Tradisi Arab sebelum Islam menganggap anak perempuan adalah aib sehingga mereka

Oleh Putri Sa'adatul Alawiyah Rahmat

KEADAAN wanita dalam pandangan bangsa Arab sebelum Islam sangatlah hina dan rendah. Bahkan saking rendah dan terpuruknya, wanita pada masa itu diletakkan pada derajat yang tidak selayaknya bagi manusia.

Semua hak mereka dihapus, termasuk hak mengemukakan pendapat yang berhubungan dengan kepentingan hidup mereka sekalipun.

Mereka tidak boleh menerima harta warisan, karena dalam tradisi mereka orang yang berhak mendapatkan harta warisan hanyalah mereka yang sanggup berperang dan mampu melindungi anak-anaknya.

Di masa itu wanita tidak mempunyai hak untuk menolak atau sekedar memberi saran dalam urusan pernikahannya.

Segala urusannya diserahkan kepada walinya, bahkan seorang anak laki-laki berhak melarang janda ayahnya (yang tidak lain adalah ibunya) untuk menikah lagi, kecuali bila sang janda memberikan semua harta yang diterima dari suaminya kepada anak laki-lakinya itu.

Seorang anak laki-laki juga bisa berkata: "Akulah yang mewarisi janda ayahku sebagaimana aku mau dari si harta warisan lainnya dari ayahku".

Artinya, anak laki-laki tersebut berhak menikahi janda ayahnya tanpa mahar atau menikahkannya dengan laki-laki lain dengan syarat maharnya diserahkan kepada anak laki-laki tersebut.

Dalam sebuah riwayat dari Ibnu 'Abbas disebutkan: "jika seorang laki-laki ditinggal mati ayah kandung atau ayah mertuanya, dialah yang lebih berhak atas istri mereka.

Dia bisa menjadikannya sebagai istri (tanpa mahar) atau menahannya (melarang nikah dengan laki-laki lain), kecuali setelah menembus dirinya dengan mahar (yang didapat dari suaminya) atau menahannya sampai janda itu mati, lalu anak laki-laki itulah yang berhak atas semua harta bendanya.

Seorang laki-laki dalam masyarakat Arab jahiliyah boleh memiliki beberapa istri tanpa batas dan perceraian juga tidak ada nilainya.

Ada 4 bentuk perkawinan yang berlaku pada masyarakat Arab jahiliyah sebagaimana dijelaskan dalam Shahih Bukhari dan lainnya.

Dari Ummul Mukminin, Aisyah RA. Ia berkata: "Sesungguhnya perkawinan pada masa jahiliyah ada empat bentuk. Pertama, perkawinan seperti yang ada saat ini, yaitu seorang laki-laki datang kepada laki-laki lain untuk meminang seorang wanita yang ada di bawah perwaliannya atau anak perempuannya (sendiri).

Selanjutnya, laki-laki tersebut memberikan mahar kepada wanita yang dimaksud dan menikahinya.

Kedua, seorang suami berkata kepada istrinya -setelah si istri suci dari haidnya: "pergilah ke tempat si fulan dan berhubungan intimlah dengannya!".

Selanjutnya, si suami tidak menggauli dan tidak menyentuh istrinya sampai benar-benar jelas bahwa kehamilan istrinya itu lantaran laki-laki yang menyetubuhinya tadi.

Apabila si istri sudah positif hamil, suami bisa menggaulinya kembali jika dia suka. Biasanya perkawinan seperti ini dilakukan untuk mendapatkan anak berbibit unggul (mulia, kuat, gagah). Perkawinan semacam ini biasanya disebut perkawinan istibdha.

Bentuk perkawinan ketiga adalah sekelompok laki-laki yang jumlahnya di bawah 10 orang berkumpul, kemudian secara bergiliran mereka melakukan persetubuhan dengan seorang wanita.

Apabila wanita itu hamil dan melahirkan, maka setelah lewat beberapa hari dari persalinannya, perempuan itu memanggil semua laki-laki yang telah menyetubuhinya, tidak ada seorang pun dari mereka yang boleh menolak.

Setelah semua hadir, perempuan itu berkata: "kalian semua sudah tahu apa yang terjadi dan anak itu telah lahir, maka ia adalah anakmu, wahai fulan!". Perempuan itu menyebut nama laki-laki yang ia sukai dan diakukanlah anak tersebut kepada laki-laki yang ditunjukkan tadi tanpa boleh menolaknya.

Bentuk keempat adalah sekelompok laki-laki dalam jumlah besar berkumpul, kemudian mendatangi wanita yang tidak pernah menolak siapapun yang mendatanginya. Mereka adalah pelacur. Mereka biasanya memasang bendera di pintu kamar sebagai tanda.

Siapapun yang ingin, ia dapat meniduri wanita-wanita itu. Jika salah satu diantara mereka hamil, lalu melahirkan, mereka semua berkumpul, kemudian dipanggillah seorang dukun (ahli nasab).

Selanjutnya, mereka menisbatkan bayi itu kepada seorang laki-laki berdasarkan penglihatan dukun dan bayi itu pun dianggap sebagai anaknya. Laki-laki itu tidak boleh menolaknya.

Riwayat ini, tanpa perlu penjelasan lagi, jelas menggambarkan betapa rendahnya akhlak manusia pada masa jahiliah dan betapa perilaku mereka itu sama dengan binatang.

Bentuk perkawinan yang mana seorang suami mengirim istrinya kepada orang lain agar mendapatkan anak berbibit unggul, adalah tindakan yang sama persis ketika dia mengirim ternaknya kepada pejantan jenis unggulan (untuk dikawinkan) agar menghasilkan keturunan yang berkualitas.

Demikian juga halnya dengan bentuk pernikahan yang mana beberapa lelaki (di bawah 10 orang) mendatangi seorang wanita secara bersama-sama, kemudian mereka semuanya menyetubuhi wanita tersebut.

Setelah melahirkan, wanita itu bebas memilih salah seorang dari mereka sebagai ayah dari anak yang dilahirkannya.

Disamping itu, seorang laki-laki pada masa jahiliyah bila diberi kabar bahwa istrinya telah melahirkan anak perempuan, seketika itu merah padamlah wajahnya karena menahan marah, sedih, dan malu seakan sebuah malapetaka besar telah menimpanya.

Al-Quran telah menggambarkan tradisi bangsa Arab jahiliyah yang amat buruk itu pada ayat berikut:

وَ اِذَا بُشِّرَ اَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ ( ٥٨) يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوءِ مَا بُشّرَبِهِ اَيُمْسِكُهُ عَلَى هُونٍ اَمْ يَدُسُّهُ فِى التُّرَابِ أَلَا سَآءَ مَا يَحْكُمُوْنَ ( ٥٩)

"Dan apabila seorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, menjadi merah padam lah bukannya dan dia sangat menahan (marah, sedih, dan malu). Iya lalu menyembunyikan diri dari orang banyak lantaran buruknya berita yang disampaikan kepadanya(. Tiada pilihan lain baginya selain) tetap memelihara nya dengan menanggung kehinaan dan menguburnya (hidup-hidup). Ketahuilah, betapa buruknya keputusan yang mereka ambil itu." (QS.An-nahl (16) : 58-59)

Itulah tradisi masyarakat Arab jahiliah yang sangat sadis, yakni mengubur anak perempuannya hidup-hidup. Perilaku ini pantas disebut sebagai puncak kekerasan hati, kasarnya perangai, dan puncak kekejaman.

Bahkan kadang-kadang ada juga penguburan anak perempuan hidup-hidup dilakukan dengan cara yang lebih kejam dan lebih bengis lagi, yang hanya akan membuat hati merasa sedih dan mata jadi menangis.

Bentuk kedzaliman yang amat parah ini masih saja menjadi kebiasaan yang menimpa perempuan tidak berdosa.

Hal itu tidak lain karena faktor ketidakberdayaan perempuan yang dikubur itu dan karena memang begitulah yang menjadi adat masyarakat waktu itu. Adat tersebut baru hilang setelah Islam datang, karena islam emang mengharamkan dan mengecam perbuatan tersebut.

Demikianlah uraian ringkas tentang keadaan kaum wanita pada masa-masa silam, yang mana di mata kebanyakan bangsa-bangsa yang sudah dipaparkan, wanita ditempatkan pada posisi yang rendah dan hina.

Sebaliknya, di mata bangsa arab jahiliyah, wanita dianggap sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan dan tidak mempunyai hak sedikitpun untuk menolak perlakuan hidup yang sangat rendah ini.

Sekarang kita beralih kepada cahaya Islam agar kita bisa mengetahui bagaimana nikmatnya wanita dalam naungan Islam. Islam telah menjaga dan menempatkan mereka pada derajat yang tinggi.

Islam mengakui hak-hak asasi dan hak-hak kekeluargaan mereka secara sempurna serta menjaga mereka dari perlakuan sekadar objek syahwat dan nafsu kebinatangan semata.

Islam memandang mereka sebagai unsur penting dalam kebangkitan, ketahanan, dan keselamatan masyarakat. Mereka dinilai memiliki andil yang amat besar dalam pembentukan tokoh-tokoh yang bisa menggetarkan musuh, baik pada malam hari maupun siang hari.

Maka bersyukurlah karena kini kita hidup dimasa setelah Rasulullah SAW, yang mana Rasul mengajarkan Islam untuk menghormati wanita, memberi hak-haknya, dan bukan menjadikan wanita hanya sekedar pemuas nafsu syahwat belaka. Masa jahiliyah itu kini telah usai setelah datangnya Islam yang dibawa Rasulullah SAW.

Maka sepatutnya kita kini harus sangat bersyukur atas kehadiran Rasulullah SAW dalam kehidupan kita. Serta menjaga diri kita sebagaimana Rasulullah SAW menjaga wanita. Menjaga diri, menutup aurat, menjaga perkataan, serta menjaga diri dari kemaksiatan.
___
*) SA'ADATUL ALAWIYAH RAHMAT, penulis adalah mahasiswi

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA