Apa yang kamu ketahui tentang Perjanjian Hudaibiyah serta tuliskan isi Perjanjian Hudaibiyah tersebut?

PELAJARAN hidup (lesson learning) dari Nabi Muhammad SAW tidak pernah kering. Keberhasilan Muhammad memperkenalkan misinya lebih banyak ditentukan kekuatan dan keunggulan diplomasi beliau, bukan karena kekuatan bala tentaranya.

Rasulullah lebih menonjol sebagai diplomat ketimbang seorang jenderal perang meskipun semasa di Madinah beliau disuguhi sejumlah peperangan dan beberapa kali memimpin langsung.

Salah satu contoh keunggulan diplomasi Nabi ialah Perjanjian Hudaibiyah. Keputusan Nabi dalam perjanjian ini sangat tidak populis. Bahkan sahabat terdekat seperti Umar tidak mau menuliskan perjanjian itu karena bukan hanya tidak adil, tetapi juga melecehkan simbol akidah Islam.

Ketika merundingkan gencatan senjata antara umat Islam dan kaum kafir Quraisy, Rasulullah memimpin lagsung delegasinya dan pihak kafir Quraisy dipimpin seorang diplomat ulung bernama Suhail. Sebagai preambul naskah perjanjian itu, Rasulullah meminta diawali dengan kata Bismillahirrahmanirrahim. Namun, Suhail menolaknya karena menilai kalimat itu asing. Lalu dia mengusulkan kalimat bismikallahumma, kalimat yang populer di masyarakat Arab ketika itu.

Sebagai penutup, perjanjian itu diusulkan dengan kata, Hadza ma qadha 'alaihi Muhammad Rasulullah (perjanjian ini ditetapkan oleh Muhammad Rasulullah). Lagi-lagi Suhail menolak kalimat ini dan mengusulkan kata, Hadza ma qudhiya 'alaihi Muhammad ibn 'Abdullah (perjanjian ini ditetapkan Muhammad putra Abdullah). Pencoretan basmalah dan kata 'Rasulullah' membuat para sahabat tersinggung dan menolak perjanjian itu. Akan tetapi, Rasulullah meminta para sahabatnya untuk menyetujui naskah perjanjian itu.

Konon Rasulullah mengambil alih sendiri penulisan itu karena sahabat tidak ada yang tega mencoret kata Rasulullah, yang dianggapnya sebagai salah suatu prinsip dasar akidah Islam. Kelemahan lain dari segi substansi, menurut para sahabat Nabi, terdapat materi yang dinilai tidak adil karena kalau orang kafir Quraisy yang menyeberang batas di wilayah muslim, Madinah, segera dibebaskan dan segera dikembalikan ke Mekah. Adapun kalau yang melanggar batas umat Islam, orangnya ditahan di Mekah. Materi perjanjian seperti ini pun Rasulullah menyetujuinya.

Kelihatannya memang perjanjian ini tidak adil dan melanggar rambu-rambu akidah, yakni berupa pencoretan kata Bismillah dan Rasulullah yang dianggap prinsip dalam Islam. Namun, Nabi tetap menganggap itu batas maksimum yang dapat dilakukan terutama untuk mengatasi jumlah korban jiwa akibat peperangan.

Nabi tahu apa akibat yang akan dialami umat Islam jika tidak dilakukan gencatan senjata. Ia juga tahu langkah-langkah lebih lanjut yang akan dilakukan. Para sahabat belum tahu apa arti kebijakan Nabi itu. Seandainya saja Nabi hanya sebagai pemimpin Arab biasa, bukan Nabi, sudah pasti tidak akan mendapat dukungan kelompoknya. Akan tetapi, para sahabat tahu bahwa Nabi di samping seorang kepala negara yang cerdas juga seorang Nabi sehingga para sahabat diam dan menurut.

Pada akhirnya, apa yang ditetapkan Nabi ternyata benar. Sekiranya para pelintas batas kaum kafir Quraisy harus ditahan di Madinah, sudah barang tentu akan memberikan beban ekonomi tambahan bagi masyarakat Madinah yang sudah kebanjiran pengungsi dari Mekah. Sebaliknya, kalau para pelintas batas dari Madinah ditahan di Mekah dibiarkan, karena pasti mereka itu para kader dan dapat melakukan upaya politik pecah-belah di antara suku-suku yang ada di dalam masyarakat Quraish.

Pada saat bersamaan, Nabi terus menggalang pengaruh dengan kabilah-kabilah pinggiran dan karena kepiawaiannya, Nabi berhasil memukau sejumlah kabilah kecil dan bersatu di bawah kekuatan Nabi. Kabilah-kabilah yang tadinya terpecah belah di kawasan Yatsrib (Madinah) berhasil disatukan Nabi, terutama dua suku besar yaitu suku 'Aus dan suku Khazraj.

Akhirnya, kekuatan umat Islam yang juga didukung umat agama lain semakin besar.

Ramadan 1440 H Renungan Ramadan