Tidak dapat dimungkiri derasnya arus globalisasi mengakibatkan

LEBIH dari seratus di antara 700-an bahasa di Nusantara di ujung kepunahan. Padahal, bahasa daerah merupakan wujud kekayaan budaya dan kearifan lokal yang khas. Di tengah derasnya arus globalisasi yang berpadu rendahnya minat pada budaya leluhur, ada yang peduli menjaga bahasa daerah tetap lestari.

***

Bahwa masalah yang dihadapi bahasa Sunda juga dihadapi oleh bahasa ibu lainnya di Nusantara. Bahasa Jawa, bahasa Bali, dan bahasa daerah lainnya.

PENUTURAN Hawe Setiawan itu cukup untuk mengetahui mengapa Rancage begitu getol menjaga eksistensi bahasa daerah. Maka, melalui Yayasan Kebudayaan Rancage, lahirlah Hadiah Sastra Rancage. Mendiang Ajip Rosidi, pendiri yayasan tersebut, memulainya pada 1989. Setiap 31 Januari, Rancage mengumumkan pemenang Hadiah Sastra Rancage.

Empat tahun pertama, Rancage hanya memberikan penghargaan kepada sastrawan dan budayawan Sunda. Namun, sejak 1994, penerima penghargaan bergantian dari berbagai daerah: Jawa, Bali, Lampung, Batak, Madura, dan lainnya. Mengapresiasi sastrawan dan budayawan yang susah payah berkarya menggunakan bahasa daerah.

Rancage melihat degradasi penggunaan bahasa daerah sejak lama. Kecenderungannya, masyarakat memakai bahasa ibu hanya di lingkungan privat atau lingkaran paling dekat. Padahal, dulu lebih dari itu. (Bahasa daerah) untuk rapat, upacara, bahkan menulis (karya ilmiah), ujar Hawe yang menjadi salah seorang pengurus yayasan saat ditemui di Bandung (21/10).

Kini, saat Ajip sudah berpulang, spirit Rancage tak secuil pul luntur. Justru, terwariskan ke semua penerusnya. Dari lukisan-lukisan di sudut-sudut bangunan Perpustakaan Ajip Rosidi di Jalan Garut, Ajip seperti turut menyaksikan ikhtiar merawat bahasa daerah.

Tidak melulu lewat Hadiah Sastra Rancage, semangat itu menular lewat banyak program. Yayasan itu memang swadaya. Tidak selalu mendapat dukungan pemerintah, lembaga, atau organisasi lain. Namun, mereka punya fondasi kuat yang ditancapkan Ajip.

PUSAT BELAJAR: Gedung Perpustakaan Ajib Rosidi di Jalan Garut, Bandung. (SALMAN TOYIBI/JAWA POS)

Geliat aktivitas di Perpustakaan Ajip Rosidi yang juga kantor Yayasan Kebudayaan Rancage dan Pusat Studi Sunda membuktikan itu. Di tengah pandemi, perpustakaan tersebut tetap membuka diri. Siapa pun yang ingin mencari satu di antara puluhan ribu judul buku di sana boleh datang. Juga, komunitas yang ingin tetap berkegiatan. Tentu dengan memperhatikan protokol kesehatan.

Rahmat Taufik Hidayat yang sehari-hari aktif mengelola Rancage menyatakan, warisan Ajip luar biasa besar. Karena itu, tidak boleh disia-siakan. Harus dilanjutkan. Itu menjadi komitmen Rancage. Hadiah Sastra Rancage akan tetap ada meski Ajip sudah tiada. Pun, peninggalan-peninggalan lainnya. Tidak hanya untuk kepentingan bahasa Sunda, tetapi juga untuk bahasa daerah lainnya.

Menurut Rahmat, Hadiah Sastra Rancage sudah berhasil memantik semangat sastrawan dan budayawan di berbagai daerah berbuat lebih banyak. Mereka tidak lagi ragu membuat karya-karya berbahasa ibu.

Berdasar catatannya, Indonesia memiliki lebih dari 700 bahasa daerah. Di antara ratusan bahasa itu, banyak yang sudah punah. Khususnya bahasa daerah masyarakat yang tinggal di bagian timur. Nah, Rancage tidak ingin jumlah bahasa daerah yang punah terus bertambah. Karena itu, mereka tidak henti bergerak. Kerja keras itu sedikit banyak menunjukkan hasil. Bahasa Batak, contohnya. Menurut Rahmat, sebelumnya tidak ada karya sastra berbahasa Batak dalam bentuk tertulis seperti novel modern. Kini sudah mulai bermunculan.

Rancage menimbulkan inspirasi bahwa bahasa ibu bisa dijadikan alat untuk menyampaikan ide secara komprehensif atau secara utuh, ucapnya. Dari pemikiran Rancage, Konferensi Internasional Budaya Sunda digelar untuk kali pertama pada 2001 dan Kongres Bahasa Daerah Nusantara perdana pada 2016.

Kini, mereka ingin pemerintah menetapkan Hari Bahasa Ibu Nasional atau Hari Bahasa Daerah Nusantara. Menurut Rahmat, itu tidak ada salahnya. Mengingat UNESCO pun sudah menetapkan Hari Bahasa Ibu Internasional. Lebih dari itu, Indonesia memiliki ratusan bahasa daerah. Dan itu barangkali jadi agenda kita dalam mengedukasi bahasa ibu, imbuhnya.

PULUHAN RIBU JUDUL: Lukisan Ajip Rosidi karya Ayi R. Sacadipura di antara buku-buku berbahasa daerah dan buku berbagai tema di Perpustakaan Ajib Rosidi. (SALMAN TOYIBI/JAWA POS)

Ekosistem yang dibangun Rancage juga memungkinkan bahasa daerah lestari lewat karya-karya sastra. Tidak cuma karena Hadiah Sastra Rancage, tapi lantaran punya jejaring luas, perusahaan penerbitan yang siap mencetak karya-karya berbahasa daerah, serta komunitas-komunitas di sekeliling Rancage.

Erry Riyana Hardjapamekas yang mendirikan Yayasan Kebudayaan Rancage bersama Ajip menuturkan, saat ini Rancage tengah memikirkan upaya untuk regenerasi. Juga, mengupayakan pemenuhan kebutuhan sumber daya dan dukungan dari komunitas. Tentu kalau ada sumbangan dari pemerintah akan lebih baik, kata mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) itu.

Sejak pertama, Ajip memasang standar tinggi untuk Hadiah Sastra Rancage diberikan. Yang dapat penghargaan harus sudah menerbitkan karya berbahasa daerah. Seiring perubahan zaman, tidak menutup kemungkinan standar itu berubah. Misalnya, boleh diberikan kepada sastrawan atau budayawan yang melestarikan bahasa daerah lewat podcast dan tulisan di laman pribadi seperti blog. Bukan hanya buku, ujarnya.

Berbasis Komunitas

Dalam pandangan ahli bahasa sekaligus guru besar Universitas Mataram (Unram) Mahsun, cara paling mudah dan dapat berjalan efektif untuk mendekatkan generasi muda dengan bahasa daerah adalah berbasis komunitas. Bahkan dari tingkat RT atau RW.

Memasukkan bahasa daerah sebagai muatan lokal di bangku pendidikan, kata dia, juga menjadi opsi. Namun, itu tidak membawa dampak penguasaan bahasa daerah yang maksimal. Siswa cenderung hanya mengejar nilai.

Menurut Peneliti Pertama, Koordinator Pelindungan Bahasa, Pusat Pengembangan dan Pelindungan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Santy Yulianti, tidak dapat dimungkiri bahwa kedudukan bahasa daerah berada di bawah bahasa asing dan bahasa Indonesia. Apalagi melihat globalisasi yang terus berjalan.

Kendati begitu, lanjut dia, bahasa daerah tidak boleh hilang dari identitas para milenial. Sebab, akar budaya bangsa Indonesia berada di bahasa dan sastra daerah. Jadi, yang kita harus samakan itu persepsi bahwa bahasa daerah itu sama penting dengan bahasa Indonesia dan bahasa asing, katanya.

Pihaknya memiliki sejumlah program terkait pengenalan bahasa daerah ke generasi milenial. Di antaranya, revitalisasi bahasa dan sastra di daerah-daerah yang melibatkan komunitas dan sekolah setempat, khususnya bahasa dan sastra yang terancam punah. Kemudian, ada tunas bahasa ibu yang ditetapkan pada Hari Bahasa Ibu 22 Februari oleh Badan Bahasa. Untuk generasi milenial, kami juga ada bengkel sastra dan musikalisasi puisi yang dilakukan oleh Pusat Pembinaan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, ungkapnya.

Saksikan video menarik berikut ini:

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA