Apa yang dimaksud dengan aliran Maturidiyah Samarkand?

1.      Pengertian Aliran Maturidiyah

Berdasarkan buku Pengantar Teologi Islam, aliran Maturidiyah diambil dari nama pendirinya, yaitu Abu Mansur Muhammad bin Muhammad. Di samping itu, dalam buku terjemahan oleh Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib menjelaskan bahwa pendiri aliran maturidiyah yakni Abu Manshur al-Maturidi, kemudian namanya dijadikan sebagai nama aliran ini.

Selain itu, definisi dari aliran Maturidiyah adalah aliran kalam yang dinisbatkan kepada Abu Mansur al-Maturidi yang berpijak kepada penggunaan argumentasi dan dalil aqli kalami.

Sejalan dengan itu juga, aliran Maturidiyah merupakan aliran teologi dalam Islam yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidiyah dalam kelompok Ahli Sunnah Wal Jamaah yang merupakan ajaran teknologi yang bercorak rasional.

Jika dilihat dari metode berpikir dari aliran Maturidiyah, aliran ini merupakan aliran yang memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia, tanpa berlebih-lebihan atau melampaui batas, maksudnya aliran Maturidiyah berpegang pada keputusan akal pikiran dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syara’. Sebaliknya jika hal itu bertentangan dengan syara’, maka akal harus tunduk kepada keputusan syara’.

Berdasarkan prinsip pendiri aliran Maturidiyah mengenai penafsiran Al-Qur’an yaitu kewajiban melakukan penalaran akal disertai bantuan nash dalam penafsiran Al-Qur’an. Dalam menfsirkan Al-Qur’an al-Maturidi membawa ayat-ayat yang mutasyabih (samar maknanya) pada makna yang muhkam (terang dan jelas pengertiannya). Ia menta’wilkan yang muhtasyabih berdasarkan pengertian yang ditunjukkan oleh yang muhkam. Jika seorang mikmin tidak mempunyai kemampuan untuk menta’wilkannya, maka bersikap menyerah adalah lebih selamat.

Jadi dalam pena’wilan Al-Qur’an, al-Maturudi sangat berhati-hati walaupun beliau menjadikan akal suatu kewajiban dalam penafsiran suatu ayat. Penulis setuju dengan sikap al-Maturudi dalam menafsirkan ayat yang mutasyabih, yakni dengan mencari pentunjuk dari ayat yang muhkam dan dikombinasikan dengan penalaran akal pikiran yang apabila seseorang tidak bisa mena’wilkan ayat tersebut, maka orang itu dianjurkan untuk tidak mena’wilkannya.

Maka dari bererapa pengertian di atas, kami bisa memberikan simpulan bahwa aliran Maturidiyah merupakan aliran yang namanya diambil dari nama pendirinya yakni al-Maturudi. Aliran ini menggunakan akal dalam analogi pemikiran atau penafsiran ayat, namun hal itu bukan menjadi hal yang mutlak karena apabila terdapat keputusan akal yang bertentangan dengan syara’, maka itu ditolak.

2.     Doktrin-doktrin Teologi Al Maturidiyah

1.      Akal dan wahyu

Dalam   pemikiran teologinya, Al-Maturidi mendasarkan pada Al-qur’an dan akal. Dalam hal ini ia sama dengan Asyari, namun porsi yang diberikannya kepada akal lebih besar dari pada yang diberikan Al Asyari.

Menurut Al Maturidi mengetahui Tuhan dan kewajiban mengetahui Tuhan dapat diketahui dengan akal. Kemampuan akal dalam mengetahui kedua hal tersebut sesuai dengan ayat-ayat Al-qur’an yang memerintahkan agar manusia menggunakan akal dalam usaha memperoleh pengetahuan dan keimanannya kepada Allah melalui pengamatan dan pemikiran yang mendalam tentang makhluk ciptaannya. 

Dalam masalah baik dan buruk Al Maturidi berpendapat bahwa baik dan buruknya sesuatu itu terletak pada sesuatu itu sendiri. Sedangkan perintah atau larangan syariah hanyalah mengikutI ketentuan akal, mengenai baik buruknya sesuatu. Ia mengakui bahwa akal tidak selalu mampu membedakan antara hal yang baik dan hal yang buruk, namun terkadang pula mampu mengetahui sebagian baik dan buruknya sesuatu. Dalam kondisi demikian wahyu diperlukan untuk sebagai pembimbing.

Tentang mengetahui kebaikan dan keburukan sesuatu dengan akal, Al Maturidi sependapat dengan Mu’tazilah. Hanya saja bila Mu’tazilah mengatakan bahwa perintah melakukan baik dan meninggalkan yang buruk itu didasarkan pada pengetahuan akal, Al-Maturidi mengatakan bahwa kewajiban tersebut harus diterima dari ketentuan ajaran wahyu saja. Sedangkan menurut Al Asy’ari  baik atau buruk itu tidak terdapat pada sesuatu itu sendiri. Sesuatu dipandang baik karena perintah syara’ dan dipandang buruk karena larangan syara’. Jadi, yang baik itu baik karena perintah Allah dan yang buruk itu buruk karena larangan Allah. Pada konteks ini Al Maturidi berada pada posisi tengah dari Mu’tazilah dan Al Asy’ari.

2.      Perbuatan Tuhan dan Perbuatan Manusia

Aliran maturidiyah Samarkand memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja. Dengan demikian, Tuhan mempunyai kewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian juga pengiriman Rasul dipandang sebagai kewajiban Tuhan.

Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah mengenai paham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Al Bazdawi. Tuhan pasti menepati janji-Nya seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik, walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar.157-159

Menurut Al Maturidi perbuatan manusia diciptakan oleh Tuhan karena segala sesuatu dalam wujud ini adalah ciptaan-Nya. Khusus perbuatan manusia, kebijaksanaan dan keadilan kehendak Tuhan mengharuskan manusia memiliki kemampuan berbuat (ikhtiar) agar kewajiban-kewajiban yang di bebankan kepadanya dapat dilaksanakannya. Dalam hal ini, Al-Maturidi mempertemukan antara ikhtiar sebagai perbuatan manusia dan qudrat Tuhan sebagai pencipta perbuatan manusia. 126

3.      Kekuasaan Dan Kehendak Mutlak Tuhan

Perbuatan dan segala sesuatu dalam wujud ini, yang baik atau yang buruk adalah ciptaan Tuhan. Menurut Al Maturidi bukan berarti dalam hal ini Tuhan berbuat dan berkehendak dengan sewenang-wenang dengan kehendak-Nya semata. Hal ini karena Tuhan tidak sewenang-wenang, tetapi perbuatan dan kehendak-Nya itu berlangsung sesuai dengan hikmah dan keadilan yang ditetapkan-Nya.128 Tuhan adil mengandung arti bahwa segala perbuatan Nya adalah baik dan tidak mampu untuk berbuat buruk serta tidak mengabaikan kewajiban-kewajiban Nya terhadap manusia. Oleh karena itu, Tuhan tidak akan memberikan beban yang terlalu berat kepada manusia dan tidak sewenang-wenang dalam memberikan hukum karena Tuhan tidak dapat berbuat zalim. Tuhan akan memberikan upah atau hukuman kepada manusia sesuai dengan perbuatannya.187

4.      Sifat Tuhan

Terdapat persamaan antara Al Asy’ari dan Al Maturidi tentang sifat Tuhan. Keduanya berpendapat bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat, seperti bashar, sama’ dan sebagainya. Akan tetapi pengertian sifat Tuhan Al Maturidi berbeda pendapat dengan Al Asy’ari. Al Asy’ari mengartikan sifat Tuhan sebagai sesuatu yang bukan dzat, melainkan melekat pada dzat itu sendiri, sedangkan Al-Maturidi berpendapat bahwa sifat itu tidak dikatakan sebagai esensi-Nya dan bukan pula lain dari esensi-Nya. Paham Al Maturidi tentang makna sifat Tuhan hampir mendekati paham Mu’tazilah. Perbedaan keduanya terletak pada pengakuan Al-maturidi tentang adanya sifat-sifat Tuhan, sedangkan Mu’tazilah menolak adanya sifat-sifat Tuhan. 128

5.      Melihat Tuhan

Al Maturidi mengatakan bahwa manusia dapat melihat Tuhan. Hal ini diberitakan oleh Al-Qur’an, antara lain firman Allah dalam surat Al Qiyamah ayat 22 dan 23.

 “Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. kepada Tuhannyalah mereka melihat”

Al maturidi lebih lanjut mengatakan bahwa Tuhan kelak di akhirat dapat dilihat dengan mata, karena Tuhan mempunyai wujud walaupun Ia immaterial. Namun melihat Tuhan, kelak di akhirat tidak dalam bentuknya, karena keadaan di akhirat tidak sama dengan keadaan di dunia.129

6.      Kalam Tuhan

Al Maturidi membedakan antara kalam (sabda) yang tersusun dengan huruf dan bersuara dengan kalam nafsi (sabda yang sebenarnya atau makna abstrak). Kalam nafsi adalah sifat Qadim bagi Allah, sedangkan kalam yang tersusun dari huruf dan suara adalah baru (hadis). Al qur’an dalam arti kalam yang tersusun dari huruf dan kata-kata adalah baru (hadis). kalam nafsi tidak dapat diketahui hakikatnya dan bagaimana Allah bersifat dengannya tidak dapat kita ketahui, kecuali dengan satu perantara.

7.      Pengutusan Rasul

Akal tidak selamanya mampu mengetahui kewajiban yang dibebankan kepada  manusia, seperti kewajiban mengetahui baik dan buruk serta kewajiban lainnya dari syariat yang dibeban kepada manusia. Oleh karena itu, menurut maturidi akal memerlukan bimbingan ajaran wahyu untuk mengetahui kewajiban-kewajiban tersebut. Jadi, pengutusan Rasul berfungsi sebagai sumber informasi. Tanpa mengikuti ajaran wahyu yang disampaikan Rasul berarti manusia telah membebankan sesuatu yang berada di luar kemampuannya kepada akalnya.130

8.      Pelaku Dosa Besar

Aliran Maturidiyah baik Samarkand maupun Bukhara sepakat menyatakan bahwa pelaku dosa masih tetap sebagai mukmin karena adanya keimanan dalam dirinya. Adapun balasan yang diperolehnya kelak diakherat bergantung pada apa yang dilakukannya di dunia. Jika ia meninggal tanpa taubat terlebih dahulu, keputusannya diserahkann sepenuhnya kepada kehendak Allah SWT. Jika menghendaki pelaku dosa besar itu diampuni, Ia akan memasukkannya ke neraka, tetapi tidak kekal di dalamnya. 138

9.      Iman dan Kufur

Dalam masalah Iman, aliran maturidiyah Samarkand berpendapat bahwa iman adalah tashdiq bi al qalb, bukan semata-mata iqrar bi al lisan. Apa yang diucapkan oleh lidah dalam bentuk pernyataan iman, menjadi batal bila hati tidak mengakui ucapan lidah. Menurut Al Maturidi, tashdiq harus diperoleh dari ma’rifah.

Adapun pengertian iman menurut al Maturidiyah Bukhara seperti yang dijelaskan oleh Al Bazdawi adalah tashdiq bi al qalb dan tashdiq bi al lisan. Tashdiq bi al qalb adalah meyakini dan membenarkan dalam hati tentang keesaan Allah dan Rasul-Rasul yang diutusnya beserta risalah yang dibawanya. Sedangkan tashdiq al lisan adalah mengakui kebenaran seluruh pokok ajaran islam secara verbal.149-150


Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA