Apa hubungan antara Pancasila dan hierarki perundang-undangan di Indonesia?

Karena Indonesia menggunakan tradisi civil law (eropa kontinental), maka peraturan yang ada terikat pada sumber hukum tertinggi yakni Pancasila dan konstitusi.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Prof Maria Farida Indrati mengatakan ada 2 tradisi pembentukan peraturan perundang-undangan yakni civil law (eropa kontinental) dan common law (anglo saxon). Indonesia sebagai negara yang pernah dijajah Belanda, terpengaruh oleh tradisicivil law. Karena itu, peraturan perundang-undanganyang ada termasuk UU terikat pada sumber hukum tertinggi yakni Pancasila dan konstitusi.

Maria menyebut Pasal 1 ayat (3) UUD Tahun 1945 yang menyatakan negara Indonesia adalah negara hukum. Berbeda ketika UUD 1945 belum diamandemen yang menyebutkan Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtstaat).

Karena negara kita berdasarkan hukum, maka Peraturan/UU harus selaras dengan Pancasila dan konstitusi (UUD Tahun 1945), kata Prof Maria dalam Seminar Nasional yang digelar Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara-Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN) secara daring bertajuk Penguatan Sistem Perundang-Undangan dan Hubungan Pusat dan Daerah, Rabu (3/2/2021).

Maria menerangkan ada berbagai ketentuan yang mengatur tentang hierarki peraturan perundang-undangan. Misalnya, UU No.1 Tahun 1950 tentang Peraturan-Peraturan Pemerintah Pusat yang mengatur jenis peraturan yang tingkat kekuatannya sesuai urutan yaitu UU dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU; Peraturan Pemerintah; dan Peraturan Menteri.

Ketika itu berlaku sistem pemerintahan parlementer. Hierarki peraturan tertinggi yakni UU dan Peraturan Pemerintah Pengganti UU, kemudian Peraturan Menteri, bukan Peraturan Presiden, kata Maria.

Setelah kembali ke UUD 1945, terbit Ketetapan MPRS No.XX/MPRS/1966 yang mengatur hierarki peraturan paling tinggi yaitu UUD 1945; Ketetapan MPR; UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; Peraturan Pemerintah; dan Keputusan Presiden(einmahlig). Kemudian diubah melalui Ketetapan MPR No.III/MPR/2000 tentang Tata Urutan Peraturan perundang-undangan yakni paling tinggi UUD 1945; Ketetapan Majelis MPR; UU; Peraturan Pemerintah Pengganti UU; Peraturan Pemerintah; Keputusan Presiden; dan Peraturan Daerah.

Setelah itu, terbit UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri dari UUD RI 1945; UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; dan Peraturan Daerah. Dalam hierarki tersebut tidak ada Peraturan Menteri.

Terakhir, jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan diatur dalam UU No,12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang terdiri dari UUD RI 1945; Ketetapan MPR; UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Kabupaten/Kota.

UU payung dan omnibus

Mantan Hakim Konstitusi ini menyoroti Pasal 8 ayat (1) UU No.12 Tahun 2011 yang mengatur lembaga yang menerbitkan peraturan perundang-undangan, seperti MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, KY, BI, Menteri, Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk dengan UU atau Pemerintah atas perintah UU, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat. Maria menilai peraturan yang diterbitkan oleh masing-masing lembaga itu bukan peraturan perundang-undangan karena tidak mengikat keluar.

Yang diterbitkan hanya peraturan internal, bukan peraturan perundang-undangan, paparnya.

Maria menegaskan dari berbagai peraturan terkait jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan itu hanya mengenal istilah UU, tidak ada UU payung dan omnibus. Mengenai pandangan yang mengatakan omnibus law adalah UU payung, Maria berpendapat omnibus bukan UU payung. Menurutnya, UU payung dimaknai dengan UU yang merupakan induk dari UU lainnya, sehingga kedudukannya lebih tinggi dari UU anaknya atau yang sebelumnya sudah ada.

Sedangkan UU Omnibus Law adalah satu UU baru yang mengandung atau mengatur berbagai macam materi dan subyek untuk penyederhanaan dari berbagai macam UU yang berlaku. Beberapa kalangan menyebut Indonesia pernah membuat UU payung, seperti UU No.5 Tahun 1969 tentang Pernyataan sebagai Penetapan Presiden (Penpes) dan Peraturan Presiden (Perpres) sebagai UU. Maria mencatat UU tersebut mencakup 129 Penpes/Perpres. Persoalannya, UU No.5 Tahun 1969 tidak mengatur sebagian pasal Penpes dan Perpres karena UU itu hanya mengelompokkannya.

Maria menilai teknik penyusunan UU Cipta Kerja yang menggunakan metode omnibus law bermasalah karena mengubah puluhan UU. Ini akan menyulitkan, salah satunya bagaimana menyebut UU yang diubah melalui UU Cipta Kerja itu. Misalnya, UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal merupakan salah satu UU terdampak UU Cipta Kerja.

Bagaimana penyebutan UU No.33 Tahun 2014 itu setelah diubah UU Cipta Kerja, apakah menjadi UU No.33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang telah diubah dengan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja?

Pusat dan Daerah

Guru Besar FH UII Yogyakarta, Prof. Nimatul Huda, menyoroti ada benturan kepentingan pemerintah pusat dan daerah dalam UU Cipta Kerja. Menurutnya, pengaturan model hubungan pusat dan daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah itu cenderung sentralistik dan berpotensi menimbulkan konflik atau sengketa antara pusat dan daerah.

Karena ada perubahan kewenangan dan pembagian urusan berimplikasi pada perubahan pembagian keuangan daerah. Perubahan keuangan akan mengikuti peralihan kewenangan dan penambahan urusan, kata Prof Nimatul Huda dalam kesempatan yang sama.

MenurutNimatul,desentralisasi merupakan cara sebuah rezim atau negara untuk menghadirkan sistem yang lebih mencerminkan nilai-nilai demokratis karena sebagian kewenangan diserahkan kepada pemerintah lokal untuk aktif merespon segala hal terkait kebutuhan rakyat di daerah.

Desentralisasi memang tidak mempunyai suatu definisi yang tunggal. Apapun definisi desentralisasi yang dipilih harus terjadi harmonisasi yang baik antara desentralisasi politik, administrasi, dan fiskal, katanya.

SUMBER:https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt601abc893d8d2/alasan-peraturan-harus-selaras-dengan-pancasila-dan-konstitusi?