Apa tugas DPR-GR pada masa demokrasi terpimpin

Dengarkan Berita

JAKARTA, NETRALNEWS.COM - Pada tanggal 5 Maret 1960 DPR hasil Pemilu I tahun 1955 dibubarkan oleh Presiden Soekarno, karena menolak Rencana Anggaran Belanja Negara yang diajukan oleh pemerintah. Tidak lama kemudian Presiden berhasil menyusun daftar anggota DPR. DPR yang baru dibentuk tersebut dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong ( DPRGR). Seluruh DPR-GR ditunjuk oleh Presiden mewakili golongan masing-masing. Anggota DPR-GR dilantik pada tanggal 25 Juni 1960.

Dalam upacara pelantikan tersebut, Presiden Soekarno menyatakan bahwa tugas DPR-GR adalah melaksanakan Manipol, merealisasikan amanat penderitaan rakyat, dan melaksanakan demokrasi terpimpin. Pada upacara pelantikan wakil-wakil ketua DPR-GR tanggal 5 Januari 1961, Presiden Soekarno menjelaskan kedudukan DPR-GR. DPR-GR adalah pembantu presiden/mandataris MPRS dan member sumbangan tenaga kepada Presiden untuk melaksanakan segala sesuatu yang ditetapkan MPRS. Karena itu, pembentukan DPR-GR supaya ditangguhkan. Alasannya adalah sebagai berikut.

Perubahan perimbangan perwakilan golongan- golongan dalam DPR-GR memperkuat pengaruh dan kedudukan suatu golongan tertentu yang mengakibatkan kegelisahan-kegelisahan dalam masyarakat dan memungkinkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.

DPR yang demikian, pada hakikatnya adalah DPR yang hanya mengiyakan saja, sehingga tidak dapat menjadi soko guru negara hokum dan demokrasi yang sehat.

Pembaruan dengan cara pengangkatan sebagaimana yang dipersiapkan itu adalah bertentangan dengan asas-asas demokrasi yang dijamin oleh undang-undang.

Tokoh-tokoh lain yang tidak menjadi anggota Liga Demokrasi juga menyatakan keberatan terhadap pembubaran DPR hasil Pemilu tahun 1955. Misalnya, Mr. Sartono dan Mr. Iskaq Cokrohadisuryo (teman lama Presiden Soekarno dalam PNI). Di samping itu, juga muncul reaksi keras dari Masyumi dan PRI. Sutomo (Bung Tomo) dari Partai Rakyat Indonesia (PRI) lewat pengaduannya yang disampaikan pada tanggal 22 Juni 1960 dengan tegas menyatakan bahwa kabinet yang dipimpin Soekarno melakukan pelanggaran terhadap UUD 1945. Pelanggaran yang dilakukan adalah membubarkan Parlemen Republik Indonesia hasil pilihan rakyat. Menurut Sutomo, tindakan pembubaran parlemen hasil pilihan rakyat merupakan tindakan yang sewenang-wenang. Dikatakan sewenang-wenang karena: Ada paksaan untuk menerima Manipol tanpa diberi waktu terlebih dulu untuk mempelajarinya, ada paksaan untuk bekerja sama antara golongan nasionalis, agama, dan komunis.

Reaksi-reaksi yang dilancarkan beberapa partai tersebut ditanggapi Presiden Soekarno dengan rencana membubarkan partai-partai tersebut. Rencana pembubaran partai-partai ditentang oleh PNI dan PKI sehingga Presiden Soekarno tidak jadi membubarkannya. Partai PNI dan PKI merupakan partai yang dekat dengan Presiden, maka suaranya didengarkan. Sedangkan Partai Masyumi dan PSI yang terlibat pemberontakan PRRI/Permesta dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1960 oleh Presiden Soekarno.

Tindakan pembubaran DPR hasil Pemilu tersebut mendapat reaksi keras dari partai-partai. Pada bulan Maret tahun 1960, beberapa partai mendirikan Liga Demokrasi. Liga Demokrasi diketuai oleh Imron Rosyadi dari NU. Anggota Liga Demokrasi terdiri dari beberapa tokoh partai politik seperti Masyumi, Parkindo, Partai Katolik, Liga Muslimin, PSI, dan IPKI. Mereka menyatakan bahwa kebijaksanaan Presiden membubarkan DPR hasil Pemilu I serta pembentukan DPR-GR merupakan tindakan yang tidak tepat. Liga Demokrasi mengusulkan agar dibentuk DPR yang demokratis dan konstitusional. Presiden Soekarno akan lemah terhadap PNI. Ikut sertanya PKI dalam kehidupan politik Indonesia berarti menduakan Pancasila dengan suatu ideology yang bertentangan. Letak pertentangannya adalah sebagai berikut:

Pancasila berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, sedangkan PKI cenderung ateis.

Pancasila berasaskan Persatuan Indonesia, sedangkan PKI berdasarkan internasionalisme.

Pancasila berasaskan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, sedangkan komunisme berlandaskan pertentangan antarkelas.

Dengan cara mendekati Presiden Soekarno, kedudukan PKI semakin kuat. Manipol harus dipegang teguh sebagai satu-satunya ajaran Revolusi Indonesia sehingga kedudukan Pancasila digeser oleh Manipol. Secara tegas, D.N. Aidit menyatakan bahwa Pancasila hanya dibutuhkan sebagai alat pemersatu. Kalau rakyat Indonesia sudah bersatu, Pancasila tidak diperlukan lagi. Keadaan semacam ini menggelisahkan berbagai kalangan yang sepenuhnya meyakini Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup. Sekelompok wartawan yang mempunyai keyakinan kuat terhadap Pancasila membentuk Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS) dengan harapan agar Presiden Soekarno berpaling dari PKI dan menempatkan diri di pihak pembela Pancasila. Dukungan ini tidak diterima oleh Presiden Soekarno. Justru BPS dilarang kehadirannya.

Di antara partai-partai yang masih berani meneror mental PKI adalah Partai Murba. Akan tetapi, akhirnya PKI berhasil mempengaruhi Presiden Soekarno untuk membubarkan Partai Murba. PKI juga berhasil menyusup ke dalam tubuh partai-partai dan beberapa organisasi lain yang ada pada waktu itu. Penyusupan PKI itu mengakibatkan pecahnya PNI menjadi dua. PNI pimpinan Ali Satroamijoyo disusupi tokoh PKI Ir. Surachman sehingga haluannya menjadi sejajar dengan PKI. Sedangkan, tokoh-tokoh marhaenis sejati malah dikeluarkan dengan dalih mereka adalah marhaenis gadungan. Mereka ini kemudian membentuk kepengurusan sendiri di bawah pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranawijaya. Kemudian dikenal sebagai PNI Osa-Usep.

Satu-satunya kekuatan sosial politik terorganisasi yang mampu menghalangi PKI dalam usahanya merobohkan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila adalah TNI. Oleh karena itu, PKI memusatkan perhatiannya kepada TNI dari dalam. PKI membina kader-kader dan simpatisan-simpatisan di kalangan anggota TNI dengan cara menjelekjelekkan nama pimpinan TNI yang gigih membela Pancasila. Daerah-daerah, terutama yang banyak kader PKI-nya melancarkan aksi sepihak. Barisan Tani Indonesia (BTI) sebagai ormas PKI diperintahkan mengambil begitu saja tanah-tanah orang lain untuk kemudian dibagi-bagikan kepada anggotanya. Tindakan PKI ini tampaknya merupakan ujian bagi TNI yang berhadapan dengan massa. Di berbagai tempat terjadi pengeroyokan terhadap anggota TNI oleh massa PKI, misalnya di Boyolali.

Tindakan PKI yang menelan banyak korban jiwa dan harta ini sementara masih didiamkan oleh pemerintah. Karena merasa menang, PKI lebih meningkatkan aksinya. PKI menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk membentuk Angkatan ke-5. Sebagian anggota angkatan ke-5 akan diambil dari PKI yang telah menjadi sukarelawan Dwikora. Usaha pembentukan Angkatan ke-5 ini sampai akhir masa demokrasi terpimpin dapat digagalkan oleh TNI, khususnya Angkatan Darat. Di samping itu, PKI juga menuntut dibentuknya Kabinet Nasakom yang harus mempunyai menteri-menteri dari PKI. Tuntutan ini sebagian dikabulkan oleh Presiden Soekarno dengan mengangkat pimpinan utama PKI seperti D. N. Aidit, Lukman, dan Nyoto menjadi menteri, walaupun tidak memegang departemen.