Yang disebut dengan berlebihan dalam penggunaan antibiotik

PENDAHULUAN

Antibiotika, yang pertama kali ditemukan oleh Paul Ehlrich pada 1910, sampai saat ini masih menjadi obat andalan dalam penanganan kasus-kasus penyakit infeksi. Pemakaiannya selama 5 dekade terakhir mengalami peningkatan yang luar biasa, hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga menjadi masalah di negara maju seperti Amerika Serikat.

The Center for Disease Control and Prevention in USA menyebutkan terdapat 50 juta peresepan antibiotik yang tidak diperlukan (unnescecery prescribing) dari 150 juta peresepan setiap tahun (Akalin,2002). Menurut Menteri Kesehatan sekitar 92 persen masyarakat di Indonesia tidak menggunakan antibiotika secara tepat.

Ketika digunakan secara tepat, antibiotik memberikan manfaat yang tidak perlu diragukan lagi. Namun bila dipakai atau diresepkan secara tidak tepat (irrational prescribing) dapat menimbulkan kerugian yang luas dari segi kesehatan, ekonomi bahkan untuk generasi mendatang.

Munculnya kuman-kuman patogen yang kebal terhadap satu(antimicrobacterial resistance) atau beberapa jenis antibiotika tertentu (multiple drug resistance) sangat menyulitkan proses pengobatan. Pemakaian antibiotika lini pertama yang sudah tidak bermanfaat harus diganti dengan obat-obatan lini kedua atau bahkan lini ketiga. Hal ini jelas akan merugikan pasien, karena antibiotika lini kedua maupun lini ketiga masih sangat mahal harganya. Sayangnya, tidak tertutup kemungkinan juga terjadi kekebalan kuman terhadap antibiotika lini kedua dan ketiga.

Disisi lain, banyak penyakit infeksi yang merebak karena pengaruh komunitas, baik berupa epidemi yang berdiri sendiri di masyarakat (independent epidemic) maupun sebagai sumber utama penularan di rumah sakit (nosocomial infection). Apabila resistensi terhadap pengobatan terus berlanjut tersebar luas, dunia yang sangat maju dan canggih ini akan kembali ke masa-masa kegelapan kedokteran seperti sebelum ditemukannya antibiotik (APUA, 2011).

PENGERTIAN ANTIBIOTIK

Antibiotik merupakan segolongan senyawa baik alami maupun sintetik yang mempunyai efek menekan atau menghentikan suatu proses biokimia di dalam organisme khususnya dalam proses infeksi oleh bakteri. Antibiotik memiliki pengertian dari kata “Anti” yang berarti “melawan” dan “biotikos”yang berarti “hidup”.

Istilah antibiotik pertama kali dipakai oleh Waksman (1924) yang mengandung pengertian suatu zat yang bersifat menghambat atau menghancurkan, atau membunuh kehidupan organisme. Antibiotik dihasilkan oleh mikroorganisme (golongan bakteri dan jamur), yang dalam konsentrasi rendah dapat menghambat atau membunuh mikroorganisme lainnya.

Antibiotik biasanya diberikan kepada pasien dalam tiga bentuk, yaitu: Oral yakni jenis antibiotik ini biasanya berbentuk tablet, kapsul, maupun sirup, Topikal jenis antibiotik ini berupa salep, lotion, semprotan atau tetes, Suntikan jenis antibiotik ini diberikan melalui suntikan langsung maupun lewat infus.

RESISTENSI ANTIBIOTIK

Bagaimana jika suatu hari antibiotik tidak lagi efektif melawan bakteri ? Hal itu sungguh mengkhawatirkan, mengingat selama ini antibiotik merupakan obat yang menjadi andalan dalam mengobati berbagai jenis penyakit yang disebabkan bakteri.

Bakteri mampu berkembang dengan sangat cepat. Bakteri juga mampu beradaptasi dan bertahan terhadap efek antibiotik. Ini yang disebut dengan resistensi antibiotik, yaitu ketika antibiotik tidak mampu memusnahkan bakteri yang sebelumnya dapat ditangani.

Penggunaan antibiotik berlebihan dan secara tidak tepat merupakan masalah yang dapat mendorong resistensi, sekaligus berpotensi menimbulkan efek samping dan reaksi alergi.

Resistensi antibiotik kini disebut sebagai masalah kesehatan global, termasuk di Indonesia. Tidak seperti obat lain, penggunaan antibiotik memiliki konsekuensi yang lebih luas. Ketika seseorang menyalahgunakan antibiotik, hal tersebut turut membantu terciptanya kuman yang kebal, dengan kemungkinan menyebabkan infeksi baru dan sulit diobati baik pada diri sendiri maupun orang di sekitarnya. Oleh sebab itu, bijaklah dalam mengonsumsi antibiotik demi melindungi kesehatan pribadi, keluarga, dan komunitas di sekitar.

Berbeda dengan obat bebas, langkah Anda dalam mengonsumsi antibiotik tanpa anjuran dokter memiliki konsekuensi yang berat di kemudian hari. Selain itu, untuk menjaga kesehatan dan membatasi pertumbuhan kuman, penting juga untuk menjalani pola hidup bersih dan sehat, seperti membiasakan mencuci tangan.

CARA PEMAKAIAN OBAT ANTIBIOTIK YANG BAIK DAN TEPAT

Jadilah pasien yang cerdas, Jangan ragu untuk bertanya pada Dokter atau Apoteker terkait resep obat yang diberikan. Berikut beberapa cara pemakaian obat Antibiotik yang baik dan tepat untuk menghindari kesalahan penggunaan antibiotik:

  1. Jika dokter meresepkan obat, tanyakan apakah ada pemberian antibiotik dan apakah itu memang diperlukan untuk mengobati penyakit Anda.
  2. Jika Anda diberi resep antibiotik yang seharusnya dikonsumsi dalam beberapa hari patuhi jadwalnya, Jangan meminum semuanya lebih awal atau menghabiskan sebelum waktunya. Tetapi, juga jangan minum antibiotik melebihi batas waktu yang ditentukan dokter. Mengkonsumsi antibiotik dalam dosis parsial, atau hanya mengonsumsi antibiotik untuk sebagian dari aturan yang diberikan, memberi bakteri lebih banyak peluang untuk meningkatkan resistensi karena mereka hanya menerima paparan yang rendah terhadap obat.
  3. Jangan mengonsumsi antibiotik yang sudah lama, atau antibiotik yang diresepkan untuk orang lain.
  4. Pertimbangkan jenis infeksi dan jangan minum antibiotik untuk penyakit yang bukan bakteri. Antibiotik membunuh bakteri, tetapi mereka tidak melakukan apa pun terhadap virus.
  5. Jangan meminta dokter untuk meresepkan antibiotik yang tidak perlu. Antibiotik memang obat yang ampuh dan bisa berarti perbedaan antara hidup dan mati untuk beberapa infeksi bakteri. Justru karena alasan inilah kita harus berhati-hati dengan penggunaannya, untuk mencegah timbulnya bakteri yang kebal antibiotik.
  6. Jangan membeli Antibiotik di Apotek secara bebas tanpa resep Dokter karena penggunaan Antibiotik secara bebas dapat meningkatkan resistensi bakteri di dalam tubuh Anda.
  7. Jangan meminta obat Antibiotik kepada Apoteker, Apoteker yang baik akan mengarahkan Anda untuk berkonsultasi terlebih dahulu kepada Dokter untuk mendapatkan diagnosis pengobatan Antibiotik yang tepat.
  8. Jangan menyimpan Antibiotik di rumah, untuk mencegah penggunaan Antibiotik yang tidak tepat oleh keluarga Anda.
  9. Saat mendapatkan resep Antibiotik, untuk mengurangi kesalahan penggunaan Antibiotik pastikan bertanyalah kepada Apoteker atau tenaga farmasi saat pengambilan obat.
  10. Saat dalam proses penggunaan obat Antibiotik di Rumah pastikan penyimpan obat Antibiotik di tempat sejuk dan tidak terkena sinar matahari langsung untuk mencegah kerusakan obat Antibiotik.
  11. Minumlah air putih saat meminum obat Antibiotik, hindari meminum kopi, teh dan air jeruk untuk mengindari interaksi obat dengan minuman.
  12. Konsultasikan dengan Dokter atau Apoteker Anda bila ada pertanyaan saat penggunaan obat Antibiotik.

Dibuat Oleh: Timoty Kristofani, S. Farm, Apt.

DAFTAR PUSTAKA

Eka Rahayu Utami. 2011.”Antibiotika, Resistensi dan Rasionalitas Terapi” Maret 2011 Malang

Antibiotika adalah obat untuk mencegah dan mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Sebagai salah satu jenis obat umum, antibiotika banyak beredar di masyarakat. Hanya saja, masih ditemukan perilaku yang salah dalam penggunaan antibiotika yang menjadi risiko terjadinya resistensi antibiotik, diantaranya: peresepan antibiotik secara berlebihan oleh tenaga kesehatan; adanya anggapan yang salah di masyarakat bahwa antibiotik merupakan obat dari segala penyakit; dan lalai dalam menghabiskan atau menyelesaikan  treatment antibiotik.

Menanggapi pemberitaan yang mengemuka mengenai resistensi antibiotika, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes RI, drg. Oscar Primadi, MPH, mengajak masyarakat untuk bijak dalam mengonsumsi antibiotika.

Masyarakat tidak boleh membeli antibiotik sendiri tanpa ada resep dari dokter. Apabila sakit harus berobat di fasilitas pelayanan kesehatan. Antobiotik harus diminum sampai tuntas dan teratur sesuai anjuran dokter, tegas drg. Oscar di Kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta Selatan, Selasa sore (19/4).

Lebih lanjut dijelaskan oleh penanggung jawab resistensi antimikroba WHO Indonesia, dr. Dewi Indriani, resistensi antibiotik terjadi saat reaksi bakteri terhadap antibiotika tidak sebagaimana harusnya, sehingga antibiotika tidak ampuh lagi.

Kita mengkhawatirkan terjadinya era post antibiotic, dimana penyakit sederhanya yang sebenarnya bisa disembuhkan antibiotik malah jadi berbahaya, jelas dr. Dewi dalam kegiatan  media briefing bertajuk One Heath Approach: Strategi Kurangi Maraknya Bakteri Kebal Antibiotik yang diselenggarakan di Balai Kartini, Jakarta, selasa pagi (19/4).

Jika masalah resistensi antibiotika tidak segera ditangani, para pakar memperkirakan bahwa pada tahun 2050, lebih kurang 10 juta orang di dunia meninggal karena resistensi antibiotika.

Resistensi antibiotika mengakibatkan biaya kesehatan menjadi lebih tinggi karena penyakit lebih sulit diobati; butuhkan waktu perawatan yang lebih lama; dan membawa risiko kematian yang lebih besar, tambah dr. Dewi.

Sementara itu, anggota Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) yang juga merupakan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Prof. Dr. dr Kuntaman, MS., Sp.MKK, mengatakan bahwa masyarakat harus memahami, demam memang tanda adanya infeksi di dalam tubuh. Namun, tidak semua infeksi disebabkan oleh bakteri, sehingga tidak semua infeksi membutuhkan antibiotika.

Semisal pasien patah tulang karena kecelakaan, demam (panas) badannya., terapinya analgesik dan antipirektik, bukan antibiotik. Contoh lain, bakteri E-coli di tubuh kita dalam jumlah tertentu bermanfaat, namun bila jumlahnya terlalu banyak menyebabkan diare. Jika benar karena itu, boleh gunakan antibiotik, meskipun sebenarnya diare ada yang butuh antibiotik ada juga yang tidak, tutur Prof. Kuntaman.

Belum banyak diketahui bahwa sebenarnya sifat resisten pada bakteri awalnya tidak merugikan, justru merupakan penyeimbang kehidupan. Namun, perilaku penggunaan antibiotika secara berlebihan mengakibatkan sifat resisten yang semula menguntungkan manusia justru berbalik menjadi ancaman.

Mikroflora atau bakteri baik yang ada di dalam tubuh kita, berfungsi sebagai vaksin alami. Namun, resistensi antibiotika menyebabkan proteksi tubuh melemah, sehingga bakteri yang seharusnya menjadi sahabat justru menjadi sumber penyakit. Ini dinamakan infeksi opportunistic, terang Prof. Kuntaman.

Menutup kegiatan tersbeut, Prof. Kuntaman menyatakan bahwa dibutuhkan perubahan mindset masyarakat dan tenaga kesehatan agar tidak sembarangan gunakan antibiotika. Selain itu, dikemukakan bahwa hasil berbagai riset terkait resistensi antimikroba yang tengah dilakukan menjadi dasar bagi KPRA untuk mengajukan pedoman kepada pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan dalam upaya meningkatkan penggunaan antibiotika secara bijak serta membuat peraturan terkait pembatasan penggunaaan antibiotika di Indonesia.

Peraturan tersebut antara lain mencakup pelarangan apotek untuk menjual antibiotika tanpa resep dan membatasi masyarakat untuk menggunakan obat-obatan tanpa resep dokter, tandas Prof. Kuntaman.

Baca juga:
Kemenkes Luncurkan Formularium Fitofarmaka

Resistensi antibiotika menjadi fokus dunia, berkaitan dengan hal tersebut, tiga hari yang lalu (16/3), para Menteri Kesehatan yang berasal dari 12 negara Asia Pasifik dalam pertemuan Tokyo Meeting of Health Ministers on Antimicrobial Resistance in Asia, bersepakat untuk pengendalian Resistensi Antibiotika atau Anti Microbial Resistance (AMR) secara terpadu dan kolaboratif. Masalah resistensi antibiotika ini berkembang menjadi ancaman serius terhadap keamanan global, ketahanan pangan, serta tantangan pembangunan berkelanjutan dengan dampak yang signifikan terhadap stabilitas ekonomi.
Tidak hanya mengancam manusia, resistensi antibiotika juga mengancam hewan dan tanaman. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan one health yang melibatkan sektor kesehatan, pertanian (termasuk peternakan dan kesehatan hewan), serta lingkungan.

Berita ini disiarkan oleh Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat,Kementerian Kesehatan RI. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi Halo Kemkes melalui nomor hotline (kode lokal) 1500-567,SMS 081281562620, faksimili (021) 5223002, 52921669, dan alamat  email kontak[at]kemkes[dot]go[dot]id.
[sumber]






Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA