Teori differential association yang dikemukakan oleh e.h. sutherland

Teori asosiasi diferensial atau differential association dikemukakan pertama kali oleh seorang ahli bernama Edward H. Sutherland pada tahun 1934 dalam bukunya Principle of Criminology.

Teori asosiasi diferensial ini disusun bertitik tolak pada tiga teori berikut, yaitu ecological and cultural transmission theory, symbolic interactionism, dan culture conflict theory (William III and McShane, 1988).

Dari pengaruh-pengaruh teori di atas, dapat disimpulkan bahwa munculnya teori asosiasi diferensial didasarkan pada:

  1. Bahwa setiap orang akan menerima dan mengakui pola-pola perilaku yang dapat dilaksanakan.
  2. Kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku dapat menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan.
  3. Konflik budaya (conflick of culture) merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan. (Frank William dan Marilyn D. McShane)

Sutherland memperkenalkan teori ini dengan dua versi, pertama pada tahun 1939 dan kemudian pada tahun 1947. Versi pertama yang terdapat pada edisi criminal behavior, dan memusatkan perhatian pada cultural conflict (konflik budaya) dan social disorganization serta differential association. Namun, pada akhirnya ia tidak lagi memusatkan pada systematic criminal behavior, tetapi ia membatasi uraiannya pada diskusi mengenai konflik budaya.

Dalam versi pertama ini, Sutherland mendefinisikan Asosiasi Diferensial sebagai

“the contents of the patterns presented in association would differ from individual to individual”.

Sutherland tidak pernah mengatakan ”Mere association with criminalis would cause criminal behavior.

Kemudian pada tahun 1947, Sutherland mengenalkan versi keduanya, ia menekankan bahwa semua tingkah laku itu dapat dipelajari dan ia mengganti pengertian social disorganization dengan differential social organization. Dengan demikian, teori ini menentang bahwa tidak ada tingkah laku (jahat) yang diturunkan dari kedua orangtua. Dengan kata lain, pola perilaku jahat tidak diwariskan akan tetapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab.

Teori Asosiasi Diferensial yang dikemukakan oleh Sutherland dalam versi keduanya adalah sebagai berikut:

  1. Tingkah laku kriminal dipelajari.

  2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dari komunikasi.

  3. Bagian penting dari mempelajari tingkah laku kriminal terjadi dalam kelompok yang intim.

  4. Mempelajari tingkah laku kriminal, termasuk di dalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/dorongan atau alasan pembenar.

  5. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundangan: menyukai atau tidak menyukai.

  6. Seseorang menjadi delinkuen karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan: lebih suka melanggar daripada menaatinya.

  7. Asosiasi diferensial ini bervariasi bergantung pada frekuensi, durasi, lamanya, prioritas, dan intensitas.

  8. Proses mempelajari tingkah laku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan antikriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.

  9. Sekalipun tingkah laku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan-kebutuhan umum dan nilai-nilai, tetapi tingkah laku kriminal tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi karena tingkah laku nonkriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umu dan nilai-nilai yang sama (Sutherland, 1978: 80-82).

Dari sembilan proposisi tersebut dapat disimpulkan, bahwa menurut teori asosiasi diferensial tingkah laku jahat tersebut dapat kita pelajari melalui interaksi dan komunikasi, yang dipelajari dalam kelompok tersebut adalah teknik untuk melakukan kejahatan dan alasan-alasan (nilainilai, motif, rasionalisasi, serta tingkah laku) yang mendukung perbuatan jahat tersebut.

Sutherland kemudian melakukan studi tentang kejahatan White-Collar agar teorinya dapat menjelaskan sebab-sebab kejahatan, baik kejahatan konvensial maupun kejahatan White-Collar. Terlepas dari aspek tersebut, apabila dikaji dari dimensi sekarang, ternyata teori Differential Association mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri.

Adapun kekuatan teori Differential Association bertumpu pada aspek-aspek:

  1. Teori ini relatif mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial.
  2. Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya/melalui proses belajar menjadi jahat.
  3. Ternyata teori ini berlandaskan pada fakta dan bersifat rasional.

Sedangkan kelemahan mendasar teori ini terletak pada aspek:

  1. Bahwa tidak semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan kejahatan akan meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan orang, seperti petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara atau kriminolog yang telah berhubungan dengan tingkah laku kriminal secara ekstensif, nyatanya tidak menjadi penjahat.
  2. Bahwa teori ini belum membahas, menjelaskan, dan tidak peduli pada karakter orang-orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut.
  3. Bahwa teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang suka melanggar daripada menaati undang-undang dan belum mampu menjelaskan kausa kejahatan yang lahir karena spontanitas.
  4. Bahwa apabila ditinjau dari aspek operasionalnya, ternyata teori ini agak sulit untuk diteliti, bukan hanya karena teoritik tetapi juga harus menentukan intensitas, durasi, frekuensi, dan prioritasnya.

Konsep lain yang dikemukakan oleh Sutherland selain Differential Association adalah konsep differential social organization theory. Bertitik tolak pada kondisi sosial, dengan nilai-nilai internal dan tujuannya masing-masing dan mempergunakan sarana-sarana yang berbeda untuk mencapai tujuan-tujuannya tersebut.

Dengan demikian, Sutherland menolak pemikiran Merton yang mengemukakan bahwa kejahatan dan penyimpangan tingkah laku seseorang adalah sebagai hasil (outcome) dari perbedaan-perbedaan kepentingan untuk mencapai suatu tujuan yang sama. Bahkan, dapat dikatakan bahwa teori differential social organization mengakui keberadaan pelbagai ragam organisasi masyarakat yang terpisah dan masing-masing bersaing satu sama lain dengan norma dan nilai-nilainya sendiri-sendiri.

Di pihak lain, teori asosiasi diferensial justru hendak mencari dan mengemukakan bagaimana nilai-nilai dan norma-norma dimaksud dapat dikomunikasikan atau dialihkan dari kelompok masyarakat yang satu kepada yang lainnya (Munci & Fitzgerald, 1988).

Kesimpulan yang bisa diambil dari teori differential association adalah bahwa kesembilan prostulat yang dipaparkan di atas berintikan pokok-pokok sebagai berikut:

  1. Perbedaan asosiasi cenderung membentuk perbedaan kepribadian manusia yang berbeda dalam pergaulan kelompok.

  2. Tumbuhnya seseorang dalam pergaulan kelompok yang melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum adalah karena individu yang bersangkutan menyetujui pola perilaku yang melanggar hukum, dibanding dari pola perilaku lain yang normal.

  3. Sikap menyetujui atau memilih salah satu pola perilaku tertentu dalam asosiasi yang berbeda adalah melalui proses belajar dari pergaulan yang paling intim melalui komunikasi langsung yang berhubungan dengan sering, lama, mesra, dan prioritas pada pola perilaku kelompok atau individu yang diidentifikasikan menjadi perilaku miliknya.

Sutherland dan Cressey menolak anggapan yang menyatakan bahwa kejahatan atau tindakan menyimpang merupakan faktor keturunan atau diwariskan dari orangtua pelaku, melainkan menyatakan dengan tegas bahwa kejahatan atau perilaku menyimpang terjadi karena faktor pembelajaran melalui interaksi dengan orang lain dalam kelompok pribadi yang intim.

Kritik terhadap teori asosiasi diferensial telah dikemukakan oleh beberapa orang sarjana kriminologi. Diantaranya Matza (1968: 107) yang mengatakan bahwa Sutherland kurang peka tanggap terhadap pembaharuan pemikiran dan kemasyarakatan, yaitu antara pelaku penyimpangan tingkah laku (deviant) dan dunia yang konvensional. Sutherland masih memberikan peran yang berarti pada pelaku kejahatan untuk memilih alternatif pola tingkah laku yang disukainya: menaati undang-undang atau melanggar undang-undang.
Sekalipun banyak pakar kriminologi telah memberikan pendapat, komentar, atau kritik sebagaimana diuraikan diatas, dapat dikatakan bahwa teori asosiasi diferensial masih tetap merupakan bahan perbincangan para pakar kriminologi dan masih relevan dengan situasi dan kondisi kehidupan sosial sampai dengan abad ke-20 ini.

Terminologi atau istilah kriminologi pertama kali dipergunakan antropolog Prancis, Paul Topiward dari kata crimen (kejahatan/penjahat) dan logos (ilmu pengetahuan). Kemudian Edwin H. Sutherland dan DonaldR. Cressey menyebutkan kriminologi sebagai :

“.... the body of knowledge regarding delinquency and crime as social phenomenon. It includes within its scope the process of making law,the breaking of laws, and reacting to word the breaking of laws ...” (".... tubuh pengetahuan tentang kenakalan dan kejahatan sebagai fenomena sosial. Ini termasuk dalam ruang lingkup proses pembuatan hukum, melanggar hukum, dan bereaksi terhadap kata melanggar hukum ... ")

Melalui optik tersebut maka kriminologi berorientasi pada:

  • Pertama, pembuatan hukum yang dapat meliputi telaah konsep kejahatan, siapa pembuat hukum dengan faktor-faktor yang harusdiperhatikan dalam pembuatan hukum.

  • Kedua, pelanggaran hukum yangdapat meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi pelanggaran hukum tersebut serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.

  • Ketiga, reaksi terhadap pelanggaran hukum melalui proses peradilan pidana dan reaksimasyarakat.

Kemudian dalam perkembangannya, guna membahas dimensi kejahatan/penjahat, dikenal teori-teori kriminologi. Menurut Williams III dan Marilyn Mc Shane teori itu diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu :

  1. golongan teori abstrak atau teori-teori makro (macrotheories). Pada asasnya, teori-teori dalam klasifikasi inimendeskripsikan korelasi antara kejahatan dengan struktur masyarakat. Termasuk ke dalam macrotheories ini adalah teori Anomie dan Teori Konflik.

  2. teori-teori mikro (microtheories) yang bersifat lebih konkret. Teori ini ingin menjawab mengapa seorang/kelompok orang dalam masyarakat melakukan kejahatan atau menjadi kriminal (etiology criminal). Konkritnya, teori-teori ini lebih bertendensi pada pendekatan psikologisatau biologis. Termasuk dalam teori-teori ini adalah Social Control Theory dan Social Learning theory.

  3. Beidging Theories yang tidak termasuk ke dalam kategori teori makro/mikro dan mendeskripsikan tentangstruktur sosial dan bagaimana seseorang menjadi jahat. Namun kenyataannya, klasifikasi teori-teori ini kerap membahas epidemiologi yang menjelaskan rates of crime dan etiologi pelaku kejahatan. Termasuk kelompok ini adalah Subculture Theory dan Differential Opportunity Theory.

Selain klasifikasi di atas, Frank P. William III dan Marilyn McShane juga mengklasifikasikan berbagai teori kriminologi menjadi 3 (tiga) bagian lagi, yaitu:

1. Teori Klasik dan Teori Positivis

Asasnya, teori klasik membahas legal statutes, struktur pemerintahan dan hak asasi manusia (HAM). Teori positivis terfokus pada patologi kriminal,penanggulangan dan perbaikan perilaku kriminal individu.

2. Teori Struktural dan Teori Proses

Teori struktural terfokus pada cara masyarakat diorganisasikan dan dampak dari tingkah laku. Teori struktural juga lazim disebut StrainTheories karena, “Their assumption that a disorganized society createsstrain which leads to deviant behavior”. Tegasnya, asumsi dasarnya adalah masyarakat yang menciptakan ketegangan dan dapat mengarah pada tingkah laku menyimpang. Sementara teori Proses, membahas, menjelaskan dan menganalisis bagaimana orang menjadi penjahat.

3. Teori Konsensus dan Teori Konflik

Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam masyarakat terjadi konsensus/ persetujuan sehingga terdapat nilai-nilai bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan teori konflik mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat sedikit kesepakatan dan orang-orang berpegang pada nilai pertentangan. Selain itu, sebagai perbandingan John Hagan mengklasifikasikan teori-teori kriminologi menjadi :

  • Teori-teori Under Control atau Teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol Sosial. Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.

  • Teori-teori Kultur, Status dan Opportunity. seperti teori Status Frustasi, teori Kultur Kelas dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal/hidup.

  • Teori Over Control, yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok dan teori Marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan.

Dari klasifikasi di atas, dapat ditarik konklusi bahwa antara satu klasifikasi dengan klasifikasi yang lain tidaklah identik/sama. Aspek initeoritisi utama (dramatis personal) yang mencetuskannya. Selain itu, pengklasifikasian teori juga dipengaruhi adanya subyektivitas orang yang melakukan klasifikasi sehingga relatif menimbulkan dikotomi dan bersifat artifisial.

TEORI DIFFERENTIAL ASSOCIATION/ASOSIASI DIFERENSIAL

Pada hakikatnya, teori Differential Association lahir, tumbuh dan berkembang dari kondisi sosial (social heritage) tahun 1920 dan 1930 dimana FBI (Federal Bureau Investigation-Amerika Serikat) memulai prosedur pelaporan tahunan kejahatan kepada polisi. Kemudian, sejak diperhatikannya data ekologi mazhab Chicago (Chicago School) dan data statistik, dipandang bahwa kejahatan merupakan bagian bidang sosiologi, selain bidang biologi atau psikologi.

Berikutnya, dalam masyarakat AS terjadi depresi sehingga kejahatan timbul dari “product of situation,opportunity and of comes values” (produk dari situasi, kesempatan dan nilai). Untuk pertama kalinya, seorang ahli sosiologi AS bernama Edwin H.Sutherland, tahun 1934, dalam bukunya Principles of Criminology mengemukakan teori Differential Associatio. Bila dirinci lebih detail, sebenarnya asumsi dasar teori ini banyak dipengaruhi oleh William I. Thomas, pengaruh aliran Symbolic Interactionism dari George Mead, Park dan Burgess dan aliran ekologi dari Clifford R. Shaw dan Henry D.McKay serta Culture Conflict dari Thorsten Sellin.

Konkritnya, teori Differential Association berlandaskan kepada : “Ecological and Cultural Transmission Theory, Symbolic Interactionismdan Culture Conflict Theory”. Teori Differential Association terbagi dua versi. Dimana versi pertama dikemukakan tahun 1939, versi kedua tahun 1947. Versi pertama terdapat dalam buku Principle of Criminology, edisi ketiga yang menegaskan aspek-aspek berikut :

  • Pertama, setiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola prilaku yang dapat dilaksanakan.

  • Kedua, kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan.

  • Ketiga, konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan.

Selanjutnya, Edwin H. Sutherland mengartikan Differential Association sebagai “the contens of the patterns presented inassociation”. Ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain.

Kemudian, pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differential Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari,tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin H. Sutherland kemudian menjelaskan proses terjadinya kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi sebagai berikut :

  1. Perilaku kejahatan adalah perilaku yangdipelajari. Secara negatif berarti perilaku itu tidak diwariskan.

  2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisanataupun menggunakan bahasa tubuh.

  3. Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secaranegatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melaluibioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan pentingdalam terjadinya kejahatan.

  4. Ketika perilakukejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap tertentu.

  5. Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat,kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaanmelihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yangperlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan.

  6. Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi.

  7. Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi,prioritas serta intensitasnya.

  8. Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazim terjadi dalam setiap proses belajar secara umum.

  9. Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama.

Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjadikan pandangannya sebagai teori yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Dalam rangka usaha tersebut, Edwin H. Sutherland kemudian melakukan studi tentang kejahatan White-Collar agar teorinya dapat menjelaskan sebab-sebab kejahatan, baik kejahatan konvensial maupun kejahatan White-Collar.

Terlepas dari aspek tersebut, apabila dikaji dari dimensi sekarang, temyata teori Differential Association mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri. Adapun kekuatan teori Differential Association bertumpu pada aspek-aspek :

  1. Teori ini relatif mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial ;

  2. Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karenaadanya/melalui proses belajar menjadi jahat ;

  3. Ternyata teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional.

Sedangkan kelemahan mendasar teori ini terletak pada aspek :

  1. Bahwa tidak semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan kejahatan akan meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan orang, seperti petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara atau krimilog yang telah berhubungan dengan tingkah laku kriminal secara ekstensif, nyatanya tidak menjadipenjahat.

  2. Bahwa teori ini belum membahas, menjelaskan dan tidak peduli pada karakter orang-orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut.

  3. Bahwa teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang suka melanggar daripada menaati undang-undang dan belum mampu menjelaskan causa kejahatan yang lahir karena spontanitas.

  4. Bahwa apabila ditinjau dari aspek operasionalnya ternyata teori iniagak sulit untuk diteliti, bukan hanya karena teoritik tetapi juga harus menentukan intensitas, durasi, frekuensi dan prioritasnya.

*sebagai bahan kuliah

S.Maronie / 3 Maret 2012 / @K10CyberHouse

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA