Apa yg anda ketahui tentang biografi ibnu batutah jelaskan

Biografiku.com – Profil dan Biografi dari Ibnu Battuta. Beliau dikenal karena petualangannya mengelilingi dunia. Hampir 120.000 kilometer telah ditempuhnya selama rentang waktu 1325-1354 M atau tiga kali lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marco Polo.

Apa yg anda ketahui tentang biografi ibnu batutah jelaskan

Biografi Ibnu Battuta

Ibnu Battuta dikenal karena petualangannya mengelilingi dunia. Hampir 120.000 kilometer telah ditempuhnya selama rentang waktu 1325-1354 M atau tiga kali lebih panjang dari jarak yang telah ditempuh oleh Marco Polo.

Seluruh catatan perjalanan dan pengalaman Ibnu Battuta selama pengembaraan ditulis ulang oleh Ibnu Jauzi seorang penyair dan penulis buku kesultanan Maroko.

Ibnu Jauzi menuliskannya berdasarkan paparan lisan yang didiktekan langsung oleh Ibnu Battuta. Penulisan buku ini diprakarsai oleh Sultan Maroko saat itu, Abu Inan. Buku ini disusun selama dua tahun dan diberi judul “Tuhfat al-Nuzzar fi Ghara’ib al-Amsar wa-’Aja’ib al-Asfar” atau lebih dikenal dengan “Rihla Ibnu Battuta”.

Perjalanan Ibnu Battuta

Pada usia sekitar dua puluh tahun, Tujuan awal perjalanan Ibnu Battuta adalah menunaikan ibadah haji pada tahun 1325 M, tetapi tujuan awalnya itu telah membawanya menuju penjelajahan 30 tahun yang gemilang.

Dari Maroko ke Mekkah

Perjalanan awal Ibnu Battuta di mulai dari Tangier, Maroko menuju Mekkah. Untuk Menghindari berbagai resiko buruk seperti diserang perampok, selama perjalanan Ibnu Battuta bergabung dengan kafilah yang akan menuju Mesir.

Bersama Kafilah itu, Ibnu Battuta dengan menyusuri hutan, bukit dan pegunungan bergerak menuju Tlemcen, Bejaia lalu kemudian tiba di Tunisia dan tinggal di sana selama dua bulan.

Apa yg anda ketahui tentang biografi ibnu batutah jelaskan
Dari Tunisia, Ibnu Battuta dan rombongan kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Libya. Sejak meninggalkan Tangier hingga Libya Ibnu Battuta telah menempuh perjalanan darat sejauh hampir 3.500 km melintasi Afrika Utara.

Berkunjung ke Mesir

Delapan bulan sebelum musim ibadah haji dimulai Ibnu Battuta memutuskan untuk mengunjungi Kairo. Pada tahun 1326 M, Ibnu Battuta dan rombongannya tiba di Pelabuhan Alexandria di ujung barat delta sungai Nil.

Ibnu Battuta sangat terkesan melihat pelabuhan Alexandria dan menurutnya Alexandria adalah satu dari lima tempat paling menakjubkan yang pernah dia kunjungi. Saat itu Alexandria merupakan pelabuhan yang sangat sibuk dengan berbagai aktifitas dan berada di bawah kendali Kerajaan Mamluk.

Setelah beberapa pekan di Alexandria lalu Ibnu Battuta singgah di Kairo beberapa saat dan langsung melanjutkan perjalanannya ke Damaskus dengan pengawasan ketat dari Kerajaan Mamluk.

Di Damaskus Ibnu Battuta menghabiskan bulan Ramadhan dan menggunakan waktunya untuk belajar, bertemu dengan beberapa guru, orang-orang terpelajar dan para hakim setempat.

Selama 24 hari di Damaskus, kemudian Ibnu Battuta melanjutkan perjalanannya ke Mekkah melalui Jalur Suriah. Sepanjang jalur itu Ibnu Battuta banyak mengunjungi tempat-tempat suci.

Al-Khalil (Hebron), Al-Quds (Jerusalem), Bethlehem adalah beberapa tempat yang dikunjunginya. Selama seminggu di Jerusalem, Ibnu Battuta mengunjungi Masjid Al-Aqsa dan Kubah Batu.

Menjelang musim haji dimulai dan setelah bulan ramadhan selesai, Ibnu Battuta meninggalkan Damaskus dan bergabung kembali dengan rombongan haji lainnya untuk melanjutkan perjalanannya ke Madinah.

Di bawah pengawasan Kerajaan Mamluk yang menjamin keamanan para jemaah haji, maka Ibnu Battuta dan rombongannya dapat tiba di Madinah dengan selamat. Setibanya di Madinah Ibnu Battuta tinggal selama empat hari lalu bergegas menuju Mekkah untuk melaksanakan ibadah hajinya.

Setelah menyempurnakan ritual hajinya, Ibnu Battuta tidak pulang ke Tangier tetapi dia memutuskan untuk melanjutkan pengembaraannya ke Irak dan Iran.

BACA JUGA :  Biografi Satoshi Tajiri - Pembuat Pokemon

Dalam biografi ibnu battuta diketahui bahwa setelah pengembaraannya dari Irak dan iran, Ibnu Battuta kembali lagi ke Mekkah untuk melaksanakan ibadah Hajinya yang kedua. Garis besar perjalanan Ibnu Battuta berawal dari Maroko menuju Aljazair, Tunisia, Mesir, Palestina, Suriah dan tiba di Mekkah.

Apa yg anda ketahui tentang biografi ibnu batutah jelaskan
Rute Perjalanan Ibnu Battutah

Setelah mengembara ke Irak, Shiraz dan Mesopotamia Ibnu Battuta melaksanakan ibadah haji yang kedua dan tinggal di Mekkah selama tiga tahun.

Menjelajah Hingga Ke India

Kemudian dia pergi ke Jeddah dan melanjutkan perjalanan ke Yaman melalui jalur laut kemudian singgah di Aden dan meneruskan perjalanannya ke Mombasa Afrika Timur.

Dalam biografi ibnu battuta, diketahui bahwa pada tahun 1332 setelah dari Kulwa, Ibnu Battuta pergi ke Oman melalui Selat Hormuz, Siraf, Bahrain dan Yamama untuk kembali melaksanakan ibadah haji di Mekkah. Setelah itu Ibnu Battuta memutuskan untuk pergi ke India melalui Jeddah, namun dia berubah pikiran dan memutuskan untuk kembali mengunjungi Kairo, Palestina dan Suriah.

Setibanya di sana, Ibnu Battuta melanjutkan kembali perjalanannya ke Asia Kecil (Aleya) melalui jalur laut menuju Anatolia dan meneruskan petualangannya dengan melintasi laut hitam.

Setelah beberapa lama dan berada dalam perjalanan yang penuh bahaya, akhirnya Ibnu Battuta tiba di Turki melalui Selatan Ukraina. Ibnu Battuta kemudian meneruskan penjelajahannya ke Khurasan dan mengunjungi kota-kota penting seperti Bukhara, Balkh, Herat dan Nishapur. Ibnu Battuta melintasi pegunungan Hindukush untuk tiba di Afghanistan untuk selanjutnya masuk ke India melalui Ghani dan Kabul.

Apa yg anda ketahui tentang biografi ibnu batutah jelaskan

Dia terus menyusuri Lahri (dekat Karachi Pakistan), Sukkur, Multan, Sirsa dan Hansi akhirnya Ibnu Battuta tiba di Delhi. Selama beberapa tahun di sana Ibnu Battuta disambut keramahan Sultan Mohammad Tughlaq.

BACA JUGA :  Biografi Pangeran Charles - Sang Calon Raja Inggris

Setleah kunjungannya di Delhi Ibnu Battuta kembali meneruskan perjalanannya melewati India Tengah dan Malwa kemudian dia menggunakan kapal dari Kambay menuju Goa.

Setelah mengunjungi banyak tempat sebelumnya, kemudian Ibnu Battuta tiba di Pulau Maladewa melalui jalur Pantai Malabar dan selanjutnya terus menyeberang ke Srilanka.

Ibnu Battuta masih terus melanjutkan penjelajahannya hingga mendarat di Coromandal dan kembali lagi ke Maladewa hingga akhirnya dia berlabuh di Bengal dan mengunjungi Kamrup, Sylhet dan Sonargaon dekat Dhaka.

Berkunjung ke Aceh, Indonesia

Ibnu Battuta berlayar sepanjang Pantai Arakan dan kemudian Ibnu Battuta tiba di Aceh, Indonesia. tepatnya di Samudera Pasai. Di sana Ibnu Battuta tinggal selama 15 hari dan berjumpa dengan Sultan Mahmud Malik Zahir. Setelah kunjungannya di Aceh Ibnu Battuta lalu meneruskan perjalannya ke Kanton lewat jalur Malaysia dan Kamboja.

Setibanya di Cina, Ibnu Battuta terus berpetualang ke Peking melalui Hangchow. Setelahnya Ibnu Battuta kemudian kembali ke Calicut dan dengan menggunakan kapal dia tiba di Dhafari dan Muscat untuk meneruskan perjalanan kembali ke Iran, Iraq, Suriah, Palestina dan Mesir lalu kembali beribadah haji untuk yang ketujuh kalinya di Mekkah pada November 1348 M.

Menjelajah ke Spanyol

Setelah ibadah haji terakhirnya itu Ibnu Battuta pulang ke kampung halamannya, Fez. Namun, perjalanannya tidak berhenti sampai di sana, setelah pulang ke Fez, Ibnu Battuta kembali mengembara ke negeri muslim lainnya seperti Spanyol dan Nigeria melintasi gurun sahara.

Tahun 1369 pada usia 65 tahun Ibnu Battuta meninggal dunia. Dalam biografi Ibnu Battuta diketahui bahwa ia meninggalkan warisan berharga bagi dunia berupa catatan perjalannya yang akan selalu dikenang oleh umat manusia yang berjudul Rihlah Ibnu batutah

Gambar ini ilustrasi dari iluminasi manuskrip Maqamat oleh Al-Hariri (1054-1122). Tokoh dalam gambar bukan Ibnu Battuta yang baru lahir 70 tahun setelah gambar ini diterbitkan. (Wikipedia).

Ibnu Battuta mengembara dengan keledainya meninggalkan kota kelahirannya di Tangier, Maroko. Ia pergi seorang diri ke arah timur di sepanjang wilayah Afrika Utara, melewati lembah sungai dan daratan-daratan kering yang diapit serangkaian pegunungan. 

“Tujuanku untuk berziarah ke Kabah (di Makkah), dan untuk mengunjungi makam Nabi,” ungkapnya dalam Rihla.

Ketika meninggalkan rumah, Ibnu Battuta berusia 21 tahun. Gairahnya berpetualang ke dunia luar begitu membara. Ia berharap bisa belajar lebih banyak.

Advertising

Advertising

Menurut Ross E. Dunn, sejarawan San Diego State University, dalam Petualangan Ibnu Battuta, Seorang Musafir Muslim Abad 14, Ibnu Battuta tak lebih sebagai musafir kesepian yang berhasrat bergabung dengan siapa saja yang dapat menerimanya sebagai teman. 

“Aku sudah dipengaruhi keinginan yang mendadak menguasai batin dan sebuah hasrat yang sudah lama berkembang dalam dada untuk mengunjungi tempat-tempat suci yang semarak itu,” ujar Ibnu Battuta. 

Setelah dua atau tiga pekan, Ibnu Battuta beroleh kawan seperjalanan. Bersama pedagang Ifriqiya (kini, Tunisia), ia tiba di pelabuhan Aljir. Ini adalah pemandangan Laut Tengah yang pertama kali baginya.

Baca juga: Catatan Perjalanan Haji Muslim Nusantara

Selama beberapa kali perjalanan, Ibnu Battuta beruntung terhindar dari para penyamun. Ia sering mampir di beberapa tempat, salah satunya untuk menunggu musim haji. Hampir satu setengah tahun kemudian, ia dengan senang memasuki lembah sempit Makkah yang berwarna cokelat. Ia segera menuju Rumah Suci yang tak terlukiskan itu.

Setelah tujuan naik haji tercapai, Ibnu Battuta pergi ke Baghdad bersama peziarah asal Irak. Tujuan pengembaraannya bukan lagi religi, tapi petualangan. Dari sinilah, ia memulai penjelajahan dunia.

“Dampak apapun yang menggetarkan ibadah hajinya yang pertama mungkin telah melandanya,” catat Dunn. “Ia bukan lagi anak muda yang berdiri putus asa di pusat Kota Tunis tanpa tujuan dan tanpa orang untuk diajak bicara.”

Ibnu Battuta (kanan) di Mesir. Ilustrasi karya Léon Benett dalam sebuah buku yang terbit pada 1878. (Wikipedia).

Dari Keluarga Cendekiawan

Seperti diungkapkan dalam memoarnya, Rihla, Ibnu Battuta mendadak sangat berhasrat pergi ke Tanah Suci. Dengan berat, ia meninggalkan rumah dan orang tua, seperti burung meninggalkan sangkar. Ia pergi pada 2 Rajab 725 Hijriah atau 14 Juni 1325.

Keputusan Ibnu Battuta melanjutkan pengembaraan usai naik haji membawanya ke pusat-pusat utama Islam pada waktu itu. Bahkan, ia sampai ke perbatasan dunia Islam di Asia (India dan Cina) dan Afrika (Mali).

Abu ‘Abdallah Muhammad Ibn’ Abdallah ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Lawati Ibn Battuta lahir pada 25 Februari 1304. Ia besar dalam keluarga keturunan suku Berber yang terkenal dengan nama suku Lawata. Orangtuanya masih hidup ketika ia meninggalkan Maroko.

Ia dan beberapa keluarganya mendapat pengajaran ilmu hukum. “Selama tahun-tahun masa remajanya, ia memperoleh nilai-nilai dan kepekaan seorang lelaki yang berpendidikan,” tulis Dunn.

Pada abad ke-14, Tangier bukanlah pusat kegiatan pendidikan di Afrika Utara. Waktu Ibnu Battuta tumbuh, kota ini belum punya lembaga pengajaran, yang baru didirikan oleh penguasa baru, Dinasti Marinid.

Namun, Tangier tetap punya keluarga-keluarga cendekiawan, pejabat agama di masjid-masjid dan lembaga agama lainnya, pejabat administrasi, penasihat hukum dan hakim, serta guru dan guru besar bagi para putera keluarga kaya dari kalangan pedagang dan tuan tanah.

“Pendidikan yang diterima Ibnu Battuta adalah suatu yang berharga bagi seorang anggota keluarga ahli hukum,” jelas Dunn. “Keluarganya berkedudukan terhormat sebagai anggota elite para cendikiawan kota.”

Diduga, meski berasal dari suku Berber, Ibnu Battuta menggunakan bahasa Arab di rumah dan pergaulannya. Di usia remaja, ia telah mampu bertata krama dalam kehidupan seorang sarjana dan menjadi lelaki beradab penopang budaya kota.

Separuh Hidup Berkelana

Ibnu Battuta bukan seorang turis yang datang untuk menikmati alam, budaya, atau apapun. Menurut sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Taufik Abdullah, ia adalah seorang ulama yang terpelajar. Dalam pengelanaannya, ia tak ubahnya seorang ulama yang berkelana sambil menyebarkan ilmunya.

“Di berbagai tempat, ia tampil sebagai penasihat atau kepercayaan sang penguasa. Tak jarang pula, ia menjadi pejabat keagamaan atau utusan seorang penguasa ke penguasa lainnya. Di atas segalanya, ia adalah seorang ulama yang selalu ingin memperdalam ilmunya dari ulama lain,” kata Taufik Abdullah dalam “Secercah Kisah: Ibn Battuta Sang Penjelajah Muslim Tanpa Bandingan” yang disampaikan di Borobudur Writers and Cultural Festival 2018. 

Kisah perjalanan Ibnu Battuta merentang hampir tiga puluh tahun. Dalam waktu itu, ia telah melintasi kawasan Dunia Timur, mengunjungi daerah-daerah yang luasnya sama dengan luas 44 negara pada zaman modern.

Baca juga: Ibnu Battuta Singgah di Samudra Pasai

Menurut Taufik, hampir seluruh hidupnya berkelana di dalam batas yang disebut Dar al-Islam, negeri-negeri yang penduduknya mayoritas muslim atau paling tidak raja dan para pangeran yang memerintah mayoritas muslim lalu memberlakukan syariat Islam. Dimulai dari Maghribi di Afrika, Tangiers di Maroko ke Jazirah Arab, sampai ke Asia Kecil di wilayah yang disebut para pelancong barat sebagai Bulan Sabit yang Subur, lalu ke anak benua India, dan ujung Pulau Sumatra hingga ke Tiongkok.

“Ia adalah pengelana pertama yang mengunjungi seluruh dunia Islam yang dikenal waktu itu,” kata Taufik.

Suatu hari, saat mampir di Damaskus dalam perjalanannya kembali ke Maroko, Ibnu Battuta mendapat kabar ayahnya telah meninggal dunia 15 tahun lalu. Lalu disusul ibunya yang ia dengar baru meninggal beberapa bulan sebelumnya. Waktu itu ia sedang ibadah haji. Mampir untuk kesekian kalinya ke Makkah.

“Bisa dimengerti kalau setelah beberapa hari sampai di Tangiers hatinya terdorong untuk melanjutkan perjalanan ke wilayah Andalus di Semenanjung Iberia,” kata Taufik.

Petualangan Ibnu Battuta diakhiri usai bersafari dengan rombongan unta, melintasi Gurun Sahara menuju Kerajaan Mali di wilayah Sudan, Afrika Barat. Pada 1355, ia akhirnya benar-benar pulang kampung untuk menetap.

Rute perjalanan Ibnu Battuta. (History).

Selama mengembara, Ibnu Battuta tak pernah membuat jurnal. Sultan Abu ‘Inan, penguasa Marinid dan Maroko, meminta Ibnu Juzayy, sarjana sastra Andalusia yang masih muda, untuk mencatat pengalaman Ibnu Battuta. Ibnu Battuta menghabiskan dua tahun berikutnya untuk mendiktekan kisahnya kepada Juzayy.

Hasilnya adalah sejarah lisan yang disebut “Hadiah untuk Mereka yang Merenungkan Keajaiban Kota dan Keajaiban Perjalanan” atau yang lebih dikenal dengan Rihla (Perjalanan).

Dalam pengembangan ilmu geografi Arab-muslim, Luiz Eduardo Panisset Travassos, dosen geografi Pontifícia Universidade Católica de Minas Gerais, Brazil, menyejajarkan Ibnu Battuta dengan al-Muqaddasi (945-988), al-Idrisi (1099-1180), dan Ibn Khaldun (1331-1406), yang mendeskripsikan geografi regional secara terperinci.

“Al-Muqaddasi adalah orang pertama yang mengadopsi praktik kerja lapangan, karena para pendahulunya melaporkan hanya berdasarkan data sekunder,” tulis Travassos dalam “Ibn Battuta, Travel Geography, Karst and the Sacred Underground,” terbit di Jurnal Mercator.

Baca juga: Empat Penjelajah Muslim Awal

Menurut Travassos ada dua faktor yang membuat orang-orang muslim terlibat langsung dan tak langsung dalam kemajuan luar biasa ilmu geografi. Pertama, ada kebutuhan untuk membuat peta wilayah taklukkan agar dapat mengelolanya lebih baik. Ini terkait pula dengan tindakan militer mereka. 

“Kartografer muslim menghasilkan atlas perintis yang mencatat rute dan kerajaan, yang mengarah ke tradisi kartografi yang sangat populer dalam Islam,” jelasnya. 

Kedua, ini justru faktor tertua yaitu prinsip perjalanan suci ke Makkah, sebagaimana yang mendorong pengembaraan Ibnu Battuta.

Musafir itu tak memiliki latar belakang profesional atau pengalaman sebagai penulis geografi, sejarah, atau etnografi. “Ia adalah seorang muslim yang punya keinginan besar naik haji, tetapi dengan begitu saja memulai kariernya sebagai seorang penjelajah dunia,” tulis Dunn.

Dijuluki sebagai pengelana terbesar sepanjang sejarah, Ibnu Battuta sering dibandingkan dengan Marco Polo, penjelajah asal Italia. Namun, ia biasanya disebut sebagai Marco Polo dunia muslim atau Marco Polo wilayah tropis.

Sama halnya degan Marco Polo, orang kini hampir tak mengetahui kehidupan pribadi Ibnu Battuta. Bahkan, tak pasti di mana letak pusaranya setelah ia meninggal pada 1368 atau 1369. “Pemandu wisata di Tangier hanya akan menunjukkan sebuah kuburan sederhana yang diduga keras menyimpan sisa-sisa kematian sang musafir,” tulis Dunn.