UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM bersifat retroaktif

Penerapan Asas Retroaktif dalam Perkara Pelanggaran HAM Berat.

Oleh Ramses Terry, SH.MH.MA
Pemerhati Hukum & Kebijakan Publik, Praktisi Hukum & Akademisi, Wakil BID UPA DPN Peradi.

Ciri dari suatu negara hukum yaitu adanya jaminan dan perlindungan terhadap hak hak asasi manusia yang harus dijunjung tinggi dan dihormati oleh setiap penyelenggara negara beserta seluruh warga negaranya. Dengan demikian, bahwa hakekatnya hak asasi manusia yaitu merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada setiap insan manusia, yang bersifat universal, maka oleh sebab itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh dibiarkan atau diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun.

NKRI merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, secara kontitusional menganut prinsip menjamin, menghormati dan melindungi hak asasi manusia. Setiap negara menjamin dan mengakui serta menjungjung tinggi HAM berdasarkan prinsip keselarasan dan keserasian hidup manusia sebagai individu dan masyarakat yang bersumber dari kodratnya dan sebagai makhluk sosial yang mendapatkan jaminan yang nyata sesuai dgn Konstitusi dan Peraturan Perundang Undangan yang berlaku.

Secara Yuridis Konstitusional, bahwa HAM telah mendapatkan pengakuan dengan jelas dan tegas, akan tetapi didalam pelaksanaannya atau didalam Implementasinya sering kali HAM belum mendapatkan perlakuan yang sesuai dengan amanat Konstitusi dasar dan peraturan perundang undangan yang berlaku.

Apabila kita melihat munculnya berbagai kejahatan dan pelanggaran terhadap HAM yaitu tidak dapat dipisahkan dengan situasi dan kondisi dari sosial politik pada saat penguasa atau setiap penyelenggara negara yang menjalankan kekuasaannya.

Kejahatan kejahatan dalam perkembangannya semakin beragam dengan berbagai faktor penyebab terjadinya kejahatan juga semakin kompleks. Terkait dengan perkembangan kejahatan yang semakin kompleks, kita bisa melihat keterbatasan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan, sehingga berdampak juga pada eksistensi hukum pidana dalam posisi yang delematis, serta dengan keadaan tersebut dapat di manfatkan oleh pihak pihak untuk menghindar dari jeratan hukum.

Apabila kita melihat pelanggaran hukum yang berskala besar di Indonesia, seperti kejahatan terorisme, peristiwa Timtim pasca jajak pendapat tahun 1999, Peristiwa Tanjung Priuk tahun 1984, Peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002 oleh Terorisme yang telah menimbulkan banyak korban ratusan jiwa serta harta benda, sehingga menjadi salah satu perhatian dunia internasional.

Dalam proses ketatanegaraan RI sejak proklamasi kemerdekaan, kasus kasus HAM yang pernah terjadi belum pernah ada langkah langkah untuk mengungkapnya atau diselesaikan. Dengan adanya asas legalitas formal yang hanya bertumpu pada perundang undangan saja, karna tidak cukup memadai untuk dijadikan dasar dalam melakukan serangkaian penyelidikan sampai pada pemeriksaan dalam persidangan.

Pemberlakuan asas legalitas dalam ketentuan pidana ini akan tetap terus diperdebatkan dalam ruang lingkup ilmu hukum, karena kedudukannya sebagai asas yang sangat fundamental. Kecuali, asas tersebut dianggap belum dapat diterapkan secara tegas dan dirasa belum mampu memenuhi rasa keadilan didalam masyarakat.

Hal ini akan menjadi persoalan, apa lagi didalam rumusan Pasal 1 ayat (2) KUHP, sangat ditegaskan bahwa dalam hal terjadi perubahan perundang undangan setekah tindak pidana dilakukan, dipakai ketentuan yang paling menguntungkan bagi tersangka.

Didalam rumusan dan ketentuan tersebut merupakan bentuk pengecualian terhadap rumusan Pasal 1 ayat (1) sehingga oleh sebagian pakar hukum pidana menggangap rumusan Pasal 1 ayat (2) KUHP merupakan celah untuk menyimpang asas legalitas dengan memberlakukan asas retroaktif.

Diera reformasi, harus diakui terkait upaya legislatif dalam membuat aturan secara konkrit dengan dikeluarkannya TAP MPR RI No XVII/MPR Tahun 1998 tentang HAM dan dilanjutkan oleh pemerintah dengan mengesahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan selanjutnya upaya pemerintah mengesahkan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

Dalam rangka penegakan hukum terhadap adanya dugaan pelanggaran HAM yang berat berdasarkan UU No.26 Tahun 2000 tentang Peradilan HAM, yang khususnya pelanggaran berat yang terjadi sebelum di undangkannya UU Tersebut, masi mengalami banyak kelemahan yang terkait langsung dengan hukum acaranya.

Pengadilan HAM Ad Hoc menganut asas retroaktif yaitu merupakan pengadilan khusus yang berada dibawah lingkungan Peradilan Umum, selain itu Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan pengadilan yang bersifat sementara dan hanya berlaku untuk mengadili kejahatan kejahatan tertentu dalam satu wilayah tertentu dan jangka waktu tertentu atas usul DPR berdasarkan suatu peristiwa tertentu dengan keputusan presiden.

Sehingga pemberlakuan asas retroaktif dalam penyelesaian tindak pidana pelanggaran HAM berat di Indonesia yaitu perlu dilakukan dengan suatu penelitian lebih lanjut, untuk dikaji dan dianalisis, serta untuk menemukan prinsip prinsip dasar yang digunakan sebagai landasan kebenaran untuk memberlakukan asas retroaktif tersebut.

Sehingga masi terdapat ketentuan didalam UU tersebut yang melarang pemberlakuan hukum secara surut, namun di lain pihak justru UU memberlakukan hukum secara retroaktif, sehingga masi terjadi konflik norma bahkan ada yang bertentangan dengan UU yang lebih tinggi.

Dengan tegas diatur didalam rumusan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yaitu HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, dan didalam rumusan Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM menyatakan bahwa hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut yaitu HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.

Sehingga hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan hak obsulute dari manusia yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi sesuai dengan rumusan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 dan rumusan Pasal 4 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Oleh : Priyambudi, SH., MH

Asas Non Retroaktif

Dalam Black’s Law Dictionary dikatakan Retroactivie adalah extending in scope or effect to matters that have occured in the past. Di Indonesia istilah yang dekat dan sering dipergunakan adalah ‘berlaku surut’. Asas non-retroaktif ini biasanya juga dikaitkan dengan asas yang ada dalam hukum pidana yang berbunyi nullum delictum noela poena sinea pravea lege poenali (Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan) atau yang lebih singkat atau lebih dikenal dengan asas Legalitas.

Di Indonesia dahulu pernah terdapat aturan yang telah mengatur mengenai asas non-retroative ini, tepatnya pada masa Hindia Belanda, yaitu pada pasal 3 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB) yang terjemahannya : “Undang-undang hanya mengikat untuk masa mendatang dan tidak mempunyai kekuatan yang berlaku surut.” Atas ketentuan tersebut Prof. Purnadi Purbacaraka dan Prof. Dr. Soerjono Soekanto dalam bukunya Perundang Undangan dan Yurisprudensi menjelaskan bahwa arti daripada asas ini adalah bahwa undang-undang hanya boleh dipergunakan terhadap peristiwa yang disebut dalam undang-undang tersebut dan terjadi setelah undang-undang itu dinyatakan berlaku.

Pada era sekarang ini di Indonesia 2 (dua) aturan yang berkaitan dengan asas non-retroactive atau larangan memberlakukan surut suatu peraturan perundangan, yaitu dalam Pasal 28 (i) UUD 1945, “…..dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” dan Pasal 1 ayat (1) KUHP, “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada sebelumnya”. Dari ketentuan Pasal 28 i UUD 1945 serta AB terlihat bahwa asas non retroaktif berkaitan dengan 2 hal, yaitu peraturan perundang-undangan dan penerapan norma dari suatu peraturan perundangan. Suatu peraturan dapat dianggap melanggar asas non-retroaktif jika aturan didalamnya menyatakan bahwa norma yang diaturnya berlaku juga untuk peristiwa terjadi sebelum aturan tersebut diundangkan. Pemberlakuan secara surut ini umumnya terdapat dalam pasal yang mengatur ketentuan penutup. Umumnya dalam ketentuan penutup tersebut disebutkan secara tegas bahwa aturan tersebut berlaku surut. Akan tetapi tak jarang pemberlakuan surut tidak disebutkan secara tegas, hanya saja hal tersebut dapat dilihat dari adanya selisih yang mundur antara tanggal pemberlakuan dengan tanggal pengesahan.

Penerapan asas ini sebenarnya tidak mutlak, terdapat pengecualian-pengecualian, seperti yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (2) KUHP dan tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes. Kedua aturan itu pada dasarnya merupakan penerapan dari asas yang ada dalam hukum pidana, oleh karenanya tidak aneh juga jika banyak kalangan yang berpendapat bahwa asas non-retroactive hanya berlaku bagi hukum pidana materil saja. Hal ini diperkuat lagi jika pasal 28 i UUD 1945 di atas ditafsirkan dengan metode penafsiran hukum yang ada maka terlihat bahwa pasal tersebut memang dimaksudkan hanya untuk pidana saja khususnya pidana materil.

Tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crimes diantaranya adalah tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme dan pelanggaran HAM berat. Pengecualian atas kejahatan yang bersifat extra ordinary terdapat dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Dalam UU tersebut diperbolehkan pemeriksaan dan penghukuman atas kejahatan HAM Berat yang terjadi sebelum disahkannya UU No. 26/2000 dengan menggunakan UU tersebut dengan ketentuan khusus, yaitu dengan menggunakan mekanisme Pengadilan HAM Ad Hoc yang pembentukannya harus disetujui terlebih dahulu oleh DPR. Menurut pasal 43 ayat 1 UU No.26 tahun 2000, Pengadilan HAM Ad Hoc adalah pengadilan yang memeriksa, mengadili , dan memutus pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 tahun 2000. Dengan demikian undang undang pengadilan HAM berlaku surut atau retroaktif. Pelanggaran HAM yang berat mempunyai sifat khusus dan digolongkan sebagai kejahatan yang luar biasa (exrtra ordinary crime). Oleh karena itu, pasal 28 ayat 2 Undang Undang Dasar 1945 dan hukum internasional menentukan bahwa asas retroaktif berlaku dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat. Asas retroaktif merupakan dasar yang membolehkan suatu peraturan perundang-undangan dapat berlaku surut ke belakang. Hal ini berbeda dengan kejahatan biasa (ordinary crime) yang perbuatannya baru dapat dihukum setelah ada hukumnya/undang-undangnya terlebih dahulu. Asas yang berlaku dalam penanganan kejahatan biasa adalah asas legalitas.

Perkembangan signifikan dalam penegakan HAM di Indonesia sejak runtuhnya rezim represif “Orde Baru” adalah diundangkannya UU 26/2000 yang mendasari pembentukan pengadilan HAM yang khususnya menangani pelanggaran HAM yang dikategorikan dalam “pelanggaran HAM yang berat” (gross violations of human rights). UU 26/2000 tersebut menciptakan dua keunikan, yakni, pertama, dilakukannya penanganan pelanggran HAM yang berat oleh pengadilan khusus dan, kedua, ditetapkannya Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik. Di samping itu, signifikansi lain UU 26/2000 menyangkut lingkup berlakunya di lihat dari segi waktu, yakni, tidak saja bagi pelanggaran HAM yang berat yang terjadi setelah mulai berlakunya undang-undang tersebut melainkan juga pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang itu. Hal ini juga berarti bahwa Indonesia telah mengadopsi prinsip yang dianut oleh hukum kebiasaan internasional yang memungkinkan diadilinya kejahatan jenis tertentu yang bersifat sangat serius dan yang menyangkut kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan melalui penerapan asas retroaktif peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, yang pada hakikatnya merupakan pengecualian dari prinsip nullum crimen sine lege dan nulla poena sine praevia lege poenali sebagai prinsip umum hukum pidana.

Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat Sebelum Berlakunya UU No. 26 Tahun 2000

Istilah pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) atau dalam bahasa Inggris disebut gross violation of human rights tidak diterangkan dalam satu difinisi yang secara memadai memuat unsur-unsur tindak pidana tersebut. Istilah pelanggaran berat HAM muncul untuk menggambarkan dahsyatnya akibat yang timbul dari perbuatan pidana tersebut terhadap raga, jiwa, martabat, peradaban, dan sumberdaya kehidupan manusia. Tindak kejahatan tersebut dilakukan oleh pelakunya dengan maksud dan tujuan yang jelas untuk menyerang dan menghancurkan orang-orang tertentu atau sekelompok manusia sehingga membawa akibat atau dampak yang luas.

Sejarah bangsa Indonesia hingga kini mencatat berbagai penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial yang disebabkan oleh perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar ras, etnik, warna kulit, budaya, bahasa, agama, jenis kelamin, golongan, dan status sosial lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran HAM, baik yang bersifat vertikal (dilakukan aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun yang bersifat horisontal (antar warga negara sendiri) dan tak sedikit yang termasuk dalam kategori pelanggaran HAM berat (Groos Violation of Human Rights).

Negara dan pemerintah dalam rangka menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia maka terhadap pelanggaran HAM dikenakan sanksi sesuai hukum yang berlaku sedangkan bagi pelanggaran HAM yang berat dirumuskan dalam UU RI No. 26 Tahun 2000. Yang dimaksud dengan pelanggaran HAM berat ialah, pertama : kejahatan Genosida, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf A adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara :

  1. Membunuh anggota kelompok;
  2. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok;
  3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan pemusnahan secara fisik seluruh atau sebagiannya;
  4. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok;
  5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain;

Kedua : Kejahatan kemanusiaan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf B adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:

  1. Pembunuhan;
  2. Pemusnahan;
  3. Perbudakan;
  4. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
  5. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan (asas-asas) pokok hukum internasional;
  6. Penyiksaan;
  7. Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
  8. Penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan ,agama, etnis, budaya, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
  9. Penghilangan orang secara paksa;
  10. Kejahatan apartheid.

Dengan semakin terbukanya iklim reformasi dan demokratisasi maka terkuak berbagai kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di era lalu (orde baru dan bahkan orde lama) sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000, sebut saja dugaan pembunuhan massal yang mengikuti peristiwa G30S tahun 1965, penembak misterius (Petrus) di awal 1980-an, peristiwa Tanjung Priok 1984, peristiwa Talangsari di Lampung, kasus Santa Cruz (Insiden Dilli, 19 November 1991), peristiwa tindak kekerasan di Timor Timur pasca referendum 1999 dan mungkin masih ada lagi yang lainnya.

Menurut ketentuan UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan HAM Ad hoc yang dibentuk dengan Keputusan Presiden atas usul DPR (Pasal 43) atau melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (Pasal 47).

Namun begitu, penulis mempunyai pendapat bahwa untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 hendaknya diprioritaskan dengan melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, maka DPR harus segera merevisi UU tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi sehingga seluruh kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lampau dapat diselesaikan secara rekonsiliasi. Pendapat penulis ini mempunyai latar belakang pemikiran dan alasan sebagai berikut :

  1.    Tidak perlu diingkari kenyataan bahwa pembentukan Pengadilan HAM, terutama yang bersifat ad hoc untuk mengadili “pelanggaran HAM yang berat” yang terjadi sebelum berlakunya UU 26/2000 adalah untuk meredam tuntutan komunitas internasional bagi pembentukan pengadilan internasional untuk mengadili orang-orang yang dianggap bertanggung jawab atas terjadinya tindak kekerasan di Timor Timur pada 1999 yang dikategorikan sebagai “kejahtan terhadap kemanusiaan”, sebagaimana yang dibentuk sebelumnya oleh Dewan Keamanan (selanjutnya disebut “DK”) PBB pada 1993 untuk bekas Yugoslavia (International Tribunal for the Prosecution of Persons Responsible for Serious Violations of Humanitarian Law Committed in the Territory of the Former Yugoslavia) selajnutnya disebut “ICTY” dan pada tahun 1994 untuk Rwanda (International Tribunal for Rwanda) selanjutnya disebut “ICTR”.
  2.     Bahwa untuk melakukan proses hukum secara Pro Yustisia terhadap kasus dugaan pelanggaran HAM berat di masa lampau memerlukan proses formal yang panjang berliku.

a)         Dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat, Penyidik dan Penuntut Umum adalah Jaksa Agung. Pasal 10 UU No. 26/2000 menyatakan, dalam proses hukum kasus dugaan pelanggaran HAM berat, yang berlaku adalah hukum acara pidana, hal ini berarti adalah KUHAP. Dengan demikian jika Penyidik hendak melakukan tindakan-tindakan Pro Yustisia maka ia mutlak membutuhkan keberadaan pengadilan yang berwenang terlebih dahulu, yaitu dalam hal ini pengadilan dalam kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26/2000 ialah Pengadilan HAM Ad Hoc.

Hal ini tentu akan memerlukan proses berliku oleh karena Pengadilan HAM Ad Hoc hanya bisa terbentuk atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden (Pasal 43 ayat 2), padahal tidak ada ketentuan yang jelas lembaga mana (penyelidik atau penyidik/penuntut), bilamana, dan atas dasar apa lembaga yang bersangkutan dapat meminta kepada DPR untuk mengusulkan dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc.

b)         Tidak terdapatnya ketentuan yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM sebagai lembaga penyelidik untuk melakukan pemanggilan paksa (subpoena) beserta prosedurnya, tidak ditetapkannya batas waktu bagi penyidik untuk dapat meminta penyelidik melengkapi kekurangan hasil penyelidikannya selain masalah yang bersifat lebih dasar dalam hubungan ini yakni kewenangan penyidik untuk melakukan hal tersebut mengingat bahwa Komnas HAM hanyalah lembaga penyelidik (bukan penyidik) sebagaimana Pasal 18 ayat (1).

  1.     Belajar dari pengalaman bangsa lain dalam melakukan rekonsiliasi nasional kita dapat mencermati fenomena bangsa Kamboja yang melupakan dendam politik masa lalu bahwa lebih dari 1 juta rakyat Kamboja terbunuh pada rezim pemerintahan masa lalu. Kini mereka sudah melupakan itu semua dengan keinginan kuat untuk membangun kehidupan bangsa yang lebih baik di masa depan. Demikian juga yang terjadi pada bangsa Afrika Selatan dalam mewujudkan rekonsiliasi nasional dapat berjalan secara baik tanpa memunculkan dendam politik masa lalu dan tanpa menimbulkan konflik-konflik baru namun dapat mewujudkan masyarakat yang sadar akan kemajuan bangsanya.
  2.     Menyikapi perkembangan tuntutan reformasi berupa supremasi hukum dan jaminan kepastian hukum maka telah melahirkan amandemen pertama, kedua, ketiga dan keempat terhadap UUD 1945. Pada pasal 28 (i) menjelaskan secara tegas “....hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”. Dalam hierarki tata urutan perundang-undangan, UUD 1945 mempunyai posisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan Undang-Undang (dalam hal ini adalah UU No. 26/2000) sehingga aturan yang lebih tinggi mengesampingkan aturan yang lebih rendah, jadi berlaku asas lex superior derogate legi inferiori. Dengan demikian maka Pasal 43 dan Pasal 46 UU No. 26/2000 telah bertentangan dengan Pasal 28 (i) UUD 1945 dan oleh karenanya sudah sepantasnya jika dilakukan pengajuan uji materiil (judicial review) ke Mahkamah Konstitusi.
  3.     Prioritas penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya UU No. 26/2000 melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi perlu menitikberatkan pada pencapaian tujuan rekonsiliasi yang berpedoman pada paradigma nasional serta tujuan nasional dan untuk menjaga tetap tegak dan utuhnya NKRI dengan menyikapi secara arif dan bijaksana kasus pelanggaran HAM di masa lalu demi mencapai harapan kemajuan bangsa serta kesejahteraan yang lebih baik di masa depan.

*   Priyambudi, SH., MH adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA