Apa maksud proses penyesuian diri dengan lingkunagn dalam perkembangan kurikulum

17 February 2020TMonday, February 17, 2020

A. Fungsi Kurikulum

Apa sebenarnya fungsi kurikulum bagi guru, siswa, kepala sekolah/pe-ngawas, orang tua, dan masyarakat? Pada dasarnya kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman atau acuan. Bagi guru, kurikulum itu berfungsi sebagai pe-doman dalam melaksanakan proses pembelajaran. Bagi kepala sekolah dan pengawas, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan supervisi atau pengawasan. Bagi orang tua, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi masyarakat, kurikulum itu berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah.





Bagi siswa sebagai subjek didik, terdapat enam fungsi kurikulum sebagai berikut: (a) fungsi penyesuaian, (b) fungsi integrasi, (c) fungsi diferensia-si, (d) fungsi persiapan, (e) fungsi pemilihan, dan (f) fungsi diagnostik.

Fungsi Penyesuaian mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar memiliki sifat well adjusted yaitu mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fi-sik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis. Karena itu, siswa pun harus memiliki kemam-puan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi di lingkungan-nya.

Fungsi Integrasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pen-didikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh kare-na itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya.

Fungsi Diferensiasi mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan indivi-du siswa. Setiap siswa memiliki perbedaan, baik dari aspek fisik maupun psi-kis, yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.

Fungsi Persiapan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pen-didikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jen-jang pendidikan berikutnya. Selain itu, kurikulum juga diharapkan dapat mem-persiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat seandainya karena se-suatu hal, tidak dapat melanjutkan pendidikannya.

Fungsi Pemilihan mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pen-didikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya. Fung-si pemilihan ini sangat erat hubungannya dengan fungsi diferensiasi, karena pengakuan atas adanya perbedaan individual siswa berarti pula diberinya ke-sempatan bagi siswa tersebut untuk memilih apa yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Untuk mewujudkan kedua fungsi tersebut, kurikulum perlu disusun secara lebih luas dan bersifat fleksibel.

Fungsi Diagnosti mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pen-didikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat mema-hami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya. Jika siswa sudah mampu memahami kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemah-an yang ada pada dirinya, maka diharapkan siswa dapat mengembangkan sen-diri potensi kekuatan yang dimilikinya atau memperbaiki kelemahan-kele-mahannya.

Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah/madrasah memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendidikan. Terdapat tiga peranan Kurikulum yang dinilai sangat penting, yaitu: (a) peranan konser-vatif, (2) peranan kreatif, dan (3) peranan kritis/evaluatif (Oemar Hamalik, 1990).

Peranan ini menekankan bahwa kurikulum sebagai sarana untuk mentrans-misikan nilai-nilai warisan budaya masa lalu yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa. Dengan demikian, peranan konservatif ini pada hakikatnya menempatkan kurikulum, yang berorientasi ke masa lampau. Peranan ini sifatnya menjadi sangat men-dasar, disesuaikan dengan kenyataan bahwa pendidikan pada hakikatnya me-rupakan proses sosial. Salah satu tugas pendidikan yaitu mempengaruhi dan membina perilaku siswa sesuai dengan nilai-nilai sosial yang hidup di ling-kungan masyarakatnya.

Peranan ini menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembang-kan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebu-tuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang. Kuri-kulum harus mengandung hal-hal yang dapat membantu setiap siswa mengem-bangkan semua potensi yang ada pada dirinya untuk memperoleh pengetahu-an-pengetahuan baru, kemampuan-kemampuan baru, serta cara berpikir baru yang dibutuhkan dalam kehidupannya.

Peranan Kritis dan Evaluatif.

Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, se-hingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesu-aikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang. Selain itu, perkembang-an yang terjadi pada masa sekarang dan masa mendatang belum tentu sesuai dengan apa yang dibutuhkan. Karena itu, peranan kurikulum tidak hanya me-wariskan nilai dan budaya yang ada atau menerapkan hasil perkembangan ba-ru yang terjadi, melainkan juga memiliki peranan untuk menilai dan memilih nilai dan budaya serta pengetahuan baru yang akan diwariskan tersebut. Da-lam hal ini, kurikulum harus turut aktif berpartisipasi dalam kontrol atau filter sosial. Nilai-nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan dan tuntutan masa kini dihilangkan dan diadakan modifikasi atau penyempurnaan-penyem-

Ketiga peranan kurikulum di atas tentu saja harus berjalan secara seim-bang dan harmonis agar dapat memenuhi tuntutan keadaan. Jika tidak, akan terjadi ketimpangan-ketimpangan yang menyebabkan peranan kurikulum per-sekolahan menjadi tidak optimal. Menyelaraskan ketiga peranan kurikulum tersebut menjadi tanggung jawab semua pihak yang terkait dalam proses pen-didikan, di antaranya guru, kepala sekolah, pengawas, orang tua, siswa, dan masyarakat. Dengan demikian, pihak-pihak yang terkait tersebut idealnya da-pat memahami betul apa yang menjadi tujuan dan isi dari kurikulum yang di-terapkan sesuai dengan bidang tugas masing-masing.




Halo Ayah dan Bunda! Tidak terasa perkuliahan di Tahun ajaran baru akan dimulai ya! Dalam kesempatan kali ini, SASC ingin berbagi pengetahuan mengenai proses penyesuaian diri. Penyesuaian diri ini akan dirasakan oleh remaja maupun orang dewasa. Proses penyesuaian diri ini akan ada saat seseorang mengalami hal baru dalam kehidupannya. Salah satunya perubahan dari siswa menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi. Di lingkungan perguruan tinggi ini penting bagi mahasiswa untuk menangani tuntutan baik akademik maupun non akademik di perguruan tinggi. Pada prosesnya mahasiswa akan menghadapi tuntutan dari lingkungan baru dan harus mulai belajar untuk menyesuaikan diri secara mandiri tanpa mengharapkan bantuan orang lain.

Apa sih yang dimaksud dengan Penyesuaian Diri? Penyesuaian diri merupakan proses psikologis dimana seseorang mengatur atau mengatasi berbagai tuntutan dan tekanan. Menurut Schneiders (1964) penyesuaian diri adalah suatu proses yang mencakup respon mental dan tingkah laku, dimana individu berusaha untuk dapat berhasil mengatasi kebutuhan-kebutuhan di dalam dirinya, ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan frustasi yang dialaminya, sehingga terwujud tingkat keselarasan atau harmoni antara tuntutan dari dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan dimana ia tinggal.

Bentuk penyesuaian diri di Perguruan Tinggi  menurut Baker & Siryk (1984) sebagai berikut:

  1. Penyesuaian Diri Akademik

Penyesuaian akademik adalah kemampuan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan perkuliahannya dan dapat mencapai prestasi akademik. Hal ini dapat dilihat dari motivasi untuk mencapai prestasi akademik, mendapatkan nilai yang bagus, dan puas terhadap hasil yang dicapai.

Penyesuaian sosial adalah kemampuan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan kampus. Hal ini dapat dilihat dari keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan kampus. Misalnya ikut organisasi kampus, kepanitiaan, dan punya kelompok belajar. Selain itu mahasiswa juga memiliki hubungan pertemanan yang baik serta  merasa nyaman di lingkungan kampus.

  1. Penyesuaian Diri Emosional

Penyesuaian emosional adalah kemampuan mahasiswa untuk menyesuaikan diri terhadap masalah emosional dan masalah fisik yang dihadapi sebagai mahasiswa baru. Tidak dapat dipungkiri sebagai mahasiswa baru, akan ada tuntutan hidup yang baru, seperti berpisah dengan keluarga dan hidup di kost, perubahan gaya hidup, banyak menemui karakteristik teman yang lebih beragam. Hal itu dapat memunculkan masalah emosional seperti cemas, sedih, stres dan sebagainya jika mahasiswa tidak dapat menyesuaikan diri secara emosional.

Kelekatan dengan institusi ini disebut juga dengan Komitmen,yaitu  kemampuan mahasiswa untuk menyesuaikan diri dengan berbagai tuntutan diperkuliahan yang mungkin saja membuat mahasiswa kesulitan menjalani perkuliahan. Namun ada rasa kepuasan terhadap jurusan yang dijalani, fasilitas kampus, dan peraturan yang ada di kampus.

Keempat bentuk penyesuaian diri tersebut bisa saja tidak semuanya berjalan dengan baik. Akan ada saat dimana mahasiswa mengeluhkan perkuliahan yang padat, tugas yang banyak, Sulit mencari teman yang cocok, kangen rumah, dan lainnya. Namun hal itu merupakan proses yang wajar saja terjadi pada mahasiswa baru. Bentuk keberhasilan penyesuaian diri setiap mahasiswa pun akan berbeda. Ada yang dapat menyesuaikan diri secara akademik namun mengalami kesulitan dalam hubungan sosial dengan orang lain di lingkungan kampus begitu juga sebaliknya. Ada juga yang hanya mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri secara emosional.

Menurut Baker, McNeil & Siryk (1985, dalam Waller 2009) mahasiswa dapat dikatakan berhasil menyesuaikan diri di Perguruan Tinggi, antara lain:

  1. Mahasiswa dapat mencapai performa akademis yang sesuai rata-rata atau bahkan sangat baik.
  2. Mahasiswa memanfaatkan sarana bantuan psikologis dan konseling yang ada di kampus saat diperlukan.
  3. Menyelesaikan masa studi dalam rentang waktu yang sudah ditetapkan oleh kurikulum yang berlaku.

Baker & Siryk (1984) mengungkapkan bahwa proses penyesuaian diri mahasiswa selama tahun pertama di universitas, dapat menjadi landasan kemampuan adaptasi mahasiswa terhadap peristiwa-peristiwa berikutnya selama mereka di perguruan tinggi. Nah jadi demikian Ayah dan Bunda keberhasilan di Perguruan Tinggi tidak hanya dikaitkan dengan kurikulum dan jumlah waktu belajar saja, faktor lingkungan dari perguruan tinggi pun ikut mempengaruhi keberhasilan. Misalnya pola interaksi dosen pengajar dengan mahasiswa, mahasiswa dengan teman sebaya, dan lain-lain. Dengan kata lain, aspek perguruan tinggi turut berperan terhadap pencapaian prestasi mahasiswa. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa untuk melewati proses penyesuaian diri dengan baik. Terkait hal ini mahasiswa tentu saja memerlukan dukungan dari orang terdekat terutama Ayah dan Bunda.

Sumber:

Baker, R., & Siryk, B. (1984). Measuring Adjustment to College. Journal of Counseling Psychology, Vol. 31 (2).

Estiane, Uthia. (2015). Pengaruh Dukungan Sosial Sahabat terhadap Penyesuaian Sosial Mahasiswa Baru di Lingkungan Perguruan Tinggi. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental. 4, (1).29- 40

Schneiders, A.A. (1964). Personal Adjustment and Mental Health. New York : Holt, Reinhart & Winstonn Inc.

Waller, Tremayne. O. (2009). A mixed method approach for assessing the adjustment of incoming first-year engineering students in a summer bridge program. Dissertation: Graduate Faculty of The Virginia Polytechnic Institute and State University.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA