2 mengapa hutan mangrove hanya tumbuh di wilayah beriklim tropis

RINGKASAN Kawasan pesisir merupakan suatu kawasan peralihan antara daratan dan lautan, dengan batas kearah darat meliputi bagian daratan baik kawasan yang kering maupun yang terendam air yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut, seperti pasang-surut, serta ditandai dengan adanya vegetasi mangrove. Secara umum, di kawasan pesisir tropika yang relative terlindung dari hempasan ombak, seperti teluk dan pulau-pulau kecil termasuk di kawasan pesisir Indonesia memiliki ekosistem pesisir yang komplit, yakni terdiri dari hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun. Pada umumnya ekosistem pesisir, baik itu terumbu karang, padang lamun maupun hutan mangrove mempunyai banyak keterkaitan dalam memenuhi kebutuhan kehidupan berbagai biota laut. Salah satu dari ekosistem tersebut adalah hutan mangrove, yang memiliki peran yang sangat besar terhadap biota laut yang hidup berasosiasi didalamnya, termasuk juga masyarakat yang bermukim disekitar hutan mangrove. Sudah sejak lama kehidupan masyarakat pesisir sangat tergantung dari keberadaan mangrove, karena hutan mangrove menjadi sumber pencaharian untuk mencari nafkah, baik itu dalam kegiatan menangkap ikan, kepiting, kerang-kerangan, udang, kayu bakar, kayu bangunan rumah, maupun atap rumah yang diambil dari daun nipa (Nypa fruticans). Mangrove memiliki peranan yang sangat penting baik itu dilihat dari aspek biologis, ekologis, maupun dari aspek ekonomis. Berdasarkan besarnya peranannya terhadap ekosistem disekitarnya, maka mangrove dinilai memiliki kemampuan yang sangat besar dalam menopang dan menciptakan keseimbangan ekosistem perairan disekitarnya. Berdasarkan kondisi lingkungan ekosistem mngrove yang sangat unik dan kompleks tersebut, maka para pakar mangrove telah menyepakati bahwa ekosistem mangrove dipercayai menjadi suatu tempat pemijahan dan tempat bertelur, serta sebagai tempat pembesaran berbagai macam biota laut. Selain itu, kawasan mangrove juga telah dimanfaatkan sebagai penyedia pangan, bahan kayu bakar bagi rumah tangga, bahan kayu bangunan, bahan untuk kayu lapis, dan juga dapat berperan sebagai kawasan perlindungan dari bahaya bencana alam seperti tsunami dan angin topan. Habitat Biota Terkait dengan fungsi ekologis, hutan mangrove memiliki kemampuan dalam menciptakan dan menopang keseimbangan ekosistem kawasan pesisir. Kawasan pesisir oleh Chapman (1979) disebut sebagai tempat tumbuhnya hutan pasang surut, merupakan ekosistem yang sangat spesifik dan unik, serta memiliki fungsi dan manfaat yang sangat besar terhadap kehidupan berbagai biota laut. Purnobasuki (2005) menambahkan bahwa lingkungan disekitar hutan mangrove yang relatif tenang, dapat menciptakan kondisi yang mempermudah terjadinya pembiakan telur ikan yang berlangsung diluar induknya. Sistem perakaran mangrove, khususnya dari jenis Sonneratia sp., Avicennia sp., dan Rhizophora sp., juga akan memberikan suatu kondisi untuk melindungi dan menahan dari gerakan arus pasang-surut terhadap telur ikan yang sudah dibuahi. Selain itu, kondisi yang unik dari sistem perakaran mangrove tersebut juga dimanfaatkan larva ikan untuk berlindung dari serangan predator. Oleh karena itu, secara ekologis mangrove memiliki kemampuan menyediakan habitat alami yang nyaman dan aman, sebagai tempat memijah (spawning grounds), tempat asuhan (nursery grounds) dan tempat mencari makanan (feeding grounds) dari berbagai biota laut yang dapat membentuk suatu keseimbangan lingkungan, terutama pada keseimbangan antara mangsa dengan pemangsa (prey dengan predator). Hutan mangrove mampu menciptakan suatu kondisi terjadinya percampuran dari dua kelompok fauna, yaitu kelompok fauna terestrial dan kelompok fauna akuatik. Kelompok fauna terestrial pada umumnya menempati bagian atas pohon, misalnya burung, primata, reptil (ular, biawak, dan buaya), dan kelelawar. Sedangkan kelompok akuatik dibedakan menjadi dua tipe, yaitu organisme yang dalam air (misalnya ikan, dan udang), dan organisme yang hidup pada substrat atau lantai hutan mangrove, seperti kepiting dan moluska. Selanjutnya diketengahkan oleh Nybaken (1988) bahwa ekosistem mangrove juga merupakan suatu kawasan ekosistem yang sangat khas dan unik, terkait dengan ekosistem yang ada di darat dan ekosistem perairan disekitarnya. Oleh karena itu, hutan mangrove juga sering dikenal sebagai “interface ecosystem”, dari berbagai fauna akuatik dan mikroorganisme (jasad renik), baik yang dijumpai pada substrat maupun yang hidup menempel pada perakaran tumbuhan mangrove, sebagian besar dari siklus hidupnya sangat tergantung dari eksistensi mangrove. Proses peluruhan serasah mangrove pada lantai hutan, serta kondisi perakaran tumbuhan mangrove yang unik adalah salah satu bukti, bahwa fauna aquatik dan mikroorganisme keberadaannya sangat tergantung dari hutan mangrove (Odum, 1972). Disebutkan oleh Dorenbosch (2006) dan Thorhaug & Austin (1986) bahwa komunitas mangrove mampu menopang kehidupan biota laut yang hidup berasosiasi didalamnya. Odum (1971) juga menambahkan bahwa serasah tumbuhan mangrove yang jatuh ke lantai hutan menghasilkan antara 35-69% unsur hara terlarut pada ekosistem hutan mangrove. Secara biologis, hutan mangrove juga memberi kontribusi yang sangat tinggi terhadap perputaran mata rantai makanan suatu perairan pesisir. Interaksi antara lingkungan dengan hutan mangrove di kawasan pesisir memiliki potensi untuk memberikan kondisi yang sesuai terkait dengan proses biologi bagi beberapa biota laut, yang tentunya akan melibatkan eksistensi dari mikrorganisme Struktur dalam ekosistem hutan mangrove memiliki dua komponen, yakni komponen abiotik dan komponen biotik. Komponen abiotik terdiri dari substansi anorganik (nutrien, mineral, air, oksigen, karbon dioksida) dan substansi organik (tanaman yang mati, serasah, hewan yang membusuk). Selain itu, bagian komponen abiotik yang juga sangat penting adalah kondisi iklim seperti curah hujan, suhu, serta kelembaman. Sedangkan untuk komponen biotik, terdiri dari 3 kelompok sesuai dengan fungsinya dalam suatu ekosistem, yakni kelompok organisme produser, kelompok organisme konsumer (herbivora, karnivora, omnivora dan kelompok pemakan detritus), serta kelompok organisme dekomposer (kelompok pengurai). Ekosistem hutan mangrove adalah salah satu ekosistem pesisir yang memiliki peran dan fungsi, serta manfaat yang sangat besar, karena secara biologis hutan mangrove ikut berperan dalam mengatur perputaran mata rantai makanan, dan menciptakan keseimbangan ekosistem di suatu perairan. Serasah mangrove yang jatuh ke lantai hutan akan menjadi habitat yang baik bagi mikroorganisme (bakteri dan fungi), sekaligus membantu dalam proses dekomposisi, dimana pada akhirnya menjadi sumber makanan bagi Amphiphoda dan organisme pemakan detritus lainnya, dan selanjutnya menjadi makanan bagi larva ikan (Heald & Odum, 1972). Terkait dengan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa komunitas mangrove memiliki arti penting bagi kesuburan perairan disekitarnya, serta dikenal mampu menopang kehidupan biota akuatik yang hidup berasosiasi di dalamnya (Dumbois & Ellenberg, 1974; Coulter & Allaway, 1979; Dorenbosch, 2006). Sukardjo (1999) menyebutkan bahwa total hasil tangkapan laut pada tahun 1977 adalah sebesar 1.489.000 ton, dan 3% diantaranya merupakan sumbangan dari jenis ikan yang hidupnya tergantung pada ekosistem mangrove. Hutan mangrove di kawasan Segara Anakan, menyumbangkan sekitar 7% dari total produksi perikanan lepas pantai (Martosubroto & Sudradjat, 1973). Keterkaitan antara hutan mangrove dengan biota laut tersebut, juga diperjelas oleh Martosubroto & Naamin (1977), bahwa ada hubungan linier positip antara luas hutan mangrove dengan produksi udang. Pernyataan yang senada juga dilaporkan oleh Kasri (1982), yaitu bahwa kemunduran perikanan di Bagansiapi-api dan sekitarnya adalah bukan semata-mata karena ekploitasi sumberdaya perikanan yang berlebih, tetapi sebagai akibat dari rusaknya ekosistem mangrove. Berkaitan dengan ikan yang hidup pada kawasan ekosistem hutan mangrove, para ichthyolog telah mengelompokan ikan yang hidup pada ekosistem mangrove menjadi empat kelompok, yaitu kelompok ikan yang hidup menetap pada ekiosistem mangrove, yakni ikan gelodok, antara lain Periophthalmus koelreuteri, Periophthalmus sobrinus Periophthalmodon schloseri, dan Boleophthalmus boddarti (Gambar 2.1.5). Selanjutnya kelompok ikan yang hanya sementara hidup pada ekosistem mangrove dan saat dewasa pindah ke muara sungai (misalnya ikan belanak, ikan kapas-kapas, dan ikan kuwe). Kelompok ketiga adalah kelompok ikan yang hanya ke hutan mangrove pada saat pasang (ikan gulamah, ikan barakuda, ikan tancak). Yang keempat adalah kelompok ikan pengunjung musiman hutan mangrove, yakni kelompok ikan yang hanya memanfaatkan mangrove untuk tempat memijah dan sebagai perlindungan, mislanya dari jenis Macrones gulio dan Oedalechilus labiosus (Ghufran, 2012) Pernyataan terkait dengan peran ekosistem mangrove terhadap keseuburan perairan disekitarnya tersebut sangaterat kaitannya dengan gugur serasah mangrove yang disumbangkan pada ekosistem kawasan perairan pesisir disekitarnya. Berdasarkan dari hasil penelitian gugur serasah mangrove di beberapa daerah, antara lain hutan mangrove di pesisir Passo (Ambon) menghasilkan serasah berkisar antara 11,68-17,40 ton ha-1 th-1 berat kering, hutan mangrove di pesisir Teluk Kotania (Pulau Seram) sebesar 6,20 ton ha-1 th-1 berat kering, dan hutan mangrove pesisir Teluk Gilimanuk (Bali) menghasilkan serasah sebesar 11,24 ton ha-1 th-1 berat kering (Pramudji 1999; 2001c; 2006; 2007a; Sediadi &Pramudji, 1987). Sedangkan produksi serasah mangrove untuk tegakan murni jenis Bruguiera gymnorrhiza di Teluk Un, Tual, Maluku Tenggara dan Sonneratia alba di Teluk Ambon berturut-turut menghasilkan serasah sekitar 9,29 ton ha-1 th-1 berat kering dan 13,78 ton ha-1 th-1 berat kering Pramudji, 2001a; 2001b). Luruhan serasah tersebut memiliki makna yang penting terhadap mata rantai makanan. Perlu dipahami bahwa selama terjadi proses dekomposisi, serasah mangrove akan semakin diperkaya oleh protein dan selanjutnya menjadi sumber pakan dari berbagai organisme, misalnya kepiting, moluska, polychaeta, udang dan ikan. Proses dekomposisi serasah mangrove tersebut, menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pramudji (2001b) di kawasan pesisir Teluk Un, Maluku Tenggara, bahwa serasah jenis Bruguiera gymnorrhiza akan terurai habis dalam waktu kurang lebih sekitar 13 bulan. Kemudian untuk jenis Rhizophora sp., proses dekomposisinya memerlukan waktu sekitar 12 bulan (Pramudji, 2003). Sedangkan untuk jenis Avicennia officinalis, penguraiannya membutuhkan waktu sekitar 8 bulan (Wafar et al., 1999 ). Perbedaan laju dekomposisi tersebut adalah berkaitan dengan kandungan unsur nitrogen dan karbon dalam serasah mangrove. Semakin tinggi kandungan karbonnya, maka proses dekomposisi serasah mangrove akan semakin lama. Selain itu, perbedaan laju penguraian serasah mangrove tersebut, juga dipengaruhi antara lain oleh oksigen terlarut, pH tanah, kehadiran mikroorganisme, lama penggenangan, dan kadar garam. Ditinjau dari aspek ekologinya, hutan mangrove memiliki peranan dan fungsi yang cukup penting, baik terhadap fauna maupun ekosistem kawasan perairan pesisir secara luas. Peranan dan fungsi mangrove tersebut adalah sebagai sumber nutrisi, karena didalamnya terjadi proses biologi yang dimanfaatkan oleh berbagai biota laut. Odum (1971), menyebutkan bahwa serasah yang jatuh di lantai hutan, menghasilkan 35-60% unsur hara yang terlarut pada ekosistem mangrove.Hutan mangrove juga dapat berperan sebagai tempat memijah, pembesaran, mencari makan, dan tempat berlindung dari berbagai biota laut. Anonimous. (2005) mengemukakan bahwa dari hasil penelitian di kawasan pesisir Delta Mahakam, ditemukan ikan dari suku Gobiidae dalam stadium larva dan juvenil. Informasi ini mengindikasikan adanya bukti bahwa daerah perairan hutan mangrove adalah sebagai tempat memijah dari berbagai ikan. Selanjutnya, dari 25 jenis larva yang ditemukan di kawasan tersebut, 75 % diantaranya adalah termasuk ikan ekonomis penting. Selain itu, pada perakaran mangrove juga menyediakan makanan dan tempat perlindungan bagi ikan dan invertebrata. Jenis moluska yang ditemukan di hutan mangrove Delta Mahakam pada tahun 2003 adalah Telescopium telescopium, Cerithidea cingulata, Littorina scabra, Littorina lineata dan Nerita planospira. Pernyataan bahwa perairan disekitar hutan mangrove juga sebagai tempat mencari makan dari berbagai jenis ikan, hal tersebut dapat dibuktikan dari hasil penelitian Pramudji dkk (2004) yaitu, bahwa di perairan mangrove Delta Mahakam, Kalimantan Timur banyak ditemukan jenis ikan yang memiliki nilai ekonomis penting. Jenis-jenis ikan tersebut antara lain adalah Lates calcalifer (ikan kakap), Siganus fuscesceus (ikan baronang), Pennahia argentata (ikan gulamah), Ilisha elongata (ikan tembang)dan Epinephelus malabaricus (ikan kerapu). Larva ikan, di pearairan Delta Mahakam adalah 75 % dari seluruh ikan yang hadir perairan tersebut adalah termasuk ikan ekonomis penting. Jenis krustasea dari kelompok kepiting yang biasa ditemukan di sekitar perakaran mangrove adalah Scylla serrata. Jenis kepiting ini memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi. Budidaya kepiting Scylla serrata yang diperuntukan sebagai bahan baku “kepiting soka” restourant banyak dilakukan di Balikpapan. Penyimpan dan penyerap karbon Kontribusi utama terhadap penyebab naiknya konsentrasi karbon dioksida (CO2) di atmosfer adalah karena semakin meningkatnya pembakaran bahan bakar minyak dari fosil (BBM) melalui kendaraan bermotor, dan industri. Salah satu dampak yang akan terjadi sebagai akibat meningkatnya jumlah CO2 di atmosfer adalah terganggunya keseimbangan, sehingga memicu terjadinya perubahan iklim global. Kondisi temperatur yang semakin meningkat yang terjadi akhir-akhir ini kemungkinan besar adalah sebagai akibat karena samakin meningkatnya unsur karbon dalam bentuk CO2, CO, CH4, serta gas rumah kaca, sehingga akan memicu terjadinya pemanasan global Secara umum, tumbuhan termasuk juga hutan mangrove memiliki kemampuan untuk mengurangi konsentrasi CO2 di atmosfer melalui proses fotosintese, dan kemudian tersimpan dalam jaringan tumbuhan, baik dalam batang, daun, dan akar. Karbon juga dapat tersimpan dalam bahan organik mati, seperti pada kayu yang tumbang dipermukaan tanah, atau kayu yang sudah tertimbun dalam tanah, sebagai proses alami. Kondisi tersebut terjadi di hutan belantara Indonesia yang terhampar mulai dari Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi sampai dan Papua. Oleh karena itu, tidak aneh jika Indonesia memiliki tambang batu bara yang melimpah. Luas hutan mangrove di dunia adalah hanya sekitar 0,4 % dari seluruh hutan yang ada di dunia. Sedangkan luas hutan mangrove adalah sekitar 25 % dari 17 juta hektar luas hutan mangrove di dunia. Hutan mangrove tersebut memiliki peran yang sangat besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon, yaitu kira-kira sebesar 4 gigaton C th-1 – 112 gigaton C th-1 (Purnobasuki, 2012). Selain sebagai habitat dari berbagai biota laut dan tempat perputaran unsur hara, hutan mangrove juga memiliki kemampuan dalam meyerap CO2 atau karbon dioksida dari atmosfer yang digunakan dalam proses fotosintese untuk pertumbuhannya. Karbondioksida yang diserap melalui proses fotosintese tersebut akan diubah menjadi biomassa berupa senyawa karbon yang tersimpan dalam batang tumbuhan mangrove. Sedangkan yang tersimpan dalam sedimen pada lantai hutan mangrove adalah sebagai zat hara akibat dari proses dekomposisi dari serasah mangrove, yang meliputi daun, bunga, buah, biji, ranting, maupun batang mangrove yang roboh. Kandungan karbon yang tersimpan dalam batang dan sedimen tersebut dikenal sebagai stok karbon atau jumlah karbon yang tersimpan dalam ekosistem hutan mangrove. Terkait dengan luasan hutan mangrove yang ada di kawasan pesisir di Indonesia mencapai jutaaan hektar, itu berarti bahwa Indonesia memiliki potensi yang besar dalam penyerapan karbondioksida dari atmosfer, yang sekaligus dapat mengurangi dampak perubahan iklim sebagai akibat naiknya karbondioksiada. Donato et al (2011), mengungkapkan bahwa di wilayah Indo-Pasifik, kandungan karbon yang tersimpan dalam ekosistem mangrove adalah lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan hutan terestrial. Namun demikian FAO (2007 dalam Dharmawan dkk, 2014) telah menginformasikan bahwa sudah terjadi penurunan luasan hutan mangrove secara drastis dari tahun 1980 yakni sekitar 4,5 juta hektar, menjadi 2,9 juta hektar pada tahun 2005. Kondisi seperti di atas dampaknya akan berpengaruh terhadap serapan mangrove terhadap karbondioksida dari atmosfer. Terkait dengan kemampuan hutan mangrove dalam menyimpan karbon, Baba dalam Amri (2007), menyebutkan bahwa dalam satu meter persegi, hutan mangrove mampu menyimpan karbon sekitar 50 kg m-2. Kondisi tersebut dampaknya memberikan kontribusi dalam proses pengurangan efek perubahan iklim yang saat in sangat dirasakan. Selanjutnya informasi dari Kementrian Lingkungan Hidup menyebutkan bahwa mangrove yang luasnya sekitar 93.000 km2, diperkirakan mampu menyerap CO2 sekitar 73,50 juta ton th-1 (Anonimous, 2007). Sedangkan dari hasil penelitian Pramudji (2007) yang dilakukan yang menggunakan “light meter”di hutan mangrove Likupang, Sulawesi Utara menghasilkan sekitar 12,546 ton C ha-1 th-1. Hutan mangrove kawasan pesisir Teluk Lampung adalah sekitar 13,370 ton C ha-1 th-1 (Pramudji, 2008) Informasi serapan karbon organik oleh UNEF (2009) disajikan pada Tabel 2.2.2. Selanjutnya hasil penelitian pendugaan atau estimasi stok karbon telah dilakukan oleh Dharmawan dkk (2014) pada ekosistem mangrove di kawasan pesisir timur Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Terkait dengan hal tersebut di atas, maka peluang yang dapat kita kembangkan di Indonesia untuk mengendalikan konsentrasi CO2 di atmosfer yang saat ini semakin meningkat, yakni dengan cara pengembangan penyerapan karbon hutan mangrove, melalui upaya rehabilitasi pada kawasan hutan mangrove yang kondisinya sudah rusak. Indonesia memiliki potensi dan kemampuan sebagai tempat penyerap emisi karbon, karena Indonesia memilki hutan mangrove dan hutan tropis yang cukup luas. Pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan merupakan suatu program yang cocok berkaitan dengan penyerapan dan penyimpanan karbon. Terkait dengan terjadinya pemanasan iklim global yang semakin terasa beberapa tahun terakhir ini, maka perlu dilakukan upaya menurunkan CO2 di atmosfer antara lain dengan mengelola hutan mangrove secara serius, yakni dengan mengendalikan terjadinya perusakan hutan. Melakukan rehabilitasi pada kawasan hutan mangrove yang telah rusak, sebagai akbibat kegiatan konversi hutan mangrove menjadi lahan pertambakan Selain itu, mulai memikirkan pengganti bahan bakar minyak bumi (fosil), dengan teknologi baru (energi matahari, energi angin, atau panas bumi). Program rehabilitasi hutan mangrove yang dicanangkan memiliki banyak keuntungan, antara lain disamping keuntungan secara ekologis dapat menjadi pelindung kawasan pesisir dari bahaya tsunami dan penahan proses abrasi; secara biologis menciptakan keseimbangan lingkungan elosistem pesisir, dan menjadi tempat yang ideal bagi kehidupan berbagai biota laut; serta memiliki kemampuan dalam proses penyimpanan danpenyerapan karbon yang semakin meningkat di atmosfer. Perangkap sedimen Sedimen dasar sebagai penyusun ekosistem di kawasan pesisir adalah pasir. Partikel pasir yang relatif halus melalui gaya kapilernya cenderung memiliki kemampuan untuk menampung lebih banyak air, demikian sebaliknya untuk pasir kasar memiliki kemampuan untuk mengalirkan air. Air yang tertahan di kawasan pesisir tersebut sangat berpengaruh terhadap perubahahn suhu dan kadar garam yang selanjutnya akan dimanfaatkan oleh vegetasi pesisir, seperti mangrove. Hutan mangrove dikenal sebagai hutan yang mampu dan berperan sebagai perangkap sedimen. Hutan mangrove juga mampu membantu dalam perluasan tanah, karena perakaran mangrove mampu menahan sedimen yang terbawa oleh aliran sungai. Oleh karena itu, mangrove juga dikenal sebagai ”land building”. Kondisi tersebut dapat dilihat pada pulau-pulau kecil yang ditumbuhi mangrove yang secara sporadis muncul tumbuh disekitar Muara Sungai Mahakam, Kalimantan Timur (Anonimous, 2005). Kondisi yang sama juga ditemukan di Kepulauan Aru, pesisir Teluk Kotania (Seram Barat), pesisir Teluk Penagi (Natuna) (Pramudji, 1987b; 2001a; 2002; Pramudji dkk, 1994). Kemampuan dalam menahan sedimen tersebut sangat terkait dengan tipe perakaran yang sangat khas dan unik dari beberapa jenis tumbuhan mangrove, antara lain seperti Avicennia sp., Rhizophora sp., dan Sonneratia sp. Selain itu, Bird (1972) dan Bird & Barson (1982) juga mengungkapkan bahwa mangrove juga mempunyai kemampuan dalam membentuk teras-teras pantai. Terbentuknya teras-teras pantai di kawasan pesisir tersebut, karena didukung tempat tumbuh mangrove yang relatif terlindung, morphologi pantainya landai, dan juga ditopang oleh adanya muara sungai yang selalu membawa material. Perakaran beberapa jenis tumbuhan Rhizophora sp., Sonneartaia sp., Avicennia sp., selain sebagai perangkap sedimen, juga memberikan peluang untuk tumbuhnya seedling atau anakan mangrove yang tumbuh disela-sela perakaran. Tumbuhnya seedling pada perakaran mangrove tersebut akan terlindung dari hempasan ombak maupun arus pasang-surut, dan kondisi tersebut ikut berperan dalam menangkap dan mengendapkan sedimen. Selain itu, proses alami ini juga menyebabkan areal mangrove akan bergerak maju ke arah laut, dan terjadinya suksesi antar jenis mangrove yang toleran terhadap salinitas tinggi dengan jenis mangrove yang hanya toleran pada salinitas yang lebih rendah. Pelindung Kawasan Pesisir Abrasi merupakan suatu peristiwa terjadinya pengikisan kawasan pesisir yang disebabkan oleh pukulan gelombang, dan juga arus pasang surut. Penyebab terjadinya abrasi ada beberapa faktor, antara lain adalah iklim, topografi pantai, tipe sedimen, serta kondisi vegetasi pesisir. Namun demikian, secara umum kerusakan kawasan pesisir sebagai akibat abrasi yang disebakan oleh karena kawasan pesisir tidak memiliki vegetasi pesisir (mangrove). Tidak adanya mangrove di kawasan pesisir, menyebabkan terjadinya abrasi. Secara ekologis, mangrove juga memiliki fungsi yang sangat besar terhadap perlindungan kawasan pesisir dari bahaya abrasi maupun dari hempasan gelombang. Selain sebagai penopang pohon, sistem perakaran dari beberapa jenis tumbuhan mangrove, yakni Avicennia sp., Rhizophora spdan Sonneratia sp., yang tersusun sangat rapat dan terpancang sebagai jangkar, juga mampu menangkap sedimen dan menahan lepasnya partikel tanah, serta memiliki kemampuan meredam energi pasang-surut, dan gempuran gelombang. Masalah bahaya bencana alam seperti “tsunami”, Hanada & Fumihiko (2002 dalam Pramudji, 2008), mengutarakan bahwa hutan mangrove dengan ketebalan sekitar 200 meter, dengan kerapatan 60 batang, dengan diameter 15 cm dapat meredam ganasnya energi gelombang tsunami hingga 50 % (Gambar 2.4.2). Oleh karena itu, seandainya di kawasan pesisir Aceh utara masih memiliki hutan mangrove yang kondisinya masih baik, kemungkinan bencana tunami tahun 2004 yang memporak-porandakan pemukiman dan bangunan lainnya di kota Aceh tidak akan terjadi. Namun demikian, dengan terjadinya bencana alam tsunami di kawasan pesisir Aceh tersebut, menyebabkan masyarakat yang tinggal di pesisir menyadari manfaat keberadaan hutan mangrove. Masyarakat saat ini sudah meyakini bahwa hutan mangrove dengan tipe perakaran yang khas, memiliki kemampuan dalam meredam energi gelombang tsunami. Masyarakat pesisir diseluruh penjuru Indonesia yang tinggal di pesisir juga sudah memahami, bahwa hutan mangrove mampu memecah gelombang, sehingga kawasan pesisir terlindung dari bahaya erosi. Perubahan pola kehidupan masyarakat Indonesia, baik di perkotaan maupun di perdesaan yang semakin pesat beberapa puluh terakhir ini berdampak pada perilaku, budaya, pola hidup, serta terhadap kelestarian sumberdaya alam hayati, termasuk hutan mangrove. Pengetahuan tradisionaal tentang tata cara pemanfaatan hutan mantgrove telah dimanfaatkan secara turun temurun, dan masih dalam skala pemanafaatan rumah tangga. Namun demikan, setelah adanya perkembangan teknologi dalam pemanfaatan mangrove, dampaknya menyebabkan terjadinya kerusakan secara drastis dan dalam skala yang sangat besar. Kerusakan hutan mangrove yang terjadi sejak beberapa dekade yang lalu, adalah sebagai akibat darikonversi mangrove yang disulap menjadi kegiatan usaha pertambakan ikan dan udang adalah menjadi titik awal kerusakan mangrove di Indonesia.Luasan hutan mangrove diseluruh kawasan pesisir Indonesia pada tahun 1982 diperkirakan sekitar 4.25 juta hektar, namun demikian setelah terjadi intervensi manusia terhadap sumberdaya alam tersebut, maka pada tahun 1993 atau dalam kurun waktu sekitar 11 tahun, luas hutan mangrove tersebut turun secara drastis menjadi 2,49 juta hektar (Giesen dalam Parry, 1996). Kondisi tersebut dapat dilihat disepanjang pesisir pantai utara Jawa (pantura) mulai dari pesisir Banten, Tanjung pasir, Teluk Jakarta, pesisir Karawang, pesisir Indramayu, pesisir Tegal sampai ke pesisir Probolinggo Jawa Timur. Kemudian untuk di luar PulauJawa antara lain adalah pesisir bagian timur Teluk Lampung, kawasan Delta Mahakam, pesisir Teluk Bone, pesisir Kendari, pesisir Pulau Muna Sulaweesi Tenggara, dan sepanjang pesisir Teluk Saleh, Pulau Sumbawa. Fenomena terjadinya degradasi hutan mangrove hingga saat ini cenderung semakin meluas dan sangat drastis, misalnya di hutan mangrove yang di Delta Mahakam, Kalimantan Timur yang memiliki kecepatan rata-rata penurunan luas area sekitar 5310 ha th-1. Kondisi tersebut sebagai akibat pemanfaatan yang berlebihan, dan kontribusi yang paling besar adalah kegiatan pertambakan udang dan ikan. Dampak dari perilaku tersebut, pada akhirnya menyebabkan terganggunya perairan pesisir disekitar ekosistem hutan mangrove. Kondisi tersebut, secara pasti akan berlanjut dan mengganggu lingkungan biosfer di kawasan pesisir yang dikenal sebagai ekosistem yang memiliki produktivitas tinggi. Terkait dengan hutan mangrove, maka secara umum bahaya kerusakan dikawasan pesisir akibat bencana alam tsunami akan direduksi. Oleh karena itu, dikawasan pesisir yang kondisi mangrovenya sudah rusak agar segera dibuat sabuk hijau atau “green belt” dengan ketebalan antara 100-200 meter, yakni dengan cara dilakukan penanaman dengan jenis mangrove yang disesuaikan dengan substrat yang ada. Purnobasuki (2005) menjelaskan bahwa lebar jalur hijau, diukur dari surut terendah, misalnya jangkauan pasang lebih 1.000 meter, maka lebar jalur hijau minimal 300 meter, kemudian untuk jangkauan pasang antara 700 – 1.000 meter, maka lebar jalur hijau adalah sekitar 30 % dari jangkauan pasang (250 meter), dan jangkauan pasang antara 300 – 700meter, maka lebar jalur hijaunya adalah 40% atau sekitar 200 meter. Upaya penghijauan hutan mangrove di kawasan pesisir yang telah kritis dibebarapa daerah, saat ini juga sudah banyak lakukan. Bahkan di daerah Likupang, Sulawesi Utara kegiatan pembibitan mangrove dari jenis Rhizophora apiculata, Bruguiera gymnorrhiza, dan Ceriops tagal menjadi pekerjaan rutin, karena banyak permintaan dari beberapa daerah untuk penghijauan kawasan pesisir. Mencegah Instrusi Air Laut Perlu diketahui bahwa air laut memiliki berat jenis yang lebih besar dari pada air tawar, oleh karena itu air laut akan mudah mendesak dan masuk ke air tanah (Vienestra, 2010). Selanjutnya disebutkan bahwa secara alamiah air laut tidak dapat masuk jauh ke daratan, hal ini disebabkan karena air tanah memiliki piezometric yang menekan lebih kuat dari pada air laut. Oleh karena itu terbentuklah interface, sebagai batas antara air tanah dengan air laut, dan kondisi yang demikian merupakan keadaan kesetimbangan antara air laut dan air tanah. Intrusi merupakan pergerakan air laut ke akuiferair tawar yang dampaknya dapat menyebabkan sumber air minum terkontaminasi oleh air laut. Intrusi air laut akan terjadi apabila keseimbangan air air tawar di kawasan pesisir terganggu, yang disebabkan oleh adanya berbagai aktivitas manusia. Kegiatan manusia tersebut antara lain adalah sebagai akibat pemompaan air tanah, terganggunya karakteristik pantai dan batuan penyusun, serta hilangnya vegetasi mangrove di pesisir sebagai akibat adanya kegiatan pertambakan atau bangunan perumahan. Gambaran terjadinya intrusi air laut, atau masuknya air laut kearah daratan ditampilkan pada Gambar 2.5.1. Ekstrasi air tanah adalah salah satu penyebab utama terjadinya intrusi air laut. Kegiatan manusia, terutama yang berkaitan dengan pemompaan air tanah dari akuifer di kawasan pesisir yang dilakukan oleh hotel maupun industri, serta bertambahnya pemukiman di kawasan pesisir dapat meyebabkan meningkatkan intrusi air laut. Penyebab intrusi air laut ke daratan juga dapat terjadi apabila kondisi cuaca yang sangat ekstrem, misalnya seperti terpaan badaidan hempasan ombak. Keberadaan hutan mangrove di kawasan pesisir dapat berperan besar sebagai penyangga terjadinya perembesan air laut ke daratan, yang kita kenal sebagai bencana “intrusi”. Vegetasi mangrove yang tumbuh subur di kawasan pesisir selain berperan untuk melindungi kawasan pemukiman masyarakat pesisir dari berbagai bencana yang berasal dari laut, keberadaannya juga mampu berperan menjadi penyangga terhadap masuknya air laut ke arah darat. Ghufran (2012) menyebutkan bahwa sumur-sumur di kawasan Desa Tongke-Tongke, Samataring, Sinjai, Sulawesi Selatan sekarang airnya tidak asin lagi, setelah kawasan pesisir dilkukan penghijauan dengan tanaman mangrove. Selain itu, ombak dari laut sudah tidak menjangkau pemukiman, karena sudah terlindungi oleh hutan mangrove (2.5.2) Bencana intrusi air laut ke daratan tersebut sudah beberapa puluh tahun yang lalu terjadi dibeberapa kota besar di Indonesia, antara lain di Jakarta, Semarang, Surabaya, dan Makassar. Hal ini terjadi karena hutan mangrove yang tumbuh dan berkembang di kawasan pesisir sudah ditebang habis, dan kemudian disulap menjadi kawasan pelabuhan, pasar, industri, pertambakan, dan pemukiman masyarakat. Sebagai indikator bahwa suatu daerah sudah terjadi intrusi air laut adalah apabila daerah tersebut air sumur sudah terasa asin. Indikator lain yang dapat kita lihat adalah apabila tanaman budidaya dari tahun ke tahun produksinya semakin menurun (Purnobasuki, 2005). Upaya untuk mencegah intrusi air laut ke daratan, antara lain adalah dengan memberikan pengetahuan kepada masayarakat pesisir, agar ikut berpartisipasi mengelola hutan mangrove. Di beberapa daerah pemerintah sudah melakukan sosialisai pelarangan perusakan mangrove, dan mengajak masyarakat untuk melakukan penanaman (reboisasi) terhadap kawasan pesisir yang kondisi mangrovenya sudah rusak dengan mengunakan jenis yang sesuai dan metode yang mudah dan diaplikasikan. Mangrove Sebagai Sumber Bahan Obat-obatan dan Sumber Pangan Indonesia memiliki areal hutan mangrove terluas di Asia Tenggara, dan bahkan di dunia. Mangrove di Indonesia tersebar mulai dari ujung utara dan barat Pulau Sumatera sampai ke Papua. Selain itu, keanekaragaman tumbuhan mangrove di Indonesia juga dikenal sangat tinggi. Berdasarkan informasi tentang potensi tumbuhan mangrove maupun tumbuhan asosiasi mangrove sebagai sumber bahan baku makanan dan obat-obatan, maka kesempatan ini adalah menjadi tantangan bagi peneliti Indonesia untuk melakukan eksplorasi kandungan kimia dari tumbuhan mangrove, dalam upaya untuk memperoleh informasi subsatnsi aktif. Masyarakat Indonesia yang tinggal disekitar pesisir sudah sejak lama memanfaatkan hutan mangrove sebagai sumber, pangan bahan bangunan, kayu bakar, zat pewarna, serta obat-obatan secara tradisional. Sumber bahan obat-obatan dari laut di Indonesia saat ini tidak hanya berasal dari algae (seaweed) maupun soft koral, namun juga berasal dari tumbuhan mangrove. Sudah sejak lama nenek moyang kita yang bermukim di pesisir telah memanfaatkan jenis tumbuhan mangrove sebagai obat-obatan secara tradisional. Purnobasuki (2005) menyebutkan bahwa sebagian bagian dari tumbuhan mangrove memiliki manfaat sebagai bahan obat-obatan. Dari sejumlah jenis mangrove yang bermanfaat tersebut, antara lain adalah yaitu Achantus ilicifolius. Selain itu, beberapa tumbuhan mangrove memiliki senyawa steroid, sapronin, flavonoid dan tanin sepertiRhizophora apiculata dan Lumnitzera littorea. Apabila dilihat dari aspek obat bius (analgesik), senyawa dari jenis Acanthus illicifolius, Avicennia marina, dan Excoecaria agallhoca memiliki potensi sebagai sumber bahan baku untuk obat bius, namun demikian efektifitasnya masih dibawah morfin.Perkembangan dari riset bidang pharmakologi di Indonesia saat ini cukup pesat, dan bahkan jenis tumbuhan asosiasi mangrove dari jenis Calophyllum inophyllum dengan nama daerah “nyamplung” merupakan sumber bahan baku untuk pengobatan penyakit AIDS. Tosa et al (1984) menambahkan bahwa kandungan kimia dari Calophyllum inophyllum juga berpotensi sebagai senyawa anti kanker Disamping itu, tumbuhan jenis Calophyllum inophyllum atau nyamplung juga memiliki potensi yang menjanjikan, karena nayamplung dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk pembuatan biodiesel, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam menggerakkan mesin diesel. Biodiesel merupakan bahan bakar alternatif sebagai bahan pengganti bahan bakar fosil atau bahan bakar minyak yang akhir-akhir ini cadangannya semakin menipis. Terkait dengan pengganti alternatif bahan bakar minyak, maka perlu disosialiasikan kepada masyarakat pesisir, agar melakukan penanaman jenis tumbuhan asosiasi mangrove Calophyllum inophyllum di kawasan pesisir. Pembibitan tanaman Calophyllum inophyllum ini nantinya dapat dijadikan sebagai alternatif mata pencaharian baru bagi masyarakat pesisir, sekaligus buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar alternatif. Selain itu, Ghufran (2012) menginformasikan bahwa di masyarakat Maluku Utara, Maluku dan Papua yang hidup disekitar hutan mangrove, sudah sejak lama memanfaatkan kulit kayu dari jenis Sonneratia alba, yang juga dikenal dengan nama daerah pedada. Bahan baku yang berasal dari kulit kayu jenis Sonneratia alba tersebut adalah dimanfaatkan sebagai bahan obat-obatan, antara lain adalah obat batuk, gatal-gatal, panas dalam, sakit gigi, dan untuk menghilangkan bau badan. Selain sebagai sumber kayu bakar, kayu bangunan, kayu untuk perahu, bahan pengawet jaring, bahan pewarna kain, serta sebagai sumber obat-obatan, mangrove juga digunakan sebagai sumber pangan. Sudah sejak lama masyarakat disekitar pesisir telah memanfaatkan produk tumbuhan mangrove sebagai sumber pangan. Terkait sebagai sumber pangan tradisional bagi masyarakat pesisir, pengetahuan potensi mangrove sebagai sumber pangan masih sangat terbatas. Mamoribo dalam Priyono dkk, 2010), memberikan informasi tentang pemanfaatan buah Bruguiera gymnorrhiza oleh masyarakat Rayori, Biak Numfor. Kemudian masyarakat Tanjung Pasir, Tangerang juga memanfaatkan kecambah buah dari jenis Avicenia sp sebagai sayuran. Sedangkan jenis tumbuhan Sonneratia sp dimanfaatkan untuk bahan baku sirup (Haryono, 2004 dalam Priyono dkk, 2010). Pangan adalah kebutuhan yang mendasar bagi manusia. Oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan pangan harus menjadi prioritas dan terus dilakukan, seirama dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Masyarakat diberbagai daerah di Indonesia yang tinggal disekitar hutan mangrove, secara tradisional telah memanfaatkan buah mangrove sebagai bahan pangan. Namun demikian, pemanfaatan buah dari beberapa jenis tumbuhan mangrove tersebut belum dijadikan sebagai bahan makanan utama, seperti beras, jagung dan ketela. Potensi mangrove sebagai sumber obat-obatan No Jenis mangrove Khasiat 1 Achantus ilicifolius Aprodisiak (perangsang libido), asma (buah); diabetes, hepatitis, diuretik (buah, daun dan akar);neuralgia, cacing gelang, reumatik, penyakit kulit, sakit perut (kulit batang, buah, dan daun) 2 Avicennia alba Antifertilitas, penyakit kulit, tumor, borok (resin) 3 Avicennia marina Rematik, cacar, borok 4 Avicennia officinalis Aprodisiak, hepatitis (buah) 5 Bruguiera cylindrica Hepatitis (buah, daun, akar) 6 Bruguiera exaristata Antitumor(kulit batang) 7 Bruguiera gymnorrhiza Sakit mata (buah) 8 Ceriops tagal Menahan pendarahan (kulit batang) 9 Cerbera manghas Reumatik (buah); obat penyakit kulit (biji); zat pembersih (getah) 10 Heritiera littoralis Obat diare (biji) 11 Hibiscus tiliaceus Infeksi telinga (bunga) 12 Ipomea pes-caprae Diserang ubur-ubur laut (daun) 13 Lumnitzera racemosa Antifertilitas, asma, diabetes, digigit ular (bunga, dan buah) 14 Nypa fruticans Asma, diabetes, rematik, digigit ular (daun dan buah) 15 Pluchea indica Demam (daun, akar); rematik, kudis (daun tunas); sinusitis (kulit batang) 16 Rhizophora apiculata Antimuntah, antiseptik, diare, haemostatik, (kulit batang); hepatitis, (kulit batang, bunga, buah dan daun); menghentikan pendarahan, tifus (kulit batang). 17 Rhizophora mucronata Beri-beri, haematoma, (kulit batang), hepatitis ( bunga, akar) 18 Sonneratia alba Bengkak dan keseleo 19 Xylocarpus spp Obat diare (kulit), kosmetik (buah) Informasi tentang potensi bunga, buah, biji dan daun dari beberapa jenis tumbuhan mangrove tersebut adalah menjadi tantangan bagi peneliti muda, untuk dapat lebih berkiprah dalam mengungkapkan misteri sumber pangan. Sebagai contoh, adalah bunga dan buah dari jenis Bruguiera gymnorrhiza yang memiliki kandungan karbohidrat. Jenis tumbuhan Bruguiera gymnorrhiza tersebut sangat mudah dikenali, karena dicirikan dengan bunga yang warna merah yang khas, dengan buah yang ukurannya cukup besar. Selain bermanfaat untuk bahan obat dan makanan, jenis Bruguiera gymnorrhiza dan Rhizophora sp juga digunakan untuk melakukan kegiatan penghijauan.

Mangrove Di Indonesia 2018: 1-409

ISSN / ISBN / IBSN : ISSBN: 978-602-6504-08-1

No. Arsip : LIPI-20190107


Download Disini

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA