Apa yang dimaksud dengan dualisme

DUALISME

Inggris: dualism; dari Latin dual is (bersifat dua).

1. Dualisme merupakan pandangan filosofis yang menegaskan eksistensi dari dua bidang (dunia) yang terpisah, tidak dapat di- reduksi, unik. Contoh: Adikodrati/Kodrati. Allah/Alam Semesta. Roh/Materi. Jiwa/Badan. Dunia yang kelihatan/Dunia yang tidak kelihatan. Dunia inderawi/Dunia intelektual. Substansi yang berpikir/Substansi Material. Realitas aktual/Realitas kemungkinan. Dunia noumenal/Dunia fenomenal. Kekuatan kebaikan/Kekuatan kejahatan. Alam semesta dapat dijciaskan de- ngan kedua bidang (dunia) itu.

2. Dualisme pada umumnya, berbeda dengan monisme, mempertahankan perbedaan-perbedaan mendasar yang ada dalam realitas antara eksistensi yang kontingen dan eksistensi yang absolut (dunia dan Allah), antara yang mengetahui dan yang ada dalam bidang kontingen, antara materi dan roh (atau antara materi dan kehidupan yang terikat pada materi), antara substansi dan aksiden, dan sebagainya.

3. Dualisme seringkali menandakan perlawaman ekstrcm dengan monisme. Dualisme metafisik ekstrem menjelaskan kecerbatasan dan kejahatan dalam dunia dengan menegaskan bahwa terdapat dua prinsip dasar yang bekerja. Yang satu adalah Allah. Vang lain adalah suatu prinsip abadi, yang bersifat “potensial” (materi abadi dari Plato) yang merintangi dan membatasi tindakan- tindakan Allah dalam dunia. Kadang-kadang ia juga dipikirkan sebagai suatu kekuasaan kejahatan yang independen yang bekerja dalam oposisi dengan prinsip kebaikan (Manikeisme). Juga dualisme antropologis sebagaimana dinyatakan Descartes, salah memahami kesatuan jiwa dan tubuh dalam manusia.

Incoming search terms:

  • dualisme
  • arti dualisme
  • dualisme adalah
  • contoh dualisme
  • apa itu dualisme
  • pengertian dualistik
  • maksud dualisme

Dualisme  kepemimpinan nasional adalah jalannya suatu pemerintahan dipimpin oleh dua orang pemimpin. Indonesia pernah mengalami dualisme kepemimpinan nasional ketika Soekarno dan Soeharto  memiliki perbedaan penafsiran mengenai Supersemar. Soeharto menganggap  bahwa  Supersemar merupakan  penyerahan  kekuasaan,  sedangkan Soekarno  merasa  bahwa  Supersemar hanyalah  perintah  pengamanan saja. Sesuai konstitusi, pemerintahan masih dipimpin oleh Soekarno, sedangkan Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera. Meskipun pada saat itu Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Nah kondisi seperti ini yang dimaksud dengan “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan. 

Jadi, jawaban yang tepat adalah B. 

Lihat Foto

Istimewa/Arsip Kompas

Presiden RI ke I Soekarno dan Jenderal Soeharto

KOMPAS.com - Di antara Orde Lama dan Orde Baru, Indonesia mengalami dualisme kepemimpinan.

Dualisme kepemimpinan terjadi ketika Soeharto mengambil alih pemerintahan, sementara Soekarno masih menjabat sebagai presiden.

Latar belakang dualisme kepemimpinan nasional

Di awal 1966, kondisi politik bergejolak. Soekarno diprotes keras karena G30S dan perekonomian yang memburuk.

Puncaknya, pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa secara besar-besaran terjadi di depan Istana Negara. Demonstrasi ini didukung tentara.

Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan.

Maka, pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat perintah untuk mengatasi keadaan.

Baca juga: Latar Belakang Supersemar

Surat itu dikenal sebagai Supersemar. Isinya, Soekarno memerintahkan Soeharto untuk:

  1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS, demi untuk keutuhan Bangsa dan Negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi.
  2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-Panglima Angkatan Lain dengan sebaik-baiknya.
  3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.

Soeharto memimpin pemerintahan

Supersemar bertujan mengatasi situasi saat itu. Pada praktiknya, Setelah mengantongi Supersemar, Soeharto mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR. Keputusan tersebut yakni:

  1. Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang
  2. Penangkapan 15 menteri yang terlibat atau pun mendukung G30S
  3. Pemurnian MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur PKI dan menempatkan peranan lembaga itu sesuai UUD 1945.

Baca juga: Supersemar, Tonggak Lahirnya Orde Baru

Soekarno yang diasingkan tak bisa berbuat banyak. Sementara Soeharto mendapat kekuasaan yang semakin besar.

Dikutip dari Hari-hari Yang Panjang: Transisi Orde Lama Ke Orde Baru, Sebuah Memoar (2008), dualisme kepemimpinan memunculkan polarisasi.

Lihat Foto

chem.libretexts.org

(a) cahaya sebagai gelombang yang melewati celah ganda (b) cahaya sebagai partikel yang melewati celah ganda


KOMPAS.com – Cahaya adalah gelombang transversal. Namun, ternyata cahaya juga dapat dipandang sebagai partikel. Dua sifat cahaya yang berbeda disebut dengan dualisme cahaya. Apa yang dimaksud dengan dualisme cahaya?

Dualisme cahaya adalah suatu konsep bahwa cahaya dapat berbentuk gelombang dan partikel. Artinya, cahaya dapat bersifat sebagai gelombang yang kontinu, namun juga dapat bersifat sebagai partikel yang diskrit.

Sifat dualisme cahaya tidak dapat muncul secara bersamaan. Ketika cahaya berperilaku sebagai gelombang, maka cahaya hanya bersifat sebagai gelombang. Adapun, ketika cahaya berperilaku sebagai partikel, maka cahaya hanya bersifat sebagai partikel.

Baca juga: Sifat-sifat Cahaya dan Contohnya

Cahaya sebagai gelombang

Pada awal abad ke-19, cahaya dipercayai merupakan gelombang dan tidak mungkin memiliki sifat partikel.

Cahaya sebagai gelombang pertama kali dicetuskan oleh seorang ilmuan bernama Christian Huygens. Hal tersebut kemudian dibuktikan oleh percobaan Thomas Young.

Dilansir dari The Nobel Prize, pada 1830 melalui percobaan celah gandanya, Thomas Young mempelajari difraksi dan interferensi cahaya yang memberikan dukungan kuat pada teori gelombang Christian Huygens.

Sejak saat itu, penelitian cahaya terus berlanjut melahirkan pandangan bahwa cahaya merambat dalam gelombang elektromagnetik yang berbentuk transversal.

Sehingga, disimpulkanlah sifat cahaya sebagai gelombang. Misalnya, pemantulan, pembiasan, hamburan, difraksi, polarisasi, dan interferensi.

Baca juga: Pengertian dan Jenis-Jenis Interferensi Cahaya

Cahaya sebagai partikel

Cahaya yang hanya bersifat sebagai gelombang kemudian dipatahkan sekitar tahun 1922.

Dilansir dari Encyclopedia Britannica, pada tahun tersebut Arthur Holly Compton mengamati terjadinya efek Compton yang hanya dapat dijelaskan jika cahaya memiliki bentuk sebagai gelombang dan partikel.

Sejarah mengukir era Dualisme Kepemimpinan Nasional. Lantas, apa itu dualisme kepemimpinan nasional dan bagaimana hal itu bisa terjadi?

Simak pembahasan lengkapnya dalam artikel Finansialku kali ini.

Dualisme Kepemimpinan Gara-Gara PKI! Apa Betul?

Jika melihat dari kata dualisme, mungkin sobat Finansialku sudah bisa menebak maksud dan arti dari kata itu bukan? Dua pemimpin atau bisa dijabarkan, dualisme kepemimpinan adalah adanya dua pemimpin yang memiliki kewenangan yang sama.

Dalam hal ini maksudnya bukan antara pemimpin dan wakil pemimpin yah. Tapi maksudnya pemimpin dalam jabatan yang setara, sehingga keduanya memiliki tugas, tanggung jawab dan kuasa yang sama satu dengan yang lainnya.

Dalam sebuah organisasi seperti organisasi masyarakat, partai, atau organisasi lain yang memiliki hierarki, adanya dua pemimpin menimbulkan terjadinya dua sentimen, dua kubu dan pandangan.

Sekalipun sebuah organisasi disatukan oleh visi dan tujuan yang sama, pada kenyataannya seorang pemimpin akan membuat keputusan dan mengarahkan anggotanya untuk memiliki satu suara. Dengan kata lain, pemimpin sebagai figur dan media pemersatu.

Nah, kalau malahan pemimpinnya terpecah gimana? Wahh gawat yah..

Sekalipun begitu, Indonesia pernah lho dalam situasi begitu. Tepatnya dualisme kepemimpinan nasional terjadi pada tahun awal tahun 1966.

Sejarah mencatat dua kepemimpinan Indonesia terjadi dimana pada saat itu Presiden Soekarno masih menjadi seorang Presiden dari Republik Indonesia yang memimpin pemerintahan dan juga Soeharto yang dimana memiliki mandat untuk melakukan pelaksanaan terhadap pemerintahan.

Situasi ini diawali oleh sebuah peristiwa berdarah yakni Gerakan 30 September dikenal juga dengan singkatan G30S PKI. G30S merupakan gerakan kudeta yang dituding dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di bawah pimpinan DN Aidit.

[Baca Juga: Raih Kesuksesan Dengan Meniru Gaya Kepemimpinan Presiden Indonesia]

Tujuannya adalah untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Sukarno dan mengubah Indonesia menjadi negara komunis. Di malam 1 Oktober 1965, Gerakan ini mengincar perwira tinggi TNI AD. Tiga dari enam orang yang menjadi target langsung dibunuh di kediamannya.

Sedangkan yang lainnya diculik dan dibawa menuju Lubang Buaya, sebuah desa berupa hutan karet yang sepi penduduk.

Keenam petinggi TNI Angkatan Darat yang menjadi target peristiwa ini adalah:

  • Letnan Jendral Anumerta Ahmad Yani
  • Mayor Jendral Raden Soeprapto
  • Mayor Jendral Mas Tirtodarmo Haryono
  • Mayor Jendral Siswondo Parman
  • Brigadir Jendral Donald Isaac Panjaitan
  • Brigadir Jendral Sutoyo Siswodiharjo
  • Panglima TNI AH Nasution yang berhasil meloloskan diri. Namun, putrinya Ade Irma Nasution tewas tertembak dan ajudannya, Lettu Pierre Andreas Tendean diculik dan ditembak di Lubang Buaya.

Setelah peristiwa pembantaian ini, keenam korban G30S  tersebut termasuk Lettu Pierre Tendean kemudian ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi dan 1 Oktober diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Sumber: //bit.ly/3z0rGuk

Gejolak Politik

Gak berakhir sampai ditemukan dan terbongkarnya pemberontakan PKI. Peristiwa ini semakin bergulir dan memicu pergolakan politik di tanah air, dimana Presiden Soekarno dimintai pertanggung jawabannya atas persitiwa ini, Tahun 1965 hingga tahun 1967 mungkin menjadi tahun paling berat bagi Presiden Soekarno sebelum lengsernya beliau dari pemerintahan.

Soekarno diminta memberikan pertanggungjawaban kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) terkait G30S/PKI tahun 1965. Puncaknya, pada 11 Maret 1966. Demonstrasi mahasiswa besar-besaran terjadi di depan Istana Negara.

Menteri/Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto pun meminta agar Soekarno memberikan surat perintah untuk mengatasi konflik apabila diberi kepercayaan.

[Baca Juga: Raih Kesuksesan Dengan Meniru Gaya Kepemimpinan Presiden Indonesia]

Maka, pada 11 Maret 1996 sore di Istana Bogor, Soekarno menandatangani surat yang berisi perintah terhadap Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya pemerintahan. Surat perintah ini, dikenal dengan sebutan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret).

Sebagai informasi tambahan untuk sobat Finansialku, Supersemar ini adalah sebuah sejarah kontroversi Indonesia, yang saat ini suratnya ada tiga versi yang tersimpan dalam koleksi ANRI, dengan berbagai versi cerita yang bersumber dari saksi-saksi sejarah terkait.

Dianggap telah mengantongi restu Presiden lewat Supersemar, Soeharto mengambil sejumlah keputusan lewat SK Presiden No 1/3/1966 tertanggal 12 Maret 1966 atas nama Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/PBR.

Keputusan tersebut yakni: Pembubaran PKI beserta ormasnya dan menyatakannya sebagai partai terlarang Penangkapan 15 menteri yang terlibat atau pun mendukung G30S Pemurnian MPRS dan lembaga negara lainnya dari unsur PKI dan menempatkan peranan lembaga itu sesuai UUD 1945.

PKI kemudian dinyatakan sebagai penggerak kudeta dan para tokohnya diburu dan ditangkap, juga DN Aidit yang kabur ke Jawa Tengah. Anggota organisasi yang dianggap simpatisan atau terkait dengan PKI juga ditangkap.

Organisasi tersebut antara lain Lekra, CGMI, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, Gerakan Wanita Indonesia dan lainnya.

Cukup memilukan kejadian pembantaian terjadi di tanah air, sebab selain oleh pemerintah dan militer, beberapa kelompok masyarakat turut mendukung ide dalam menyingkirkan PKI yang tidak sejalan dengan idealisme Pancasila. Mereka menghancurkan markas PKI yang ada di berbagai daerah.

Pada akhir 1965, diperkirakan sekitar 500.000 hingga satu juta pendukung PKI diduga menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya diasingkan. Seperti sedang menonton film dokumenter yah…

Masih berkaitan dengan G30S, dualisme kepemimpinan mulai terasa dimana Presiden Soekarno kehilangan pamornya yang telah kian merosot gara-gara peristiwa G30S PKI.  Beliau dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan rakyat yang mendesak agar PKI dibubarkan.

Ditambah lagi dengan ditolaknya pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Dimana rakyat menuntut kebijaksanaan Presiden mengenai pemberontakan kontra-revolusi G30S/ PKI, kemunduran ekonomi, dan kemerosotan akhlak, namun pidatonya dianggap hanya seperti laporan rutin tanpa membahas peristiwa tersebut.

Pidato pertanggungjawaban Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara yang disampaikan pada tanggal 5 Juli 1966 dihadapan Sidang Umum ke-IV MPRS ditolak dengan mengeluarkan Keputusan No. 13/B/1967 tentang Tanggapan Terhadap Kelengkapan Pidato Nawaksara, yang isinya: MENOLAK KELENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA.

Sumber: //bit.ly/3pjKAYJ

Dualisme Kepemimpinan Nasional dan Akhir Ceritanya

Disisi lain, dalam pemerintahan yang masih dipimpin oleh Presiden Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera.

Meskipun Soekarno masih memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian dipegang oleh Soeharto. Kondisi ini memperkuat munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”, yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana pemerintahan.

Dalam situasi seperti ini dapat membahayakan bagi persatuan dan kesatuan bangsa, dimana menjadi pertentangan terhadap politik yang terjadi di masyarakat. Hal ini menyebabkan terbentuknya dua kubu masyakarakat yang mendukung Soekarno dan Soeharto.

Masih dalam situasi dan usaha-usaha untuk menenangkan krisis dan politik. Beberapa pihak meminta Presiden Soekarno agar menyerahkan kekuasaan kepada pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto.

Hal ini bertujuan untuk mencegah perpecahan di kalangan masyarakat juga menyelamatkan lembaga kepresidenan dan Presiden Soekarno sendiri.

Mr. Hardi seorang sahabat Presiden Soekarno, menemui beliau dan memohon agar Presiden Soekarno memprakarsai untuk mengakhiri dualisme kepemimpinan negara.

Februari 1967, Presiden Soekarno menyususn “Surat Penugasan mengenai Pimpinan Pemerintahan Sehari-hari kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966” atas usul sahabatnya itu dan mengirimkannya pada Jendral Soeharto.

[Baca Juga: Kumpulan Kata Mutiara Soekarno]

Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan. Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi konfik.

Demi meredam kericuhan, Presiden Soekarno berada dalam situasi sulit, dimana ia diberi pengajuan yang berisi pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban Surat Perintah 11 Maret 1966.

Yang artinya, Presiden Soekarno dengan sukarela menyetujui untuk mengundurkan diri sebagai Presiden RI. Tak lama berselang, setelah berbagai pertimbangan dan kemungkinan terbaik. Presiden menyetujui draft yang dibuat.

Pada tanggal 20 Februari draft surat telah ditandatangani oleh Presiden. Beliau meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22 Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi pengunduran dirinya.

Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968, Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden oleh MPR hasil pemilu.

Pengukuhan itu mengakhiri dualisme kepemimpinan nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.

Menjadi seorang pemimpin apalagi di negara sebesar Indonesia pasti tidaklah mudah. Itulah yang menjadi tantangan tersendiri bagi setiap presiden yang terpilih di Indonesia.

Mari sama-sama kita ambil sisi positif dari setiap pemimpin negara kita. Menjadi seorang pemimpin bisa dimulai dari diri sendiri. Dengan cara piawai dalam mengatur setiap aspek kehidupan kita, termasuk dalam hal mengatur keuangan pribadi.

Sobat Finansiaku bisa mulai mempelajari bagaimana cara mengatur dan mengelola keuangan pribadi melalui audiobook di bawah ini.

Itulah sejarah terjadinya dualisme kepemimpinan nasional di negara kita. Yuk bagikan artikel ini pada kawan dan saudaramu ya. Agar kita sama-sama mengetahui apa yang terjadi di negara kita. Semoga bermanfaat.

Sumber Referensi:

  • Admin. 09 Maret 2020. Dualisme Kepemimpinan Nasional antara Soekarno dan Soeharto. Kompas.com – //bit.ly/2AT3fG1
  • Doni Setyawan. 02 Oktober 2016. DUALISME KEPEMIMPINAN NASIONAL. Donisetyawan.com – //bit.ly/2NfH0MZ
  • Pingit Aria. 30 September 2019. Seputar G30S, Peristiwa Pembunuhan Para Jenderal 21 Tahun Lalu. Katadata.co.id – //bit.ly/2YgbKE2

keyboard_arrow_leftPrevious

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA