Yang merupakan wilayah pertemuan ketiga lempeng tersebut adalah kepulauan

Laut Banda.(Foto: GNFI)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat gempa serta ancaman tsunami yang cukup tinggi. Hal itu disebabkan oleh letak Indonesia yang menempati wilayah pertemuan lempeng serta cincin api pasifik. Salah satu daerah yang diprediksi rawan adalah sekitar perairan Banda.

Hal tersebut disebabkan Indonesia bagian timur terutama wilayah busur Banda merupakan pertemuan antara tiga lempeng besar dunia; yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Indo-Australia. Di Indonesia tercatat telah terjadi 31 kali gempa bumi merusak dan 15 kali tsunami sejak tahun 1991-2010 .

Salah satu penjelasan mengenai kondisi lempeng di daerah laut Banda dipaparkan Dinda Ayu A P, mahasiswa S3 Geografi UGM dalam desertasinya pada 2017.

Ia menyebutkan bahwa Pergerakan lempeng Indo-Australia mendesak lempeng Eurasia di sebelah selatan Bali, Lombok, Flores, Palung Timor sampai dengan Kepulauan Kei, dan memutar ke atas berlawanan arah jarum jam hingga ke Pulau Seram dan Pulau Buru.

Busur Banda di bagian barat atau yang berada di selatan Bali, Lombok, hingga ke Flores merupakan kelanjutan dari zona subduksi lempeng Indo-Australia yang menghujam di bawah lempeng Eurasia di Selatan Pulau Jawa.

Penunjaman lempeng Indo-Australia letaknya jauh berada di dasar samudera, sehingga tekanan kerak bumi lebih kecil pada sektor sistem busur Sunda di Nusa Tenggara karena letaknya lebih rendah dibandingkan dengan sektor Jawa dan Sumatra.

Blok Laut Banda dan Blok Nusa Tenggara memiliki bahaya atau ancaman yang tinggi terhadap gempabumi dan tsunami karena kompleksnya kondisi tektonik. Tiga lempeng besar dan satu lempeng kecil yang menghimpit blok laut Banda dan blok Nusa Tenggara memberikan banyak dampak pada tiap pergerakannya, baik subduksi megathrust, back-arc, maupun tumbukan antar lempeng tersebut.

Page 2

Dalam penelitiannya yang berjudul Analisis Bahaya Gempabumi Berpotensi Tsunami di Kawasan Laut Banda, Ia melakukan penelitian mendalam terhadap kemungkinan terjadinya gempabumi dengan kekuatan yang merusak di laut Banda.

Hasilnya, Dinda menemukan bahwa kondisi celah kegempaan di kawasan Laut Banda yang telah diidentifikasi antara lain memiliki aktifitas seismik rendah, kondisi tektonik yang relatif homogen solid, periode ulang gempabumi yang panjang, dan menyimpan energi potensial yang besar.

Berdasarkan kriteria tersebut, terdapat empat dugaan celah kegempaan di kawasan Laut Banda. Celah kegempaan di sekitar patahan naik busur belakang Flores adalah celah kegempaan yang menyimpan energi potensial terbesar dibandingkan dengan ketiga celah kegempaan lainnya.

Selanjutnya, tingginya potensi gempa juga menjadikan potensi tsunami menjadi tinggi. Potensi bahaya tsunami di kawasan Laut Banda terindikasi paling tinggi berada di sebelah utara Kabupaten Sikka (Alok Barat, Kota Maumere, dan Kewapante), terutama di pesisir utara Kota Maumere.

Hal ini didasarkan pada kondisi topografi pesisir Kota Maumere yang dominan dataran rendah dengan ketinggian gelombang tsunami yang mencapai lebih dari tiga meter.

“Tindakan yang bisa diantisipasi adalah dengan membangun fasilitas tanggap bencana, seperti tempat pengungsian serta jalur evakuasi. Selain itu diperlukannya membangun penahan ombak, baik yang beton maupun menggunakan vegetasi seperti bakau,” tulis Dinda.(Thovan)

Indonesia terletak antara tiga pertemuan lempeng besar, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, dan Lempeng Pasifik. Pulau Bali dan sekitarnya merupakan bagian dari seismotektonik Indonesia. Daerah ini dilalui jalur pegunungan Mediteranian dan adanya zona subduksi akibat pertemuan antara Lempeng Eurasia dan Lempeng Indo-Australia. Batas pertemuan ini berupa palung lautan (Oceanic Trench) disebelah selatan gugusan pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

Pergerakan Lempeng Indo-Australia kearah Lempeng Eurasia pertama kali di estimasi melelui penelitian Global Positioning System (GPS) pada tahun 1989 yang mehasilkan bahwa gerakan relative pulau Chrismast yang berada di lempeng Indo-Australia terhadap Jawa Barat yang berada di lempeng Eurasia sebesar 67±7 mm/tahun dengan arah N11°E±4° (Tregoning et al, 1994), hasil ini mendekati hasil yang dihitung secara teoritis dengan menggunakan model NUVEL-1 yaitu sebesar 71 mm/tahun dengan arah lebih ke utara dari N20°E±3° (DeMets et al, 1990). Maka dengan kondisi yang demikian akan mengakibatkan Pulau Bali sebagai salah satu daerah yang mempunyai tingkat kegempaan yang cukup tinggi berkaitan dengan subduksi lempeng dibawah Paparan sunda dan aktifitas tepi benua Australia serta kelanjutan garis Busur Sunda kearah timur yang bertemu dengan Busur Banda. Dampak dari pergerakan lempeng-lempeng ini adalah adanya tipe-tipe tektonik yang merupakan ciri dari sistem sunduksi, yaitu palung laut, zona Benioff, cekungan busur luar, foreland basin, dan jalur pegunungan. Dibawah Pulau Bali terdapat zona gempa bumi berupa slab dengan kedalaman 100 Km dan kemiringannya mencapai 65° dengan jangkauan sampai kedalaman 650 Km dibawah bagian utara Pulau Bali.
Pada Jalur Benioff dijumpai batuan-batuan beku dengan susunan alkalin beserta hasil kegiatan vulkanik (gunung api). Adanya puncak (slope kontinen yang naik) dari Palung Jawa-Bali dan dibentuk oleh imbrikasi sedimen dan mélange dengan sesar naik sebagai cirri-ciri structural utama pada daerah punggung busur luar (outer arc ridge). Cekungan busu luar (outer arc basin) memanjang diantara punggung busur luar dan busur vulkanik.

Gempa bumi yang terjadi beberapa hari ini merupakan salah satu akibat dari pergeseran lempeng tektonik ini. Informasi tentang gempa bumi selama satu bulan terakhir dapat dilihat pada situs berikut : //www.bmkg.go.id/gempabumi/gempabumi-terkini.bmkg. (sumber:BMKG Indonesia)

Tidak ada jawaban benar pada soal ini. 

Berikut adalah penjelasannya. 

Wilayah persebaran gunung meletus meliputi wilayah-wilayah yang dilalui oleh Sirkum Mediterania dan Sirkum Pasifik, yaitu wilayah Pantai Barat Sumatra, Pantai Selatan Jawa (Pulau Jawa), Kepulauan Nusa Tenggara (Pulau Flores, Pulau Sumba), Kepulauan Maluku (Pulau Ternate, Pulau Halmahera), Sulawesi, dan Papua. 

Dengan demikian, semua pilihan jawaban menunjukkan daerah yang rentan bencana gunung api. 

Oleh karena itu, tidak ada jawaban yang tepat pada soal ini. 

Gempa bumi  dengan kekuatan magnitudo 7,4 yang disusul dengan tsunami mengguncang Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, Jumat (28/9) petang. Ahli Geologi UGM, Prof. Dr. Ir. Subagyo Pramumijoyo, DEA, mengatakan Kota Palu dan Donggala merupakan titik pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Pasifik, dan lempeng Eurasia.

“Palu dan Donggala  berada di zona benturan tiga lempeng besar dunia sehingga menjadi daerah yang rawan terjadi gempa,” jelasnya saat ditemui di Departemen Geologi Fakultas Teknik UGM, Selasa (2/10).

Pergerakan lempeng-lempeng itu, kata dia, mendorong pergerakan sesar geser Palu Koro yang mengakibatkan gempa pekan lalu. Sesar ini tergolong aktif karena pergerakannya mencapai 45 milimeter per tahun.

“Gempa di Sulawesi ini mekanismenya sesar geser yang tidak menimbulkan perubahan volume air laut atau dengan kata lain tidak memicu tsunami,” katanya.

Subagyo menuturkan terjadinya tsunami di Palu dimungkinkan karena adanya longsoran sedimen di bawah laut yang cukup besar dan muncul akibat pergeseran lempeng. Selain itu, juga lokasi Palu yang berada di ujung teluk yang sempit. Bentuk teluk yang menyempit ke daratan menjadikan gelombang tsunami mengarah ke Kota Palu.

“Dengan bentuk teluk yang menyempit, energi gelombang tsunami akan semakin kuat ke arah yang semakin dangkal,” terangnya.

Gempa bumi yang mengguncang Palu dan Donggala tidak hanya mengakibatkan bencana susulan berupa tsunami, tetapi juga memunculkan fenomena tanah bergerak atau likuifaksi. Likuifaksi diketahui terjadi di daerah Sigi Sulawesi Tengah.

Likuifaksi, disebutkan Subagyo, banyak terjadi pada tanah berpasir. Saat terjadi gempa tanah yang berpasir tercampur dengan air tanah di bawahnya. Melarut dengan air tanah dan menerobos rekahan tanah di permukaan.

Dari penelitian yang dilakukan sejak tahun 2005 silam, Subagyo menyebutkan bahwa di daerah sepanjang Teluk Palu merupakan wilayah yang memiliki tanah dengan kontur yang mudah terjadi likuifaksi. Ketebalan sedimen tersebut mencapai 170 meter sehingga menjadi daerah yang sebenarnya tidak aman untuk dijadikan tempat tinggal karena berpotensi terjadi likuifaksi saat terjadi gempa.

Belajar dari Gempa Palu

Kepala Pusat Studi Bencana (PSBA) UGM, Dr. Djati Mardiatno, menilai kesiapsiagaan masyarakat dan pemerintah Sulawesi Tengah  dalam menghadapi bencana gempa dan tsunami masih kurang. Hal ini terlihat dari banyaknya korban jiwa maupun besarnya kerusakan infrastruktur akibat gempa.

Djati menyampaikan daerah Palu dan Donggala sebenarnya telah diidentifikasi sebagai daerah rawan bencana gempa bumi dan tsunami. Bahkan, telah dimasukkan dalam zona merah rawan gempa.

 “Mestinya kalau melihat potensi dan ancaman bencana di Palu semestinya masyarakat dan pemerintah sudah siap. Namun, jika dilihat dampak gempa banyak fasilitas umum yang roboh sehingga ini menjadi pertanyaan akan keseriusan pemerintah dalam mengurangi risiko ancaman gempa bumi,” paparnya di PSBA UGM.

Pengalaman gempa yang melanda Aceh, Padang, Yogyakarta, Tasikmalaya, dan wilayah lain di Indonesia seharusnya menjadi pembelajaran bagi semua kalangan dalam menghadapi bencana. Namun, melihat peristiwa bencana gempa di Palu beberapa hari lalu menuntut semua pihak untuk belajar kembali dalam membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana,

“Bagaimana membangun budaya sadar bencana di semua kalangan,” jelasnya.

Upaya mitigasi bencana perlu diperkuat baik mitigasi struktural maupun non struktural. Mitigasi struktural dengan penguatan bangunan publik yang tahan gempa, tsunami, maupun likuifaksi, sedangkan mitigasi non struktural melalui peningkatan kapasitas masyarakat dan pemerintah dalam  menghadapi bencana.

“Mitigasi struktural tidak akan bernilai lebih kalau masyarakat tidak peduli. Yang memegang peran utama adalah kapasitas masyarakat sementara mitigasi struktural itu pendukungnya,” ujarnya.

Djati juga menyebutkan kedepan dalam penataan ruang harus memperhatikan potensi dan ancaman bencana guna meminimalkan risiko akibat bencana.  Konsep tata ruang dan wilayah seharusnya mengindahkan risiko bencana alam dengan tidak mengizinkan pendirian permukiman di daerah rawan bencana.

“Daerah yang terdampak bencana harus dikosongkan, atau tetap dihuni tapi dengan menerapkan upaya mitigasi seperti dengan membangun fasilitas umum atau permukiman yang tahan gempa maupun likuifaksi,”pungkasnya. (Humas UGM/Ika)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA