbaiki akses pembayaran lintas negara.

Kini, memastikan model tersebut tersebar luas dan menjangkau segala spektrum teknologi dan negara, menjadi hal yang sangat krusial bagi kawasan Asia Tenggara. Karakter utama dari standar yang menyeluruh adalah sifatnya yang melihat ke masa depan: dirancang untuk keuntungan bersama dan bukan untuk mengisolasi keunggulan pasar lokal.

Persetujuan apapun yang dicapai sebaiknya membebaskan alur data lintas negara, sebuah upaya yang terbukti mendorong inovasi, dan pada saat yang sama melindungi keamanan dan integritas informasi pribadi.

Untuk mencapai ini, pemerintah regional, perusahaan teknologi, dan perusahaan finansial harus bekerjasama untuk menciptakan sistem lokal yang dapat melindungi nasabah dan pengguna, dan pada saat yang sama memfasilitasi pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara.

Walaupun teknologi pada dasarnya bersifat lintas-negara, kebijakan- kebijakan yang mengaturnya belum seperti itu. Ini menciptakan hambatan bagi bisnis global yang beroperasi menggunakan teknologi global. Satu-satunya solusi adalah menciptakan ekonomi digital yang terbuka dan terintegrasi, dikendalikan oleh negara dan badan-badan hukum yang bekerja sama meskipun pada awalnya dimulai dari sebuah kerja sama bilateral.

Jennifer Doherty, Head of Innovation Asia, Global Liquidity Cash Management, HSBC

Editor : Gora Kunjana ()

Apakah hasil yang diharapkan dari usaha memajukan ekonomi bagi negara anggota ASEAN