Ahli silat Betawi yang paling terkenal adalah

Jago Betawi merupakan panggilan bagi guru maen pukulan dalam suku Betawi yang muncul pada akhir abad ke-19 hingga akhir penjajahan Belanda. Jago Betawi dilarang melakukan tindak kejahatan seperti berjudi, merampok, memperkosa, dan minum-minuman keras. Ja'man dari Kampung Sao Besar atau Sawah Besar, Sabeni dari Kampung Tenabang atau Tanah Abang dan Mirah dari Kampung Marunda adalah jagoan-jagoan termahsyur yang pernah ada. Jago terkenal dengan kemampuan berkelahi untuk menjaga warga. Kepemimpinan Jago ini berada di luar jalur kepemimpinan Islam, jadi ada dalam garis tradisional.[1]

Pakaian dan khusus yang dipakai menjadi identitas seseorang dijuluki jago. Pada zaman dahulu para jagoan Betawi biasa memakai celana panjang berwarna kuning atau krem, jas tutup berwarna putih, bersarung ujung serang, peci hitam atau destar, kaki berterompah, dan golok disisipkan di pinggang tertutup jas.[2] Kini mereka bisa memakai celana pangsi dengan warna beragam, baju gunting cina yang warnanya sepadan dengan warna celana. Selain itu, sarung yang diselempangkan di pundak berfungsi untuk salat hingga menghalau serangan musuh, sabuk kulit dengan golok yang disisipkan di luarnya, peci hitam, dan terompah berbahan dasar kulit.

Penelusuran silsilah para Jagoan Betawi baru bisa dilakukan pada akhir abad ke-19 walaupun Aki Tirem pada abad ke-2 Masehi telah mempelopori penelusuran tersebut. Kampung Meester (Jatinegara) adalah tempat lahirnya guru-guru Betawi, sedangkan Kampung Kemayoran adalah tempat di mana jagoan-jagoan Betawi berasal seperti Murtado, ahli pencak silat, yang diteruskan oleh Haji Ung. Kampung Kwitang melahirkan jagoan bernama Bang Puasa pada awal abad ke-19. Pitung, seorang jagoan ternama, berasal dari Rawabelong. Penerus jagoan di Kampung Sao Besar adalah Ja'man, di Condet adalah Haji Entong Gendut. Generasi berikutnya diteruskan oleh dua jagoan dari Tenabang, Jani dan Sabeni.

Penerus dari Kampung Petamburan adalah Mujitaba, Kampung Rawa belong adalah Mat Item. Tahun 1940-an adalah tahun munculnya H. Jaelani.

  1. ^ Yayasan Untuk Indonesia.; Jakarta Raya (Indonesia). Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. (2005). Ensiklopedi Jakarta : culture & heritage = budaya & warisan sejarah. [Jakarta]: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. ISBN 9798682491. OCLC 70850252. 
  2. ^ Yayasan Untuk Indonesia.; Jakarta Raya (Indonesia). Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. (2005). Ensiklopedi Jakarta : culture & heritage = budaya & warisan sejarah. [Jakarta]: Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Dinas Kebudayaan dan Permuseuman. ISBN 9798682491. OCLC 70850252. 

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Jago_Betawi&oldid=16165321"

Salah satu pendekar tersebut adalah Mirah berjuluk Singa Betina dari Marunda

Senin , 15 Jul 2019, 08:07 WIB

Antara/Muhammad Adimaja

Dua pendekar betawi beraksi pada perayaan Hari Ciliwung di bantaran sungai Ciliwung, Jakarta, Rabu (11/11).

Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Alwi Shahab

Dalam cerita-cerita rakyat Betawi kerap kali muncul jago-jago dari kaum perempuan. Mereka dengan gagah membela rakyat tertindas, menentang pemimpin yang zalim, dan menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Salah satu pendekar silat wanita yang cukup dikenal adalah Mirah, yang memperoleh gelar ‘singa betina dari Marunda’ berkat keberanian dan kelihaiannya main giksaw. Mirah, dalam terminologi gender, bukan seorang tokoh emansipasi, tetapi seorang pejuang dalam arti sebenarnya.

   Kampung Marunda, di tepi pantai yang pernah menjadi salah satu markas balatentara Islam Mataram ketika menyerang Batavia (1628-1629), sejak dulu memiliki banyak pejuang yang bergabung dengan Mataram melawan Kompeni. Bahkan, di sini terdapat Masjid Al-Alam, yang menurut cerita dibangun oleh pasukan Fatahillah ketika mengusir Portugis dari Sunda Kalapa.Ketika terjadi revolusi (perang kemerdekaan) melawan NICA (Netherlands Indies Civil Administration) yang datang ke Indonesia setelah proklamasi 17 Agustus 1945 dengan mendompleng Sekutu (Inggris), rakyat Marunda banyak menjadi korban dalam mempertahankan kemerdekaan. Mirah, serta kawan-kawan wanitanya, ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan. Karena keberaniannya inilah yang menyebabkan dia diberi gelar ‘singa betina dari Marunda’.

Memang tidak banyak diketahui cerita tentang Mirah. Dalam buku Beksi Maen Pukulan Khas Betawi, dua seniman Yahya Andi Saputra dan H Irwan Syafi’ie sedikit mengangkat tokoh wanita ini, di samping sejumlah pemain silat lainnya.

Selain Mirah, ada lagi pejuang perempuan Betawi yang juga ahli ‘maen pukulan’. Dia adalah Nyi Mas Melati dari Tangerang. Di kota sebelah barat Jakarta ini, juga pada Revolusi Fisik (1945), dia tidak gentar berada di garis depan melawan pasukan NICA. Seperti juga Mirah, pada saat revolusi sejumlah wanita aktif membantu para pejuang di garis depan sekalipun hanya sebagai pensuplai makanan dan obat-obatan.

Baca Juga

Baca Juga: Sejarawan Sebut 22 Juni 1527 Pembantaian Orang-Orang Betawi

Perkumpulan pencak silat tidak menutup diri pada masalah-masalah sosial. Sejumlah jawara atau jagoan Betawi ikut terlibat dalam berbagai pemberontakan para petani seperti di Condet, Jakarta Timur (1916), Slipi, Tanah Abang dan Cakung (1913), serta Tangerang 1924 dan Tambun (1869). Mereka berontak mencegah pasukan VOC dan tuan tanah jahat yang akan melakukan penyitaan terhadap kediaman para petani karena tidak sanggup membayar blasting (pajak) hasil bumi.

Ini membuat para pendekar silat di Betawi selalu dicurigai penjajah. Tidak seorang pun pendekar (baik jago maupun jagoan) dari generasi terdahulu yang bersedia menyebutkan siapa gurunya. Dahulu latihan ‘maen pukulan’ sifatnya tertutup. Bahkan, ada yang memulai latihan pada tengah malam dan berakhir menjelang siang.Di tempat latihan ‘maen pukulan’ ini sifat kependekaran ditempa. Adat pendekar Betawi adalah menang buah menang papan. Artinya, berantem menang, perkara di pengadilan juga harus menang. Karena itu, kiat untuk memenangkan perkara di pengadilan juga dibahas  di tempat latihan ‘maen pukulan’.   

Sejak 1950-an tempat latihan ‘maen pukulan’ yang tertutup berubah menjadi perguruan silat Betawi yang terbuka. Misalnya, Perguruan Silat Pusaka Sentra Kencana (berdiri 1952), Perguruan Silat Pendidikan Sinar Paseban, Kampung Kramat Sawah III (juga berdiri 1952), dan Perguruan Silat Putera Utama, Kayu Manis (berdiri 1960).

Aliran silat Sabeni (namanya diabadikan menjadi nama jalan di Tanah Abang), yang terkenal dengan jurus kelabang nyebrang dan merak ngigel diasuh oleh keturunan Sabeni sendiri. Ia adalah jagoan dari generasi sebelum perang dunia II. Ia lahir (1865) di Tenabeng, yang kini menjadi nama jalan Sabeni.

Seorang jago adalah seorang yang bijak dan mau membantu orang yang sedang kesusahan, serta menolong orang yang lemah. Seorang yang disebut jago akan segera bertindak untuk mendamaikan orang atau kelompok yang sedang ribut/berkelahi, sekaligus memberi nasihat yang baik. Dia pun tidak mau membuat kesalahan, seperti menyinggung perasaan orang lain, memaki, memukul, apalagi sampai melukai dan membunuh.

Seorang jago mempunyai falsafah, menurut H Irwan Syafi’ie, hidup dan mati seorang manusia tergantung bagaimana amal perbuatannya. Karena falsafah hidup yang Islami itulah, maka hubungan mualim (guru agama) dengan jagoan tidak konfrontatif bahkan ada hubungan fungsional antara keduanya.

Baca Juga: Masih Bertengkar Soal Khilafiah? Belajarlah pada KH Syafi'ie Jagoan membaca doa-doa tertentu untuk peningkatan ‘maen pukulan’-nya. Senjata-senjata jagoan seperti golok, atau pisau raut biasanya diberi wafak pada bilah logam tersebut. Yang mengajarkan wafak adalah mualim.Karena itu, banyak jagoan Betawi yang melaksanakan rukun Islam kelima. Seperti H Entong Gendut (Condet), Haji Ung (Kemayoran-kakek dari almarhum Benyamin S), Haji Darip (Klender), Haji Asenie (Petamburan), Haji Madalih Pitung (Kreo, Ciledug) dan masih banyak lagi.

Bagi jago atau jagoan Betawi istilah "lu jual, gua beli" ternyata bukan hanya sekedar gertak sambel, tetapi sudah menjadi tekad menjaga ketenteraman dan ketertiban ibukota. Seperti saat para jagoan berada dalam organiasi COBRA pimpinan Kapten Imam Syafe’ie.

Ilustrasi Wajah Sosok Pendekar Jampang dari Betawi © Viva.co.id

Bangsa Indonesia yang kaya akan suku dan budaya bangsa menyimpan sebuah kisah legenda di tiap daerah. Termasuk budaya masyarakat Betawi yang memiliki kisah para pendekar, jago silat, dan jawara. Siapa tak kenal Pitung, Jampang, dan Sabeni?. Mereka adalah segelintir legenda yang membawa seni pencak silat mengakar dalam budaya Betawi. Berikut sekelumit kisah mereka.

Si Pitung yang Bisa Menghilang

Bicara tentang pendekar Betawi, benak kita langsung tertuju pada sosok Pitung. Selain jago silat dan sikapnya yang penuh rasa kemanusiaan, konon Si Pitung bisa menghilang saat dikejar musuh. Kisah tersebut ditulis oleh Tanu Trh. dalam ‘Si Pitung, Jagoan yang Bisa Menghilang’ . Ketika itu Si Pitung datang ke rumah kakek Tanu untuk sekedar mengobrol di ruang depan. Tiba-tiba Pitung masuk ke dalam rumah melihat seorang polisi belanda bernama Schout Van Hinne dan memberi tahu penghuni rumah jika dia ada disana. Schout Van Hinne memang mendapat tugas untuk menangkap Pitung.

Setelah melakukan penggeledahan seisi rumah dengan teliti, Pitung tidak ditemukan. Jika melompat pagar itu tidak mungkin, karena rumah tersebut berbatasan dengan Kali Koneng yang banyak buayanya. Tak lama setelah sang Polisi Belanda tersebut pergi, Pitung kembali muncul dari arah dapur. Misteri dimana Pitung bersembunyi saat itu tidak terpecahkan dan banyak yang meyakini jika dia bisa menghilang walaupun tidak ada bukti dirinya punya ilmu tersebut. Hal ini mungkin dikarenakan tubuhnya yang kecil membuatnya bisa leluasa menyelinap.

Pada suatu hari pula dikisahkan bahwa kabar gugurnya Pendekar Betawi merebak di masyarakat. Seperti dikisahkan Tanu Trh, Pitung meninggal oleh peluru emas dari pistol Schout Van Hinne di daerah Koneng. Dia melakukan perlawanan ketika terkepung Van Hein dan anak buahnya. Baku tembak tak dapat dihindari, Pitung ambruk seketika.

Jampang Jawara Betawi

Selain si Pitung, pendekar Betawi yang juga tersohor dalam legenda Indonesia adalah sosok si Jampang. Nama Jampang sebenarnya berasal dari nama daerah asal ibunya di Depok. Ayahnya berasal dari Banten. Dia dikenal sebagai sosok yang gagah dan jago silat. Berbeda dengan kisah Pitung yang melawan Belanda, Jampang tidak melawan Belanda. Kisahnya diceritakan sosoknya sebagai perampok tuan tanah dan orang kaya yang tamak, kemudian harta hasil rampokannya dibagikan kepada rakyat jelata.

Orang tua Jampang meninggal akibat sakit yang dideritanya. Jampang pun dibesarkan oleh sang paman. Hingga suatu ketika, ketika Jampang beranjak dewasa dia diperintahkan berguru silat di sebuah padepokan di Cianjur, Jawa Barat. Disanalah dia mempelajari silat dengan serius kepada teman sang paman tersebut.

Setelah dinobatkan lulus berguru silat, guru Jampang memberi pesan jika ilmunya bukan untuk kejahatan. Dia pun kembali ke rumah pamannya di Grogol, Depok dengan kereta api jurusan Buitenzorg-Batavia.Setiba dirumah, Jampang di minta berguru mendalami agama.

Masa berguru pun selesai, Jampang mencoba untuk merantau ke Betawi. Di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan dia menetap di rumah sahabat pamannya. Disana pula dia membantu pemilik rumah berkebun da berdagang buah di pasar Tanah Abang. Di pasar inilah dia harus menghadapi ‘preman pasar’ yang meminta uang pajak. Jampang dengan segala kemampuannya dituntut untuk memberesi aksi preman ini.

Melihat penindasan oleh tuan tanah dan preman yang semena-mena, timbul keinginan Jampang untuk membantu masyarakat sekitar. Dia memutuskan untuk merampok harta tuan tanah rakus tersebut dan membagi-bagikannya kepada rakyat yang membutuhkan. Bgai korbannya, Jampang sangat dimurkai. Tapi bagi masyarakat disana saat itu, dia begitu disenangi karena selain dapat membantu dia juga bisa berbaur dengan siapa saja.

Sabeni Pendekar Silat Tanah Abang

Jika menyusuri daerah Pasar Tanah Abang, Jakarta kita akan menemukan sebuah jalan bernama Jalan Sabeni. Sabeni bukanlah sekedar nama jalan biasa, penamaannya sarat akan makna dan kisah sejarah dibalik sosok sang pendekar silat ini. Dia terlahir di Kebon Pala, Tanah Abang pada tahun 1860 dari pasangan Channam dan Piyah. Nama Sabeni tersohor setelah mampu menghadapi jagoan Kemayoran. Saat itu Sabeni harus meladeni Macan Kemayoran jika hendak melamar putrinya. Sejak itu masyarakat Betawi di Jakarta mengenalnya sebagai sosok pendekar silat sekaligus jawara baru.

Dikisahkan dalam ‘Indonesia Poenja Tjerita’, di era penjajahan Jepang, putra Sabeni yang bernama Sapi’i diharuskan menjadi anggota Heiho (Tentara Sukarela Jeang untuk melawan sekutu). Sapi’i pun ditempatkan di Surabaya. Namun, karena perlakuan tentara Dai Nippon, dia tidak tagan dan kabur dari surabaya menuju persembunyian di rumah orang tuanya. Pihak Jepang pun kelabakan mencarinya. Dan terpaksa menagan Sabeni sebagai jaminan.

Jepang mengetahui Sabeni adalah jagoan silat dan ingin mengujinya. Sang Komandan Jepang menantangnya untuk diadu dengan anak buahnya yang jago karate. Duel berlangsung di Markas Kempetai, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat. Dengan jurus kelabang nyebrang si jago karate roboh. Komandan Jepang tak terima, dihadapkanlah jago sumo untuk melawan Sabeni. Lagi-lagi, Sabeni berhasil merobohkannya dengan menotok ubun-ubun pesumo tadi.

Sabeni menghembuskan nafas terakhirnya di usia 85 tahun dua hari sebelum Proklamasi, tepatnya 15 Agustus 1945 didampingi murid dan anak-anaknya. Untuk menghormati jasanya, jalan di depan kediamannya di Tanah Abang diberi nama Jalan Sabeni. Makamnya juga dipindahkan dari Gang Kubur ke Karet Bivak, berdekatan dengan makam M.H Thamrin. Hingga kini, aliran silat Sabeni dilestarikan oleh anak-anaknya di daerah Tanah Abang. Hal tersebut adalah wasiat Sabeni untuk generasi penerus agar Silat Sabeni tidak hilang tergerus perkembangan zaman dan tetap lestari.

Sumber :

  • @Sejarah RI. 2016. Indonesia Poenja Tjerita. Yogyakarta : Bentang Pustaka
  • Tim Penyusun. 2001. Intisari : Ketoprak Betawi. Jakarta : PT. Gramedia

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA