Apa yg kamu rasakan saat menyanyikan lagu serumpun padi?

MI Kelas IV. Sri Sulasmi Rujiyanto

Kelas IV MI Assa adah Ulujami

Pendidikan Kewarganegaraan Jilid 4 untuk SD dan MI Kelas IV

ILMU PENGETAHUAN ALAM SD dan MI Kelas IV ATIKAH RAHMAH

Tengah malam seperti ini, tiba-tiba teringat lagu-lagu nasional dan mulai download sana sini. Menjadikan teringat sosok sang bapak yang sejak kecil mengajarkan lagu-lagu semacam itu.

Dan tiba-tiba pula teringat jaman SD itu, saat kira-kira kelas 5 SD dan diriku diikutkan untuk ikut lomba nyanyi se-Sukoharjo. Ya, lomba nyanyi, walaupun sebenarnya tidak ada rasa percaya diri dan di babak penyisihan pun sudah tahu bagaimana hasilnya melihat peserta lainnya yang jauh lebih matang teknik menyanyi-nya. Yah, hitung-hitung buat pengalaman saja lah.

Tidak penting mengenai cerita lombanya. Mau bagaimana lagi, bersaing dengan 200 anak se-Sukoharjo di gedung Budi Sasono ya cuma untung dapet keramaian aja, tapi yang membuat saya teringat akan momen itu adalah lagunya. Lagu yang dinyanyikan adalah lagu Serumpun padi karya R. Maladi. Partiturnya seperti ini :

Dan ingatan saya pun lagi-lagi tertuju pada om saya yang juga menemani saya ketika itu, Beliau sudah dipanggil Tuhan beberapa tahun yang lalu. Sebelum saya naik ke panggung, beliau melontarkan candaan yang masih saya ingat sampai sekarang. “jangan sampai salah menyanyikan baris terakhir `Sarapan Ibu Pertiwi`”, kata beliau. Dari situ saya melihat bagaimana peran keluarga bagi kita, terutama bagi anak-anak. Juga ibu saya yang senantiasa menemani saya walaupun saya tahu bagimana capeknya beliau. 🙂

Yang ingin saya soroti lagi adalah, tentang lagunya. Coba kita perhatikan bagaimana dengan kontes menyanyi anak jaman sekarang. Anak berumur 5 tahun pun sudah hafal lagu picisan cinta-cintaan dengan lirik yang begitu begitu saja, bahkan sampai di televisi nasional pun untuk kontes menyanyi anak-anak yang dilombakan bukan lagu anak-anak atau lagu yang sesuai dengan perkembangan anak-anak. Sungguh memprihatinkan, jika dibandingkan dengan 7 – 10 tahunan yang lalu, ketika saya masih anak-anak (tepatnya ketika masih SD menjelang SMP), lebih sering saya mengikuti bapak yang mendampingi anak didiknya di sekolahnya yang maju mengikuti lomba musik (ensambel musik atau menyanyi). Yah, dan sudah pasti lagu yang dilombakan adalah lagu dengan tema nasionalisme, lagu permainan anak-anak atau lagu-lagu daerah. Bagaimanakah nasib generasi penerus kita nantinya, akankah perkembangan anak-anak nantinya akan dipengaruhi lirik-lirik lagu yang bertemakan cinta picisan yang menyebabkan mereka dewasa terlalu dini, bertemakan kekerasan yang menbentuk mental preman. Dunia lagu anak-anak belum lama ini kehilangan seorang pencipta lagu yang sudah sanget melegenda di Indonesia, Bp A.T. Mahmud. Semoga saja masih ada orang – orang yang peduli dengan masa depan generasi muda Indonesia dengan membentuk mental nasionalisme dan menjadi anak-anak sebagaimana mestinya melalui lagu.

Semoga saja serumpun padi yang tumbuh di sawah itu tidak diinjak-injak atau diberi pupuk terlalu banyak atau dimakan hama wereng, namun tetap tumbuh dan dapat dipanen pada waktunya demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Merdeka !!!

Pagi ini aku menyanyikan lagu lama yang pernah kunyanyikan waktu SD (Sekolah Dasar).


SERUMPUN PADI
Written by : R. Maladi

Serumpun padi tumbuh di sawah Hijau menguning daunnya Tumbuh di sawah penuh berlumpur

Di pangkuan ibu pertiwi

Serumpun jiwa suci Hidupnya nista abadi Serumpun padi mengandung janji Harapan ibu pertiwi


Kunyanyikan lagu itu ketika masih saja menonton TV tentang amarah saudara sebangsa akibat ulah saudara serumpun di Malaysia. Begitupun ketika kubuka laptopku dan membaca harian online, masih ada saja kecamuk benci terhadap Malaysia. Bahkan ada perlawanan komentar dari orang Malaysia di sebuah blog publik.

Memang kalau kuingat-ingat kembali, beberapa kali Malaysia melakukan klaim atas hak Indonesia. Mereka merasa lebih superior ketimbang bangsa Indonesia yang menurut sebagian orang Malaysia dianggap sebagai bangsa penjual manusia (budak/TKI).

Dari sini saja sebenarnya antara Malaysia dan Indonesia memiliki sedikit perbedaan picuan sikap. Ratusan rakyat Indonesia pergi ke Malaysia untuk mencari uang, dengan bekerja ataupun mengorbankan nyawa dan harga diri. Sedangkan orang Malaysia datang ke Indonesia untuk mencari ilmu, belajar di sekolah maupun universitas yang kualitasnya memang lebih baik dan tak tertandingi oleh perguruan tinggi di Malaysia. Kalaupun ada orang Malaysia yang cari uang di Indonesia, mereka umumnya mempunyai status pekerjaan yang lebih mentereng ketimbang orang Indonesia yang kebanyakan jadi jongos/babu.

Perbedaan latar belakang tersebut membentuk perbedaan sikap. Orang Malaysia merasa lebih superior ketimbang orang Indonesia. Melihat kenyataan orang Malaysia mengakui (mengklaim) produk dan budaya Indonesia, tak usah heran. Itulah wujud dari sikap superior yang tumbuh sedikit demi sedikit dari sikap mereka terhadap TKI. Mereka sudah terbiasa merendahkan derajat orang Indonesia. Kebiasaan itu membuat mereka yakin kalau orang Indonesia tidak akan marah terhadap klaim budaya. Orang Indonesia sudah terbiasa dihina, ditindas, dibodohi, diadudomba dan diracuni cara berpikirnya.

Tapi kali ini Malaysia salah kira. Justru sikap merendahkan martabat bangsa Indonesia itu menjadi pemicu bangkitnya nasionalisme rakyat. Malaysia lupa kalau orang Indonesia itu harus digampar dulu, baru sadar. Klaim mereka terhadap beberapa budaya Indonesia merupakan gamparan yang keras. Maka dengan gamparan itu, banyak orang Indonesia yang tersadar akan nasionalisme. Dengan gamparan Malaysia, banyak anak-anak muda yang kini mencoba belajar kembali tentang tari pendet, lagu-lagu kebangsaan, dan memaksakan diri memakai batik. Dengan tamparan telak Malaysia, banyak orang Indonesia yang sadar, betapa mereka terlalu lama lupa akan budayanya, lupa akan harga dirinya, bahkan lupa tentang siapa dirinya sendiri.

Karena itu, sebagai bangsa serumpun, kuucapkan terima kasih kepada Malaysia. Bagaimanapun sikap superioritas kalian yang kadang menjengkelkan, aku merespon dari sisi positifnya saja : Betapa nasionalisme Indonesia menjadi bangkit kembali. Sebab bangsa ini memang bangsa yang harus dilecut, baru bekerja. Harus ditendang, baru sadar. Harus ada yang dibunuh, baru berani melawan.


Lihat Sosbud Selengkapnya

Page 2

Pagi ini aku menyanyikan lagu lama yang pernah kunyanyikan waktu SD (Sekolah Dasar).


SERUMPUN PADI
Written by : R. Maladi

Serumpun padi tumbuh di sawah Hijau menguning daunnya Tumbuh di sawah penuh berlumpur

Di pangkuan ibu pertiwi

Serumpun jiwa suci Hidupnya nista abadi Serumpun padi mengandung janji Harapan ibu pertiwi


Kunyanyikan lagu itu ketika masih saja menonton TV tentang amarah saudara sebangsa akibat ulah saudara serumpun di Malaysia. Begitupun ketika kubuka laptopku dan membaca harian online, masih ada saja kecamuk benci terhadap Malaysia. Bahkan ada perlawanan komentar dari orang Malaysia di sebuah blog publik.

Memang kalau kuingat-ingat kembali, beberapa kali Malaysia melakukan klaim atas hak Indonesia. Mereka merasa lebih superior ketimbang bangsa Indonesia yang menurut sebagian orang Malaysia dianggap sebagai bangsa penjual manusia (budak/TKI).

Dari sini saja sebenarnya antara Malaysia dan Indonesia memiliki sedikit perbedaan picuan sikap. Ratusan rakyat Indonesia pergi ke Malaysia untuk mencari uang, dengan bekerja ataupun mengorbankan nyawa dan harga diri. Sedangkan orang Malaysia datang ke Indonesia untuk mencari ilmu, belajar di sekolah maupun universitas yang kualitasnya memang lebih baik dan tak tertandingi oleh perguruan tinggi di Malaysia. Kalaupun ada orang Malaysia yang cari uang di Indonesia, mereka umumnya mempunyai status pekerjaan yang lebih mentereng ketimbang orang Indonesia yang kebanyakan jadi jongos/babu.

Perbedaan latar belakang tersebut membentuk perbedaan sikap. Orang Malaysia merasa lebih superior ketimbang orang Indonesia. Melihat kenyataan orang Malaysia mengakui (mengklaim) produk dan budaya Indonesia, tak usah heran. Itulah wujud dari sikap superior yang tumbuh sedikit demi sedikit dari sikap mereka terhadap TKI. Mereka sudah terbiasa merendahkan derajat orang Indonesia. Kebiasaan itu membuat mereka yakin kalau orang Indonesia tidak akan marah terhadap klaim budaya. Orang Indonesia sudah terbiasa dihina, ditindas, dibodohi, diadudomba dan diracuni cara berpikirnya.

Tapi kali ini Malaysia salah kira. Justru sikap merendahkan martabat bangsa Indonesia itu menjadi pemicu bangkitnya nasionalisme rakyat. Malaysia lupa kalau orang Indonesia itu harus digampar dulu, baru sadar. Klaim mereka terhadap beberapa budaya Indonesia merupakan gamparan yang keras. Maka dengan gamparan itu, banyak orang Indonesia yang tersadar akan nasionalisme. Dengan gamparan Malaysia, banyak anak-anak muda yang kini mencoba belajar kembali tentang tari pendet, lagu-lagu kebangsaan, dan memaksakan diri memakai batik. Dengan tamparan telak Malaysia, banyak orang Indonesia yang sadar, betapa mereka terlalu lama lupa akan budayanya, lupa akan harga dirinya, bahkan lupa tentang siapa dirinya sendiri.

Karena itu, sebagai bangsa serumpun, kuucapkan terima kasih kepada Malaysia. Bagaimanapun sikap superioritas kalian yang kadang menjengkelkan, aku merespon dari sisi positifnya saja : Betapa nasionalisme Indonesia menjadi bangkit kembali. Sebab bangsa ini memang bangsa yang harus dilecut, baru bekerja. Harus ditendang, baru sadar. Harus ada yang dibunuh, baru berani melawan.


Lihat Sosbud Selengkapnya

Page 3

Pagi ini aku menyanyikan lagu lama yang pernah kunyanyikan waktu SD (Sekolah Dasar).


SERUMPUN PADI
Written by : R. Maladi

Serumpun padi tumbuh di sawah Hijau menguning daunnya Tumbuh di sawah penuh berlumpur

Di pangkuan ibu pertiwi

Serumpun jiwa suci Hidupnya nista abadi Serumpun padi mengandung janji Harapan ibu pertiwi


Kunyanyikan lagu itu ketika masih saja menonton TV tentang amarah saudara sebangsa akibat ulah saudara serumpun di Malaysia. Begitupun ketika kubuka laptopku dan membaca harian online, masih ada saja kecamuk benci terhadap Malaysia. Bahkan ada perlawanan komentar dari orang Malaysia di sebuah blog publik.

Memang kalau kuingat-ingat kembali, beberapa kali Malaysia melakukan klaim atas hak Indonesia. Mereka merasa lebih superior ketimbang bangsa Indonesia yang menurut sebagian orang Malaysia dianggap sebagai bangsa penjual manusia (budak/TKI).

Dari sini saja sebenarnya antara Malaysia dan Indonesia memiliki sedikit perbedaan picuan sikap. Ratusan rakyat Indonesia pergi ke Malaysia untuk mencari uang, dengan bekerja ataupun mengorbankan nyawa dan harga diri. Sedangkan orang Malaysia datang ke Indonesia untuk mencari ilmu, belajar di sekolah maupun universitas yang kualitasnya memang lebih baik dan tak tertandingi oleh perguruan tinggi di Malaysia. Kalaupun ada orang Malaysia yang cari uang di Indonesia, mereka umumnya mempunyai status pekerjaan yang lebih mentereng ketimbang orang Indonesia yang kebanyakan jadi jongos/babu.

Perbedaan latar belakang tersebut membentuk perbedaan sikap. Orang Malaysia merasa lebih superior ketimbang orang Indonesia. Melihat kenyataan orang Malaysia mengakui (mengklaim) produk dan budaya Indonesia, tak usah heran. Itulah wujud dari sikap superior yang tumbuh sedikit demi sedikit dari sikap mereka terhadap TKI. Mereka sudah terbiasa merendahkan derajat orang Indonesia. Kebiasaan itu membuat mereka yakin kalau orang Indonesia tidak akan marah terhadap klaim budaya. Orang Indonesia sudah terbiasa dihina, ditindas, dibodohi, diadudomba dan diracuni cara berpikirnya.

Tapi kali ini Malaysia salah kira. Justru sikap merendahkan martabat bangsa Indonesia itu menjadi pemicu bangkitnya nasionalisme rakyat. Malaysia lupa kalau orang Indonesia itu harus digampar dulu, baru sadar. Klaim mereka terhadap beberapa budaya Indonesia merupakan gamparan yang keras. Maka dengan gamparan itu, banyak orang Indonesia yang tersadar akan nasionalisme. Dengan gamparan Malaysia, banyak anak-anak muda yang kini mencoba belajar kembali tentang tari pendet, lagu-lagu kebangsaan, dan memaksakan diri memakai batik. Dengan tamparan telak Malaysia, banyak orang Indonesia yang sadar, betapa mereka terlalu lama lupa akan budayanya, lupa akan harga dirinya, bahkan lupa tentang siapa dirinya sendiri.

Karena itu, sebagai bangsa serumpun, kuucapkan terima kasih kepada Malaysia. Bagaimanapun sikap superioritas kalian yang kadang menjengkelkan, aku merespon dari sisi positifnya saja : Betapa nasionalisme Indonesia menjadi bangkit kembali. Sebab bangsa ini memang bangsa yang harus dilecut, baru bekerja. Harus ditendang, baru sadar. Harus ada yang dibunuh, baru berani melawan.


Lihat Sosbud Selengkapnya

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA