Yang tidak termasuk dalam tafsir bil RAYI adalah

A.    Pengertian Tafsir bir-Ra’yi

Tafsir bir-ra’yi berasal dari kata tafsir, bi dan al-ra’yi. Secara semantik al-ra’yi berarti keyakinan, pengaturan dan akal. Al-ra’yu juga identik dengan ijtihad. Berdasarkan pengertian semantik tersebut, para pakar ilmu tafsir menyatakan bahwa yang dimaksud dengan tafsir bir-ra’yi adalah menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan ijtihad yang dilakukan oleh akal.

Sedangkan menurut istilah, tafsir bir-ra’yi adalah menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan cara ijtihad, yakni penjelasan mengenai al-Qur’an dengan didasarkan pada kaidah-kaidah ijtihad yang murni, ketentuan-ketentuan ilmu al-Qur’an dan kaidah-kaidah bahasa Arab. Para ulama menamainya dengan tafsir bir-ra’yi (tafsir dengan akal), karena penafsiran secara ra’yi bertolak ukur pada akal, pendapat atau ijtihad sang mufassir, tidak didasarkan pada apa yang dinukilkan dari para sahabat secara mutlak.

Lebih lanjut, ulama-ulama al-Qur’an memperkenalkan dua macam tafsir bir-ra’yi, yakni tafsir bir-ra’yi al-mahmud, yakni tafsir berdasar nalar yang terpuji, dan tafsir bir-ra’yi al-mazmum, yakni tafsir berdasrkan nalar yang tercela. Yakni mereka yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an untuk mendukung pendapat atau madzhab yang dianutnya, sehingga mereka menjadikan al-Qur’an mengikuti pendapatnya, bukannya menjadikan al-Qur’an sebagai dasar dan pendapatnya mengikuti tuntunan al-Qur’an. Mereka mencari pembenaran bukannya mencari kebenaran. Mereka itulah yang diancam oleh riwayat yang menyatakan:

من فسر القران برأيه فليتبوأ مقعده من النار

“Siapa yang menafsirkan al-Qur’an berdasarkan pandangan nalarnya, yakni terlepas dari kaidah-kaidah tafsir, maka hendaklah ia menduduki/mengambil tempatnya di neraka.”

Adapun langkah-langkah yang layak ditempuh dalam penafsiran secara ra’yu menurut al-Zarqani, pada garis besarnya ada empat:

1.      Mengutip hadis nabi dengan memperhatikan yang dha’if dan maudhu’.

2.      Mengambil pendapat sahabat.

3.      Berpegang pada kemutlakan bahasa Arab. Dengan membuang alternatif yang tidak tepat dalam bahasa Arab.

4.      Pengambilan berdasrkan tuntunan kalam yang sesuai dengan ketentuan syara’.

B.     Sejarah Tafsir bir-Ra’yi

Pada awalnya para ulama enggan menafsirkan al-Qur’an dengan ra’yu, apalagi ada atsar yang mengatakan: “Barang siapa yang menafsirkan al-Qur’an menurut ra’yu, dan ia benar, maka ia telah salah.” Maka oleh sebab itu, mereka menolak segala penafsiran al-Qur’an yang didasarkan pada ra’yu semata, kecuali yang memiliki dasar atau memenuhi persyaratan menurut standar mereka.

Namun di sisi lain, Islam telah berkembang dan meluas ke berbagai daerah, sehingga terjadi terjadi pula perkembangan pengetahuan keislaman dengan berbagai macam dan ragamnya. Demikian pula para ulama semakin mendalami ilmu-ilmu yang ditekuninya yang ditandai dengan munculnya berbagai hasil karya ilmiah mereka, termasuk tafsir al-Qur’an dengan berbagai macam corak dan orentasi sesuai dengan latar belakang keilmuan mereka.

Selain itu, sekian banyak problem baru yang bermunculan dari saat ke saat yang memerlukan jawaban dan bimbingan, sedangkan hal tersebut tidak ditemukan penjelasannya dari al-Qur’an dan Sunnah. Dari sini lahirlah upaya memahami/menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dan sejak itu lahirlah tafsir bir-ra’yi. Walaupun sebenarnya tidaklah keliru dari segi substansi jika dikatakan bahwa penafsiran Nabi saw. dan sahabat-sahabat beliau pun adalah tafsir bir-ra’yi, karena mereka juga menggunakan nalar mereka dalam upaya memahami al-Qur’an. Imam Syafi’i berkata seperti yang ditulis as-Suyuti dalam al-Itqan, bahwa: “Semua ketetapan hukum Nabi saw. adalah hasil pemahaman beliau dari al-Qur’an berdasarkan firman Allah:

إِنَّآ أَنزَلْنَآ إِلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ بِٱلْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ ٱلنَّاسِ بِمَآ أَرَىٰكَ ٱللَّهُ

 “Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (Al-Qur'an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu” (QS. An-Nisa [4]: 105).

Kalau Rasul saw. saja demikian maka lebih-lebih lagi sahabat beliau. Salah satu bukti bahwa para sahabat Nabi menggunakan nalar dalam penafsiran adalah perbedaan hasil penafsiran mereka. Hanya saja kita tidak menamainya tafsir bir-ra’yi dari segi istilah disiplin ilmu.

Al-Qur’an diturunkan untuk seluruh manusia, kapan dan di mana pun. Bahkan al-Qur’an memerintahkan agar kita mengambil pelajaran dari al-Qur’an dan mengancam apabila kita mengabaikannya:

أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلْقُرْءَانَ أَمْ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقْفَالُهَآ ﴿٢٤

“maka apakah mereka lengah dan tidak menggunakan potensi mereka sehingga tidak memperhatikan al-Qur’an? Bahkan pada hati mereka terpasang kunci-kuncinya”(QS. Muhammad [47]: 24)

Berapa banyak kata dalam al-Qur’an yang menekankan perlunya berpikir, merenung, mengingat, mengambil pelajaran dari pengalaman masa lalu dan sebagainya. Tenntu saja berpikir tidak bisa lepas dari kondisi dan situasi yang dialami, disamping juga dapat dilepaskan dari perkembangan ilmu, bawaan, dan kecenderungan si pemikir, karena itulah maka hasil pemikiran masyarakat, atau bahkan pemikir masa kini, sedikit banyak dapat berbeda dengan hasil pemikir masyarakat lalu atau orang lain.

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika muncul para mufassir yang menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan menonjolkan pembahasannya berdasarkan ilmu-ilmu lain yang mereka kuasai. Misalnya, az-Zamakhsyari dalam segi ilmu balaghah, al-Qurtubi dalam perincian hukum syara’, serta ar-Razi dalam berbagai pemahaman ilmu kalam dan filsafat. Dengan demikian, munculah berbagai kitab tafsir, di mana peran ijtihad dan ra’yu para mufassirnya tampak sangat jelas.

C.    Sikap Nabi Terhadap Tafsir bir-Ra'yi

Sikap Nabi Muhammad SAW terhadap Tafsir bir-ra’yi dapat kita lihat dari beberapa riwayat yang mengatakan bahwasanya:

مَنْ فَسَرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيُهِ فَلْيَتَبَوَّأَ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“Siapa yang menafsirkan al-Qur’an berdasar pandangan nalarnya, yakni terlepas dari kaidah-kaidah Tafsir, maka hendaklah dia menduduki/mengambul tempatnya di neraka.”[8]

Kemudian ada pun do’a Nabi Muhammad SAW yang dipanjatkan kepada Ibnu Abbas, dan ini juga salah satu sikap Rasul yang membolehkan Tafsir bi al-Ra’yi. Ada pun bunyinya sebagai berikut:

اَللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّيْنِ وَ عَلَمَهُ التَأْوِيْلِ

“ Ya Allah berilah pemahaman pada Ibnu Abbas dalam masalah Agama dan ajarkanlah Ibnu Abbas dalam menafsurkan al-Qur’an.”[9]

Bahkan ath-Thabari dalam Tafsirnya meriwatatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda :

مَنْ فَسَرَ الْقُرْآنَ بِرَأْيِهِ فَاصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ

"Siapa yang menafsirkan al-Qur’an dengan nalarnya (yakni tanpa memperhatikan syarat-syarat yang dibutuhkan) dan penafsirannya benar, maka dia tetap dinilai salah.”[10]

Dari riwayat di atas itu bermaksud untuk menekankan perlunya menempuh cara yang benar dalam menafsirkan al-Qur’an. Ini serupa dengan sikap guru pengajarkan matematika ketika memeriksa jawaban siswanya. Bisa jadi hasil yang diperoleh sang siswa benar, tetapi jika cara yang mengantarnya ke jawaban itu keliru, maka tetap saja sang siswa di nilai keliru.

Bisa jadi ada penafsiran yang sudah sesuai dengan pengertian kebahasaan dan kaidah-kaidah kebahasaan, namun ia tetap tertolak kalau makna yang ditarik dari ayat bertentangan dengan hakikat keagamaan.

Secara umum penafsiran yang terlarang tercemin dalam penafsiran seseorang untuk mendukung prakonsepsinya yang tidak memiliki dasar agama dan logika yang kukuh, tetapi sekedar apa yang terlintas dalam benaknya atau ide keliru yang telah meresap dalam dirinya.

D.    Pendapat Ulama seputar Tafsir bir-Ra’yi

Ada beberapa pendapat Ulama tengtang seputar tafsir bir-ra’yi. Sebagian ulama mufassir menyatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan sendiri ayat Al-Qur’an, meski ia dikatakan ‘alim (ulama), mengenai bahasa dan sastra Arab (adid), banyak menguasai dalil-dalil agama, mengerti ilmu nahwu,hadis Nabi dan mengetahui atsar para sahabat Nabi. Yang diperbolehkan hanyalah menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan apa yang diriwayatkan dari Nabi saw melalui sahabat dan tabi’in.

            Sementara itu sebagian ulama yang lain berpandangan sebaliknya. Mereka berpandangan bahwa bagi mereka yang memiliki pengetahuan luas, hendaknya menafsirkan al-Qur’an dengan akal dan ijtihadnya. Berikut ialah alasan ulama penolakan tafsir bi al-Ra’yi:

1)      Tafsir birl-Ra’yi adalah menafsirkan atau berbicara mengenai firman Allah SWT tanpa ilmu. Tentu saja ini tidak diperbolehkan. Menurut para penolak tafsir bir-Ra’yi, orang yang menafsirkan al-Qur’an dengan tafsir bir-Ra’yi tidak yakin bahwa apa yang mereka kemukakan sama dengan yang dikehendaki Allah SWT. Artinya mufassir bir-Ra’yi, hanya berdasarkan pada perkiraan (dzhan) saja. Menafsirkan atas dasar dzhan adalah menafsirkan ayat Allah SWT dengan tanpa ilmu. Ini dilarang sebagaimana Firman Allah SWT:

وَّاَنْ تَقُوْلُوْا عَلَى اللّهِ مَالاَتَعْلَمُوْنَ

“.........Kalian mengatakan kepada Allah apa yang kalian tidak ketahui.” (QS.Al-A’Raf:33)

Kemudian argumen di atas dibantah dengan ulama yang mendukung tafsir bir-Ra’yi , yakni menurut mereka, bagaimana pun dzhan juga bisa dibenarkan sebagai ilmu, jika memang memakai potensi kebenaran yang dominan. Menurut mereka, dzhan bisa jadi sumber kebenaran, terutama bila memang tidak ada yang qath’iy. Ini sesuai dengan firman Allah SWT berikut:

لا َيُكَلِّفُ الّلهُ نَفْسًا اِلاَّوُسْعَهَا

"Allah tidak membebankan hukum kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya,” (QS.Al-Baqarah: 286)

2)      Ulama menolak tafsir bir-Ra’yi  karena berkeyakinan bahwa yang berhak menjelaskan al-Qur’an hanya Nabi Muhammad SAW. Baik melalui perbuatan, perkataan atau penetapan dan sikap serta beliau. Argumen ini berlandaskan pada firman Allah SWT:

وَاَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتَبَيِّنَ لِلنّاَسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ........

“Keterangan-keterangan (mu’jizat) dan kitab-kitab. Dan kami turunkan kepadamu al-Qur’an, agar kamu menerangkan pada manusia apa yang Telah diturunkan  kepada mereka........”(QS. An-Nahl:44)

Dan pendapat itu pun dibantah para ulama pendukung tafsir bir-Ra’yi, menurut mereka, ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, maka penjelasan Al-Qur’an memang menjadi otoritas beliau. Tetapi sepeninggal Nabi SAW, sementara masalah-masalah baru bermunculan, maka penjelasan mengenai masalah-masalah tersebut, khususnya terkait tafsir Al-Qur’an, adalah penafsiran yang dilakukan oleh (Mufasir) dengan menggunakan akal dan ijtihadnya. Ini sesuai dengan firman Allah SWT:

وَلَعَلَّهُمْ يَـتَفَكَّرُوْنَ

"........ dan supaya mereka memikirkan”(QS.An-Nahl:44)

3)      Kelompok ulama  yang menolak tafsir bir-ra’yi berdasarkan argumennya pada hadis yang menharamkan penafsiran Al-Qur’an dengan akal (ra’yu). Berkut hadis yang dimaksud :

رواه الترمذى))مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَبَوَّأُ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ

“barang siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan logikanya, maka disediakan tempatnya di api neraka.” (HR. Al-turmudzi).

Hadis ini didukung oleh hadis yang diriwayatkan oleh, jundab berikut ini :

مَنْ قالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَاصَابَ فَقَدْ اَخْطَأَ (رواه جندب)

“siapa yang menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapatnya, lalu benar pendapatnya, maka dia melakukan kekeliruan.”(H.R Jundab)

Dan pendapat itu pun di bantah kembali oleh ulama tafsir bir-ra’yi bahwasanya penolakan tafsir bir-ra’yi dengan menggunakan dua hadis diatas. Menurut mereka,  larangan itu di maksudkan bagi orang yang menafsirkan Al-Qur’an dengan kecenderungan dan hawa nafsunya saja tanpa dalil.

4)      Kemudian ulamayang menolak tafsir bir-ra’yi juga mendasarkan argumennya pada fakta bahwa para sahabat dan tabi’in sangat menghormati tafsir Al-Qur’an dan menghindari penggunaan akal.

5)      Pendapat itu pun di sanggah kembali oleh ulama pendukung tafsir bir-ra’yi menyatakan bahwa keengganan para sahabat dan tabi’in dalam menafsirkan Al-Qur’an atas dasar ijtihad (ra’yu), itu selain karena sikap hati-hati mereka juga karena mereka belum tahu kebenaran dengan pertimbangan ijtihad (ra’yu) yang dikemukakan.

 Berikut ini kemukakan juga argumen-argumen yang mendasari kelompok ulama pendukung tafsir bir-ra’yi.

  1. Para ulama yang membolehkan tafsir bir-ra’yi berargumen bahwa

Allah SWT sendiri, banyak ayat di dalam Al-Qur’an menganjurkan penggunaan akal, pemikiran, perenungan dan penelitian. Sebagaimana dalam Al-Qur’an menjelaskan sebagai berikut :

“maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an.” (QS.An-Nisa : 82)

“ini adalah sebuah kitab yang kami turunkan kepadamupenuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya.” (QS.al-Shadd:229)

“dan apa bila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan, merka lalu menyiarkan.dan kalau mereka menyerahkannya kepada rasul dan ulil Amri,tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarananya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulul amri).” (QS. An- Nisa:83)

Dua ayat yang pertama di atas menunjukan bahwa Allah SWT mnganjurkan paa hambanya untuk berfikir, merenung dan menggunakan akal, juga agar melakukan penelitian terhadap Al-Qur’an. Sementara ayat ke tiga menunjukan bahwa Al-Qur’an dapat digali isi kandungannya melalui itihad yang berakal,berilmu dan mumpuni.

  1.  Para ulama pendukung tafsir bi al-ra’yi mengatakan : “seandainya tafsir bi al-ra’yi tidak diperbolehkan, lalu mengapa ijtihad dibolehkan ? seorang mujtahid dalam hkum syara’ di beri pahala dua jika benar dan diberi satu pahala jika salah. Jadi jelas penolakan tafsir bi al- ra’yi tidak benar.”
  2. Para ulama pendukung tafsir bir-ra’yi berargumen bahwa para sahabat Nabi dalam menafsirkan Al-Qur’an ada sedikit perbedaan. Karena mereka belum mendapatkan penjelasan seluruh makna Al-Qur’an dari Nabi SAW, mereka baru mendapatkan penjelasan dari Nabi SAW sebagian Al-Qur’an, maka mereka menggunakan akal dan ijtihadnya.
  3. Para ulama pendukung tafsir bir-ra’yi menguatkan pandangannya dengan mengemumakan fakta bahwa Nabi Muhammad SAW berdo’a untuk Ibnu Abbas, yang berbunyi :

“Ya Allah berilah pemahaman pada Ibnu Abbas dalam masalah agama, dan ajarkanlah Ibnu Abbas dalam menafsirkan Al-Qur’an.

Menurut mereka seandainya penafsiran Al-Qur’an terbatas pada apa yang di dengar dan di jelaskan dari Nabi SAW, tentu disini tidak ada artinya do’a Nabi SAW yang di khususkan kepada Ibnu Abbas tersebut.

E.     Kelebihan dan Kekurangan Tafsir bir-Ra'yi

A.    Kelebihan Tafsir Bi Al-Ra'yi

1.      Mufassir bisa memberikan cakrawala yang luas dalam menafsirkan Al-Qur'an sesuai dengan kondisi dan situasi.

2.      Kemungkinan mufassir dapat menafsirkan seluruh ayat Al-Qur'an secara dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3.      Menjadikan tafsir Al-Qur'an dapat berkembang dalam menjawab segala permasalahan yang timbul seiring dengan kehidupan umat islam sepanjang masa.

4.      Mendorong umat islam untuk senantiasa berfikir dan bertadabbur atas kebesaran ayat-ayat Al-Qur'an dan tidak lekas menerima apa adanya (taqlid) terhadap tafsir-tafsir ulama salaf.

B.     Kekurangan tafsir Bi Al-Ra'yi

1.      Mufassir menjustifikasikan pendapatnya dengan Al-Qur'an padahal Al-Qur'an tidak demikian.

2.      Mufassir akan menafsirkan Al-Qur'an dengan penafsiran yang salah, karena kedangkalan ilmu pengetahuan mufassir atau tidak memenuhi persyaratan sebagai mufassir.

F.     Kitab-Kitab Tafsir Bi Ra'yi

Para ulama berpendapat bahwa penafsiran denga logika (bi al-ra'yi) ada dua macam yaitu al-mahmud (terpuji) dan al-madzmum  (tercela). Tafisr bi ra'yi yang dianggap terpuji yaitu tafsir yang ditulis oleh seorang mufassir yang memenuhi syarat, jauh dari kebodohan dan kesesatan, sejalan dengan kaidah-kaidah bahasa arab, berpegang pada uslub (susunan) bahasa arab dalam memahami nash Al-Qur'an. Sedangkan tafsir bi ra'yi yang dianggap tercela yaitu bila menafsirkan Al-Qur'an menurut selera penafsir itu sendiri, todak mengetahui kaidah-kaidah bahasa dan hukum, atau membawa firman Allah kepada mazhabnya dan membawa kepada bid'ah dhalalah, atau mendalami firman Allah SWT dengan ilmunya tapi tidak mengetahui kaidah bahasa arab.

            Adapun kitab-kitab tafsir yang dianggap al-mahmud  (terpuji) antara lain adalah:

1.      Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhrurrazi

2.      Tafsir Anwa'u al-Tanzil wa Asrar a;-Tanwil karya al- Baidhowi

3.      Tafsir Madarik al-Tanzil wa Haqaiq al-Tanwil karya al- Nasafi

4.      Tafsir Lubab al-Tanwil fi Ma'ani al-Tanzil karya al-Khazim

5.      Tafsir al-Bahru al-Muhith karya Abu Hayyan

6.      Tafsir Gharaibu al-Qur'an wa Raghaibu al-Furqan karya al-Naisaburi

7.      Tafsir al-Jalalain karya al-Jalal al-Mahalli an al-Jalal al-Suyuthi

8.      Tafsir al-Siraj al-Munir Fi al-I'anah 'Ala Ma'rifati Ba'dhi Ma'ani Kalam Rabbina al-Hakim al-Khabir karya al-Khatib al-Syarbaini

9.      Tafsir Irsyad al-Aqli al-Salim Ila Mazaya al-Kitab al-Karim karya Abu Sa'ud

10.  Ruh Ma'ani Fi Tafsir al-Qur'an al-Adzhim wa al-Sab'u al- Matsani karya al-Alusi.

Adapun kitab-kitab tafsir yang dianggap al-Madzmum (tercela) antara lain adalah:

1.      Tafsir al-Kasysyaf karya Zamakhsyari

2.      Tafsir Tanzih al-Qur'an 'An al-Matha'in karya al-Qadhi Abdul Jabbar

Tafsir Amali al-Syarif al-Murtadho aw Ghurar al-Fawaid wa Durar al-Qalaid karya Abu Qasim

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA