Apa arti kerajaan Allah menurut Gereja Katolik?

Doktrin Kerajaan Allah kebenarannya didasarkan pada beberapa nats firman Tuhan:

datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga. (Mat 6:10 ITB)

Sebab Kerajaan Allah bukanlah soal makanan dan minuman, tetapi soal kebenaran, damai sejahtera dan sukacita oleh Roh Kudus. (Rm. 14:17 ITB)

Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. (Mat. 6:33 ITB)

Doktrin ini ingin mengajar kepada kita untuk hidup sebagai warga Kerajaan Allah. Orang percaya secara prinsip adalah warga Kerajaan Allah. Perhatikan pernyataan firman Tuhan ini:

Karena kewargaan kita adalah di dalam sorga (Flp. 3:20a, ITB)

Demikianlah kamu bukan lagi orang asing dan pendatang, melainkan kawan sewarga dari orang-orang kudus dan anggota-anggota keluarga Allah, (Ef. 2:19 ITB)

Inilah kewarganegaraan kita dan kita seharusnya hidup selayaknya kewarganegaraan kita. Ini tidak berarti hidup kita sekarang ini mudah, enak, dan semua beres. Jangan mengharapkan kemudahan dan perlakuan yang baik dari dunia ini karena dunia bukan tempat kita yang sesungguhnya. Kita di sini adalah pendatang, orang asing. Oleh karena itu, jangan heran jika dunia memperlakukan kita dengan tidak tidak baik, bahkan menolak kita. Kita akan mengalami banyak penderitaan dan ujian dari dunia ini. Hal ini untuk menyatakan bahwa kita layak sebagai warga Kerajaan Allah, yang menyatakan bahwa kamu layak menjadi warga Kerajaan Allah, kamu yang sekarang menderita karena Kerajaan itu (2 Tes. 1:5, ITB). Setiap orang percaya harus hidup sebagai warga Kerajaan Allah. Kita harus tunduk dan mengikuti hukum Kerajaan ini. Hal ini bukan berarti kita menolak hukum negara di mana kita tinggal. Selama hukum tersebut tidak bertentangan dengan kebenaran-Nya, kita layak menaati dan tunduk. Namun, hukum Kerajaan Allah jangan diabaikan.

 Konsep Kerajaan Allah

Apakah Kerajaan Allah sudah datang? Ada beberapa pandangan mengenai hal ini, yaitu:

  1. Pandangan Gereja Katolik. Gereja Katolikmenyamakan Kerajaan Allah dengan gereja yang ada di dunia ini. Melalui hierarki gereja, Kristus diwujudkan sebagai Raja dari Kerajaan Allah, ruang lingkup kerajaan adalah sama dengan batas kekuasaan dan kekuatan gereja di dunia ini. Perluasan kerajaan terjadi melalui misi dan perkembangan gereja di dunia.
  2. Pandangan Gereja Reform. Para reformator lebih menekankan makna rohani dari Kerajaan Allah, di mana Kerajaan Allah adalah: gereja yang tidak “terlihat”/gereja yang am. Di mana Kristus adalah Raja dari Kerajaan Allah yang memiliki kekuasaan secara absolut. Dan para pengikutnya telah dibebaskan oleh kuasa sang Raja dengan tujuan hanya menyembah sang Raja saja.
  3. Pandangan Gereja Liberal. Pandangan ini dikembangkan lebih secara moralistis sehingga Kerajaan Allah disamakan dengan tersebarnya damai, kasih, dan kebenaran di dunia ini.[1]

Konsep Kerajaan Allah dalam Perjanjian Lama

Satu-satunya cara untuk memahami dengan baik pesan atau makna Kerajaan Allah yang disampaikan Yesus adalah dengan melihat kembali konsep ini sedikit ke belakang menurut tradisi Perjanjian Lama, sebab apa yang disampaikan oleh Tuhan Yesus bersumber dari Perjanjian Lama (bdk. Mat. 5:17-19). Konsep Kerajaan Allah ini tentu tidak asing bagi kalangan Yudaisme yang pada saat itu yang memang erat memegang Perjanjian Lama.

Pada umumnya, para ahli setuju bahwa konsep Kerajaan Allah yang berkembang dalam Yudaisme bukan dalam makna area kekuasaan atau sebuah teritorial dengan seorang raja yang memerintah atasnya.  Kerajaan Allah ju ga tidak boleh dipahami dalam pengertian modern seperti halnya kekaisaran Jepang atau konsep kerajaan Inggris (Kingdom). Frasa ini bertendensi simbolik saja.

Kata Ibrani untuk kerajaan adalah malkuth. Seorang ahli Perjanjian Baru, C. H. Dodd mengatakan bahwa malkuth merupakan kata benda abstrak yang dapat berarti kedudukan atau martabat raja (kingship), kuasa pemerintahan (kingly rule), pemerintahan (reign), atau kedaulatan (sovereignty). Secara sederhana, ia mengartikan the malkuth of God (Kerajaan Allah) sebagai: “God reigns as King” atau bertakhtanya Allah sebagai raja.

Dengan demikian, frasa Kerajaan Allah dapat diartikan, “. . . the idea of God, and the term ‘kingdom’ indicates that spesific aspect, attribute or activity of God, in which He is revealed as King or sovereign Lord of His people, or of the universe which He created.” Kaufmann Kohler, seorang theolog Yahudi, memberikan definisi lain tetapi serupa (dan menguraikan secara lebih jelas tentang King of the universe yang dipaparkan Dodd), “Reign or sovereignty of God as contrasted with the kingdom of the worldly powers. The hope that God will be King over all the earth, when all idolatry will be banished, is expound in prophecy and song.” (Pemerintahan atau kedaulatan Allah berbeda dengan kerajaan kekuasaan duniawi. Harapan bahwa Allah akan menjadi Raja atas seluruh bumi, ketika semua penyembahan berhala akan dibuang, adalah menjelaskan nubuat dan lagu).

Dari dua definisi ini terlihat satu pengertian yang sama bahwa Kerajaan Allah sama sekali tidak menunjuk kepada sebuah lokasi atau tempat yang istimewa dan penuh dengan kebahagiaan (seperti gambaran surga yang banyak dipahami orang Kristen selama ini), tetapi menunjuk kepada pemerintahan Allah atas umat-Nya dan atas semesta ciptaan-Nya, yang berbeda bahkan bertolak belakang dari pemerintahan dunia ini. Hal ini dapat dipahami lebih jauh dengan memerhatikan pandangan John Meier, seorang theolog Katolik, yang mempertegas bahwa definisi ini berlaku untuk menunjukkan relasi yang erat antara Allah sebagai Raja dengan umat sebagai hamba-hamba yang diperintah-Nya, bukan dalam pengertian suatu cakupan teritorial, “Hence his action upon and his dynamic relationship to those ruled, rather than any delimited territory, is what is primary.”

Dalam sejarahnya, konsep the kingship of YHWH mengalami perkembangan yang signifikan. Sejarah the kingship of YHWH sebenarnya telah ditulis sejak Taurat.  Melalui pujian umat dalam Keluaran 15:18, setelah mereka berhasil lolos dari kejaran bala tentara Mesir melalui peristiwa spektakuler yang dilakukan YHWH di depan mata mereka, termaktub dengan jelas pengakuan bahwa hanya Dia yang layak untuk memerintah mereka selama-lamanya. Pengakuan mereka ini kemudian ditahbiskan melalui perjanjian Sinai. Mereka akan diangkat dari antara segala bangsa menjadi “kingdom of priest” (kerajaan imam). Kerajaan imam, yaitu kerajaan di mana Allah memerintah dan umat patuh serta melayani-Nya (Kel. 19:4-6; bdk. Ul. 33:5).

Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi hal yang sangat tidak diinginkan. Umat Tuhan meminta raja dari kalangan mereka (1 Sam. 8:6-22). Tindakan ini sama saja dengan pemberontakan terhadap sistem theokrasi mutlak yang telah dideklarasikan Allah di Sinai melalui Musa. Perjalanan berikutnya menyebutkan Tuhan “memaklumi” hal ini (1 Sam. 12), tetapi aturan main yang ditetapkan adalah sang raja terpilih tidak mempunyai kedaulatan atas umat.

Dalam hal ini, ditemukan satu masalah pelik yang ada di balik konsep Kerajaan Allah. Apakah ada dua kerajaan dalam Kerajaan Allah: kerajaan yang bersifat spiritual-teokratis (dipimpin oleh YHWH) dan kerajaan yang bersifat politis-monarkis (dipimpin oleh raja-manusia)? Masalah ini tidak mudah tetapi menjadi titik tolak penting yang pada akhirnya membawa kita memahami makna Kerajaan Allah versi Yesus.

Masalah ini hanya dapat dipecahkan jika kita kembali melihat Keluaran 19:4-6 dan Ulangan 17:14-20. Dalam Keluaran 19:4-6, Allah mendeklarasikan Kerajaan Allah yang diistilahkan-Nya sebagai kerajaan imam. Dalam hal ini kita setuju dengan komentar John I. Durham terhadap Keluaran 19:6 yang menyatakan bahwa makna kerajaan imam ini tidak dapat dilepaskan dari dua konteks yang melekat dan melatarbelakangi konsep ini, yakni “harta kesayangan” dan “bangsa yang kudus,” yang merupakan dwitunggal penting dalam perjanjian Tuhan dengan Israel. Sebagai “harta kesayangan,” Israel “. . . become uniquely Yahweh’s prized possession by their commitment to him in covenant,” dan sebagai “bangsa yang kudus,” Israel . . . then represents a third dimension of what it means to be committed in faith to Yahweh: they are to be a people set apart, different from all other people by what they are and are becoming—a display-people, a showcase to the world of how being in covenant with Yahweh changes a people.

Dengan demikian, sebagai kerajaan imam, Israel, “. . . was always supposed to be: a kingdom run not by politicians depending upon strength and connivance but by priests depending on faith in Yahweh, a servant nation instead of a ruling nation.” Atas dasar ini, maksud Tuhan mendirikan kerajaan-Nya  di tengah-tengah Israel, bukan untuk membentuk suatu dinasti monarki-ekslusif (apalagi fasis) yang paling jaya, kuat, dan superior tanpa dapat ditandingi bangsa-bangsa lain di sekitarnya. Dia menghimpun dan mengangkat Israel untuk masuk dalam kerajaan-Nya hanya demi satu tujuan: menjadi model atau patron bagi bangsa-bangsa kafir di sekitarnya tentang bagaimana hidup taat dan beriman kepada Tuhan agar mereka pun pada akhirnya hanya me-Raja-kan-Nya.

Ada tiga poin pokok yang menjadi inti kerajaan imam versi Sinai: pertama,Tuhan adalah inisiator; kedua, kekudusan adalah fokus utama; dan ketiga, Israel sebagai umat kesayangan Tuhan. Tujuan utama pemilihan Israel bukan untuk membentuk suatu umat yang ekslusif dan superior, tetapi suatu umat yang inklusif di mana kerajaan itu pada akhirnya tidak hanya mencakup Israel tapi seluruh dunia.

Konsep ini makin lengkap ketika mengamati Ulangan 17:14-20. Bagian ini menegaskan antisipasi Tuhan akan kemungkinan terbentuknya suatu bentuk pemerintahan monarki dalam umat. Dengan demikian, Tuhan tidak sepenuhnya menolak konsep raja-manusia, tetapi Tuhan menetapkan aturan main yang jelas sebab kecenderungan terjadinya pelanggaran terhadap ketetapan kerajaan imam yang telah dideklarasikan di Sinai sangat besar. Ayat 16-17 menjelaskan tiga hal yang dapat mengancam kerajaan imam-Nya. Pertama, jangan memelihara banyak kuda. Sudah menjadi kenyataan bahwa pada saat itu kuda merupakan lambang atau simbol kekuatan militer. Kejayaan suatu bangsa salah satunya diukur dari berapa banyak pasukan berkuda yang dimiliki (bdk. Kel. 14:23; 2 Taw. 16:8; Mzm. 20:7; Hab. 1:8). Durham terhadap pandangan Mowinckel mengatakan bahwa pasukan berkuda merupakan simbol perlawanan kepada Allah.

Kedua, jangan beristri banyak. Larangan ini tidak dapat dimengerti jika dipandang dari pandangan orang modern yang sering mengaitkan hal ini dengan persoalan moral-etis sebuah pernikahan. Dalam konteks politik dunia timur dekat kuno pada saat itu, perkawinan berkaitan dengan ikatan politik satu bangsa dengan bangsa lain dan ikatan politis saat itu tidak semata bertendensi relasi diplomatis seperti sekarang ini. Hal ini pasti ada unsur perkawinan religius (bdk. dengan kegagalan Salomo [1 Raj. 11:4-8]). Christensen menjelaskan ekses buruk dari pola ini dengan sangat baik, “. . . which has been a center for political power and intrigue from its inception.” Ketiga, jangan mengumpulkan emas dan perak yang banyak. Larangan ini bertujuan menghindarkan Israel dari bersandar pada kekuatan ekonomi seperti yang kerap dilakukan bangsa-bangsa kafir. Jadi, ketiga larangan yang diajukan Tuhan sebagai prasyarat raja manusia berdasar pada tiga hal yang berpotensi menggagalkan Israel menjadi sebuah kerajaan imam, yakni kekuatan militer, politik, dan ekonomi.

Berbagai hal yang selama ini dianggap “keberhasilan” Salomo (1 Raj. 10:14-28) tampaknya justru merupakan awal dari kegagalannya. Konteks selanjutnya dari 1 Raja-raja 11-12 menjelaskan hal ini. Penilaian positif yang diberikan penulis-penulis kitab deuteronomistik kepada harta kekayaan Salomo selalu hanya dikaitkan dengan perhatian yang serius dari Salomo untuk membangun Bait Allah. Emas dan perak dalam arti positif senantiasa dikaitkan dengan persembahan untuk Bait Allah (bdk. 2 Taw. 9:24). Dalam perjalanan kerajaan Israel Selatan, beberapa raja jatuh karena tiga persoalan ini, perhatikan Yoas yang jatuh karena menyerahkan emas dari rumah Tuhan demi jaminan keamanan dari Hazael, raja Aram (2 Raj. 12:17-18), Raja Asa yang mengeluarkan emas dan perak untuk mengadakan persekutuan militer dengan Benhadad, raja Aram (2Taw. 16:2-3); dan Hizkia yang mempertontonkan emas, perak, persenjataan, dan berbagai hartanya pada para utusan Babel untuk kerjasama membangun kerjasama politik dan militer demi mencegah ancaman Asyur (2 Raj. 20:12-21).

Kita dapat memahami dengan lebih tepat perasaan tertolak Tuhan dalam 2 Samuel 8:7 tatkala umat meminta seorang raja manusia. Jika ditelusuri lebih jauh, hal yang mereka inginkan sebenarnya bukan sekadar seorang raja manusia, tetapi mereka ingin menginstitusionalisasi suatu kerajaan monarki baru yang ekslusif, yang pada akhirnya mengizinkan pembangunan kekuatan militer, politik, dan ekonomi yang kuat demi kelanggengan eksistensi diri. Sikap ini merupakan bentuk penolakan akan konsep kerajaan imam yang telah dideklarasikan-Nya bagi mereka. Pasca kejatuhan Saul, Tuhan ingin merestorasi cita-cita kerajaan imam ini melalui Daud dan keturunan-Nya. Formulasi janji Tuhan kepada Daud dalam 2 Samuel 7:1-17 tetap memuat inti deklarasi kerajaan imam Sinai, yakni ketaatan kepada-Nya (2 Sam. 7:14). Konteks bagian ini adalah rencana pembangunan Bait Allah yang menjadi sentral ibadah umat, persis seperti Sinai yang merupakan pusat ibadah  umat ketika berada di padang gurun setelah keluar dari Mesir (bdk. Kel. 3:12, “. . . kamu akan beribadah kepada Allah di gunung ini”). Hal ini daat dibandingkan dengan respons Daud dalam 2 Samuel 7:22-26 yang turut menyatakan bahwa Israel ada untuk-Nya dan bukan sebaliknya. Daud mengagungkan eksistensi-Nya sebagai sang Raja sebenarnya.

Formulasi yang sama juga termaktub dalam 1 Raja-raja 9:5-6. Ada satu konteks menarik yang dipaparkann di sini. Janji peneguhan kerajaan Salomo disertai dengan syarat ketaatan mutlak dari Salomo dan semua keturunannya kelak (1 Raj. 9:6). Ketidaktaatan mereka akan mengakibatkan kehancuran kerajaan,  pembuangan (9:7), dan kehancuran Bait Allah sebagai pusat ibadat (9:8). Hal ini disimpulkan dalam pengulangan kisah perjanjian Sinai sebagai perekat utama, “Maka orang akan berkata: Sebab mereka meninggalkan Tuhan, Allah mereka, yang membawa nenek moyang mereka keluar dari tanah Mesir. . . .” (9:9).

Kesimpulan yang bisa diambil di sini adalah: pertama, Raja sesungguhnya adalah Tuhan (YHWH). Setiap raja Israel harus takluk dan tunduk di bawah  otoritas-Nya. Dia adalah pengendali sejati dari sejarah Israel. Kedua, setiap tindakan atau sikap yang hendak “mengkudeta” kerajaan imam yang ditetapkan-Nya akan dibayar dengan sangat mahal. Hukuman pasti tiba: hancurnya kerajaan, pembuangan, dan robohnya Bait Allah. Kebalikannya, khususnya pada masa pembuangan dan pasca-pembuangan, umat benar-benar diyakinkan bahwa Kerajaan Allah telah hadir, dan Dia kembali bertakhta di Sion melalui tiga tanda nyata: (1) restorasi dinasti Daud (hadirnya Mesias); (2) dibangunnya kembali bait Allah, dan; (3) kembalinya umat dari pembuangan untuk menyembah Dia yang berimbas pada konsekuensi musuh-musuh pasti akan ditaklukkan. Ada perkembangan baru dari konsep kovenan Sinai kepada perjanjian dengan Daud dan Salomo. Namun, di  sisi lain, ada kecenderungan yang berbahaya bagi umat dari perkembangan konsep ini. Hal yang paling berbahaya adalah munculnya nasionalisme sempit karena salah menafsirkan tiga poin pokok di atas.

Oleh karena itu, setiap idealisme pada masa Daud, dan seterusnya pada masa pasca-pembuangan, harus dilihat dari cita-cita Kerajaan Allah dari perjanjian Sinai. Penekanan ketiga dari kerajaan imam Sinai, Israel sebagai umat kesayangan Tuhan sering dipandang sebagai poin penting untuk melegalisasi perang suci (mungkin seperti pasukan crusade Kristen), apalagi setelah berulang kali mengalami kepahitan pasca-pembuangan. Dari titik ini kita dapat mengerti dengan jelas kontroversi seputar pertentangan Yesus dengan tokoh-tokoh agama pada zaman-Nya.

Jadi, dalam Perjanjian Lama Kerajaan Allah merupakan panggilan imamat bagi Israel untuk masuk dalam ketaatan mutlak kepada Tuhan dan menjadi model bagi bangsa-bangsa kafir. Bukan itu saja, mereka bahkan dipanggil menjadi agen utama ilahi untuk menunjukkan kepada bangsa-bangsa kafir bagaimana hidup me-rajakan Dia dalam kesucian dan kekudusan agar mereka pada akhirnya juga hanya menyembah Tuhan. Wright menyatakan hal ini dengan kalimat yang sangat indah: . . . the creator God had purposed from the beginning to address and deal with the problems within his creation through Israel. Israel was not just to be an “example” of a nation under God; Israel was to be the means through which the world would be saved.

Konsekuensinya sederhana adalah Israel dipanggil untuk meninggalkan segala bentuk upaya untuk mengikuti pola-pola kerajaan kafir yang ada hanya demi kelanggengan eksistensi dan institusi mereka. Inilah berita Kerajaan Allah, “Bertobat dari segala agenda-agenda kelompok atau golongan dalam menghadirkan Kerajaan Allah yang sebenarnya hanya mengikuti pola-pola bangsa kafir.” Namun, pada masa Yesus cita-cita kerajaan imam ini terdistorsi.

Berbagai kalangan bermunculan dan berupaya untuk menafsirkan makna Kerajaan Allah berdasarkan cita-cita kelompok mereka. Tujuannya satu, kelanggengan eksistensi kerajaan Israel. Kelompok pertama adalah mereka yang bergerak dalam perjuangan secara revolusioner. Konteks pembuangan dan penjajahan yang dialami umat Israel secara silih berganti membuat menjamurnya gerakan-gerakan ini. Kelompok yang kebanyakan dimoderasi kaum Zelot ini menggencarkan cita-citanya dengan mencaplok doktrin Kerajaan Allah untuk mendapatkan dukungan luas. Semboyan mereka adalah, “No King but God!” Kelompok kedua adalah kaum esenit yang terkenal dengan gaya hidup asketisnya yang mempunyai penafsiran sendiri terhadap Kerajaan Allah. Mereka terlalu menekankan aspek ritual dan kesucian etis. Akhirnya, mereka menjadi kaum escapist yang “suka” melarikan diri dari dunia nyata. Wright menamakan kelompok ini dengan sebutan kelompok quietist yang memiliki semangat, “. . . separate yourself from the wicked world and wait for God to do whatever God is going to do.” Bagi mereka, Kerajaan Allah ada dalam dimensi keheningan dan kesendirian jauh dari orang-orang kafir, sesat, dan berdosa.

Kelompok terakhir berasal dari kalangan istana, Herodes. Kelompok ini mempunyai “penyakit” messianic syndrome. Akibatnya, mereka rela melakukan kompromi-kompromi politik kotor. Dengan modal uang yang banyak dan posisi strategis, mereka membangun segala sesuatu yang diperlukan (kota benteng, istana, dan Bait Allah yang megah) untuk melegalisasi dirinya sebagai the coming king. Lahirnya golongan-golongan ini membuat konsep kerajaan imam Tuhan di Sinai ditinggalkan. Ketiga konsep umum yang berkembang di Palestina pada zaman Yesus seperti di atas tidak sejalan dengan konsep kerajaan imam Sinai. Oleh karena itu, tidak ada satu pun dari pola itu sejalan dengan pandangan Tuhan Yesus. Tuhan Yesus memberikan pemaknaan yang kontras dan beroposisi dari konsep Kerajaan Allah yang umum dianut saat itu. Ia mengajak setiap pendengar dan pengikut-Nya untuk melihat kembali makna kerajaan imam yang telah dideklarasikan Tuhan bagi Israel dan memanggil mereka untuk percaya dan bertobat serta mengikut Dia untuk menjadi Israel yang sejati (the real Israel), Israel yang memancarkan ketaatan mutlak kepada Tuhan.

Konsep Kerajaan Allah dalam Perjanjian Baru  

Beberapa tindakan dan perkataan Yesus dapat merepresentasikan semangat kerajaan imam Sinai ini. Pertama, Yesus merepresentasikan tindakan Tuhan sebagai inisiator perjanjian. Dalam theologi perjanjian di dunia timur dekat kuno, tujuan perjanjian (kovenan) adalah ketaatan.  Poin ini sangat tampak dari ajakan berulang-ulang yang disampaikan-Nya untuk taat kepada-Nya. Dalam hal ini, Tuhan Yesus mengasosiasikan tindakan yang biasa dilakukan Tuhan pada masa lampau kepada Israel dengan tindakan-Nya.  Kedua, Tuhan Yesus merepresentasikan tindakan Tuhan untuk membentuk suatu umat yang kudus bagi-Nya. Salah satu tindakan yang sangat tampak adalah peristiwa penyucian Bait Suci sebagai pusat ibadat umat. Hal lain yang memuat berita pembentukan umat yang kudus adalah berita pembenaran dan penghakiman yang berulang-ulang ditekankan Tuhan Yesus. Ketiga, Tuhan Yesus menunjukkan diri sebagai Tuhan yang datang untuk mengasihi kembali umat-Nya dengan tujuan supaya umat menyampaikan kasih itu kepada segala bangsa. Ide ini biasanya dikaitkan dengan kontras antara terang (umat Allah) dengan gelap (umat Iblis). Dan menariknya, Tuhan Yesus kembali mengasosiasikan diri-Nya sebagai terang, julukan yang hanya pantas disandang oleh Tuhan.

Pokok tentang kerajaan imam ini juga disampaikan Petrus (1 Ptr. 2:9). Dalam konteksnya, Petrus ingin menyatukan konsep kerajaan imam dengan pribadi Tuhan Yesus (lih. Ay. 4-8).

Penulis berkesimpulan bahwa berita Kerajaan Allah yang disampaikan Yesus, yang menuai banyak kontroversi dari orang-orang sezaman-Nya, tidak hanya disebabkan berita itu berbeda dengan berita Kerajaan Allah yang pada umum berkembang pada saat itu. Tuhan Yesus sedang mendeklarasikan diri sebagai Sang Pembawa Kerajaan Allah itu sendiri. Konsekuensi logisnya adalah berita Kerajaan Allah tidak dapat dilepaskan dari pribadi Sang Pembawa. Wright berkata, “Equally important, it [kingdom of God] could never be divorced from the person and deeds of the proclaimer.” Kesimpulannya, Tuhan Yesus adalah Tuhan sendiri. Dia adalah Sang Raja yang kekal yang harus ditaati!

Konsep Kerajaan Allah tidak pernah berbicara tentang sebuah teritorial atau daerah dengan sebuah sistem politik dan struktur birokratis di dalamnya. Kesimpulan penulis dari pembahasan ini ialah bahwa Kerajaan Allah yang dimulai dengan deklarasi kerajaan imam Sinai berfokus pada Pribadi Agung yang dinobatkan sebagai Raja, Yesus Kristus. Dalam Dia, seluruh perjalanan sejarah dunia mencapai klimaksnya. Di dalam Dia, surga dan bumi yang dulunya terpisah karena dosa dan pemberontakan manusia, disatukan kembali; Allah berkenan menerima manusia kembali untuk menjadi umat-Nya yang kudus; dan umat baru, sebuah imamat rajani, bangsa yang kudus, dan umat kepunyaan Allah sendiri, dipanggil untuk meninggalkan apa pun juga untuk taat dan menyaksikan kebesaran kemuliaan-Nya kepada segala makhluk dan seluruh isi semesta ini.[2]

Kerajaan Allah sudah Datang atau Belum?

“Kerajaan Allah” (Yunani: η βασιλεια του θεου – hê basileia tou theou) dan “Kerajaan Sorga” atau “Kerajaan Langit” (Yunani: η βασιλεια των ουρανων – hê basileia tôn ouranôn) memiliki suatu gagasan yang sama. Istilah “Kerajaan Sorga” (harfiah: Kerajaan Langit, Yunani: η βασιλεια των ουρανων – hê basileia tôn ouranôn) hanya ada di Injil Matius, tidak ditemukan di bagian Alkitab lainnya. Bagi orang Yahudi, kata “Allah” sangat sakral untuk digunakan secara sembarangan atau terlalu sering. Oleh karena itu, Matius yang menulis kepada orang Yahudi lebih sering memakai istilah “Kerajaan Sorga” (Kerajaan Langit), sedikit sekali menggunakan istilah “Kerajaan Allah”. Markus dan Lukas tidak pernah menggunakan istilah “Kerajaan Sorga”. Kedua penulis ini memakai istilah “Kerajaan Allah”, yang artinya sama dengan “Kerajaan Sorga”, karena lebih mudah dimengerti oleh non-Yahudi. Pemakaian istilah “Kerajaan Sorga” oleh Matius disebabkan kecenderungan Yahudi tidak mau menyebut langsung nama Allah.[3]

Tuhan Yesus sengaja tidak pernah mendefinisikan secara gamblang apa yang dimaksud-Nya dengan “Kerajaan Allah”. Namun, ketika di hadapan Pontius Pilatus, sebagai jawaban ketika Dia dituduh sebagai pemberontak, Tuhan Yesus menjawab dengan cermat tujuan kedatangan-Nya bukan untuk memiliki daerah kekuasaan yang bersifat fana di dunia ini, Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini; jika Kerajaan-Ku dari dunia ini, pasti hamba-hamba-Ku telah melawan, supaya Aku jangan diserahkan kepada orang Yahudi, akan tetapi Kerajaan-Ku bukan dari sini. (Yoh. 18:36). Jadi, Kerajaan Allah di sini tidak berbicara tentang wilayah. Kerajaan Allah di sini berbicara tentang pemerintahan Allah di dunia ini. Gagasan yang muncul di sini adalah penyataan otoritas Allah dalam dunia ini.

Ketika Yohanes Pembaptis melayani, ia menyampaikan berita akan kedatangan Kerajaan Allah itu, “Bertobatlah, sebab Kerajaan Sorga sudah dekat!” (Mat 3:2 ITB) Frasa sudah dekat menyatakan bahwa Kerajaan ini belum datang. Hal ini menjadi jelas karena kedatangan Yohanes Pembaptis adalah untuk mempersiapkan hadirnya Kerajaan tersebut. Kerajaan tersebut nyata dalam kedatangan Tuhan Yesus di dunia ini. Ketika murid-murid Yohanes Pembaptis bertanya kepada Tuhan Yesus, “Engkaukah yang akan ating itu atau haruskah kami menantikan orang lain?” (Mat 11:3 ITB), Tuhan Yesus menjawab, “Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu dengar dan kamu lihat:orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, orang kusta menjadi tahir, orang tuli mendengar, orang mati dibangkitkan dan kepada orang miskin diberitakan kabar baik. Dan berbahagialah orang yang tidak menjadi kecewa dan menolak Aku.” (Mat. 11:4-6, ITB). Tuhan Yesus tidak menjawab pertanyaan murid-murid Yohanes secara langsung. Jawaban Tuhan Yesus menyatakan bahwa mereka tidak perlu menunggu lagi. Mesias, Raja itu, sudah datang. Ini menyatakan bahwa pemerintahan Allah sudah datang, yang berarti Kerajaan Allah sudah datang.

Jadi, Kerajaan Allah sudah datang dalam pelayanan Tuhan Yesus di bumi ini. Manifestasi Kerajaan Allah sudah dinyatakan dan hukum Kerajaan pun telah dinyatakan dalam firman-Nya (perhatikan Matius 5-7). Kerajaan ini pada awalnya ditawarkan kepada Israel, tetapi Israel menolaknya. Penolakan ini mengakibatkan Kerajaan ini dinyatakan kepada suatu lembaga ilahi yang baru yang disebut “Gereja” (eklesia). Lembaga inilah yang terus memberitakan berita kedatangan Kerajaan ini dan menyatakannya di dunia ini.

Namun, firman Tuhan juga menyatakan akan datangnya Kerajaan Allah secara riel di dunia ini. Kerajaan ini akan dinyatakan pada saat kedatangan Kristus kedua kali. Tuhan akan menjadi Raja Shalom di atas bumi sebagai kegenapan akan doa dan kerinduan orang percaya, “Datanglah kerajaan-Mu.” Kerajaan seribu tahun di bumi akan menjadi realisasi Kerajaan Allah secara nyata.

Kesimpulan

Kerajaan Allah telah dinyatakan (inaugurated) dalam Yesus Kristus, tetapi pemenuhan/penggenapan sempurnanya merupakan sesuatu yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Dengan pengertian ini, kita dapat memahami bahwa Kerajaan Allah tidak bisa didentikkan dengan suatu keadaan pada masa kini, seperti misalnya suatu theokrasi, atau bahkan gereja, karena pemenuhan/penggenapannya bukanlah pada masa sekarang ini. Namun, dengan pengertian ini juga, ada alasan untuk bersukacita dalam keselamatan yang diberikan oleh Allah bagi manusia, dan juga bersukacita dalam pengharapan akan penggenapan janji Allah akan kerajaan-Nya, yaitu ketika “Ia akan menghapus segala air mata dari mata mereka, dan maut tidak akan ada lagi; tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu.” (Why. 21:4). Dengan pengertian, sukacita kita menjadi penuh, karena menyadari bahwa kita hidup dalam “time between times”, di belakang dan pada masa kini adalah pernyataan Kerajaan Allah dan pada masa depan adalah pemenuhan/penggenapan Kerajaan Allah.

Tuhan Yesus memerintahkan orang percaya untuk mencari dahulu Kerajaan Allah, Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu (Mat. 6:33, ITB). Tuhan Yesus ingin kita mengutamakan dan memprioritaskan Kerajaan Allah. Dengan mencari dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, kita dibebaskan dari beberapa hal: pertama, dari hidup yang berpusat kepada diri sendiri. Hidup yang berpusat kepada diri sendiri adalah salah satu penyebab dari kekuatiran. Ketika kita mencari dahulu Kerajaan Allah maka kita akan memusatkan prioritas, ambisi dan obsesi hidup kita hanya kepada Allah saja. Dan ketika seluruh perhatian kita tertuju pada Allah maka otomatis perhatian kita juga akan tertuju pada Allah (tidak kepada diri sendiri lagi).

Kedua, dari arah hidup yang salah. Arah hidup yang salah terjadi ketika seseorang tidak bisa membedakan lagi mana yang tidak penting, yang kurang penting dan yang penting menurut sudut pandang Allah. Ketika kita mengarahkan hidup kita untuk mencari dahulu Kerajaan Allah maka banyak hal yang tadinya kita pikir, kita membutuhkannya (karena menurut kita, penting) ternyata kita sadari bahwa kita tidak membutuhkannya (karena kurang penting atau bahkan tidak penting sama sekali). Di dalam proses pencarian Kerajaan Allah maka Allah akan terus mengasah dan membuat peka hati kita terhadap hal yang penting, kurang penting dan yang tidak penting.

Ketiga, dari mengabdi kepada tuan yang salah. Banyak orang Kristen tetapi “allahnya” adalah mammon, bukan Kristus. Mereka menjadi penyembah berhala sekaligus juga “mengabdi” kepada Tuhan Yesus. Dalam Matius 6:24, Tuhan Yesus dengan tegas berkata bahwa kita tidak bisa mengabdi kepada dua tuan. Kita diperintahkan untuk memilih, mau mengabdi kepada siapa, Tuhan atau mamon? Kita hanya bisa memilih salah satu saja. Dalam proses pencarian dahulu Kerajaan Allah diperlukan adanya kesetiaan dan ketaatan mutlak kepada Kristus, sang Raja Kerajaan. Pada saat kita sungguh merajakan Sang Raja Kerajaan, kita menyadari bahwa diri kita ini hanyalah seorang hamba, hamba Kristus Yesus dan bukan yang lain.[4]

Jadilah Kehendak-Mu

Frasa ini mengikuti frasa “Datanglah kerajaan-Mu”. Hal ini mengungkapkan pengakuan kita akan kekuasaan dan kedaulatan Tuhan dalam memerintah sehingga kita tidak ada lagi kuasa untuk menentukan kehendak kita sendiri. Kita harus menundukkan kehendak kita pada kehendak Allah. Inilah hakikat dari jadilah kehendak-Mu. Bagian doa Bapa Kami ini mengungkapkan tujuan yang jelas dalam sebuah doa, jadilah kehendak-Mu. Praktik doa yang demikian kontras sekali dengan praktif magis yang memaksakan kehendak manusia terjadi. Dalam frasa ini, kita membawa kehendak kita ke dalam kehendak-Nya. Artinya, ini adalah sebuah bentuk penyangkalan diri. Ini adalah syarat untuk menjadi pengikut Tuhan yang benar, Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku (Luk. 9:23, ITB)

Pernyataan jadilah kehendak-Mu mengungkapkan salah satu ciri kedewasaan iman. Maksud jadilah kehendak-Mu sungguh-sungguh kehendak Tuhan yang kita inginkan terjadi dalam hidup kita. Kehendak Tuhan dengan kehendak kita sering kali tidak sesuai. Di sinilah ujian iman itu terjadi, apakah kita tetap memaksakan kehendak kita atau tunduk pada kehendak-Nya.

Contoh praktis adalah Tuhan Yesus sendiri. Dia bergumul dengan sangat berat ketika akan menghadapi salib. Dia bergumul di taman Getsemani (Mat. 26:36–46, Mrk. 14:32–42, Luk. 22:39–46). Dia berkata, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku  (Mat. 26:39 ITB). Namun, Tuhan Yesus menundukkan kehendak-Nya kepada kehendak Bapa, janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki (Mat. 26:39, ITB).

Frasa jadilah kehendak-Mu juga mengungkapkan akan kesetiaan kepada Sang Raja yang memerintah. Marthin Luther menjelaskan bahwa jadilah kehendak-Mu berarti jadilah kehendak-Mu ya Bapa, bukan kehendak Iblis, kehendak orang lain yang hendak menghancurkan firman-Mu, atau yang menghalangi kedatangan Kerajaan-Mu.

Jadilah kehendak-Mu bukan sebuah ungkapan menyerah pada situasi yang ada, banyak orang berkata jadilah kehendak-Mu, tetapi ia sesungguhnya sudah menyerah dengan situasi dan tantangan yang ada. Jadilah kehendak-Mu sesungguhnya tidak sedang mengungkapkan kelemahan kita atau ketidakberdayaan kita, melainkan kesetiaan kita dalam situasi tersulit dan terberat sekalipun dalam kehidupan kita.

Kita harus senantiasa merindukan kehendak Allah yang terjadi atas hidup kita karena kita tahu kehendak Allah itu adalah mulia dan indah. Ketika kita berkata, “Jadilah kehendak-Mu”, kita menerima setiap peristiwa yang terjadi, baik atau buruk, sebagai kehendak Tuhan. Kita menerima dengan senang hati dan rendah hati hal itu tanpa komplain (Rm. 8:28). Kita menerima jika Allah memang tidak memberikan seperti yang kita harapkan.

Refleksi Kekinian dalam Dunia Kerja

Kerajaan Allah harus dilihat kembali dalam konteks dari mana istilah itu berasal, yakni Yudaisme yang tentu saja tidak dapat dilepaskan dari Perjanjian Lama sebagai sumber utama tradisi Yudaisme. Kerajaan Allah tidak pernah secara khusus berbicara dan mengacu dengan “dunia lain” yang tidak punya kait-mengait dengan dunia kita saat ini. Hal ini bertitik tolak dari  Doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Yesus sendiri dalam Matius 6:10, “datanglah kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Dengan demikian, Kerajaan Allah juga berbicara tentang masa kini dan sekarang, bukan hanya esok dan masa akan datang.

Oleh sebab itu Kerajaan Allah langsung berkaitan dengan hal kehendak Allah. Ketika Yohanes Pembabtis memproklamirkan kerajaan itu, penekanannya adalah perwujudan tindakan Allah yang berdaulat di tengah-tengah umat manusia. Pemahaman Kerajaan Allah bukan berorientasi pada ruang lingkup, tempat allah, melainkan sesuatu yang bersifat dinamis. Kerajaan Allah adalah sebuah realitas kosmik (bukan ilusi atau sesuatu yang abstrak dan nun jauh di sana) yang menyeluruh dan menunjuk kepada Suatu Pribadi bahwa Kristus adalah Sang Raja yang patut disembah oleh segala makhluk di jagad ini dan bahwa setiap murid-murid-Nya dipanggil untuk men-Tuhankan Dia dalam setiap aspek kehidupan mereka. Di dalam setiap aspek itu, realitas Kerajaan hadir dan melakukan penetrasi yang pada akhirnya menyadarkan setiap pribadi bahwa sungguh Kristus adalah Raja semesta ini. Dari makna ini, kita dibawa kepada suatu klarifikasi bahwa Kerajaan Allah pertama-tama dan terutama berbicara tentang cita-cita eskatologis bahwa Kristus adalah Raja yang sudah dinobatkan dan setiap makhluk dipanggil untuk taat dan menyembah-Nya (Flp. 2:10-11; Kol. 1:15-18).

Dalam konteks kekhidupan kekinian, orang percaya dipangil untuk menyatakan atau menginisiasi Kerajaan ini dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini tidak mudah, tetapi oleh Roh Kudus kita akan dimampukan dan mampu melakukannya. Ada tiga kehidupan yang harus dijalani dalam kuat kuasa Roh Kudus.

Hidup dalam Kebenaran

Kebenaran didefinisikan dalam kamus sebagai “kesesuaian dengan fakta atau yang sebenarnya; pernyataan yang terbukti atau diterima sebagai benar; kenyataan atau keadaan yang sebenarnya.” Saat sekarang ini sebagian orang mengatakan bahwa tidak ada realita yang sebenarnya, yang ada hanyalah persepsi dan opini. Di sisi lain, yang lain berargumentasi bahwa pasti ada realita yang absolut atau kebenaran absolut. Oleh karena itu, ketika mempertimbangkan pertanyaan apakah ada yang dapat disebut sebagai kebenaran absolut, kita menemukan dua pendapat yang bertolak belakang. Pendapat yang satu mengatakan bahwa tidak ada apapun yang absolut yang mendefinisikan realita. Mereka yang berpegang pada pandangan ini percaya bahwa segala sesuatu adalah relatif dan karena itu tidak ada realitas yang sejati. Karena itu pada hakekatnya tidak ada sebuah otoritas apapun yang menentukan suatu tindakan positif atau negatif, benar atau salah. Pandangan ini tidak lebih dari “etika situasi” dalam bentuk yang paling utama. Tidak ada yang benar atau salah, dan karena itu yang benar adalah apa yang dianggap benar pada waktu itu. Tentulah model “etika situasi” semacam ini membawa kepada mentalitas dan cara hidup “apapun yang dirasa baik” yang memiliki dampak yang merusak masyarakat dan individu-individu.

Pandangan lain percaya bahwa benar-benar ada realita-realita atau standar absolut yang menentukan apa yang benar dan tidak benar. Karena itu suatu tindakan dapat dikatakan benar atau salah dengan membandingkannya dengan standar-standar yang absolut itu. Dapatkah Anda membayangkan kekacauan yang terjadi kalau saja tidak ada yang absolut, tidak ada realita? Ambil contoh hukum gravitasi. Kalau tidak ada yang absolut, suatu ketika Anda melangkah dan tahu-tahu terlempar tinggi ke udara, dan pada waktu lainnya, Anda sama sekali tidak dapat menggerakkan satu anggota tubuh pun. Tidak akan ada hukum-hukum sains, hukum-hukum fisika, segala sesuatu tidak akan ada artinya, dan tidak ada ukuran apa pun, dan tidak ada yang benar dan salah. Betapa kacaunya; tetapi syukurlah kebenaran yang absolut itu ada, dapat ditemukan dan dipahami.[5]

Zaman sekarang kita sering mendengar kalimat seperti “itu mungkin benar untuk kamu tapi tidak untuk saya.” Bagi mereka yang berpandangan bahwa tidak ada kebenaran absolut, kebenaran dipandang tidak lebih dari sekedar kegemaran pribadi atau sebuah sudut pandang, dan karena itu tidak boleh melampaui batasan-batasan pribadi. Karena itu tidak ada jawaban akhir terhadap makna hidup dan tidak ada harapan untuk hidup sesudah mati dalam bentuk apapun. Bentuk relativisme semacam ini mengakibatkan kekacauan agama, karena tidak ada satu agama yang benar, tidak ada satu jalan untuk memiliki hubungan yang benar dengan Allah. Karenanya semua agama salah karena mereka semua mengklaim mengajarkan atau percaya pada semacam hidup sesudah mati, semacam kebenaran absolut, Itu sebabnya bukan tidak lazim pada zaman sekarang bagi orang-orang untuk percaya bahwa dua agama yang bertentangan dapat sama-sama “benar” sekalipun keduanya mengklaim memiliki satu-satunya jalan ke surga atau mengajar dua “kebenaran” yang sama sekali bertolakbelakang. Orang-orang yang tidak percaya pada kebenaran yang absolut mengabaikan semua klaim ini dan memeluk universalisme yang lebih toleran yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan semuanya akan menuntun ke surga. Inilah sebabnya orang yang memeluk pandangan dunia semacam ni akan dengan keras melawan kekristenan injili yang percaya pada Alkitab yang mengatakan bahwa Yesus adalah “jalan, dan kebenaran, dan hidup.” Dia adalah manifestasi paling utama dari kebenaran dan satu-satunya jalan ke surga (Yoh.14:6).

Firman Tuhan adalah kebenaran absolut. Kita harus hidup dalam kebenaran ini di mana pun kita berada. Realisasi dalam dunia kerja bisa kita tampilkan dengan hidup mengikuti (taat) aturan perusahaan, seperti datang dan pulang tepat waktu, berusaha memenuhi target atau deadline, jujur, menundukkan diri pada ororitas yang ada, dan menjadi teladan bagi rekan-rekan kerja lainnya. Kita harus menjadi teladan dalam melakukan kebenaran.

Hidup dalam Damai Sejahtera

Damai sejahtera dari kata shalom (Ibr.) atau eirene (Yun.). Kata ini mengungkapkan damai yang sejati. kata ini bukan sekadar menunjuk kepada ketiadaan perang dan pertentangan. Makna dasar shalom ialah keserasian, keutuhan, kebaikan, kesejahteraan, dan keberhasilan di segala bidang kehidupan.

  1. Damai sejahtera dapat mengacu kepada ketenangan dalam hubungan internasional, seperti perdamaian antara dua negara yang bertikai (mis. 1 Sam. 7:14; 1 Raj. 4:24; 1 Taw. 19:19).
  2. Damai sejahtera juga dapat mengacu kepada perasaan mapan dalam suatu bangsa, seperti pada masa kemakmuran dan tidak ada perang saudara (2 Sam. 3:21-23; 1 Taw. 22:9; Mzm. 122:6-7).
  3. Damai sejahtera dapat dialami sebagai keutuhan dan keselarasan dalam hubungan antar manusia, baik dalam rumah tangga (Ams. 17:1; 1 Kor. 7:15) maupun di luar (Rm. 12:18; Ibr. 12:14; 1 Ptr. 3:11).
  4. Damai sejahtera dapat mengacu kepada perasaan pribadi seseorang bahwa semua lengkap dan sejahtera, bebas dari kekhawatiran dan merasa tenteram dalam jiwanya (Mzm. 4:8; 119:165; bd. Ayb. 3:26) dan dengan Allah (Bil. 6:26; Rm. 5:1).
  5. Akhirnya, sekalipun istilah shalom tidak dipergunakan dalam Kejadian 1:1-2:25, shalom melukiskan dunia ciptaan asli yang berada dalam keselarasan dan keutuhan sempurna. Ketika Allah menciptakan langit dan bumi, Dia menciptakan dunia yang tenteram dan damai. Kesejahteraan menyeluruh ciptaan ini terungkap di dalam pernyataan yang ringkas, “Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik” (Kej. 1:31).

Oleh karena itu, damai dari Tuhan ini tidak seperti yang diberikan dunia ini, Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu (Yoh. 14:27, ITB). Mengapa berbeda? Damai yang Tuhan berikan adalah damai yang komprehensif. Damai yang dari Tuhan kekal adanya karena bersumber pada Sang Raja Shalom yang kekal. Damai yang diberikan dunia adalah damai yang semu dan fana.

Realisasi dalam kehidupan kerja masa kini adalah kita hidup dalam kesatuan (unity) dengan tempat kita bekerja, otoritas di atas kita, maupun rekan sekerja. Kita bekerja sebagai satu tim untuk mewujudkan tujuan bersama. Kita membangun suatu atmosfer kerja yang nyaman dan enak sehingga suasana di tempat kerja terasa damai untuk melakukan pekerjaan kita. Kita tidak boleh egois, tetapi saling membantu dalam pekerjaan. Hati kita diliputi damai sejahtera sehingga kita bisa berfokus pada materi atau tujuan yang hendak dicapai. Kebahagiaan muncul karena kita selalu mengusahakan hubungan yang penuh damai, Berbahagialah orang yang membawa damai di antara manusia; Allah akan mengaku mereka sebagai anak-anak-Nya (Mat. 5:9, BIS).

Hidup dalam Sukacita

Setiap orang percaya memiliki Kerajaan Allah di dalamnya. Bagian dari Kerajaan itu adalah sukacita. Kata sukacita berarti bergembira, tenang dan menyenangkan, senang dan riang gembira. Sukacita juga berarti kepuasan. Di mana pun kita, Allah ingin kita berada dalam damai sejahtera dan penuh sukacita (menjadi puas) karena Dia telah menyatakan dengan jelas kepada kita bahwa Allahku akan memenuhi SEGALA keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus (Flp. 4:19)

Kita bisa bersuka cita ketika kita bisa memahami bahwa Dia tidak akan pernah mengecewakan kita dan Dia adalah tempat pemuasan. Kita harus memandang bahwa kepuasan kita tidak terletak pada apa yang dunia berikan. Seseorang berkata bahwa hati manusia adalah tempat terluas di dunia. Sekalipun seluruh dunia ini dimasukkan dalam hati manusia, manusia tidak akan puas. Manusia hanya akan bisa menikmati kepuasan dalam kehidupannya ketika mampu mensyukuri apa yang ada padanya. Kepuasannya bukan diletakkan pada hal-hal yang material dan duniawi, tetapi pada Allah.

Hanya Dialah yang menjadi tempat di mana manusia mendapatkan kepuasannya. Hal ini akan membangkitkan sukacita kita, sukacita ilahi. Bapa yang penuh kasih melihat kita sangat berharga dan telah menyediakan segala sesuatu bagi kita dalam Kristus dengan melimpah-limpah. Saat kita sepenuhnya yakin dengan hal ini, kita dapat memiliki sukacita besar dan mendapatkan kepuasan yang sejati. Kita tidak perlu khawatir dengan kehidupan kita, “Karena itu Aku berkata kepadamu: Janganlah kuatir…” (Mat. 6:25:) Kuatir adalah menjadi cemas, takut, dan juga penuh keraguan. Kamus Webster mengatakan bahwa kuatir juga berarti ”mencekik”. Hal ini senada dengan Markus 4:19 di mana Tuhan Yesus berbicara tentang kekuatiran dan kecemasan “menghimpit firman, membuatnya tidak berbuah”. Kekuatiran adalah pencuri sukacita kita. Jangan biarkan pencuri mengambil sukacita kita. Percaya kepada Allah akan menjadi benteng pertahanan kita untuk menikmati sukacita.

Galatia 5:22-23 menyatakan bahwa sukacita dalah salah satu sisi (rasa) buah Roh. Kita harus hidup dalam kebergantungan pada kuasa Roh Kudus untuk menikmati sukacita sejati kita. Allah tidak menginginkan kita mengejar harta benda karena Dia tahu kita membutuhkan semuanya itu. Hal yang Tuhan inginkan adalah kita menikmati sukacita-Nya. Matius 6:25-34 menyatakan dengan jelas bahwa Allah tidak ingin kita kuatir atas segala sesuatu dan juga dinyatakan dengan jelas tentang kasih-Nya dan nilai kita bagi Dia.[6]

Hal yang lebih tegas dinyatakan oleh Rasul Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Tesalonika, “Bersukacitalah senantiasa” (1 Tes. 5:16, ITB). Kata bersukacitalah dari kata χαίρετε. Ini adalah perintah. Artinya, bersukacita adalah perintah Tuhan. Ini berarti menuntut ketaatan dalam hidup kita. Jadi, bersukacita adalah ketetapan Allah atas kita. Ketika kita diperhadapkan pada situasi tertentu, bersukacita atau tidak itu adalah keputusan atau ketetapan kita, yaitu keputusan atau ketetapan untuk mentaati perintah Allah atau tidak.

Realisasi praktis dalam dunia kerja adalah kita harus bekerja dengan penuh sukacita. Kita menikmati pekerjaan kita dengan penuh sukacita sehingga menimbulkan antusiasme, semangat, dan pengaruh yang baik. Kita menyadari bahwa kita sedang menabur dan pada suatu saat kita akan menuai.

[1]//iecsingapore.org/resources/sermons/7-sunday-service-sermons/37-kerajaan-allah-dan-kebenarannya.

[2]//remantotumanggoryahoocom-rey.blogspot.com/2012/07/kerajaan-allah.html

[3]//www.sarapanpagi.org/kerajaan-allah-dan-kerajaan-sorga-vt31.html.

[4]//iecsingapore.org/resources/sermons/7-sunday-service-sermons/37-kerajaan-allah-dan-kebenarannya

[5]//www.gotquestions.org/Indonesia/kebenaran-absolut.html

[6]//globalgracenews.org/id/global/grace/seek-first-the-kingdom-of-god-and-his-righteousness/

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA