Apa yang dimaksud dengan rahmatan lil alamin

Sedari awal Islam mengajarkan kepada pemeluknya perihal pentingnya menjalin hubungan yang ramah dalam bingkai toleransi antarumat beragama. Hal ini tidak lain selain sebagai bukti bahwa ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw merupakan ajaran rahmat bagi alam semesta.

Untuk menumbuhkan nilai-nilai toleransi, yang harus dipahami pertama kali adalah kesadaran bahwa perbedaan dalam agama merupakan hal niscaya yang memang tidak bisa dihindari, bahkan Al-Qur’an juga mengafirmasi perihal kebebasan tersebut. Allah swt berfirman,

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ

Artinya, “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS Al-Kafirun [109]: 6).

Ayat ini menjadi bukti bahwa fakta adanya agama lain tidak bisa dibantah. Memang, umat Islam mesti meyakini bahwa hanya ajaran agamanya yang paling benar. Namun, dalam konteks relasi bermasyarakat, klaim itu tidak boleh sampai mengganggu, apalagi menegasikan, penganut agama-agama lain untuk hidup dengan aman.

Selain itu, ayat ini juga menjadi sebuah pesan tentang kebebasan beragama, bahwa Islam tidak mengajarkan pemaksaan. Keragaman agama adalah sebuah fakta yang niscaya, dan Islam mendorong umatnya untuk hidup berdampingan secara damai dengan umat-umat lainnya, tanpa saling menjelekkan. Rasulullah juga menerapkan nilai-nilai toleransi ini, dan jejak yang paling kentara adalah saat dirumuskannya Piagam Madinah.

Syekh Wahbah Zuhaili dalam kitab tafsirnya mengatakan bahwa sikap toleransi antarumat beragama seharusnya menjadi kesadaran bagi semua umat manusia. Sebab, dengan toleransi, kerukunan bisa terjalin, kedamaian bisa tercipta di mana-mana, hingga bisa meminimalisasi perilaku kontraproduktif terhadap kerukunan antaragama. Selain itu, persatuan antarmanusia juga akan tercipta tanpa memandang latar belakang agama mereka masing-masing (Syekh Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir fil Aqidah wasy Syariah wal Manhaj, [Damaskus, Bairut, Darul Fikr, cetakan kedua: 2000], juz I, h. 298).

Selain penafsiran di atas, ada ayat lain yang justru menjadi dalil paling pokok perihal spirit diutusnya Rasulullah saw, yaitu:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ

Artinya, “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107).

Pada ayat di atas, Allah hendak menegaskan kembali bahwa di antara tujuan diutusnya Nabi Muhammad adalah untuk menanamkan kasih sayang kepada semua umat manusia, bahkan kepada seluruh alam, tanpa memandang latar belakangnya.

Selain itu, yang dimaksud rahmat pada ayat di atas adalah tidak menjadikan ilmu pengetahuan tentang agama Islam sebagai media propaganda dan pemecah belah umat. Sebab, persatuan merupakan salah satu sendi-sendi Islam dan kekuatan paling solid sebagai agama yang menjunjung nilai-nilai persatuan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Jabir bin Musa bin Abu Bakar al-Jazairi dalam kitab tafsirnya, bahwa tidak sepatutnya ilmu pengetahuan dijadikan sebuah legitimasi propaganda dan perpecahan,

فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَكُوْنَ الْعِلْمُ وَالْمَعْرِفَةُ بِشَرَائِعِ اللهِ سَبَبًا فِيْ الفُرْقَةِ وَالْخِلَافِ

Artinya, “Maka tidak sepatutnya, ilmu dan pengetahuan perihal syariat-syariat Allah, dijadikan sebagai media propaganda dan perpecahan.” (Al-Jazairi, Aisarut Tafasir li Kalamil Kabir, [Maktabah Ulum wal Hikmah, cetekan empat: 2003], juz 1, halaman 357).

Untuk menciptakan persatuan antarumat beragama, tidak ada cara paling tepat selain berlaku toleran, ramah, dan penuh kasih sayang kepada mereka. Oleh karenanya, toleransi menempati posisi sangat penting dalam ajaran Islam itu sendiri.

Syekh Sulaiman al-Jamal dalam salah satu kitabnya juga memberikan penjelasan perihal kata rahmat pada frase rahmatan lil 'alamin dalam ayat di atas. Beliau mengatakan,

اَلْمُرَادُ بِالرَّحْمَةِ الرَحِيْمُ. وَهُوَ كاَنَ رَحِيْمًا بِالْكَافِرِيْنَ. أَلَا تَرَى أَنَّهُمْ لَمَّا شَجُّوْهُ وَكَسَرُوْا رَبَاعِيَتَهُ حَتَّى خَرَّ مُغْشِيًّا عَلَيْهِ. قَالَ بَعْدَ اِفَاقَتِهِ اللهم اهْدِ قَوْمِى فَإِنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَ

Artinya, “Yang dimaksud dengan rahmat adalah ar-rahim (bersifat penyayang). Nabi Muhammad saw adalah orang yang bersifat penyayang kepada orang kafir. Tidakkah Anda lihat, ketika orang kafir melukai Nabi dan mematahkan beberapa giginya, hingga ia terjatuh dan pingsan, kemudian ketika sadar ia berdoa kepada Allah, ‘Ya Allah! Berilah hidayah untuk kaumku, karena sesungguhnya mereka tidak mengetahui’,” (Sulaiman al-Jamal, al-Futuhatul Ilahiyah bi Taudhihi Tafsiril Jalalain lid Daqaiqil Khafiah, [Lebanon, Bairut, Darul Kutub Ilmiah] juz V, h. 176).

Pada keadaan yang sangat genting, bahkan nyawa hampir terancam, justru Rasulullah menampakkan kasih sayangnya yang sangat tinggi. Beliau tetap ramah kepada mereka yang bukan hanya menolak risalah beliau, melainkan juga hendak membunuh Nabi.

Jika dalam keadaan seperti itu saja Rasulullah bersikap toleran kepada pemeluk agama lain, maka sudah menjadi kewajiban dalam keadaan damai, seperti di Indonesia, toleransi menjadi sikap yang harus dipedomani semua umat beragama.

Oleh karenanya, dalam konteks masyarakat yang majemuk, setiap pemeluk agama harus menyadari bahwa perbedaan agama adalah realitas kehidupan dan suatu keniscayaan yang tidak bisa dihindari. Dengan menyadari hal tersebut, kita semua berinteraksi dengan baik kepada siapa saja selama itu mendorong terwujudnya kehidupan yang adil dan damai.

Ustadz Sunnatullah, pengajar di Pondok Pesantren Al-Hikmah Darussalam Durjan Kokop Bangkalan Jawa Timur

Artikel ini adalah hasil kerja sama NU Online dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama

Apa yang dimaksud dengan rahmatan lil alamin
Program Kiswah menjelaskan Islam sebagai rahmatan lil alamin. (Foto: iNews.id)

Rizqa Leony Putri Selasa, 25 Agustus 2020 - 11:33:00 WIB

JAKARTA, iNews.id - Islam merupakan agama rahmatan lil alamin, yaitu agama yang merupakan bentuk rahmat dan rasa kasih sayang Allah SWT kepada seluruh alam semesta. Rahmat tersebut merupakan milik Allah SWT dan diturunkan melalui Islam.

Memahami konsep Islam rahmatan lil alamin sebagai konsep dasar dalam agama Islam tersebut akan menambah pengetahuan sekaligus beberapa manfaat. Antara lain kembalinya keindahan Islam yang sudah lama meredup.

Hal ini dijelaskan oleh KH Misbahul Munir (Kyai Misbah) mengenai Nabi Muhammad SAW yang dahulu telah diutus ke dunia ini untuk menjadi rahmat bagi alam. Dia menjelaskan bahwa hal tersebut dapat menjadi sebagai bentuk kasih sayang Allah SWT.

"Rasulullah SAW itu diutus ke dunia misinya adalah rahmat. Sehingga dikatakan, ‘Tidak Aku utus engkau Muhammad, kecuali misinya sebagai rahmat.' Bentuk kasih sayang Allah kepada semesta alam," ucap Kyai Misbah.

Tak hanya itu, Kyai Misbah mengatakan bahwa rahmat tersebut sesungguhnya tidak hanya ditujukan kepada umat Islam, melainkan bagi semesta alam. Di dalamnya menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menjaga hak binatang dan tumbuh-tumbuhan.

"Jadi, kalimat rahmat itu bukan hanya ditujukan kepada umat Islam, bukan hanya ditujukan kepada umat manusia, tapi semesta alam," kata Kyai Misbah, seperti dikutip dari Kiswah, iNews Selasa (25/8/2020).

Sementara itu, Ketua Koordinasi Dai Provinsi DKI Jakarta, KH. Jamaludin F Hasyim menjelaskan diutusnya Rasulullah SAW tersebut untuk menjadi hadiah bagi alam semesta.

"Rasulullah SAW pernah suatu ketika menegaskan, 'Sesungguhnya aku ini adalah rahmat Allah SWT yang dihadiahkan kepada kamu sekalian.' Jadi, pemberian dari Allah adalah datangnya Nabi Muhammad dengan membawa syariat itu," kata Kyai Jamal.


Editor : Tuty Ocktaviany

TAG : tausiah kiswah iNews Kiswah

​ ​ ​

Ajaran Islam Rahmatan Lil’alamin sebenarnya bu­kan hal baru, basisnya sudah kuat di dalam al-Qur’an dan al-Hadits, bahkan telah banyak diimplementasikan dalam sejarah Islam, baik pada abad klasik maupun pada abad pertengahan. Secara etimologis, Islam berarti “damai”, se­dangkan rahmatan lil ‘alamin berarti “kasih sayang bagi semesta alam”. Maka yang dimaksud dengan Islam Rahmatan lil’alamin adalah Islam yang kehadirannya di tengah kehidu­pan masyarakat mampu mewujudkan kedamaian dan kasih sayang bagi manusia maupun alam.

Rahmatan lil’alamin adalah istilah qur’ani dan istilah itu sudah terdapat dalam Al-Qur’an , yaitu sebagaimana fir­man Allah dalam Surat al-Anbiya’ ayat 107: ”Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam (rahmatan liralamin)”.

Ayat tersebut menegaskan bahwa kalau Islam dilaku­kan secara benar dengan sendirinya akan mendatangkan rahmat, baik itu untuk orang Islam maupun untuk selu­ruh alam. Rahmat adalah karunia yang dalam ajaran agama terbagi menjadi dua ; rahmat dalam konteks rahman dan rahmat dalam konteks rahim. Rahmat dalam konteks rah­man adalah bersifat amma kulla syak, meliputi segala hal, sehingga orang-orang nonmuslim pun mempunyai hak kerahmanan.

Rahim adalah kerahmatan Allah yang hanya diberi­kan kepada orang Islam. Jadi rahim itu adalah khoshshun lil muslimin. Apabila Islam dilakukan secara benar, maka rahman dan rahim Allah akan turun semuanya. Dengan de­mikian berlaku hukum sunnatullah, baik muslim maupun non-muslim kalau mereka melakukan hal-hal yang diperlu­kan oleh kerahmanan, maka mereka akan mendapatkanya. Kendatipun mereka orang Islam, tetapi tidak melakukan ikhtiar kerahmanan, maka mereka tidak akan mendapat­kan hasilnya. Dengan kata lain, kurnia rahman ini berlaku hukum kompetitif. Misalnya, orang Islam yang tidak melakukan kegiatan ekonomi, maka mereka tidak bisa dan tak akan menjadi makmur. Sementara orang yang melakukan ikhtiar kerahmanan adalah non-muslim, maka mereka akan mendapatkan kemakmuran secara ekonomi. Karena dalam hal ini mereka mendapat sifat kerahmanan Allah yang ber­laku universal (amma kulla syak).

Sedangkan hak atas syurga ada pada sifat rahimnya Allah Swt, maka yang mendapat kerahiman ini adalah orang mukminin. Dengan demikian, dapat ditarik kesim­pulan bahwa rahmatan lil’alamin adalah bersatunya karunia Allah yang terlingkup di dalam kerahiman dan kerahmanan Allah.

Dalam konteks Islam rahmatan lil’alamin, Islam telah mengatur tata hubungan menyangkut aspek teologis, ritual, sosial, dan humanitas. Dalam segi teologis, Islam memberi rumusan tegas yang harus diyakini oleh setiap pemeluknya, tetapi hal ini tidak dapat dijadikan alasan untuk memaksa non-muslim memeluk agama Islam (Laa Ikrooha Fiddiin). Begitu halnya dalam tataran ritual yang memang sudah ditentukan operasionalnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.

Namun dalam konteks kehidupan sosial, Islam sesungguhnya hanya berbicara mengenai ketentuan-ketentuan dasar atau pilar-pilarnya saja, yang penerjemahan operasionalnya se­cara detail dan komprehensif tergantung pada kesepaka­tan dan pemahaman masing-masing komunitas, yang tentu memiliki keunikan berdasarkan keberagaman lokalitas nilai dan sejarah yang dimilikinya.

Entitas Islam sebagai rahmat lil’alamin mengakui ek­sistensi pluralitas, karena Islam memandang pluralitas seba­gai sunnatullah, yaitu fungsi pengujian Allah pada manusia, fakta sosial, dan rekayasa sosial (social engineering) kema­juan umat manusia.

Pluralitas, sebagai sunnatullah telah banyak diabadi­kan dalam al-Qur’an, di antaranya firman Allah dalam surat Ar-Rum ayat 22 yang maknanya:

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sungguh pada yang demikan itu benar- benar terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang meng­etahui”. 

Juga firman Allah dalam surat al-Hujurat ayat 13 yang maknanya: “Hai manusia, sungguh kami menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara ka­lian di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.

Ayat-ayat tersebut menempatkan kemajemukan sosial sebagai syarat diterminan (conditio sine qua non) dalam penciptaan makhluk.

Dalam al-Qur’an banyak ayat yang menyerukan perdamaian dan kasih-sayang, antara lain surat Al-Hujurat ayat 10 yang memerintahkan kita untuk saling menjaga dan mempererat tali persaudaraan. Allah SWT berfirman, maknanya:

“Sungguh orang-orang beriman itu bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu men­dapat rahmat”.

Benang merah yang bisa kita tarik dari perintah ini adalah untuk mewujudkan perdamaian, semua orang harus merasa bersaudara. Dalam konteks ini, Alm KH. Hasyim Muzadi mengajukan tiga macam persaudaraan (ukhuwwah).

Pertama, Ukhuwwah Islamiyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar keagamaan (Is­lam), baik dalam skala lokal, nasional maupun internasional. Kedua, Ukhuwwah wathaniyah artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kebangsaan. Ketiga, Ukhuwwah basyariyah, artinya persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar kemanusiaan.

Ketiga macam ukhuwwah ini harus diwujudkan se­cara berimbang menurut porsinya masing-masing. Satu dengan lainnya tidak boleh dipertentangkan, sebab hanya melalui tiga dimensi ukhuwah inilah rahmatan Lil ‘alamin akan terealisasi.

Ukhu­wwah Islamiyah dan ukhuwwah wathaniyah merupakan landasan bagi terwujudnya ukhuwwah insaniyah. Baik seba­gai umat Islam maupun bangsa Indonesia, kita harus mem­perhatikan secara serius, seksama, dan penuh kejernihan terhadap ukhuwwah Islamiyah dan ukhuwwah wathaniyyah. Kita tidak boleh mempertentangkan kedua macam ukhuwwah ini. Dalam hidup bertetangga dengan orang lain, bukan famili, bahkan non-muslim atau non-Indonesia, kita diwajibkan berukhuwwah dan memuliakan mereka dalam arti hubungan sosial yang baik. 

Rasulullah SAW memberikan contoh hidup damai dan penuh toleransi dalam lingkungan yang plural. Ketika di Madinah, beliau mendeklarasikan Piagam Madinah yang berisi jaminan hidup bersama secara damai dengan umat agama lain. Begitu juga ketika menaklukkan Makkah, beliau menjamin kepada setiap orang, termasuk musuh yang di­taklukkannya, agar tetap merasa nyaman dan aman. Gereja- gereja dan sinagog-sinagog boleh menyelenggarakan perib­adatan tanpa harus ketakutan.

Selama hampir 23 tahun perjuangan kenabiannya, Rasulullah SAW selalu menggunakan pendekatan dialog secara konsisten sehingga misi kerahmatan lintas suku, budaya dan agama dapat dicapai dengan baik. Selama lebih 12 tahun di Makkah, perjuangan beliau penuh resiko, bahkan nyawa beliau terancam. Beliau meminta pada para sahabat untuk tetap bersabar, tidak menggunakan kekerasan dan pemaksaan, apalagi pembunuhan. Bahkan untuk menjaga keselamatan kaum muslimin, karena waktu itu kekuatan Islam masih lemah, pada tahun ke-12 masa kenabian, be­liau memutuskan untuk berhijrah ke Madinah. Pada periode Madinah ini pun, beliau tetap konsisten mengguna­kan pendekatan peradaban, yaitu membangun ketenangan masyarakat, menerapkan kebebasan beragama dan kebeba­san dalam melaksanakan ajaran agama masing-masing yang dituangkan dalam Mitsaq Madinah, yang terkenal dengan sebutan Piagam 

Hal tersebut terkandung maksud bahwa kendatipun terjadi perang, maka motifnya bukan ekonomi atau politik, tetapi motifnya adalah dakwah. Karena itu perang tidak bersifat ofensif tetapi defensif, yaitu semata-mata sebagai jalan (wasilah) menuju perdamaian. Untuk itu, perang tidak boleh eksplosif, tidak boleh destruktif dan harus tetap meng­hargai HAM, yaitu tidak boleh membunuh orang sipil, anak-anak, perempuan, orangtua, dan tidak boleh meng­hancurkan linkungan, fasilitas umum dan simbol-simbol agama, serta tidak boleh membunuh hewan. Demikianlah inti wasiat Rasulullah Saw yang disampaikan kepada pasukan sahabat Rasul pada saat Perang Mu’tah dan Fath Makkah.