Apakah beda antara peristiwa hukum peralihan hak atas tanah dengan perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah?

Peralihan hak atas tanah dapat melalui dua cara, yaitu dengan cara ”beralih” dan ”dialihkan”.

1. Beralih artinya bahwa peralihan hak atas tanah tersebut tanpa melalui suatu perbuatan hukum tertentu, dalam arti bahwa hak atas tanah tersebut demi hukum beralih dengan sendirinya. Peralihan hak atas tanah karena pewarisan tanpa wasiat merupakan contoh peralihan hak atas tanah karena hukum beralih kepada ahli waris- nya. Peralihan hak atas tanah kepada ahli waris diatur dalam hukum waris, dan tergantung sungguh dari hukum waris mana yang dipakai oleh pewaris dan ahli waris yang bersangkutan, apakah hukum waris menurut hukum agama (misalnya agama Islam) atau hukum waris menurut hukum adat. Peralihan hak waris berlangsung apabila si pewaris meninggal dunia, dengan meninggalnya si pewaris, maka secara hukum otomatis hak warisan itu beralih ahli warisnya. Hukum tanah memberikan ketentuan mengenai penguasaan tanah yang berasal dari warisan dan hal-hal mengenai pemberian surat tanda bukti pemilikannya oleh para ahli waris.

2. Dialihkan atau pemindahan hak, yaitu berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja oleh pemegang haknya kepada pihak lain. Bentuk pemindahan haknya dapat berupa: jual beli, tukar menukar, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau”inbreng” dan hibah wasiat atau ”legaat”. Perbuatan-perbuatan hukum tersebut dilakukan pada saat peme- gang haknya masih hidup dan merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang bersifat tunai, kecuali hibah wasiat. Artinya bahwa dengan dilakukan nya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain. Perbuatan-perbuatan hukum berupa jual beli, tukar-menukar, hibah, pemberian menurut adat, pemasukan dalam perusahaan atau”inbreng” dan hibah wasiat atau ”legaat” dilakukan oleh para pihak dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Pejabat PPAT adalah Notaris PPAT atau PPAT saja atau Camat karena jabatannya (sebagai PPAT sementara) sepanjang pada wilayah tersebut belum ada PPAT. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan berbagai peraturan pelaksanaannya.

Sumber Bacaan Buku Hukum Agraria Indonesia Karya Dr.H.M.Arba,S.H.,M.Hum

Sumber :
Dr. Udin Narsudin, SH., M.Hum. SpN

Peralihan hak atas tanah menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 dapat dilakukan melalui perbuatan hukum seperti jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum lainnya yang dibuktikan dengan Akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang. Dalam kaitan dengan peralihan hak atas tanah tersebut maka yang termasuk di sini adalah perbuatan hukum berupa : 1) Jual Beli 2) Tukar menukar 3) Hibah 4) Pemasukan dalam Perusahaan dan 5) Pembagian Hak Bersama 6) Penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi yang didahului dengan likuidasi. (Pasal 43 ayat (2).

Pemindahan hak ditafsirkan sebagai perbuatan hukum atau peristiwa hukum yang mengakibatkan berpindahnya hak atas tanah yang tidak dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT, tetapi oleh pejabat lain atau dengan cara lain yang diatur oleh peraturan perundang-undangan, misalnya dengan Pelelangan, pewarisan, penggabungan dan peleburan perseroan atau koperasi. (Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 memasukkan perbuatan hukum penggabungan dan peleburan perseroan atau koperasi (khususnya yang tidak didahului dengan likuidasi) ke dalam pemindahan hak karena tidak harus dibuktikan dengan akta PPAT).

Author: Putri Ayu Trisnawati, S.H.

Peralihan hak atas tanah adalah berpindahnya hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yang baru menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terdapat 2 (dua) cara peralihan hak atas tanah, yaitu beralih dan dialihkan. Beralih menunjukkan berpindahnya hak atas tanah tanpa ada perbuatan hukum yang dilakukan oleh pemiliknya, misalnya melalui pewarisan. Sedangkan dialihkan menunjuk pada berpindahnya hak atas tanah melalui perbuatan hukum yang dilakukan pemiliknya, misalnya melalui jual beli.

Di Indonesia, peralihan hak atas tanah didasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 10 Tahun 1961) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah (PP No. 24 Tahun 1997). Dalam Pasal 37 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997 disebutkan bahwa, ”Pemindahan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku.”

Baca juga: Tinjauan Yuridis Permasalahan Penolakan Permohonan Perpanjangan Sertifikat Hak Guna Bangunan

Dalam peralihan hak atas tanah dapat dilakukan dengan cara pemindahan hak seperti jual-beli, tukar menukar, hibah, lelang, pewarisan, peralihan hak karena penggabungan atau peleburan dan pemindahan hak lainnya. Berikut penjelasan dalam peralihan hak atas tanah :

  1. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Pewarisan

Pewarisan adalah tindakan pemindahan hak milik atas benda dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang lain yang ditunjuknya dan/atau ditunjuk pengadilan sebagai ahli waris. Setelah berlakunya PP No. 24 Tahun 1997, maka keterangan mengenai kewajiban mendaftarkan peralihan hak milik atas tanah karena pewarisan diatur dalam Pasal 36 PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa :

a.Pemeliharaan data pendaftaran tanah dilakukan apabila terjadi perubahan pada data fisik atau data yuridis obyek pendaftaran tanah yang telah terdaftar.

b.Pemegang hak yang bersangkutan wajib mendaftarkan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada Kantor Pertanahan.

  1. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Hibah

Berdasarkan Pasal 1666 KUHPerdata, hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Pada dasarnya setiap orang dan/atau badan hukum diperbolehkan untuk diberi/menerima hibah, kecuali penerima hibah tersebut oleh undang – undang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.

Peralihan hak atas tanah karena hibah tidak serta merta terjadi pada saat tanah diserahkan oleh pemberi hibah kepada penerima hibah. Berdasarkan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 dinyatakan bahwa peralihan hak atas tanah harus dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dalam Pasal 1684 KUHPerdata dinyatakan bahwa penghibahan yang diberikan kepada seorang perempuan yang bersuami, barang yang dihibahkan tersebut tidak dapat diterima. Pada Pasal 1685 KUHPerdata ditetapkan bahwa penghibahan kepada orang-orang yang belum dewasa yang masih berada di bawah kekuasaan orang tua, barang yang dihibahkan tersebut harus diterima oleh orang tua yang menguasai penerima hibah tersebut. Sama halnya dengan penghibahan kepada orang-orang di bawah perwalian dan pengampuan, barang yang dihibahkan tersebut harus diterima oleh wali atau pengampu dengan diberi kuasa oleh Pengadilan Negeri.

Menurut Pasal 1672 KUHPerdata, pemberi hibah berhak mengambil kembali barang yang telah dihibahkan apabila penerima hibah dan keturunan-keturunannya meninggal lebih dulu daripada si pemberi hibah, dengan ketentuan telah dibuatnya perjanjiannya yang disepakati oleh kedua belah pihak.

  1. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Lelang

Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan/atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli. Berdasarkan sifatnya, lelang dibagi menjadi 2 (dua) bagian, yaitu :

a.Lelang eksekutorial yaitu lelang dalam rangka putusan pengadilan yang berkaitan dengan hak tanggungan, sita pajak, sita yang dilakukan oleh Kejaksaan atau Penyidik dan sita yang dilakukan oleh Panitia Urusan Piutang Negara.

b.Lelang non-eksekutorial yaitu lelang terhadap barang yang dikuasai atau dimiliki oleh instansi pemerintah pusat maupun daerah, Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), dan lelang terhadap hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang dimiliki atau dikuasai oleh perseorangan atau badan hukum.

  1. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli

Berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, Akta Jual Beli (AJB) merupakan bukti sah (selain risalah lelang, jika peralihan haknya melalui lelang) bahwa hak atas tanah dan bangunan sudah beralih kepada pihak lain. AJB dibuat di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) atau camat untuk daerah tertentu yang masih jarang terdapat PPAT. Secara hukum, peralihan hak atas tanah dan bangunan tidak bisa dilakukan di bawah tangan.

Dalam KUHPerdata Pasal 1457, 1458 dan 1459 menyatakan bahwa jual beli tanah adalah suatu perjanjian dimana satu pihak mengikatkan dirinya untuk menyerahkan tanah dan pihak lainnya untuk membayar harga yang telah ditentukan. Pada saat kedua belah pihak telah mencapai kata sepakat, maka jual beli dianggap telah terjadi, walaupun tanah belum diserahkan dan harga belum dibayar. Akan tetapi, walaupun jual beli tersebut dianggap telah terjadi, namun hak atas tanah belum beralih kepada pihak pembeli. Agar hak atas tanah beralih dari pihak penjual kepada pihak pembeli, maka masih diperlukan suatu perbuatan hukum lain, yaitu berupa penyerahan yuridis (balik nama). Penyerahan yuridis (balik nama) ini bertujuan untuk mengukuhkan hak-hak si pembeli sebagai pemilik tanah yang baru.

Baca juga: Peraturan Digitalisasi Sertipikat Tanah

Sementara dalam praktik jual beli tanah sering kali pihak penjual menggunakan prosedur jual beli dengan melakukan pemindahan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB). Secara hukum, hak atas tanah tersebut telah beralih kepada pembeli meskipun tanah tersebut belum disertifikatkan. Menyikapi hal tersebut, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (SEMA 4/2016) angka 7 (SEMA 4/2016), berbunyi sebagai berikut: “Peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.”

Berdasarkan hal tersebut, walaupun hanya PPJB, selama pembeli telah membayar lunas harga tanah tersebut serta telah menguasai tanah tersebut dan dilakukan dengan itikad baik, maka secara hukum peralihan hak atas tanah dari penjual kepada pembeli telah terjadi.

Tag: Berita , Artikel , Advokat