Abstract A wide variety of indicators suggest that humans are destroying the earth at a rapid rate. Forests, air, water, human health, and endangered species are all in trouble. Overall, humans are creating economic growth by depreciating the capital in natural resources that allows for that growth. We argue that the lens of organizational behaviorr yields insights not otherwise visible to explain this behavior. We provide a multilevel analysis of the destructiveness of taken-for-granted belief and behavior. We consider (1) how human perception of environmental problems is affected by cognitive biases; (2) how individuals are influenced in these biases by the organizations of which they area part; and (3) how institutions persist that guide our awareness of our connections to the environment. Pendahuluan Populasi manusia secara geometris berkembang pesat, sementara daratan panen mengalami erosi, hutan merosot, spesies sedang menghadapi pemunahan, suplai air bersih berkurang, perikanan menurun dan polusi mengancam kesehatan manusia.[3] Secara keseluruhan, masyarakat sedang mengejar pertumbuhan ekonomi dengan mengabaikan kualitas sumberdaya alam yang semakin menurun sementara pertumbuhan yang dilakukan manusia justru tergantung kepadanya. Pertentangan nyata ini telah mendorong banyak peneliti untuk melakukan penelitian tentang penyebab dan solusi bagi degradasi lingkungan hidup. Makalah ini menawarkan fokus serupa, namun demikian juga menerapkan suatu lensa dari perilaku organisasi untuk menghasilkan penglihatan mendalam terhadap perilaku-perilaku yang secara nyata tidak kelihatan. Di dalam pandangan penulis, permasalahan lingkungan hidup bukan semata-mata masalah teknologi atau ekonomi, tetapi juga masalah tingkah laku dan budaya. Sementara itu teknologi dan kegiatan ekonomi mungkin saja menjadi penyebab perilaku yang merusak lingkungan hidup secara langsung. Adalah argumentasi penulis dimana kepercayaan-kepercayaan individual, norma-norma budaya dan institusi kemasyarakatan memandu pengembangan tingkah laku yang merusak lingkungan hidup. Pertanyaan dalam diri penulis, kemudian, harus mempertimbangkan bagaimana perilaku individual dan sosial membentuk persepsi mereka terhadap lingkungan hidup dan bagaimana mungkin individu, organisasi, dan nilai instrumental dapat mengabadikan perilaku yang merusakkan lingkungan hidup itu. Penulis mulai dengan satu asumsi sederhana bahwa manusia, menurut sejarah, telah terlibat dalam perilaku yang merusak lingkungan hidup dan berada dalam posisi yang bertentangan dengan kepentingan lingkungan bagi kemampuannya bertahan hidup dalam jangka panjang. Karena kecenderungan inilah, banyak peluang telah hilang untuk mengoreksi disfungsionalitas ini. Ada pendapat bahwa banyak atribut yang menghilangkan peluang bagi ilmu sosial dan ilmu politik untuk mempromosikan perlindungan terhadap lingkungan hidup. Penulis tidak setuju. Bagaimanapun, para ilmu pengetahuan sosial dan politik memfokuskan pada seberapa jauh persepsi dan pengembangan ilmu pengetahuan sosial, politik, ekonomi, dan struktur sosial mempengaruhi proses perilaku yang merusak lingkungan hidup. Perilaku yang merusak lingkungan hidup ini mencakup perilaku-perilaku yang memfokuskan kebutuhan yang dengan segera harus dipenuhi dan tidak memperhitungkan masa depan dan secara bersamaan mengabaikan nilai dari modal lingkungan hidup dan dampak negatifnya. Berbagai jenis perilaku ini mengantar penulis pada pemikiran tentang bagaimana tiga tingkat dari batasan organisasi dapat membatasi kemampuan kita untuk merasakan kerusakan lingkungan hidup. Fokus penulis adalah suatu analisa multi-level dari perusakan lingkungan hidup. Pertama, penulis mempertimbangkan bagaimana individu dipandu di dalam persepsi tentang permasalahan lingkungan hidup mereka melalui penyimpangan kognitif. Kedua, penulis mempertimbangkan bagaimana individu dipengaruhi di dalam persepsi dan penyimpangan ini oleh organisasi di mana mereka menjadi bagiannya. Akhirnya, penulis mempertimbangkan institusi-institusi yang tetap berlaku dan memandu kesadaran masyarakat dalam hubungan serta dampaknya terhadap lingkungan hidup. Hanya dengan cara mengidentifikasikan pokok masalah ini kita memahami keberlangsungan dari perilaku yang merusak lingkungan hidup. Latar belakang mengapa manusia melakukan perusakan lingkungan hidup adalah sangat luas. Weick[4] berpendapat, latar belakang yang luas tersebut dapat mendorong orang untuk menghindari pemberian perhatian pada isu lingkungan hidup. Karena luasnya, maka sulit bisa memilah-milah penyebab motivasi orang untuk merusak lingkungan hidup. Penulis melihat tiga lensa yang menyediakan sudut yang bermanfaat dan memungkinkan perhatian sedemikian rupa, sehingga lebih banyak sarjana dapat menemukan lebih banyak cara untuk membuat analisis. Analisis multi-level penulis memfokuskan pada perilaku organisasi, satu wilayah dari penelitian akademis yang mungkin saja masih jarang menjadi inti diskusi tentang isu perusakan lingkungan hidup ini. Ketidakhadirannya dalam diskusi-diskusi itu, bagaimanapun, bukan berarti tidak diketahui atau tidak dipertimbangkan. Gladwin[5] menaruh perhatian terhadap kontribusi yang hilang ini dengan cara meminta suatu aplikasi dari teori organisasi bagi penelitian tentang manajemen lingkungan hidup dari korporasi. Dia berargumentasi bahwa teori sosiologi menyinggung kepada organisasi yang memegang janji terbesar untuk meningkatkan pemahaman manusia tentang bagaimana greening sociology bekerja.[6] Dan berikutnya, Stem dan Barley[7] menantang bidang perilaku organisasi untuk menghasilkan lebih banyak pekerjaan berhubungan dengan isu yang terkait dengan relevansi sosial yang lebih lebar dibanding dengan lingkungan kerja mereka, seperti lingkungan hidup. Mereka berargumentasi bahwa kontribusi akademis kepada beberapa isu tersebut yang paling besar datang dari ahli ekonomi dan pengacara, tetapi fokus disiplin mereka lebih pada mekanisme yang memaksa dari kebijakan dan hukum untuk menjelaskan serta memecahkan permasalahan masyarakat. Mereka mengabaikan konteks organisasi sistemik dimana mekanisme yang memaksa dari kebijakan dan hukum itu didasarkan. Baru-baru ini, lingkungan hidup telah mulai berkembang sebagai sebuah topik perhatian di dalam manajemen penelitian. Tetapi, topik tersebut tetap menjadi lingkup perhatian dari suatu kelompok kepentingan khusus, lebih daripada suatu topik yang dikenal baik oleh sebagian besar manajemen penelitian. Di dalam lingkup spesifik ini, sebagian besar dari penelitian saat ini memfokuskan pada tindakan strategis dari organisasi individual[8] dan bukan terhadap isu sosial dimana hal itu menarik perhatian para peneliti perilaku organisasi. Tetapi, penulis percaya bahwa isu lingkungan hidup ada di antara sebagian besar isu yang penting bagi para ahli perilaku organisasi untuk dijelaskan, dipahami, dan dikoreksi. Isu lingkungan hidup terletak pada suatu peristiwa unik dari kedua ilmu, baik ilmu fisik dan ilmu pengetahuan sosial, melebar pada komponen dari suatu kelompok yang lebih luas dari disiplin ilmu lainnya, seperti ilmu politik, ekonomi, manajemen, engineering, biologi, ilmu kimia, dan ekologi.[9] Perilaku organisasi menawarkan berbagai lensa untuk memahami isu kompleks ini. Pada level individu, organisasi, dan institusional, perilaku organisasi menawarkan pemahaman mendalam tentang bagaimana persepsi dan penormaan sosial tentang isu lingkungan hidup berlangsung, serta oleh karena itu, menyoroti sumber mendasar dari perilaku yang merusak lingkungan hidup. Dengan menerapkan teori organisasi dan tingkah laku pada pemahaman penciptaan permasalahan lingkungan hidup, makalah ini menguji sistem kognitif, budaya, dan institusional dari individu dan organisasi. Penulis berniat untuk beralih perhatian di luar pengkajian dari tindakan individual untuk mempertanyakan dengan tepat sumber mendasar apa sehingga tindakan itu terjadi. Penulis melihat jalur dari penyelidikan ini sebagai hal yang kritis untuk memahami sifat dari isu lingkungan hidup tersebut: bagaimana konsepsi dari isu lingkungan hidup diciptakan dan bagaimana hasil konsepsi itu di dalam tindakan individual serta organisasi yang mungkin saja bertentangan dengan kepentingan jangka panjang kita? Bagian akhir dari makalah ini, penulis akan menyajikan suatu ikhtisar tentang apa yang penulis lihat sebagai contoh-contoh kritis dari perilaku yang merusak lingkungan hidup. Penulis kemudian ingin mempertimbangkan kreasi dan pengabadian perilaku ini dengan pemahaman mendalam dari penelitian tentang tiga tingkat perilaku individual, perilaku organisasi, dan perilaku institusi yang memandu persepsi mereka terhadap realita perusakan lingkungan hidup. Perilaku Merusak Lingkungan hidup Pertumbuhan Populasi Manusia Konsumsi Yang Berlebihan Atas Sumberdaya Alam Sementara itu, kebutuhan pembangunan gedung-gedung juga menuntut pemenuhan berbagai bahan material seperti kayu, semen dan pasir yang diperoleh dari pengerukan sumberdaya alam yang berlebih, sehingga semakin mempertajam kerusakan lingkungan hidup alam. Polusi Sebagian besar dari hasil polusi dunia adalah dari pemborosan sistem produksi[14], menghasilkan perusakan sumber-sumber daya alam yang berpengaruh pada merosotnya jaminan kesehatan manusia dan binatang, serta mahluk hidup non hewani lainnya, yang sebetulnya adalah populasi yang sedang dilayani. Di desa di dalam banyak negara berkembang, sebagai contoh, sedikitnya 170 juta orang kekurangan akses untuk membersihkan air untuk minuman, masakan, dan cucian.[15] Penduduk di kota-kota seperti Bangkok, Beijing, Mexico City, dan Sao Paulo dipaksa untuk tinggal dan hidup di udara yang tidak cocok untuk bernafas.[16] Secara ringkas, kita mencari cara untuk menjelaskan kecenderungan perilaku yang merusak lingkungan hidup melalui kondisi kelebihan populasi penduduk, konsumsi yang berlebih atas sumberdaya alam dan pengotoran lingkungan hidup. Sebuah Perspektif Perilaku Tentang Perilaku Merusak Lingkungan hidup Perspektif Level Individual Penelitian-penelitian tentang keputusan yang terkait dengan tingkah laku melihat individu ketika mencoba untuk bertindak secara rasional terombang-ambing di dalam kapasitas mereka untuk mencapai rasionalitas.[19] Penelitian tentang keputusan yang terkait dengan tingkah laku menyebabkan peneliti mampu untuk meramalkan, berdasar purbasangka, bagaimana orang akan membuat keputusan yang tidak konsisten, tidak efisien, dan berbasis pada informasi yang secara normatif tidak relevan. Lebih baru lagi, penelitian jenis ini telah mencoba menghubungkan penyimpangan keputusan dengan perilaku yang merusak lingkungan hidup. Sementara itu, banyak penyimpangan apapun didokumentasikan di dalam penelitian tentang keputusan yang terkait dengan tingkah laku[20] dan hal ini akan mempunyai implikasi di dalam daya jangkau lingkungan hidup. Untuk itu, penulis, secara selektif meninjau penelitian tentang sejumlah penyimpangan spesifik yang dikaitkan pada perusakan lingkungan hidup. Bagian ini meninjau bukti tentang bagaimana penyimpangan berikut secara negatif mempengaruhi lingkungan hidup : (1) pengabaian berlebih tentang masa depan; (2) egosentrisme; (3) ilusi positif; (4) perebutan kepentingan; dan (5) kesalahan identifikasi isu. Pengabaian Berlebih Tentang Masa Depan Terdapat satu bidang ekstensif dari penelitian yang menunjukkan bahwa orang akan menggunakan sebanyak mungkin sumberdaya alam di dalam perilaku konsumsi mereka.[23] Orang secara sembarangan akan menghambur-hamburkan energi secara tidak efisien, seperti pemakaian listrik secara berlebih, menebang kayu secara serampangan dan tidak legal, dan sebagainya. Penggunaan energi yang berlebihan dan tidak efisien tersebut merupakan pengabaian atau sebuah penyimpangan kognitif di level individual[24], masalah yang berhubungan dengan isu dari dilema dan pengabaian sosial antar generasi[25]. Dilema sosial mengacu pada situasi bahwa adalah rasional untuk setiap entitas individual untuk menyeberang, sementara semua pihak bisa menjadi lebih baik dengan perangkat perilaku yang lebih kooperatif. Pengabaian intergenerasi berarti bahwa orang mengabaikan masa depan karena mereka bisa mendapat manfaat saat ini, membuat beban generasi masa depan. Wade-Benzoni[26] berpendapat bahwa pengabaian ini terjadi karena kerusakan yang diciptakan akan sering terjadi di masa datang. Penulis berpendapat bahwa pengabaian itu terjadi ketika sebuah proses kognitif membenarkan cara-cara peningkatan perilaku yang merusak lingkungan hidup.
Hubungan antara egosentrisme dengan perilaku yang merusak lingkungan hidup adalah tidak lagi konsisten dalam konteks dunia nyata dari isu lingkungan hidup. Di dalam negosiasi-negosiasi perubahan iklim global saat ini di dalam Kyoto, negara-negara berkembang melihat masalah-masalah yang sudah ada itu diciptakan oleh pola konsumsi berlebih dari negara-negara maju. Di lain pihak, negara-negara maju memandang bahwa masalah tersebut tidak dapat dipecahkan kecuali jika negara berkembang membatasi ekspansi mereka untuk mengotori lingkungan hidup dan berhenti membalak hutan-hujan mereka. Sementara itu kedua pihak melihat semua perilaku tersebut terkait dengan isu dan alokasi tanggung jawab yang sangat konsisten dengan penafsiran egosentris yang digambarkan tersebut[29]. Wade-Benzoni, Tenbrunsel, dan Bazerman[30] melakukan penelitian tentang egosentrisme dalam kaitannya dengan polusi dari Rhine River, sebuah sungai yang digunakan bersama oleh Swiss, Perancis, Jerman, Luxembourg, dan Belanda. Lima negara tersebut saling bergantung, berbagi tanggung jawab untuk pengotoran sungai dan manfaat dari penggunaan sungai. Bagaimanapun, masalah-masalah polusi dan ekstraksi adalah jauh dari sederhana, dengan asimetris mendorong ke arah egosentrisme.
Kramer[32] memberikan beberapa bukti langsung untuk sampai pada argumentasi ini. Di suatu lingkungan hidup komunitas perumahan, beberapa penduduk diminta untuk menilai diri mereka sendiri tentang sikap dan perilaku mereka terkait dengan isu lingkungan hidup. Isu mencakup item umum, seperti kesadaran tentang isu lingkungan hidup, dan item spesifik, seperti aktivitas pencegahan perusakan lingkungan hidup. Penduduk terpilih diminta untuk mengkaji pentingnya masing-masing isu. Penduduk terpilih tersebut ternyata cenderung untuk berargumentasi bahwa mereka lebih mudah memiliki kesadaran akan lingkungan hidup, dibandingkan melakukan perilaku pencegahan secara aktual bagi perusakan lingkungan hidup. Mereka berargumentasi bahwa aktivitas pencegahan perusakan lingkungan hidup tidak dapat secara efektif mereka lakukan kecuali hanya sebagai suatu letupan-letupan kontrol sosial informal saja. Pencegahan secara aktual akan lebih efektif dilakukan oleh para pelaku bisnis atau pengusaha dengan mengurangi dampak negatif dari produk mereka terhadap perusakan lingkungan hidup. Penelitian ini, dengan demikian, menemukan suatu korelasi yang sangat kuat antara bagaimana penduduk menilai diri mereka terhadap perusakan lingkungan hidup dan pentingnya peran positif pelaku bisnis dalam mengurangi dampak perusakan lingkungan hidup. Akhirnya, penelitian ini juga menemukan bukti bahwa penduduk jauh lebih mungkin untuk menyangkal adanya perusakan lingkungan hidup yang berlebih, dibandingkan untuk mengakui bahwa mereka harus membantu pelestarian lingkungan hidup. Hasil ini menyiratkan bahwa sangat mungkin sebagian besar orang tidak melakukan sesuatu yang lebih untuk menjadi warga negara yang berorientasi lingkungan hidup, karena mereka melihat diri mereka sendiri sebagai penyumbang bagi perusakan lingkungan hidup.
Perebutan kepentingan menyebabkan para pihak yang berselisih percaya bahwa mereka tidak dapat memperoleh keinginannya melalui kerjasama dengan pihak lain. Dengan demikian, perselisihan dan perebutan kepentingan bagi pemanfaatan sumberdaya alam menjadi semakin tajam, dan pada akhirnya kepentingan dari sumberdaya alam itu sendiri tidak pernah diperhatikan kelestariannya. Semakin pihak-pihak yang memperebutkan kemanfaatannya, maka semakin terabaikan dan tereksploitasi pula sumberdaya alam. Dengan demikiann, perusakan lingkungan hidup semakin parah akibat perilaku para pelaku bisnis dan perusahaan. Perebutan kepentingan bagi pemanfaatan sumberdaya alam mungkin saja bersifat kultural. Individu dari beberapa kultur dapat masuk dalam negosiasi dengan ekspektasi yang lebih integratif dibandingkan dengan yang lain.[35] Dengan memberikan dimensi internasional pada banyak perselisihan lingkungan hidup, isu dari perbedaan kultural yang membungkus perebutan kepentingan menjadi cair.
Bazerman[36], di lain pihak, berpendapat bahwa adalah berguna untuk membedakan dua macam isu. Dengan adanya isu kesucian, maka orang tidak akan pernah berdagang di bawah keadaan realistis apapun. Isu ini sedemikian penting karena jika orang berdagang sesuatu yang dipandang suci bagi masyarakat, maka mereka secara moral dilihat sebagai paihak yang patut dicela. Bazerman berpendapat bahwa ada kategori kedua dari isu yang diberi label suci tetapi sebenarnya dibuat seolah-olah suci. Kategori kedua ini yang bisa membuat suatu penghalang bagi terciptanya suatu perdagangan yang saling menguntungkan. Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa banyak perusakan lingkungan hidup adalah hasil dari proses pengambilan keputusan yang salah oleh konsumen, politikus, dan negosiator yang terlibat di dalam perselisihan lingkungan hidup. Perspektif Level Organisasi: Perilaku Merusak Dipengaruhi Oleh Level Individual Kultur organisasi membentuk kesadaran individual di dalam organisasi, menyediakan rutinitas yang merefleksikan persetujuan secara sosial, yang pada gilirannya melahirkan tindakan yang disengaja.[37] Kultur organisasi kemudian memandu persepsi dan perilaku dari semua anggota organisasi sebagaimana kultur organisasi itu dikembangkan di atas sejarah organisasi serta dibentuk di sekitar peristiwa-peristiwa kritis serta respon organisasi terhadapnya.[38] Selanjutnya, Jackal mendefinisikan kultur sebagai suatu pola dari asumsi dasar yang dibagi bersama yang digunakan oleh kelompok untuk belajar bagaimana memecahkan permasalahan tentang adaptasi eksternal dan integrasi internalnya, sehingga keberadaannya cukup baik untuk dianggap sah dan, oleh karena itu, diajarkan kepada anggota baru untuk berpikir dan bertindak dalam hubungan dengan permasalahan yang ada berdasarkan kultur organisasi tersebut. Di dalam definisi ini terletak unsur-unsur dari sosialisasi, sistem penghargaan, pengalaman sejarah, struktur internal dan interaksi, serta pikiran dan perilaku individu. Dukungan bagi perilaku perusakan lingkungan hidup dapat ditemukan pada setiap wilayah ini. Bagian ini akan mengidentifikasikan sumber perilaku organisasi yang merusak lingkungan hidup pada tiga tingkat: (1) artifak, (2) nilai yang menyertai, dan (3) keyakinan yang mendasari asumsi.[39] Setiap level berbeda dalam derajadnya pada fenomena budaya, yakni berkisar antara sangat nyata, manifestasi dimana seseorang bisa melihat dan merasakan sepenuhnya, asumsi dasar yang didasari oleh kondisi tidak sadar dimana membentuk inti sari dari kultur.[40]
Struktur organisasi bisa mengabadikan pikiran dari isu lingkungan hidup sebagai sesuatu di luar dunia dari perhatian-perhatian dasar bisnis. Sebuah departemen urusan lingkungan hidup yang terpisah telah dikembangkan di mana sering secara organisasional diasingkan dari departemen inti. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa korporasi tetap sesuai dengan hukum sedemikian rupa sehingga inti dari kegiatan korporasi bisa tetap difokuskan upaya memaksimalkan laba dan bebas dari interferensi eksternal.[42] Pertimbangan-pertimbangan lingkungan hidup yang terkait dengan tingkat keracunan, polusi atau pengurangan penggunaan sumberdaya tidak dipertimbangkan sebagai suatu hal yang relevan dengan tujuan primer dari korporasi. Struktur organisasi bisa memberikan fasilitas pengambilan-keputusan sub-optimal serupa dengan permasalahan tentang pengabaian masa depan di dalam pengambilan keputusan individual. Persaingan kepentingan-kepentingan departemental bisa melindungi organisasi dari keuntungan-keuntungan ekonomi yang potensial. Sebagai contoh, korporasi membeli suatu bangunan dengan suatu mata anggaran tertentu dan mengoperasikannya dengan mata anggaran lainnya. Dengan demikian korporasi tersebut dapat meminimumkan biaya operasi mereka dan meraup keuntungan lebih banyak.
Kepercayaan ini diabadikan dan diritualkan di dalam organisasi dengan cara diajarkan kepada anggota baru melalui proses rekrutmen dan seleksi, sosialisasi, dan penghargaan. Bagaimana individu dipilih untuk organisasi (pemilihan), bagaimana mereka diindoktrinasi (sosialisasi) dan insentif apa yang diterapkan (penghargaan) akan mendukung kepercayaan kultural yang sudah ada tentang bagaimana anggota dari organisasi akan merasa tidak bertanggung-jawab terhadap lingkungan hidup. Penghargaan mengambil bentuk formal dan informal. Kadangkala kedua bentuk penghargaan tersebut menjadi benar-benar rancu atau berlawanan. Sebagai contoh, banyak perusahaan telah diharapkan untuk membantu perkembangan kinerja lingkungan hidup yang ditingkatkan melalui penetapan dari program lingkungan hidup yang benar-benar dipublikasikan oleh level puncak manajemen. Namun demikian program ini gagal karena mereka tidak menerapkan struktur penghargaan dengan baik. Sebagai contoh, seorang manajer instalasi penyulingan bersenda gurau tentang tanggung jawabnya untuk melindungi lingkungan hidup, memelihara keselamatan, dan meningkatan produksi. Tetapi, ketika datang saatnya untuk promosi, mereka melompati dua hal pertama dan langsung kepada hal ketiga. Sebagai hasilnya, sistem penghargaan maupun kebijakan korporasi tidak memandu program lingkungan hidup yang dipublikasikan korporatnya.
Tingkat kultur fundamental ini sering memuaskan kebutuhan dasar manusia untuk stabilitas, memperoleh kepastian, dan keamanan di dalam organisasi. Tingkat kultur ini paling stabil dan paling kaku dalam menjamin rutinitas budaya sehingga dengan teguh dipatuhi. Kekakuan dari sekumpulan rutinitas budaya ini bisa memungkinkan organisasi untuk bereaksi dengan cepat jika ada perubahan atau penyimpangan terhadap kultur organisasi. Tingkat kultur fundamental bisa juga beroperasi sebagai sebuah pola berpikir dan tindakan yang bisa membatasi kemungkinan untuk jenis-jenis baru dari tindakan[46]. Di dalam organisasi korporasi, asumsi dasar tentang tujuan dan tanggung jawab perusahaan bisa mengabadikan perilaku yang merusak lingkungan hidup. Asumsi ini meliputi : pikiran bahwa perusahaan, baik secara sosial dan fisik adalah otonom; gagasan bahwa alasan-laba adalah tujuan tunggal dari perusahaan; penghilangan dari kekayaan alam melalui sistem akuntansi pasar; persepsi tentang lingkungan hidup sebagai sebuah sumberdaya yang tak habis-habisnya dan sebuah tempat yang tak habis-habisnya untuk membuang limbah; dan keperluan pertumbuhan ekonomi yang tak berbatas.[47] Asumsi ini mendukung tindakan yang merugikan bagi stabilitas dari sistem lingkungan hidup dan sistem sosial di sekitar organisasi. Lebih lanjut, asumsi dasar tentang tujuan dan tanggung jawab perusahaan diabadikan di dalam perusahaan oleh banyak mekanisme dan kekuatan, baik di dalam maupun di luar organisasi. Bagian ini akan mempertimbangkan empat hal yakni, kebiasaan rutin, ketakutan dari sesuatu yang tidak diketahui, pembatasan sumberdaya, dan ancaman terhadap kekuasaan ada. Rutinitas kebiasaan bisa mengabadikan perilaku dimana karyawan dapat mengetahui bahwa mereka telah merusak lingkungan hidup, tetapi mereka tidak dapat bertindak untuk mengoreksi. Seringkali pengabadian kebiasaan dari seseorang merupakan wujud keputusan seorang individu untuk tidak mengubah suatu kebiasaan yang telah ada, karena akan mennyebabkan keluarnya biaya ekonomi dan sosial serta psikologis tertentu yang tidak diharapkan. Dengan demikian, rutinitas yang ditetapkan ini dapat secara umum dikenal, nyaman, dan dengan handal dapat diramalkan.[48] Clark[49] mencatat bahwa pembangunan budaya dan ketergantungan yang berkelanjutan terhadap artifak serta kepercayaannya mungkin menjadi suatu rintangan yang handal bagi inovasi organisasional. Rutinitas kebiasaan bisa mengambil bentuk di dalam rekayasa yang diterima umum atau praktek manajerial. Ketakutan terhadap sesuatu yang tidak diketahui bisa mengendalikan baik inovasi organisasional maupun ketergantungan yang berkelanjutan terhadap keyakinan yang mendasari asumsi. Perubahan eksternal dan internal mungkin juga merepotkan untuk organisasi, terutama sekali ketika hasil atau konsekuensi perubahan tidak dapat diramalkan. Memang, pada kenyataannya, hasil atau konsekuensi tidak pernah dapat diramalkan. Pembatasan sumberdaya bisa membatasi kemampuan dari suatu organisasi untuk mengatasi biaya dialokasikan bagi peralatan, dan personil. Hal itu bisa menjadi jalan rintang psikologis yang bagi tindakan atau respon tertentu kepada permintaan untuk perubahan. Permintaan jangka pendek dapat menangkal kesempatan apapun bagi pertimbangan keuntungan jangka panjang, walaupun masih ada harapan tetapi tetap hanya merupakan potensi. Biaya jangka pendek mendominasi perhatian yang tidak berorientasi masa depan. Akhirnya, ancaman kekuasaan dapat menolak perubahan organisasi. Kultur menetapkan suatu struktur dari kekuasaaan, yang akan mengacaukan perspektif tentang buat manfaat siapa sistem yang sudah ada. Usaha apapun untuk melakukan restrukturisasi mungkin akan mengikis struktur kekuasaan dan mengundang kebingungan organisasi, persaingan antar departemen, atau resistensi organisasional[50]. Pengaturan diri dapat mengambil-alih perhatian untuk tujuan lingkungan hidup atau ekonomi di dalam pengambilan-keputusan manajerial. Sebagai contoh, pada saat pengambilan keputusan ekonomi dan lingkungan hidup bergabung dalam mencari solusi yang menguntungkan satu sama lain, sumber yang samar dari konflik dapat berkembang di antara fungsi lingkungan hidup dan fungsi operasi itu sendiri. Proses memecahkan rutinitas yang sudah ditetapkan di antara kelompok-kelompok yang ada dan pada gilirannya mengundang persaingan departemental dan berjuang demi kemampuan untuk bertahan. Sebagai contoh, para manajer yang terkait dengan lingkungan hidup dapat menolak bergeser ke dalam tanggung jawab sebagai sebuah ancaman bagi otonomi mereka, tujuan, dan kemampuan bertahan. Sebaliknya, tanpa satu pandangan yang jelas tentang perhitungan biaya dan manfaat, personil pabrik dapat menolak tanggung jawab yang ditambahkan. Secara ringkas, penulis berpendapat bahwa susunan organisasi dan kepercayaan budaya cenderung untuk mengabadikan perilaku yang merusak lingkungan hidup. Individu di dalam organisasi akan penulis diskusikan di dalam bagian terakhir dan menggabungkannya dengan penyimpangan pada level organisasi. Menanggulangi rintangan ini akan memerlukan perubahan dalam organisasi yang mengintegrasikan perhatian lingkungan hidup ke keyakinan yang mendasari kepercayaan dari organisasi, penuangan kembali keyakinan yang mendasari kepercayaan dari organisasi dalam cara-cara yang saling menguntungkan bagi tujuan organisasi dan ketahanan dari ekosistem di mana tujuan organisasi itu bergantung.
Aktivitas-aktivitas organisasi secara signifikan dipengaruhi oleh lingkungan hidup eksternal, baik melalui batasan teknis seperti bahan baku, tenaga kerja, dan energi, maupun lebih penting lagi, melalui pengaruh sosial, aturan-aturan, hukum, standar industri, praktek terbaik, dan kebijaksanaan konvensional -- apa yang secara kolektif disebut sebagai institusi.[51] Institusi menyajikan batasan-batasan kultural dan kontekstual yang mengubah perspektif individual serta organisasi terhadap isu sosial. Mereka memberikan arti dan nilai kolektif kepada kejadian serta aktivitas-aktivitas tertentu, di antaranya status lingkungan hidup.[52] Untuk meneliti pengaruh mereka terhadap perusakan lingkungan hidup, bagian ini akan merujuk implikasi lingkungan hidup dari institusi pada tiga kategori nominal: (1) regulatif, (2) normatif, dan (3) kognitif[53]. Aspek regulatif (atau hukum) dari institusi didasarkan pada pemaksaan atau sanksi hukum kepada organisasi untuk memberikan alasan bagi pertimbangan kelayakan yang diambil. Aspek regulatif, paling umum mengambil bentuk sebagai aturan-aturan, tetapi dapat saja meliputi protes, penuntutan perkara, dan lobi politis. Aspek normatif (atau sosial) dari institusi adalah secara moral atau secara etis dipoles, dan organisasi akan mematuhinya berdasar pada kewajiban sosial. Aspek normatif ini mengambil/mengambil bentuk sebagai rules-of-thumb, prosedur operasi standar, standar bersifat jabatan, kurikulum bidang pendidikan, dan persyaratan keanggotaan serta muncul melalui kesatuan, institusi pelatihan profesional, dan asosiasi perdagangan. Aspek kognitif (atau kultural) dari institusi dibangun dari pendukungan secara sosial dan dasar kebenaran secara konseptual dari legitimasi. Kepercayaan yang diterima secara umum di mana organisasi akan mentaatinya tanpa suatu kesadaran, berada di level ini.[54]
Tenbrunsel[59] juga menyarankan suatu penjelasan motivasional untuk dampak dari perhatian-perhatian yang salah arah, yakni bahwa sistem standar bisa mengubah sistem insentif untuk individu serta mempromosikan perilaku yang berdasar pada kepentingan pribadi yang tentunya menganggu kepentingan bermasyarakat. Hasil sub-optimal adalah produk dari tindakan tak disengaja dan yang disengaja sebagai bagian dari pembuatan keputusan. Tindakan tak disengaja dapat dihasilkan dari individu yang sekedar mengikuti aturan, kreativitas tidak dihargai, suatu rasionalitas dari menggunakan atau menghilangkan, atau suatu mentalitas tidak ada hukum yang melawan. Sementara itu, tindakan yang disengaja meliputi usaha untuk memukul sistem yang ada. Secara keseluruhan, struktur pengaturan untuk mengontrol polusi adalah terinstitusionalisasi ke dalam suatu format yang berlawanan di mana, saat ini, banyak pakar yang menganggap format tersebut telah ketinggalan zaman dan bersifat membatasi kemajuan lingkungan hidup korporat[60]. Struktur hadiah sering kali salah arah, yang awalnya dimaksudkan untuk mendorong korporatsi atau pihak-pihak lainnya untuk mengkontrol dirinya untuk tidak mengeksploitasi lingkungan hidup bagi pemenuhan tujuan mencapaian keuntungan sebesar-besarnya justru bisa berdampak sebaliknya. Pajak misalnya, sebagai suatu hadiah bagi korporasi atau pihak-pihak lainnya untuk merasa mempunyai akses pada lingkungan hidup yang dimanfaatkan untuk dijaga kelestariannya sebagai barang pemilikan menjadi dorongan bagi perspektif pertukaran. Karena membayar pajak dengan mahal maka mendorong mereka untuk memanfaatkan sebesar-besarnya. Sebagai contoh, pajak yang dimaksudkan sebagai suatu insentif untuk tuan tanah kepada pengembangkan daratan, maka mereka tergerak untuk memanen sumber-sumber daya daratan justru untuk membayar pajak, atau menjualkan dan menyewakan daratan untuk membayar pajak, dengan demikian menghancurkan properti yang secara biologis berharga.[61] Institusi regulatif yang mempromosikan perilaku yang merusak lingkungan juga di level internasional. Sebagai contoh, organisasi non pemerintah yang bergerak dalam masalah-masalah lingkungan hidup (NGO) benar-benar kritis terhadap implikasi lingkungan hidup dari Global Agreement on Tariffs and Trade (GATT).
Praktek standar bisnis dapat mengabadikan perilaku disfungsional lingkungan hidup serta menghalangi upaya mencari respon yang lebih efisien. Pilihan yang melembaga di dalam belanja pengeluaran korporasi ini dipromosikan oleh satu industri konsultasi yang tumbuh dengan subur terlepas dari pasar untuk belanja pengendalian polusi dan layanan pemenuhan tuntutan terhadap peraturan perlindungan lingkungan hidup untuk meminimalisasi polusi serta pengurangan limbah. Jika promosi dan perjuangan industri konsultasi ini berhasil maka akan diyakini bahwa asumsi tentang ketidakcocokan antara kepentingan ekonomi dan lingkungan hidup itu tidaklah benar. Institusi Kognitif Konsisten dengan kerangka pengembangan yang dibuat oleh ahli filsafat dan revolusi industri, institusi kognitif mendukung pikiran dimana manusia dipertimbangkan terpisah dari lingkungan hidup dan superior dari lingkungan hidup, sementara dirinya sendiri dipandang sebagai sosok tanpa daya dan digerakkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal daripada internal.[68] Tetapi, perhatian untuk perlindungan lingkungan hidup menantang kerangka ini dan kemampuan dari kapitalisme, di dalam bentuknya yang sekarang, untuk menyediakan tujuan-tujuan sosial (seperti kesejahteraan, hak kekayaan, kesenangan, kepuasan, dan seterusnya) untuk jangka panjang. Namun dalam kenyataannya kapitalis tidak mempertanyakan tujuan sosial semacam ini, tetapi lebih pada asumsi inti seperti bagaimana kita bisa sampai ke sana? : terkait dengan otonomi sosial dan fisik perusahaan, motif keuntungan sebagai sebuah bentuk tujuan tunggal dari perusahaan, dan keperluan dari pertumbuhan ekonomi.[69] Di dalam melakukan hal itu, maka sebelumnya harus disajikan konsepsi baru tentang hubungan antara ekonomi dan lingkungan hidup, di mana satu sama lainnya saling sesuai. Transisi ini memerlukan suatu kerangka acuan baru untuk berpikir tentang peningkatan lingkungan hidup[70], suatu tahap di luar semua institusi yang secara tradisional diterima. Kesimpulan Satu asumsi yang disederhanakan dan sumbang yang telah penulis jelaskan dalam makalah ini adalah tiga tingkat dari analisa kita telah didiskusikan, yakni perspektif tingkat individual, organisasional, dan institusional dalam membuat degradasi lingkungan hidup memperjelas bahwa keputusan individual mempengaruhi perilaku organisasi; perilaku individual dan organisasi mempengaruhi berbagai unsur yang dilembagakan, serta pada akhirnya saling mempengaruhi antara hal-hal tersebut. Koneksi antara tiga tingkat ini dapat dilihat, secara umum, di dalam struktur di antara tiga tingkat itu sendiri. Penulis telah mencoba untuk menyoroti betapa penyimpangan individual, keyakinan yang mendasari kepercayaan dari kultur organisasi, dan institusi-institusi kognitif di mana masing-masing merepresentasikan konsep umum dari kepercayaan yang tidak dipermasalahkan lagi sehingga mengabadikan perilaku tanpa sepengetahuan aktor. Penulis berharap bahwa penelitian masa depan harus menyelidiki interkoneksi ini lebih mendalam. Makalah penulis ini juga dipengaruhi oleh pemilihan dari teori deskriptif yang penulis lihat memiliki implikasi yang relevan. Motivasi penulis untuk belajar isu manajemen lingkungan hidup adalah wujud dari keinginan untuk bermain, sedikitnya dalam peran yang kecil di dalam mengingatkan kita semua bahwa pencegahan perusakan lingkungan hidup harus segera diprioritaskan. Tentunya, dengan mempelajari beberapa penyebab dari perusakan lingkungan hidup tersebut dapat menjadi bekal bagi perencanaan pencegahan perusakan lingkungan hidup yang lebih efektif. penulis percaya bahwa membuat perubahan, secara parsial dicapai dengan cara mengembangkan teori deskriptif dari perilaku yang secara langsung mendorong ke arah solusi untuk perubahan. Penulis juga melontarkan isu mengapa lingkungan hidup? Mengapa kita memfokuskan pada aspek lain dari etika dan tanggung jawab sosial organisasi? Bagian dari jawaban adalah suatu refleksi dari kepentingan intrinsik dari penulis. Bagaimanapun, bagian dari jawaban adalah bahwa lingkungan hidup menyediakan suatu konteks dimana kita melihat perilaku manusia jelas tidak konsisten dengan upaya memaksimalkan perlindungan lingkungan hidup dibandingkan dengan pengambilan manfaat yang berlebih atas lingkungan hidup itu sendiri. D A F T A R P U S T A K A Abbott, W. F., and Monsen, R. J. (2000). On The Measurement Of Corporate Social Responsibility: Self-Reported Disclosures As A Method Of Measuring Corporate Social Improvement. Academy of Management Journal, vol. 22, pp. 501. Alexander, J., and Bucholz, R. (2001). Corporate Social Responsibility And Stock Market Performance. Academy of Management Journal, vol. 21, pp. 479-486. Amihud, and Mendelson, H. (2001). Inventory Behavior And Market Power : An Empirical Investigation. International Journal of Industrial Organization, vol. 7, no. 2, pp. 269-280. Aupperle, K. E. (2001). The Use Of Forced Choice Survey Procedures In Assessing Corporate Social Orientation. In J. E. Post (ed.),(2001). Research in Corporate Social Performance and Policy, vol. 12, pp. 269-280. Greenwich, CT: JAI Press. Aupperle, K. E., Carroll, A. B., and Hatfield, J. D. (2005). An Empirical Examination of The Relationship Between Corporate Social Responsibility And Profitability. Academy of Management Journal, vol. 28, pp. 446. Clark. (2001). The Social Responsibilities of Business: Company and Community:1980-2000. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press. D.,Owen. (1992) The implications of current trends in green awareness for the accounting function: An introductory analysis, in: D. Owen (ed.), Green Reporting: Accounting and the Challenge of the Nineties, Chapman & Hall, London. Daly. (2001). Creating the Corporate Future. New York: John Wiley and Sons. E. Goldman (2004).Business Ethics: Profits, Utilities, And Moral Rights. A Sociological Perspectives Sociology and Public Affairs, vol. 9, no. 3, Spring. Frederick, W., Post, J., and Davis, K. (2002). Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics, 7th ed. New York: McGraw-Hill. Friedman, Weick (2004). A Sociological Doctrine: The Social Responsibility Of Business Is To Increase Its Profits. Sociology Today Magazine, September 13. Galbraith, and Burger, J. (1993). A Paradigm Of Ecological Risk Assessment. Environmental Management, vol. 17, no. 1, pp. 1-5. Gerwith. (1979). Starvation And Human Rights. In K. E. Goodpaster and K. M. Sayre (eds.), Ethics And The Problems Of The 21st Century, pp. 139159. South Bend, IN: University of Notre Dame Press World Bank, 1992, pp. 47. Graves, S., and Waddock, S. (1999). Institutional Owners And Corporate Social Responsibility. Social Review and Management Journal, vol. 37. Hoskisson, and Johnson, R. (1992). Corporate Restructuring And Strategic Change: The Effect Of Diversification Strategy And R&D Intensity. Strategic Management Journal, vol. 13, no. 8, pp. 625-634 McGill, 1991. J. E. Parkinson. (1994) Corporate Power and Responsibility, Oxford University Press, Oxford. Jackall. (2006).Efficiency And Social Institutions: Uses And Misuses Of Economic Reasoning In Sociology. Annual Review of Sociology, vol. 12, pp. 233-253. Kantz. (1999). Group Processes Under Conditions Of Organizational Decline.Journal of Applied Behavioral Science, vol. 21, pp. 1-17. Kedia, and Kuntz, E. (1981). The Context Of Social Performance An Empirical Study Of Texas Banks. In Research in Corporate Social Performance and Policy. Greenwich, CT: JAI Press. Kelso, and Adler, M. J. (1998). The Capitalist Manifesto. New York: Random House. Kramer. (2007). Financial And Stock Market Variables As Predictors Of Management Buyouts. Strategic Management Journal, vol. 8, no. 4, pp. 319-327. Lustig. (2003). The Politics Of Shutdowns: Community, Property, Corporatism. Journal of Economic Issues, vol. 21, pp. 123-152. Lytle. (1981). Viewing turnover from the perspective of those who remain: The relationship of job attitudes to attributions of the cause of turnovers. Journal of Applied Psychology, vol. 66, pp. 120-123. M. Heald, (1999). The Social Responsibilities of Business: Company and Community:1900 -1960. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press. M. R., Moskowitz. (1972) Choosing socially responsible stocks, Business and Society Review, 1, 71-75. Meyer, M., and Zucker, L. (1989). Permanently Failing Organizations. Newbury Park, CA: Sage Publications. Mintzberg. (1999).Corporate restructuring: Governance and control limits of the internal capital market. Academy of Management Review, vol. 15, no. 3, pp. 459-477. R. A. G., Monks. (1994) Tomorrows corporation, Corporate Governance: An International Review, 2(3), July, 125-130. R. S., Larsen, (1993). The Challenge Of Change: Building A New Competitive Spirit For The 21st Century. Executive Speeches, vol. 7, no. 3, pp. 19-22. R., Hay, and Gray, E. (1977). Social Responsibilities Of Business Managers. In A. Carroll (ed.), Managing Corporate Social Responsibility, pp. 8-16. Boston: Little, Brown & Company. Rogers, E. (1983). Diffusion of Innovation. New York: Free Press. S., Labatt. (1991). A Framework Of Assessing Discretionary Corporate Performance Toward The Environment. Environmental Management, vol. 15, no. 2, pp. 163. Schein., Tarr, S. C., and Juliano, W. J. (1992). Reducing Is staff, increasing morale, and achieving results at US West. Journal of Systems Management, vol. 43, no.7, pp. 10-12; 36-37. Shleifer, Morck, R., A. and Vishny, R. W. (1988) Management ownership and market valuation: An empirical analysis, Journal of Financial Economics, 20, 293-316. Sturdivant. and Ginter, J. (1977). Corporate social responsiveness: Management attitudes and economic performance. California Management Review,vol. 19, no. 3, pp. 30-39. Tenbrunsel. (1997). The Dangers Of Social Responsibility. Harvard Business Review, SeptemberOctober, pp. 41-50. Zucker. (1983) Early Retirement Or Forced Resignation: Policy Issues For Downsizing Human Resources. Advanced Management Journal, vol. 53, no. 1, pp. 28-32.
[1] E. Goldman (2004).Business Ethics: Profits, Utilities, And Moral Rights. A Sociological Perspectives Sociology and Public Affairs, vol. 9, no. 3, Spring. [2] Ibid. [3] Graves, S., and Waddock, S. (1999). Institutional Owners And Corporate Social Responsibility. Social Review and Management Journal, vol. 37. [4] Friedman, Weick (2004). A Sociological Doctrine: The Social Responsibility Of Business Is To Increase Its Profits. Sociology Today Magazine, September 13. [5] Ibid. [6] Ibid. [7] Alexander, J., and Bucholz, R. (2001). Corporate Social Responsibility And Stock Market Performance. Academy of Management Journal, vol. 21, pp. 479-486. [8] Aupperle, K. E. (2001). The Use Of Forced Choice Survey Procedures In Assessing Corporate Social Orientation. In J. E. Post (ed.),(2001). Research in Corporate Social Performance and Policy, vol. 12, pp. 269-280. Greenwich, CT: JAI Press. [9] Aupperle, K. E., Carroll, A. B., and Hatfield, J. D. (2005). An Empirical Examination of The Relationship Between Corporate Social Responsibility And Profitability. Academy of Management Journal, vol. 28, pp. 446. [10] Amihud, Y., and Mendelson, H. (2001). Inventory Behavior And Market Power: An Empirical Investigation. International Journal of Industrial Organization, vol. 7, no. 2, pp. 269-280. [11] Ibid. [12] Abbott, W. F., and Monsen, R. J. (2000). On The Measurement Of Corporate Social Responsibility: Self-Reported Disclosures As A Method Of Measuring Corporate Social Improvement. Academy of Management Journal, vol. 22, pp. 501. [13] Ibid. [14] Frederick, W., Post, J., and Davis, K. (2002). Business and Society: Corporate Strategy, Public Policy, Ethics, 7th ed. New York: McGraw-Hill. [15] Gerwith, A. (1979). Starvation And Human Rights. In K. E. Goodpaster and K. M. Sayre (eds.), Ethics And The Problems Of The 21st Century, pp. 13959. South Bend, IN: University of Notre Dame Press World Bank, 1992, pp. 47. [16] Hay, R., and Gray, E. (1977). Social Responsibilities Of Business Managers. In A. Carroll (ed.), Managing Corporate Social Responsibility, pp. 8-16. Boston: Little, Brown & Company. [17] Heald, M. (1999). The Social Responsibilities of Business: Company and Community: 1900-1960. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press. [18] Hoskisson, R., and Johnson, R. (1992). Corporate Restructuring And Strategic Change: The Effect Of Diversification Strategy And R&D Intensity. StrategicManagement Journal, vol. 13, no. 8, pp. 625-634 McGill, 1991. [19] Kantz, J. (1999). Group Processes Under Conditions Of Organizational Decline.Journal of Applied Behavioral Science, vol. 21, pp. 1-17. [20] Kelso, L., and Adler, M. J. (1998). The Capitalist Manifesto. New York: Random House. [21] Kedia, B., and Kuntz, E. (1981). The Context Of Social Performance An Empirical Study Of Texas Banks. In Research in Corporate Social Performance and Policy. Greenwich, CT: JAI Press. [22] Larsen, R. S. (1993). The Challenge Of Change: Building A New Competitive Spirit For The 21st Century. Executive Speeches, vol. 7, no. 3, pp. 19-22. [23] Galbraith, H., and Burger, J. (1993). A Paradigm Of Ecological Risk Assessment. Environmental Management, vol. 17, no. 1, pp. 1-5. [24] Lustig, R. J. (2003). The Politics Of Shutdowns: Community, Property, Corporatism. Journal of Economic Issues, vol. 21, pp. 123-152. [25] Ibid. [26] Ibid. [27] Galbraith, H., and Burger, J. (1993). Op.Cit. [28] Heald, M. (1999). Op.Cit. [29] Ibid. [30] Ibid [31] Kramer. (2007). Financial And Stock Market Variables As Predictors Of Management Buyouts. Strategic Management Journal, vol. 8, no. 4, pp. 319-327. [32] Ibid. [33] Meyer, M., and Zucker, L. (1989). Permanently Failing Organizations. Newbury Park, CA: Sage Publications. [34] Ibid. [35] Lytle. (1981). Viewing turnover from the perspective of those who remain: The relationship of job attitudes to attributions of the cause of turnovers. Journal of Applied Psychology, vol. 66, pp. 120-123. [36] Ibid. [37] Jackall. (2006). Efficiency And Social Institutions: Uses And Misuses Of Economic Reasoning In Sociology. Annual Review of Sociology, vol. 12, pp. 233-253. [38] Ibid. [39] Rogers, E. (1983). Diffusion of Innovation. New York: Free Press. [40] Ibid. [41] Jackall. (2006). Op.Cit. [42] Hoffman, 1997 Sturdivant, F., and Ginter, J. (1977). Corporate social responsiveness: Management attitudes and economic performance. California Management Review,vol. 19, no. 3, pp. 30-39. [43] Schein. Op.Cit. [44] Ibid. [45] Ibid. [46] Ibid [47] Daly. (2001). Creating the Corporate Future. New York: John Wiley and Sons. [48] Ibid. [49] Clark. (2001). The Social Responsibilities of Business: Company and Community: 1980-2000. Cleveland, OH: Case Western Reserve Press. [50] Mintzberg. (1999).Corporate restructuring: Governance and control limits of the internal capital market. Academy of Management Review, vol. 15, no. 3, pp. 459-477. [51] Ibid. [52] Ibid. [53] Labatt, S. (1991). A Framework Of Assessing Discretionary Corporate Performance Toward The Environment. Environmental Management, vol. 15, no. 2, pp. 163 [54] Zucker. (1983) Early Retirement Or Forced Resignation: Policy Issues For Downsizing Human Resources. Advanced Management Journal, vol. 53, no. 1, pp. 28-32. [55] Ibid. [56] Labatt, S. (1991). Op.Cit. [57] Ibid. [58] Tenbrunsel. (1997). The Dangers Of Social Responsibility. Harvard Business Review, September-October, pp. 41-50. [59] Ibid. [60] Ibid. [61] Ibid. [62] Parkinson, J. E. (1994) Corporate Power and Responsibility, Oxford University Press, Oxford. [63] Owen, D. (1992) The implications of current trends in green awareness for the accounting function: An introductory analysis, in: D. Owen (ed.), Green Reporting: Accounting and the Challenge of the Nineties, Chapman & Hall, London. [64] Monks, R. A. G. (1994) Tomorrows corporation, Corporate Governance: An International Review, 2(3), July, 125-130. [65] Ibid. [66] Ibid. [67] Morck, R., Shleifer, A. and Vishny, R. W. (1988) Management ownership and market valuation: An empirical analysis, Journal of Financial Economics, 20, 293-316. [68] Moskowitz, M. R. (1972) Choosing socially responsible stocks, Business and Society Review, 1, 71-75 [69] Ibid. [70] Ibid. Biodata: Tulisan di Muat dalam Jurnal Legislasi Vol 6 Nomor 1 |